Harusnya ini hari pertama Daisy masuk kerja. Tapi ini sudah pukul sebelas siang, dan Daisy belum juga terlihat batang hidungnya. Membuatku kesal saja.
“Kau sudah menghubunginya?” tanyaku pada Emma.
“Sudah, Pak, tapi nomornya tidak aktif.” Emma tak kalah paniknya denganku, karena seharusnya dia sudah mulai mengajari anak baru itu, sehingga Emma bisa melepaskan pekerjaannya sepenuhnya kepada Daisy.
“Sial!” aku mengumpat. Apa dia menolakku? Dia mulai bermain-main denganku rupanya. “Lihat alamat anak baru itu! Aku akan beri kejutan padanya.”
“Baik, Pak.” Emma bergegas cepat mengambil informasi yang aku cari.
Setelah aku berhasil mendapatkan alamat rumah Daisy, mobilku melesat jauh meninggalkan kantor dan menuju rumahnya.
Rumah Daisy hanya kontrakan kecil di tengah penduduk yang padat merayap. Bahkan aku terpaksa memarkirkan mobilku di pinggir jalan dan masuk ke dalam gang untuk sampai ke rumahnya.
Aku mengetuk pintu.
Ingat perempuan berumur empat puluh tahun yang memakiku di kantor? Yap, dia yang membuka pintu. Saat melihat kehadiranku, dia langsung memekik kaget.
“Kau?” Perempuan itu terbelalak, tapi sedetik kemudian diamenamparku.
Sial! Lagi? Keluarga macam apa yang menamparku berulang kali?
“Kau laki-laki yang tidak bertanggung jawab!” makinya. “Aku akan membunuhmu, Evans!”
Perempuan itu nyaris mencekik leherku kalau saja Daisy tidak muncul dan menghentikan pergerakan perempuan itu.
“Hentikan, Kak! Dia bukan Evans yang selama ini kita cari.”
“Lalu siapa dia?”
“Namanya Drew Layn. Evans telah membohongi kita semua dengan memakai identitas dan alamat rumahnya.”
Perempuan empat puluh tahun itu terkejut. Dia menatapkudengan sorot mata bersalah. “Ya, ampun! Aku minta maaf. Aku sudah datang ke perusahaanmu dan memakimu ….”
“Dan sekarang menamparku,” tambahku.
Perempuan itu kembali merasa bersalah. “Aku benar-benar minta maaf, aku sudah hilang akal mencari Evans. Aku dan keluargaku benar-benar frustrasi.” ia terlihat sedih.
Daisy segera membawa perempuan itu ke dalam, dan kembali lagi dalam sepuluh menit.
“Maafkan aku, dia kakak perempuanku paling tua.” Daisy mencoba untuk menjelaskan, tapi aku tidak peduli.
“Kenapa kau di sini?” tanyaku to the point.
“Ini rumahku.”
“Harusnya kau ada di kantorku sekarang.”
Daisy diam. Dia tidak memintaku masuk ke rumahnya untuk sekadar berbasa-basi ataupun menyuruhku duduk di kursi terasnya yang kecil. Kami hanya berbicara di depan pintu yang terbuka, disaksikan oleh beberapa tetangga yang terpesona dengan ketampananku.
“Aku sudah bilang tidak ingin bekerja danganmu. Aku sungguh tidak tahu kalau kau pemilik perusahannya. Kalau aku tahu, aku tidak akan lompat ke lubang buaya.”
“Tapi aku sudah memilihmu, dan kau harus mengikuti perintahku.”
“Kenapa aku harus mengikuti perintahmu?”
“Karena aku bosmu.”
“Aku bilang, aku tidak mau!”
“Kau tidak boleh menolak, Daisy. Itu aturannya.”
Daisy mengernyit, mulai sebal dengan pemaksaan yang aku lakukan. Dan aku tidak akan menyerah untuk membuatnya masuk terus ke perangkapku. Bahkan aku belum puas kalau ceritanya hanya sampai di sini.
“Aku tidak mau! Sudah puas? Pergi dari rumahku sekarang!” Dia meneriakiku dengan berani, tampak tidak terintimidasi sama sekali olehku.
“Kau tidak ingin tahu tentang Evans?” tanyaku yang akhirnya membuat dia langsung terdiam. “Aku akan membantumu mencari Evans.”
“Kau mengancamku?”
“Aku memberi tawaran bagus untukmu. Demi kakakmu yang hamil itu.”
“Bagaimana mungkin kau bisa mencari tahu keberadaannya?”
“Dia sepupuku.”
“Oh, jadi kau bersekongkol dengannya!?” Daisy mendorong tubuhku kuat.
Aku menangkap tangannya. “Aku tidak pernah bersekongkol dengan pria bodoh itu. Aku hanya ingin membantumu, dan kau mulai bekerja di tempatku besok. Okay?”
Daisy diam seolah memikirkan sesuatu.
“Apa yang kau pikirkan, Daisy? Kau tidak butuh uang? Bahkan kau baru saja resign dari pekerjaanmu.”
Daisy mengigit bibirnya, itu membuatku agak sedikit tergoda. Tapi sebelum aku tergoda, dia duluan yang harus memohon padaku dan bertekuk lutut.
“Baiklah. Tapi kau harus berjanji untuk membantuku.”
“Yap.”
***
Ini pagi yang cerah, tadi malam aku habis mengencani wanita berkaki jenjang dan berambut pirang. Namanya Vira, kalau aku tidak salah. Dia bilang dia mencintaiku dan ingin mengajakku berkencan untuk yang kedua kalinya. Itu kataku pada Vira tadi malam, dan apa yang dia lakukan? Yup! Dia tidak akan menamparku, tapi menangis dan bertekuk lutut di hadapanku.
Wanita itu memang bodoh ya.
Pintu lift terbuka, aku menyaksikan Emma sedangmengajari Daisy tentang pekerjannya. “Selamat pagi semuanya.” Aku menyapa terlebih dahulu, hingga Emma terkejutdan langsung membungkukkan badan.
“Selamat pagi, Pak…”
“Tolong kau ajarkan anak baru itu sopan santun padaku kalau gajinya tidak mau dipotong,” ancamku yang ditujukan untuk Daisy.
“Daisy, kau harus menyapa dan memberi salam dengan hormat setiap kali bertemu Pak Drew,” jelas Emma.
“Aku harus gimana?” Daisy terlihat bengong.
“Membungkuk.” Emma berbisik.
Daisy mengikuti arahan Emma dan membungkuk. “Selamat pagi, Pak.”
“Ya, pagi. Bagus!” Aku tersenyum puas karena sudah bisa membuat Daisy membungkuk untukku. Lalu, aku masuk ke dalam ruanganku.
Setelah duduk di singgasanaku, aku menekan tombol intercom di telepon yang langsung tersambung pada Emma. “Tolong suruh Daisy ke ruanganku,” perintahku.
Dalam hitungan detik saja, terdengar suara ketukan pintu, dan Daisy masuk ke dalam ruanganku setelah kusurh masuk.
“Iya, Pak?” Dia menunduk. Dalam hati aku tertawa puas karena berhasil membuat perempuan arogan sepertinya nurut padaku.
Aku langsung melempari beberapa berkas di meja. “Kau kerjakan itu semua. Dan harus selesai besok. Ingat, besok Emma sudah tidak bisa lagi mendampingimu.”
Daisy mendongak menatap tumpukan berkas di atas mejaku. Lalu menatapku dengan mata bulat sempurna. “Semuanya?”
“Yap.” Aku menopang dagu dengan santai.
“Besok?” Daisy tampak ragu.
“Yap!” Aku melihat jam tangan. “Pukul Sembilan pagi.”
Daisy terdengar mendengus sebal. “Terus, kapan kita bisa mencari Evans?”
“Kau bekerja untukku, bukan untuk Evans.”
Daisy mengerutkan dahinya. “Kau mengerjaiku? Kau sengaja bikin aku jatuh ke perangkapmu?”
Aku menyeringai geli, lantas beranjak dari kursi dan berjalan mendekatinya. Aku mengangkat dagunya dengan telunjukku. “Siapa yang ingin membuatmu terperangkap? Kau bukan tipeku.”
Dia menepis jemariku dengan kasar. “Kalau begitu, kenapa kau terima aku bekerja di tempatmu?”
“Aku yakin kau bisa menghadapi amarahku. Karena aku pernah merasakan tamparanmu.”
“Jadi kau ingin menamparku?” Daisy memiringkan wajahnya. “Nih, tampar saja aku. Aku lebih baik keluar dari perusahaanmu daripada harus di sini bersamamu.”
“Kau sudah menandatangani kontrak kerja denganku. Kau tidak bisa menolaknya.” Aku mengacungkan tiga jariku. “Tiga tahun kontrak kerjamu denganku, atau kau harus membayar pinalti dua kali lipat dari gajimu selama tiga tahun bekerja.”
“Kau licik, Drew!” Daisy mendorongku dengan berani.
Lihatlah, betapa arogannya dia. Padahal aku sudah sah menjadi bosnya. Tentu saja aku tidak terintimidasi dengan sikapnya.
Untuk memberinya pelajaran, aku langsung mencengkram kedua bahunya, dan mendorongnya hingga menempel pada pintu. Tubuhku kini hanya berjarak beberapa senti saja darinya. Bahkan aku bisa merasakan deru napasnya yang hangat dan wangi.
“Kita lihat nanti, seberapa arogan dirimu,” kataku sambil membelai lembut alis, mata, hidung, hingga bibir.
Daisy menepis tanganku, mendorong tubuhku, dan menampar pipiku. Lagi dan lagi. Sialan!
“Aku bukan wanita murahan!”
Aku tersenyum miring sambil menyentuh pipiku. Kemudian aku menatapnya tajam dan mendorongnya kembali ke pintu.
“Kau akan menjadi itu, Daisy.”
Lalu aku mencium bibirnya dengan ganas.
Plak!Lagi?Dia menamparku lagi?Daisy mendorong tubuhku, dan menamparku. Tamparannya begitu keras, dan juga kencang.“Berani sekali kau menciumku!” Dia membentakku. Matanya melebar, dan tampak berapi-api. “Memangnya kau anggap aku ini apa? Perempuan murahan, hah?!”Aku tersenyum miring. “Kau sama saja dengan kakakmu yang hamil di luar nikah itu,” ujarku sarkasme.“Kurang ajar kau, Drew!” Daisy ingin menamparku lagi. Tapi aku segera menahan tangannya.“Jika kau tidak menghargai aku sebagai bosmu. Aku akan memperlakukanmun seperti ini lagi. Membuat kau, sebagai wanita murahanku. Bahkan, lebih dari menciummu.” Aku menatap Daisy tajam.
“Drew, kau kenal dengan mereka?”“Kenapa kau bayar makan mereka?“Drew, kenapa kau diam saja?”Nela tidak berhenti mengoceh di sepanjang perjalanan ketika kami pulang. Telingaku dibuatnya panas.Aku menghentikan mobilku di sisi kiri jalan sampai Nela nyaris terpental ke dasbor mobil.“Drew!” Nela menatapku. Dari ekspresinya, sepertinya dia marah. “Ada apa denganmu.”“Turun dari mobilku,” perintahku.“Apa?”“Turun dari mobilku sekarang. Kau cerewet.”“Kau ….” Dia terlihat kesal
Hari ini adalah hari Minggu yang menyebalkan. Alexa datang menggedor-gedor kamarku dan memaksaku untuk segera bangkit dari kasur pukul sebelas siang. Biasanya aku selalu bangun pukul dua siang di hari Minggu.Carie naik ke atas punggungku seperti kuda dan berteriak, “Paman Drew ayo bangun!”Alexa dan anaknya adalah paket sempurna yang berhasil bikin aku tidak nyaman hidup di dunia.“Ada apa sih?” Aku membentak Alexa, bukan Carie. Sambil menelungkupkan tubuh dan menenggelamkan wajahku di bantal.“Please temani aku dan Carie ke mall. Hari ini aku harus membelikan kado untuk Andreas. Postur tubuhmu dan suamiku sama persis.” Alexa mengeluarkan suara memohon. Dan terdengar sangat menyebalkan.
Aku membawa Daisy baring di sofa yang ada di dalam ruanganku. Kening Daisy berdarah akibat dorongan kencang Nela yang membuat kepala Daisy terbentur meja.Aku segera mengambil mangkuk dari pantry dan mengisinya dengan air hangat. Lalu aku mulai mengompres luka kecil Daisy dengan saputanganku.Daisy pingsan cukup lama. Aku menatap wajahnya dengan saksama. Ternyata Daisy terlihat cantik juga dengan bibirnya yang tipis.Aku menyentuh wajah Daisy yang selembut sutra. Lalu mendekatkan wajahku. Rasanya aku ingin mencicipi bibir Daisy sekali lagi. Ciuman pertamaku dengan Daisy sangat berkesan.Tak lama kemudian tiba-tiba saja Daisy membuka mata dengan lebar.“Apa yang kau lakukan padaku?” Daisy menendang kemaluanku dengan sepatu hak tingginya.
Aku melihat Angelina duduk di kursi Daisy ketika aku melangkah keluar dari lift. Angelina adalah sekretaris manager operasional di lantai lima. “Pagi, Pak Drew.” Perempuan itu berdiri dan sedikit menunduk untuk menyapaku. “Pagi,” jawabku ragu. Lalu menatap ke sekeliling. “Mana Daisy?” “Hari ini Daisy nggak bisa hadir.” Angelina menyodorkan sebuah amplop putih. “Ini surat sakitnya,” lanjut Angelina. Aku mengernyit sambil membuka isi amplop tersebut. Ternyata isinya surat keterangan dari Dokter yang menyimpulkan kalau Daisy sakit lambung. Aku menyimpan kembali surat Dokter tersebut di amplop. Aku menghela napas berat sebelum menatap Angelina. “Kau yang menggantikan Daisy?” “Untuk sementara waktu, iya Pak
“Kenapa kau memukulku?” Evans terkulai lemas di lantai ketika aku berhenti melayangkan pukulan di wajahnya.Evans terbatuk saat darah keluar dari mulut dan membasahi bibirnya. Sedangkan orang-orang di sekitar kami berhenti beraktivitas. Semua mata memandang ke arahku. Sebelum security benar-benar datang, aku langsung menarik kera baju Evans dan membawanya bangkit. Aku menarik Evans masuk ke dalam mobilku.“Ah, sial!” Evans menatap wajahnya di spion depan mobilku. Lalu menatapku. “Apa salahku, Drew?”“Kau masih bertanya?” Aku mengangkat kepalan tanganku lagi tinggi-tinggi. Evans langsung melindungi wajahnya dengan lengan.“Oke, sorry, aku minta maaf. Aku tahu, kalau aku salah telah menggunakan identitasmu!” Akhirny
“Aku akan mempertemukan kau dengan Evans." Daisy mendongak, ketika aku melontarkan kalima yang sejak dulu ia tunggu-tunggu. “Sungguh?” Daisy berhenti mengetik di komputer. Aku mengangguk. “Yap. Sore ini kalau kau mau?” “Ya, aku mau. Aku akan menyelesaikan pekerjaan ini secepat mungkin.” Daisy tampak bersemangat. “Tapi, sebelum ke aku mempertemukan kau dengan Evans. Kita ke rumah sakit dulu!" Daisy menaikkan kedua alisnya. “Siapa yang sakit?" “Kau.” “Aku?” Daisy menunjuk dirinya sendiri. “Aku tidak sakit apa-apa.” “Memar di tubuhmu, harus segera diobati.”
Pukul dua belas siang, aku menyelesaikan semua pekerjaanku dan keluar dari ruangan. Aku melihat meja kerja Daisy sudah kosong. Berkas-berkas yang tadinya berantakan, kini sudah ditata rapi di atas meja. Mungkin Daisy sudah pergi makan siang, pikirku. Dan sepertinya aku sedang tidak mood untuk makan siang. Jadi, aku memilih untuk menikmati segelas kopi di cafe seberang kantor—yang baru saja buka seminggu lalu. Betapa terkejutnya aku, ketika sudah tiba di cafe dan melihat Daisy dan Gideon duduk berdua di salah satu tempat makan yang berada di sudut jendela. Aku melihat mereka tertawa sambil menceritakan sesuatu. Aku berusaha mengabaikan mereka, lalu memesan segelas Americano di meja barista. Sambil menunggu pesananku selesai, aku curi-curi pandang ke arah Daisy dan Gideon. Cerita mereka sepertinya semakin seru. Padahal, mereka baru pert