“Drew, kau kenal dengan mereka?”
“Kenapa kau bayar makan mereka?
“Drew, kenapa kau diam saja?”
Nela tidak berhenti mengoceh di sepanjang perjalanan ketika kami pulang. Telingaku dibuatnya panas.
Aku menghentikan mobilku di sisi kiri jalan sampai Nela nyaris terpental ke dasbor mobil.
“Drew!” Nela menatapku. Dari ekspresinya, sepertinya dia marah. “Ada apa denganmu.”
“Turun dari mobilku,” perintahku.
“Apa?”
“Turun dari mobilku sekarang. Kau cerewet.”
“Kau ….” Dia terlihat kesal dan ingin mengumpatku dengan segala caci makinya.
“Turun, atau aku akan menyeretmu keluar secara paksa.”
Mungkin kalimatku menohok dadanya sampai aku dengar dia mengerang kesal. Lalu pintu mobil dibuka, Nela turun.
“Aku bersumpah, kau juga akan dicampakkan oleh wanita. Seperti kau mencampakkanku!” Itu kalimat terakhirnya sebelum Nela membanting pintu mobil mahalku. Sialan! Lalu mobilku melesat kencang menembus jalan raya.
Persetan dengan sumpah serapahnya. Karena jauh sebelum aku bertemu Nela. Aku sudah banyak mendapatkan sumpah serapah. Nyatanya, aku masih bisa bernapas untuk mendapatkan wanita yang aku inginkan. Bahkan, sampai sekarang.
****
Daisy meletakkan sebuah amplop putih di atas mejaku. Aku mendongak dan mengerutkan dahi menatapnya.
“Apa ini?”
“Uang ganti rugi,” katanya.
Aku memeriksa amplop tersebut, dan ternyata berisi uang.
“Untuk apa?” Tanyaku.
“Kau sudah membayar makanku dan pacarku kemarin. Jadi aku harus ganti rugi.”
Aku mengangkat sebelah alis. “Dari hasil tabunganmu?”
“Bukan. Ini uang pacarku.”
Aku menyunggingkan senyuman tipis sambil bersandar di kursi. “Dia punya uang juga?”
"Tentu saja, dia kan juga bekerja. Dompet pacarku kemarin memang ketinggalan, dan aku juga tidak punya uang sebanyak itu untuk bayar makan.”
“Kalau begitu, kenapa harus makan di restaurant mahal? Kau dan pacarmu lebih cocok makan di pinggir jalan.”
“Itu untuk merayakan hari annivesary kami.”
Aku cukup tercengang. “Oh ya? Yang keberapa?”
“Lima tahun.”
Aku tertawa kencang. “Kenapa kau betah sih, pacaran dengan vespa butut seperti itu.”
“Aku bahagia," Daisy menjawab penuh percaya diriku. "Pacarku adalah laki-laki yang baik. Yang jelas, dia tidak buaya darat seperti bosku." Daisy menyindirku. Tapi aku tidak peduli.
“Kita lihat, sampai mana bahagiamu berlaku."
Aku menatap Daisy dengan wajah menyebalkan. Lalu melempar uangnya ke lantai. “Ambil lah, aku tidak butuh.”
Daisy menatapku, dan terlihat sebal. “Kau tidak boleh membuang uang begitu saja!”
“Itu tidak seberapa. Ambil saja untuk pacarmu yang menyedihkan itu.”
“Kau ….” aku melihat Daisy sudah mengepalkan kedua tangannya. Tapi dia berusa menahan emosinya untuk tidak memakiku.
Kemudian Daisy mengambil uangnya di lantai dan keluar dari ruanganku.
Tak lama kemudian ponselku berdering nyaring. Nama Alexa berkekap-kelip di layar ponselku. Aku langsung memutuskan sambungan. Dan Alexa kembali menghubungiku, berulang-kali.
Aku mendesah kesal dan akhirnya menerima panggilan Alexa. “Apa?”
“Kauuuu!” Dia berseru kencang. “Adik kurang ajar yang tidak tahu sopan santun!”
Aku mendengus sebal. “Apalagi sih, Alexa?”
“Kenapa kau matikan teleponku? Kenapa kau tidak angkat teleponku? Kenapa?!” Aku menjauhkan ponselku dari telinga, karena suara Alexa melengking.
Membuat telingaku sakit.
“Kepencet,” jawabku ala kadarnya.
“Kepencet kau bilang, bodoh?” Dia masih memakiku. “Kau tidak sopan pada kakakmu.”
“Alexa …. Cepat saja katakan apa maumu? Telingaku sakit mendengar suara cemprengmu.”
“Okey!” Alexa menarik napas dalam-dalam, dan membuang napas dengan pelan. “Begini, Drew, kau harus datang ke acara ulangtahun anakku nanti sore.”
Aku memutar bola mata jenah. “Jadi itu yang ingin kau sampaikan?”
“Yup! Karena kau paman favoritnya Carie. Kau harus datang ya ….”
“Lihat nanti, sepertinya aku lembur.” Aku sengaja mengatakan hal itu karena aku tidak suka berkumpul di dekat anak kecil. Anak kecil itu sama seperti Alexa. Cerewet dan menyebalkan.
“Jangan banyak alasan, Drew. Kalau kau tidak datang, siap-siap saja aku akan menghancurkan perusahaanmu.”
“Iya-iya!” Aku kesal. Karena Alexa selalu bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Jika Alexa bilang akan menghancurkan perusahaanku, maka dia benar-benar akan merusak meja kerjaku, komputerku, dan lainnya. Alexa akan bikin keributan di tempat ini. Sudah aku bilang kan, dia itu seperti singa!
“Baiklah. Sampai ketemu nanti Drew sayang.” Alexa meninggalkan suara kecupan sebelum sambungan terputus.
Ewh! Menjijikkan.
***
Aku membelikan Carie hadiah boneka barbie. Kata penjaga toko, barbie ini edisi terbaru dan rambutnya bisa berubah warna saat dicelupkan ke dalam air dingin. Positif thinking saja, mungkin Barbienya alergi air hangat.
“Paman Drewwww!!!” Carie berlari kencang saat melihat kehadiranku di halaman rumahnya yang sudah dihiasi balon warna-warni.
“Hai sayang.” Aku membawa Carie ke dalam gendongan.
"Selamat ulang tahun, gadis kecilku yang cantik. Semoga ketika sudah besar nanti, kau tidak cerewet seperti mamamu," ucapkua sambil mencium kening Carie.
Carie tertawa. "Kenapa sih, Paman Drew selalu bilang Mama cerewet."
Aku berbisik di telinga Carie. "Karena mamamu memang cerewet, kan?"
Carie mengangguk. "Iyaaa! Oh iya, Paman ... teman-temanku ingin melihatmu."
"Kenapa mereka ingin melihatku?"
"Karena aku bilang dengan mereka, kalau Paman itu tampan." Lalu Carie berteriak. “Teman-teman, ini dia pamanku yang paling tampan. Ayo ke sini!”
Dan teman-temannya langsung berlari ke arahku, mengelilingiku seolah aku ini artis top hollywood.
"Paman ... Paman ..." Teman-Teman Carie menarik ujung bajuku. Aku berusaha menyingkir dari mereka.
“Jangan ada yang minta gendong padaku, minta gendong dengan orangtua kalian sendiri.” Perintahku pada mereka. Anak-anak tersebut hanya terkekeh menyebalkan.
“Paman Drew bawa hadiah?” Tanya Carie.
“Tentu saja.” Aku membawa Carie turun. Lalu memberikan paper bag berisi boneka Barbie pada Carie. “Ini Barbie edisi terbaru.”
“Yippi!!!” Carie terlihat bahagia, lalu berlari ke arah Andreas dan memerkan hadiah dariku.
Aku tekekeh geli dan ikut berkumpul bersama keluargaku.
“Hai Drew,” sapa Ayah.
“Halo Ayah.” Aku bersalaman dengan Ayah dan mencium pipi Ibu.
“Kau tidak memelukku?” Alexa sudah merentangkan tangannya.
“Tidak akan.” Aku menolak dan duduk di sebelah Ibu.
“Dasar sombong!” Alexa mencibir. “Kau belum makan, kan? Silakan coba lasagna terenak di dunia.” Alexa memberiku satu piring lasagna.
Aku mulai mencicipi. “Hmmm …. Enak. Kau bawa chef Italia ke rumah ini?”
Alexa menggeleng. “Bukan. Chefnya asli dari tempat kita.” Alexa menoleh ke kanan. “Carla ….”
Yang dipanggil oleh Alexa langsung menghampiri kami.
Betapa terkejutnya aku saat melihat perempuan bernama Carla itu adalah perempuan empat puluh tahun yang marah-marah di kantorku. Yup, dia kakaknya Daisy.
Carla pun sama kagetnya saat menatapku. Namun dia tidak berkomentar, melainkan menundukkan kepala. Mungkin malu, atau takut melihatku.
“Carla ini sangat jago masak. Dia juga buka chatering di dekat rumahnya, Drew,” jelas Alexa membanggakan Carla.
“Dan Carla punya adik yang cantik. Siapa nama adik yang mengantarmu ke sini tadi?” Tanya Alexa.
“Daisy,” jawab Carla.
Aku sudah tebak.
“Ah ya!” Alexa menjentikkan jari. “Kapan-kapan akan aku kenalkan deganmu ya, Drew.”
“Oh tidak, terima kasih,” kataku.
"Kenapa tidak mau?"
"Dia sudah pasti bukan kriteriaku."
“Aku—““Please sayang, jawab iya. Pleaseee….” Lagi dan lagi, hanya Daisy yang bisa membuat aku memohon seperti ini.Daisy tidak lagi menatapku. Sepertinya dia bingung memberi keputusan.“Aku janji tidak akan melukaimu kembali. Aku janjiii….” Aku terus membujuk Daisy.Daisu menarik napas panjang. “Oke!”“Oke? Apa maksud dari jawaban singkatmu itu.” Aku tak sabaran.“Aku akan menikah denganmu.”Jawabam Daisy membuat hatiku lega. Aku sampai berdiri dan lompat kegirangan. “Hei Drew, kalau kau menyakiti hati adikku lagi. Aku tidak akan segan-segan membunuhmu. Mengerti!” Calra mengancamku.Tapi aku tidak takut, karena aku tidak akan melakukan hal itu lagi. “Tidak akan.”***Selesai bicara mengenai pernikahan yang sudah disetujui oleh semua orang.Kami sekeluarga makan siang di rumah Daisy. Carla sudah menyiapkan makanan enak, berhubung dia sangat jago masak.Aku tidak berhenti membawa tangan Daisy ke bawah meja dan terus menggenggam tangannya.“Drew, lepasin tanganku. Gimana caranya aku bis
Aku keluar dari pintu dan berusah mengejar langkah Daisy. Lantas aku menggenggam tangannya agar kami terlihat romantis di depan semua keluarga.“Nah, ini dia calon pengantin kita sudah tiba,” ujar Ibu bersemangat.Melihat raut wajah mereka semua, sudah pasti kalau Kakaknya Daisy mengizinkan kami untuk menikah.“Hai, semuanya….” Aku menyapa hangat.“Kau habis dari mana?” Carla menatap Daisy. “Rambutmu kelihatan berantakan sekali.”Aku merasakan sentuhan tangan Daisy semakin erat. Mungkin dia gugup. “A-aku—““Tadi kami habis dari salon,” tukasku.Alexa langsung tertawa. Aku memelototi si nenek sihir itu.“Salon mana yang membuat rambutmu berantakan, Daisy?” Kreen melipat tangan di dada.“Ya ampun, memangnya ada yang salah dengan rambut Daisy? Kalian tidak lihat ya. Kalau ini adalah model rambut terbaru. Ini sedang trend!” Aku terus mengalihkan pembicaraan.Daisy mencubit perutku.“Lebih baik kalian duduk dulu,” ucap Ayah.Aku membawa Daisy duduk di sebelahku.“Jadi, setelah pembicaraan
TOK TOK TOK!Ciuman kami terlepas. Alexa sudah berada di sebelah mobilku.Sial!Daisy jadi salah tingkah dan kembali duduk di kursinya sambil mengancing semua kemejanya. Sedangkan aku membuka jendela mobil.“Apa?” Aku memelototi Alexa kesal.“Sabar lah, brody! Kenapa kau lakukan itu sekarang, di mobil. Dasar bodoh!” Alexa memukul kepalaku.“Aduh!” Aku meringis. “Kau kenapa sih?”“Kau yang kenapa? Kau lakukan itu di mobil? Kau harus cari kamar hotel yang mewah. Bukan di mobil, dan di depan rumah Daisy pula. Dasar tolol!” Alexa memukul kepalaku lagi.“Heeeei, kau ini!” Aku ingin sekali membalas Alexa. Tapi, dia sudah menjewer telingaku.“Aduh, aduh! Sakit.” Aku meringis lagi.“Alexa, maaf, aku tidak bermaksud—“ Daisy berusaha menjelaskan. Karena sepertinya, dia merasa tidak enak hati. Atau mungkin, dia merasa menyesal telah melakukan hal itu denganku tadi.“Tidak masalah cantik. Aku suka melihat adikku yang mulai ganas! Dan aku suka, kau membalas permainan ganas adikku juga. Yang menjad
Mobil yang aku kendarai akhirnya sampai di depan rumah Daisy.Selain itu, aku juga melihat ada mobil orangtuaku, dan mobil Alexa yang ikut terparkir di halaman rumah Daisy.Ternyata, mereka lebih cepat dari yang aku duga.Padahal, aku hanya ingin mengirimi pesan singkat di grup keluarga.[Drew : Keluarga-keluargaku yang terhormat dan tersayang. Aku ingin minta bantuan kalian untuk ke rumah Daisy dan membicarakan tentang pernikahan kami kembali dengan kakaknya. Karena, Daisy si keras kepala ini masih menolak menikah denganku. Um, sebenarnya, dia mau. Tapi malu-malu kucing. Jadi, mohon bantuannya. Aku dalam perjalanan]“Kenapa ramai sekali di rumahku?” Daisy menatap bengong rumahnya sendiri.“Yap. Karena ada keluargaku,” jawabku enteng.Daisy mengerutkan dahinya. “Keluargamu? Apa yang keluargamu lakukan di rumahku?”“Berdongeng.” Aku menatap wajah Daisy yang sudah serius. “Tentu saja ingin membicarakan acara pernikahan kita, sayang.”“Atas izin siapa? Kau selalu bersikap sesuai kehendak
“Drew, lepasin aku…. kemana kau akan membawaku pergi!” Aku terus membawa Daisy sampai masuk ke dalam lift. Daisy terus mengoceh tanpa henti, membuatku tidak tahan untuk tidak melumat bibirnya. Untunglah, hanya ada kami berdua saja di dalam lift ini. Daisy meremas kemejaku dan tidak bisa berkata apapun lagi. Ketika pintu lift terbuka, aku segera melepas ciuman dari bibir Daisy. Wajah perempuan itu bersemu merah karena malu. Hal itu membuatku jadi senyum-senyum sendiri melihatnya. Aku kembali menggenggam tangan Daisy dan membawanya keluar dari lift. “Lipstickmu berantakan.” Aku berbisik di telinga Daisy. Membuat wanita itu cepat-cepat menghapus lipsticknya dan memukul pundakku kencang. “Ini semua ulahmu, bajingan!” “Hahahah.” Aku tertawa kencang. “Habisnya, kau cerewet, sih.” Tibalah kami di depan ruangan Tuan Roy, dan aku mengetuk pintu sebelum masuk. “Maaf, aku ada masalah sedikit di bawah. Maaf membuatmu menunggu,” ujarku sunkan pada Tuan Roy. Tuan Roy tersenyum sambil memp
“Aku ….” Daisy menelan ludah. “Yah, kau benar. Aku lagi melamar pekerjaan di sini. Memangnya kenapa?” Kini Daisy balik berteriak padaku. Membuatku heran dan mengingat pasal satu. Jika wanita salah, maka yang marah tetap wanita. Jika wanita bikin kesalahan, wanita akan tetap menganggap lelaki itu salah. Aku berusaha mengontrol emosiku agar tidak mencium bibirnya karena gemas melihat tingkah Daisy. Lalu aku tertawa kencang. “Hahahah, untuk apa kau bekerja Daisy. Kehidupanmu sudah pasti terjamin jika menikah denganku. Kau lupa? Kau ini akan menikah dengan lelaki tertampan dan terkaya.” “Jangan geer!” Daisy menginjak kakiku. Ouch! “Memangnya aku sudah bilang akan menerimamu?” Daisy melangkah pergi. Tapi aku segera menahan lengannya. “Apa maksudmu dengan bilang begitu? Ada kemungkinan kau tidak menerimaku?” “Mungkin.” Daisy mengangkat bahu. “Please jangan begitu, aku betul-betul mencintaimu Daisy. Kalau kita tidak menikah, aku akan menikah dengan siapa?” “Bukankah kau lelaki pal