Share

Chapter 4

Plak!

Lagi?

Dia menamparku lagi?

Daisy mendorong tubuhku, dan menamparku. Tamparannya begitu keras, dan juga kencang.

“Berani sekali kau menciumku!” Dia membentakku. Matanya melebar, dan tampak berapi-api. “Memangnya kau anggap aku ini apa? Perempuan murahan, hah?!”

Aku tersenyum miring. “Kau sama saja dengan kakakmu yang hamil di luar nikah itu,” ujarku sarkasme.

“Kurang ajar kau, Drew!” Daisy ingin menamparku lagi. Tapi aku segera menahan tangannya.

“Jika kau tidak menghargai aku sebagai bosmu. Aku akan memperlakukanmun seperti ini lagi. Membuat kau, sebagai wanita murahanku. Bahkan, lebih dari menciummu.” Aku menatap Daisy tajam.

Daisy menutup bibirnya rapat-rapat dan mulai meredamkan ego, serta amarahnya.

Aku segera melepas tangan Daisy.

Daisy tidak berbicara apa-apa lagi, dia membuka pintu dan keluar dari ruanganku.

Aku tertawa puas ketika pintu ruanganku kembali tertutup. Perempuan arogan seperti Daisy, sebentar lagi akan bertekuk lutut di hadapanku. Dan memohon untuk meminta hatiku. Seperti perempuan lain yang berhasil jatuh ke perangkap buaya darat, Drew Layn.

****

Hari ini, Emma sudah tidak lagi bekerja di perusahaanku. Dia pamit sambil memberikan undangan pernikahan. Itu membuat hatiku terluka, karena aku belum sempat berkencan dengan dia. Tapi, Emma sudah menjadi milik orang lain. Secara sah, pula.

Kini hanya ada Daisy sendiri yang akan bekerja di bawah tekananku. Sebagai sekretarisku. Aku melemparkan beberapa berkas di atas mejanya. Membuat Daisy mendongak, menatapku.

“Aku mau, semua pekerjaan ini selesai besok pagi,” kataku penuh penekanan.

Daisy tidak membantah atau marah-marah seperti biasanya. Dia hanya menghela napas dan menjawab, “baik, Pak.”

Membuat keningku mengernyit. Wah, tumben.

“Jangan lupa, buatkan aku kopi. Ingat, gulanya hanya satu sendok saja. Aku tidak suka terlalu manis.” Perintahku.

Daisy kembali menjawab, “baik Pak.”

Sepertinya dia sudah bisa nurut dan jatuh ke dalam perangkapku.

“Bagus!” Lalu, aku berbalik badan dan melangkah kembali menuju ruanganku.

Lima belas menit kemudian, pintu ruanganku diketuk. Daisy masuk sambil membawa nampan berisi kopi. Dia langsung menaruh gelas kopi tersebut di atas mejaku, dengan sopan.

“Ini kopinya, Pak. Sesuai yang kamu inginkan.”

“Terima kasih,” jawabku.

“Kalau begitu, saya permisi dulu.” Daisy membalikan badannya, hendak pamit.

“Tunggu.” Aku menghentikan langkah Daisy.

Daisy berhenti.

“Duduk dulu,” pintahku. Daisy kembali membalikkan badan menghadapku, dan duduk di depanku. “Umurmu berapa?”

“Dua puluh lima tahun. Bukannya sudah jelas tertera di riwayat hidupku?”

Aku cukup kaget karena ternyata dia lima tahun lebih muda dariku.

“Aku malas membacanya.” Aku mengibaskan tangan. “Kau sudah menikah?”

Daisy menggeleng. “Belum. Tapi aku pikir, sebentar lagi aku akan menikah.”

“Kau sudah punya pacar?”

Daisy mengangguk semangat. Sedetik kemudian dia menatapku curiga. “Kenapa kau bertanya hal privasi padaku, Pak? Apakah itu salah satu pertanyaan wajib untuk setiap karyawanmu?”

“Aku hanya ingin memastikan, wanita mana yang layak untuk aku kencani.”

Kedua alis Daisy terangkat. “Kau juga mengencani karyawanmu?”

“Kecuali, Emma.” Aku membantah. “Aku tidak sempat mengencaninya.”

Daisy geleng-geleng kepala. “Kau bos yang gila.”

“Kau mulai tidak sopan lagi padaku.” Aku menunjukknya.

Daisy menutup mulut dengan kedua tangannya. “Ups. Maaf, Pak.”

“Tenang saja, Daisy. Kalau pun, kau tidak punya pacar. Kau juga bukan tipeku. Aku tidak akan pernah berkencan denganmu.”

“Kenapa?”

“Karena kakimu pendek. Aku tidak suka dengan wanita berkaki pendek. Bahkan, kau hanya sebatas pundakku.”

Daisy cemberut. Sepertinya dia tampak kesal dengan penghinaanku atas bentuk tubuhnya. Aku, kan, bicara jujur.

“Yasudah, kembali bekerja.” Perintahku lagi. Dan Daisy langsung beranjak dari ruanganku.

****

Aku berdiri di jendela kaca ruangan lantai dua buluh delapan sambil menyesap pelan kopi buatan Daisy yang sudah dingin. Sekarang pukul lima sore, Daisy dan beberapa karyawan pulang.

Dai jendela kaca ini, aku bisa melihat Daisy keluar dari kantor dan menghampiri laki-laki yang mengendarai Vespa—tengah berhenti di pinggir jalan.

Aku sedikit tertawa. Ternyata itu pacarnya? Yang hanya punya vespa butut.

Aku memotret Daisy dan pacarnya dari jendela kaca ruanganku. Lalu mengetikkan sebuah pesan untuk Daisy.

Kau dan Vespa butut pacaramu. Hahaha!

Daisy membalas pesanku.

Ini kebahagiaanku.

Singkat, padat, jelas, dan menyebalkan. Mari kita lihat nanti, seberapa bahagia Daisy bersama pacarnya itu.

Tak lama kemudian, ponselku berdering nyaring. Nama Nela, berkal-kelip di layarnya. For your information, Nela adalah perempuan yang tidak sengaja aku temui di tempat gym. Kaliah tahu, di antara semua perempuan yang aku kencani. Bokong Nela-lah yang paling bagus dan padat. Air liurku saja sampai tumpah setiap kali mengingatnya. Khusus untuk Nela, aku akan mengajaknya kencan berkali-kali.

“Ya, sayang.” Ingat, panggilan ‘sayang’ adalah kata kuncinya.

“Kamu sudah makan, Drew? Aku lapar, bisakah kita makan bareng?” Suaranya lembut dan terdengar mendesah di seberang sana. Bikin bulu kudukku meremang.

“Belum sayang. Kau di mana sekarang?”

“Aku di apartemen.”

“Aku akan menjemputmu.”

***

Aku memarkirkan mobil Suv seharga 209.500 US dollar milikku di pelataran sebuah restaurant mewah di pesisir selatan. Aku membuka pintu mobil untuk Nela seperti lelaki gantleman pada umumnya.

Si bokong sexy melangkah dengan anggun. Laki-laki buaya darat yang lewat di sekitar kami, matanya tidak berhenti menatap lekuk tubuh Nela. Tanganku berada di belakang punggung Nela, dan membawanya masuk ke dalam restaurant.

Kami duduk di kursi dekat jendela kaca yang langsung mengarah pada pemandangan pantai. Aku sudah membooking tempat spesial sebelum datang ke restaurant ini.

Seorang pelayan menghampiri kami. Pelayan laki-laki itu tidak berhenti menatap dada Nela yang bulat.

Aku berhedem. “Hem, kalau kau mau ikut makan dengan kami. Kau lebih baik ambil kursimu, dan duduk di sebelah pacarku.” Aku menyindir pelayan itu.

Pelayan tersebut langsung kikuk. “Maaf Pak.” Ia menunduk.

Setelah memesan makanan, dan pelayan pergi meninggalkan kami. Nela tertawa melihatku. “Kau posesif ya, Drew.”

“Pelayan itu kurang ajar. Dia melihat tubuhmu seolah ingin menjamahnya.”

Nela kembali tertawa. “Tadi kau sebut aku pacarmu?”

“Itu trick agar dia tidak mengganggumu lagi, Nela.”

“Kalau kau serius, juga tidak masalah.” Nela menyentuh tanganku yang tergeletak di meja.

Aku hanya menyeringai geli. Sesexy apapun Nela, aku tetap berpendirian teguh untuk tidak memiliki hubungan serius dengan perempuan. Kalau sekadar teman kencan, yah hanya teman kencan saja. Bukan untuk pacaran, apalagi menikah.

Pelan-pelan aku melepas sentuhan Nela. Kemudian punggungku bersanda di kursi sambil melipat tangan di dada ketika aku melihat wajah familier masuk ke dalam restaurant.

Yup, itu Daisy. Dan pacarnya yang punya vespa butut.

Aku mengerutkan dahi dan bertanya-tanya. Mengapa mereka ada di restaurant mahal ini? Memangnya pacar Daisy, si vespa butut itu mampu bayar makanan di restauran ini?

Aku tekekeh geli sembari menggelengkan kepala takjub.

“Kau kenapa Drew?” Nela ikut melihat ke mana arah pandanganku. “Kau kenal dengan mereka?”

“Yup.” Aku beranjak dan menghampiri mereka.

Betapa terkejutnya Daisy saat melihat keberadaanku.

“Hai …..” aku melambai.

“Kau?” Daisy nyaris berteriak. “Sedang apa kau di sini?”

Aku tidak langsung menjawab dan menatap pacarnya. Ah, tidak setampan diriku. Lalu aku melirik ke arah Daisy lagi. “Seharusnya aku yang bertanya, sedang apa kau di sini? Tempat ini tidak cocok untukmu dan pacarmu, Daisy.”

“Apa maksudnya?” Pacar Daisy, si vespa butut menatapku seolah tidak terima.

“Dimana kau parkir vespamu?” Tanyaku pada si Vespa Butut.

“Cukup!” Daisy berseru. Lalu menggandeng erat tangan pacarnya. “Ayo kita pergi sayang.”

Aku membiarkan mereka pergi, dan tertawa.

Daisy dan vespa butut duduk tak jauh dariku. Aku terus memperhatikan mereka sambil memotong steak.

“Drew ….” Nela memanggil namaku.

Aku sedikit kaget sampai steakku lompat ke piring Nela. “Maaf Nela.” Aku segera membersihkan kekacauan.

“Ah, iya, tidak apa-apa. Kau terlihat gelisah, Drew.”

“Aku tidak gelisah.” Aku kembali melanjutkan makanku. “Ayo kita lanjut makannya.”

Selanjutnya aku melihat Daisy dan Vespa Butut selesai makan lebih cepat dariku. Mereka memanggil pelayan dan meminta bill. Ketika bill datang, Vespa Butut mulai merogoh saku celana, baju, dan dompetnya. Ia terlihat gelisah. Lalu berbicara pada Daisy. Aku tidak bisa mendengar kalimat mereka, tapi aku lihat sepertinya Daisy juga panik.

“Drew ….” Nela kembali menyebut namaku. “Kalau kita sudah selesai makan, kita pulang saja.”

Aku melihat piring Nela sudah kosong, sedangkan steakku masih ada seperempat. Tapi aku sudah tidak berselera makan. Aku memanggil pelayan yang berdiri hening di meja Daisy dan Vespa butut.

Pelayan itu menghampiri kami.

“Boleh aku minta bill?”

“Baik, Pak.” Pelayan hendak pergi.

“Tunggu sebentar ….” Aku memanggil pelayan itu kembali.

“Iya, Pak?”

“Kenapa mereka?” Aku mengedikkan bahu ke arah meja Daisy.

Pelayan itu sedikit mencondongkan wajah. “Pacarnya tidak membawa dompet.”

Aku mengangkat alis, dan nyaris tertawa. “Serahkan bill mereka, biar aku saja yang bayar.” Aku sengaja berbicara dengan nada tinggi sampai Daisy dan Vespa Butut menatap ke arahku.

Mereka kaget. Begitu juga dengan Nela.

“Apa Drew?!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status