Share

Chapter 3

Harusnya ini hari pertama Daisy masuk kerja. Tapi ini sudah pukul sebelas siang, dan Daisy belum juga terlihat batang hidungnya. Membuatku kesal saja.

“Kau sudah menghubunginya?” tanyaku pada Emma.

“Sudah, Pak, tapi nomornya tidak aktif.” Emma tak kalah paniknya denganku, karena seharusnya dia sudah mulai mengajari anak baru itu, sehingga Emma bisa melepaskan pekerjaannya sepenuhnya kepada Daisy.

“Sial!” aku mengumpat. Apa dia menolakku? Dia mulai bermain-main denganku rupanya. “Lihat alamat anak baru itu! Aku akan beri kejutan padanya.”

“Baik, Pak.” Emma bergegas cepat mengambil informasi yang aku cari.

Setelah aku berhasil mendapatkan alamat rumah Daisy, mobilku melesat jauh meninggalkan kantor dan menuju rumahnya.

Rumah Daisy hanya kontrakan kecil di tengah penduduk yang padat merayap. Bahkan aku terpaksa memarkirkan mobilku di pinggir jalan dan masuk ke dalam gang untuk sampai ke rumahnya.

Aku mengetuk pintu.

Ingat perempuan berumur empat puluh tahun yang memakiku di kantor? Yap, dia yang membuka pintu. Saat melihat kehadiranku, dia langsung memekik kaget.

“Kau?” Perempuan itu terbelalak, tapi sedetik kemudian diamenamparku.

Sial! Lagi? Keluarga macam apa yang menamparku berulang kali?

“Kau laki-laki yang tidak bertanggung jawab!” makinya. “Aku akan membunuhmu, Evans!

Perempuan itu nyaris mencekik leherku kalau saja Daisy tidak muncul dan menghentikan pergerakan perempuan itu.

“Hentikan, Kak! Dia bukan Evans yang selama ini kita cari.” 

“Lalu siapa dia?”

“Namanya Drew Layn. Evans telah membohongi kita semua dengan memakai identitas dan alamat rumahnya.”

Perempuan empat puluh tahun itu terkejut. Dia menatapkudengan sorot mata bersalah. “Ya, ampun! Aku minta maaf. Aku sudah datang ke perusahaanmu dan memakimu ….”

“Dan sekarang menamparku,” tambahku.

Perempuan itu kembali merasa bersalah. “Aku benar-benar minta maaf, aku sudah hilang akal mencari Evans. Aku dan keluargaku benar-benar frustrasi.ia terlihat sedih.

Daisy segera membawa perempuan itu ke dalam, dan kembali lagi dalam sepuluh menit.

“Maafkan aku, dia kakak perempuanku paling tua.” Daisy mencoba untuk menjelaskan, tapi aku tidak peduli.

“Kenapa kau di sini?”  tanyaku to the point.

“Ini rumahku.”

“Harusnya kau ada di kantorku sekarang.”

Daisy diam. Dia tidak memintaku masuk ke rumahnya untuk sekadar berbasa-basi ataupun menyuruhku duduk di kursi terasnya yang kecil. Kami hanya berbicara di depan pintu yang terbuka, disaksikan oleh beberapa tetangga yang terpesona dengan ketampananku.

“Aku sudah bilang tidak ingin bekerja danganmu. Aku sungguh tidak tahu kalau kau pemilik perusahannya. Kalau aku tahu, aku tidak akan lompat ke lubang buaya.”

“Tapi aku sudah memilihmu, dan kau harus mengikuti perintahku.”

“Kenapa aku harus mengikuti perintahmu?”

“Karena aku bosmu.”

“Aku bilang, aku tidak mau!

“Kau tidak boleh menolak, Daisy. Itu aturannya.

Daisy mengernyit, mulai sebal dengan pemaksaan yang aku lakukan. Dan aku tidak akan menyerah untuk membuatnya masuk terus ke perangkapku. Bahkan aku belum puas kalau ceritanya hanya sampai di sini.

“Aku tidak mau! Sudah puas? Pergi dari rumahku sekarang!” Dia meneriakiku dengan berani, tampak tidak terintimidasi sama sekali olehku.

“Kau tidak ingin tahu tentang Evans?” tanyaku yang akhirnya membuat dia langsung terdiam. “Aku akan membantumu mencari Evans.”

“Kau mengancamku?”

“Aku memberi tawaran bagus untukmu. Demi kakakmu yang hamil itu.”

“Bagaimana mungkin kau bisa mencari tahu keberadaannya?”

“Dia sepupuku.”

“Oh, jadi kau bersekongkol dengannya!?” Daisy mendorong tubuhku kuat.

Aku menangkap tangannya. “Aku tidak pernah bersekongkol dengan pria bodoh itu. Aku hanya ingin membantumu, dan kau mulai bekerja di tempatku besok. Okay?”

Daisy diam seolah memikirkan sesuatu.

“Apa yang kau pikirkan, Daisy? Kau tidak butuh uang? Bahkan kau baru saja resign dari pekerjaanmu.”

Daisy mengigit bibirnya, itu membuatku agak sedikit tergoda. Tapi sebelum aku tergoda, dia duluan yang harus memohon padaku dan bertekuk lutut.

Baiklah. Tapi kau harus berjanji untuk membantuku.”

“Yap.”

***

Ini pagi yang cerah, tadi malam aku habis mengencani wanita berkaki jenjang dan berambut pirang. Namanya Vira, kalau aku tidak salah. Dia bilang dia mencintaiku dan ingin mengajakku berkencan untuk yang kedua kalinya. Itu kataku pada Vira tadi malam, dan apa yang dia lakukan? Yup! Dia tidak akan menamparku, tapi menangis dan bertekuk lutut di hadapanku.

Wanita itu memang bodoh ya.

Pintu lift terbuka, aku menyaksikan Emma sedangmengajari Daisy tentang pekerjannya. “Selamat pagi semuanya.” Aku menyapa terlebih dahulu, hingga Emma terkejutdan langsung membungkukkan badan.

“Selamat pagi, Pak…”

“Tolong kau ajarkan anak baru itu sopan santun padaku kalau gajinya tidak mau dipotong,” ancamku yang ditujukan untuk Daisy.  

“Daisy, kau harus menyapa dan memberi salam dengan hormat setiap kali bertemu Pak Drew,” jelas Emma.

“Aku harus gimana?” Daisy terlihat bengong.

“Membungkuk.” Emma berbisik.

Daisy mengikuti arahan Emma dan membungkuk. “Selamat pagi, Pak.”

“Ya, pagi. Bagus!” Aku tersenyum puas karena sudah bisa membuat Daisy membungkuk untukku. Lalu, aku masuk ke dalam ruanganku.

Setelah duduk di singgasanaku, aku menekan tombol intercom di telepon yang langsung tersambung pada Emma. “Tolong suruh Daisy ke ruanganku,” perintahku.

Dalam hitungan detik saja, terdengar suara ketukan pintu, dan Daisy masuk ke dalam ruanganku setelah kusurh masuk.

“Iya, Pak?” Dia menunduk. Dalam hati aku tertawa puas karena berhasil membuat perempuan arogan sepertinya nurut padaku.

Aku langsung melempari beberapa berkas di meja. “Kau kerjakan itu semua. Dan harus selesai besok. Ingat, besok Emma sudah tidak bisa lagi mendampingimu.”

Daisy mendongak menatap tumpukan berkas di atas mejaku. Lalu menatapku dengan mata bulat sempurna. “Semuanya?”

“Yap.” Aku menopang dagu dengan santai.

“Besok?” Daisy tampak ragu.

“Yap!” Aku melihat jam tangan. “Pukul Sembilan pagi.”

Daisy terdengar mendengus sebal. “Terus, kapan kita bisa mencari Evans?”

“Kau bekerja untukku, bukan untuk Evans.”

Daisy mengerutkan dahinya. “Kau mengerjaiku? Kau sengaja bikin aku jatuh ke perangkapmu?”

Aku menyeringai geli, lantas beranjak dari kursi dan berjalan mendekatinya. Aku mengangkat dagunya dengan telunjukku. “Siapa yang ingin membuatmu terperangkap? Kau bukan tipeku.”

Dia menepis jemariku dengan kasar. “Kalau begitu, kenapa kau terima aku bekerja di tempatmu?”

“Aku yakin kau bisa menghadapi amarahku. Karena aku pernah merasakan tamparanmu.”

“Jadi kau ingin menamparku?” Daisy memiringkan wajahnya. “Nih, tampar saja aku. Aku lebih baik keluar dari perusahaanmu daripada harus di sini bersamamu.”

“Kau sudah menandatangani kontrak kerja denganku. Kau tidak bisa menolaknya.” Aku mengacungkan tiga jariku. “Tiga tahun kontrak kerjamu denganku, atau kau harus membayar pinalti dua kali lipat dari gajimu selama tiga tahun bekerja.” 

“Kau licik, Drew!” Daisy mendorongku dengan berani.

Lihatlah, betapa arogannya dia. Padahal aku sudah sah menjadi bosnya. Tentu saja aku tidak terintimidasi dengan sikapnya.

Untuk memberinya pelajaran, aku langsung mencengkram kedua bahunya, dan mendorongnya hingga menempel pada pintu. Tubuhku kini hanya berjarak beberapa senti saja darinya. Bahkan aku bisa merasakan deru napasnya yang hangat dan wangi.

“Kita lihat nanti, seberapa arogan dirimu,” kataku sambil membelai lembut alis, mata, hidung, hingga bibir.

Daisy menepis tanganku, mendorong tubuhku, dan menampar pipiku. Lagi dan lagi. Sialan!

“Aku bukan wanita murahan!”

Aku tersenyum miring sambil menyentuh pipiku. Kemudian aku menatapnya tajam dan mendorongnya kembali ke pintu.

“Kau akan menjadi itu, Daisy.” 

Lalu aku mencium bibirnya dengan ganas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status