Aku membawa Daisy baring di sofa yang ada di dalam ruanganku. Kening Daisy berdarah akibat dorongan kencang Nela yang membuat kepala Daisy terbentur meja.
Aku segera mengambil mangkuk dari pantry dan mengisinya dengan air hangat. Lalu aku mulai mengompres luka kecil Daisy dengan saputanganku.
Daisy pingsan cukup lama. Aku menatap wajahnya dengan saksama. Ternyata Daisy terlihat cantik juga dengan bibirnya yang tipis.
Aku menyentuh wajah Daisy yang selembut sutra. Lalu mendekatkan wajahku. Rasanya aku ingin mencicipi bibir Daisy sekali lagi. Ciuman pertamaku dengan Daisy sangat berkesan.
Tak lama kemudian tiba-tiba saja Daisy membuka mata dengan lebar.
“Apa yang kau lakukan padaku?” Daisy menendang kemaluanku dengan sepatu hak tingginya.
Aku meringis dan terjatuh ke lantai. “Shit!” Aku mengumpat.
“Apa yang kau lakukan padaku?” Tanya dia sekali lagi sambil menyilangkan tangan di dada. Lalu Daisy meraba tubuhnya dan mencari sesuatu yang hilang. Mungkin pakaian dalam atau kancing pakaiannya yang terbuka. Tapi aku tidak sebrengsek itu.
“Aku tidak melakukan apapun.” Aku mengangkat kedua tanganku.
“Kenapa aku ada di sini?” Daisy menatap ke sekitar.
“Kau pingsan.”
“Ha?” Dia tampak terkejut. “Kenapa aku bisa ….” Daisy memijit pelipisnya. Lantas menatapku lagi. “Pukul berapa sekarang?”
“Ng ….” Aku melihat jam tangan. “Lima sore.”
“Astaga.” Daisy buru-buru keluar dari ruanganku. Aku nengikuti langkahnya. Daisy mencari ponsel di dalam tas yang ada di meja kerjanya. Kemudian Daisy menatap ponselnya dan mengumpat. “Shit!”
Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi. Tapi Daisy segera mengambil barang-barangnya dan menuju lift.
“Kau mau pulang?” Tanyaku ketika Daisy sudah memasuki lift.
“Maaf Pak. Aku pikir, ini sudah jam pulangku.” Dan pintu lift tertutup.
Aku menghela napas panjang. Lalu kembali masuk ke dalam ruangan. Aku mengintip Daisy dari jendela kaca. Daisy berlari kecil menghampiri pacarnya, si Vespa Butut yang tengah menunggu di tepi jalan.
Aku tidak tahu apa mereka bicarakan. Karena tidak mungkin bisa terdengar dari tempat aku berada. Tapi yang bisa aku lihat dari sini, sepertinya mereka bertengkar hebat. Daisy menyentuh tangan pacarnya, dan si brengsek menepis tangan Daisy dengan kasar. Lalu vespa butut mendorong tubuh Daisy.
Ini tidak bisa dibiarkan. Aku langsung bergegas menuju lantai bawah.
Pertengkaran mereka masih berlangsung hangat. Beberapa orang yang ada di sekitar sampai berhenti berjalan demi menyaksikan tontonan gratis.
“Aku pingsan, maafkan aku,” ujar Daisy pada pacarnya.
“Jangan bohong, Daisy! Kau tidak pernah menghargai aku ya? Aku sudah menunggumu berjam-jam di sini!” Vespa butut memaki. “Atau kau sedang melakukan sesuatu dengan bosmu ya? Dia menyentuhmu?” Vespa butut menarik Daisy dan memperhatikan seluruh tubuh Daisy. Lantas matanya mengarah pada kancing kemeja tengah Daisy yang terbuka. Bukan aku pelakunya. Mungkin saja lepas sendiri.
“Apa ini!” Vespa butut menarik kemeja Daisy. “Ternyata kau perempuan murahan!”
"Sayang ... aku bersumpah tidak melakukan apapun."
"Terus ini apa?" vespa butut kembali menarik kemeja Daisy. "Kau mau berbohong lagi."
Daisy menggeleng. "Aku mencintaimu. Aku tidak pernah jatuh cinta kepada laki-laki lain, selain kamu." Air mata Daisy meriak membasahi wajah.
"Dasar wanita pembohong. Mulutmu terdengar manis sekali." Vespa butut mendorong Daisy. Sampai tubuh Daisy menabrak dadaku.
"Kau tidak apa-apa?" Aku berusaha memastikan kondisi Daisy.
"Siapa kau?" Vespa Butut melototiku.
“Kau tidak boleh kasar dengan wanita," kataku sambil menata Vespa Butut.
“Jangan ikut campur!” Vespa butut memelototiku. “Daisy tunanganku. Kau siapanya?”
“Aku bosnya.”
“Ooh. Jadi ini bosmu?” Vespa butut menatap Daisy. Wanita itu menundukkan kepala. “Jadi kau tidur dengan dia?” Tuduh vespa butut.
Daisy mendongak. “Tidak. Aku tidak pernah tidur dengan laki-laki lain.”
“Jangan bodoh!”
“Hei … Daisy bilang tidak pernah, ya tidak pernah. Kau jangan menuduh tunanganmu sendiri,” kataku.
Vespa butut tetap menghardik Daisy. “Tetap saja bagiku kau perempuan murahan!”
Aku benar-benar tidak tahan dan langsung meninju vespa butut sampai dia tersungkur ke lantai. “Aku tidak suka melihatmu tidak menghargai wanita.”
“Kau ….” Dia mengerang kesal sembari menyentuh sudut bibirnya yang berdarah.
Aku memperbaiki stelan jasku. “Ini kantorku. Jika kau macam-macam lagi, aku akan menghubungi polisi.”
Vespa butut membuang ludah di lantai sebelum pergi menaiki vespa bututnya lagi tanpa mengajak Daisy. Lalu vespanya mulai melesat meninggalkan kami.
Sedangkan Daisy hendak mengejar pacarnya. “Tonny, tunggu aku!"
Aku menahan lengan Daisy. “Kau tidak pantas untuk disakiti, Daisy.”
“Tapi Pak. Bagaimana nasibku?” Daisy menatapku dengan mata berkaca-kaca.
“Aku akan mengantarmu pulang. Kau tunggu di sini sebentar ya. Aku ambil mobil dulu.” Aku bergegas menuju basement dan mengendarai mobilku keluar dari basement.
Kemudian mobilku berhenti di depan Daisy. Aku keluar terlebih dahulu untuk membukakan pintu mobil untuk Daisy. Wanita itu masuk perlahan. Aku mulai membantu Daisy menggunakan seatbelt. Setelah itu, aku masuk dan mobilku mulai melesat ke jalan raya.
selama di perjalanan hanya ada keheningan yang berpendar. Aku mencoba untuk menyalakan stereo agar tidak terjadi canggung yang begitu pekat. Lagu The Beatles mulai menemani kesunyian di mobil.
“Kau suka The Beatles?” Aku berusaha untuk membuat suasana tidak dingin.
Daisy mengangguk. “Ayahku seorang fans fanatik the beatles. Dulu waktu Ayah masih hidup, dia selalu menyalakan lagu The Bestles di tape sambil nyanyi sendiri,” jelas Daisy.
“Wow, selera ayahmu bagus juga ya.”
Daisy hanya tersenyum.
“Sekarang ayahmu dimana?”
“Sudah lama meninggal. Saat aku tamat kuliah.”
“Oh.” Aku mengatup mulut. “Aku turut berduka cita,” kataku lagi.
“Terima kasih, Pak,” Daisy tersenyum lagi. Hari ini dia berubah menjadi wanita baik. Bukan Daisy si Arogan yang biasa aku kenal. Dan hal ini membuatku jadi canggung.
“Soal pacarmu tadi, aku minta maaf karena sudah memukulnya,” akuku.
Daisy menundukkan kepala dan menutup wajahnya dengan telapak tangan. Lalu dia menangis.
“Daisy ….” Aku berusaha menenangkannya. “Kau tidak perlu menangisi laki-laki bajingan seperti dia.”
“Tetap saja aku tidak bisa meninggalkannya. Dia adalah cinta matiku, Pak. Dia ada ketika ayahku meninggal dan berjanji untuk menikahiku.”
“Dan kau mau?”
“Aku akan menikah dengannya.”
“Apa?”
"Iya, Pak. Mungkin sekitar dua dua atau tiga bulan lagi," kata Daisy dengan yakin.
"Dia bukan laki-laki yang baik, Daisy."
Seketika Daisy langsung menoleh dan menatapku tajam. "Kau tahu apa tentang dia? Aku sudah pacaran dengan Tonny selama bertahun-tahun. Dia bukan laki-laki brengsek. Dia laki-laki baik yang pernah aku temui selain ayahku. Dan kau, adalah laki-laki brengsek yang selalu menyakiti hati wanita."
Aku mengerutkan dahi. Mobilku berhenti di perempatan lampu merah."Aku tidak sebrengsek yang kau pikirkan." Aku berkilah.
"Oh ya? Terus kenapa pacarmu datang ke kantor dan marah-marah? Dia sampai bikin aku pingsan."
"Anggap saja, untuk yang satu itu adalah orang gila."
"Dan masih banyak lagi pacarmu yang menghuhungi kantor untuk menanyakan keberadaanmu."
"Terus kau bilang apa?"
"Kata Emma, aku tidak boleh menghubungkan telepon kantor denganmu jika bukan masalah kerjaan."
"Bagus." Aku menatap ke depan. Seorang Ibu dan anaknya sedang menyebrang di depan kami.
"Kau mau berkencan denganku?" Aku to the point. Aku tidak tahu, angin apa yang telah merasukiku sehingga aku berani mengajak Daisy kencan. Tapi meskipun Daisy bukan tipeku, dia berhasil bikin aku penasaran. Dan aku harus meyakinkan Daisy kalau aku jauh lebih baik dari pacarnya.Daisy mengerutkan dahinya. Dari ekspresinya aku bisa baca kalau dia cukup kaget dengan tawaranku. "Kau mengajakku berkencan?"
"Yup! Aku akan buktikan kalau aku lebih baik dari pacarmu. Bahkan dalam hal ciuman."
Daisy menamparku! Sial! Lagi?
"Kau kurang ajar." Lalu Daisy membuka seatbelt dan juga pintu mobil.
Lampu lalu lintas sudah hijau, tapi Daisy berhasil keluar dari mobil.
"Daisy...." aku meneriaki namanya. Dia terus berjalan melewati kendaraan lain.
Suara klakson sudah berisik di belakangku.
"Sial!" Aku memukul stir dan mulai melaju mobilku kembali. Sedangkan Daisy sudah menghilang dari pandanganku.
“Aku—““Please sayang, jawab iya. Pleaseee….” Lagi dan lagi, hanya Daisy yang bisa membuat aku memohon seperti ini.Daisy tidak lagi menatapku. Sepertinya dia bingung memberi keputusan.“Aku janji tidak akan melukaimu kembali. Aku janjiii….” Aku terus membujuk Daisy.Daisu menarik napas panjang. “Oke!”“Oke? Apa maksud dari jawaban singkatmu itu.” Aku tak sabaran.“Aku akan menikah denganmu.”Jawabam Daisy membuat hatiku lega. Aku sampai berdiri dan lompat kegirangan. “Hei Drew, kalau kau menyakiti hati adikku lagi. Aku tidak akan segan-segan membunuhmu. Mengerti!” Calra mengancamku.Tapi aku tidak takut, karena aku tidak akan melakukan hal itu lagi. “Tidak akan.”***Selesai bicara mengenai pernikahan yang sudah disetujui oleh semua orang.Kami sekeluarga makan siang di rumah Daisy. Carla sudah menyiapkan makanan enak, berhubung dia sangat jago masak.Aku tidak berhenti membawa tangan Daisy ke bawah meja dan terus menggenggam tangannya.“Drew, lepasin tanganku. Gimana caranya aku bis
Aku keluar dari pintu dan berusah mengejar langkah Daisy. Lantas aku menggenggam tangannya agar kami terlihat romantis di depan semua keluarga.“Nah, ini dia calon pengantin kita sudah tiba,” ujar Ibu bersemangat.Melihat raut wajah mereka semua, sudah pasti kalau Kakaknya Daisy mengizinkan kami untuk menikah.“Hai, semuanya….” Aku menyapa hangat.“Kau habis dari mana?” Carla menatap Daisy. “Rambutmu kelihatan berantakan sekali.”Aku merasakan sentuhan tangan Daisy semakin erat. Mungkin dia gugup. “A-aku—““Tadi kami habis dari salon,” tukasku.Alexa langsung tertawa. Aku memelototi si nenek sihir itu.“Salon mana yang membuat rambutmu berantakan, Daisy?” Kreen melipat tangan di dada.“Ya ampun, memangnya ada yang salah dengan rambut Daisy? Kalian tidak lihat ya. Kalau ini adalah model rambut terbaru. Ini sedang trend!” Aku terus mengalihkan pembicaraan.Daisy mencubit perutku.“Lebih baik kalian duduk dulu,” ucap Ayah.Aku membawa Daisy duduk di sebelahku.“Jadi, setelah pembicaraan
TOK TOK TOK!Ciuman kami terlepas. Alexa sudah berada di sebelah mobilku.Sial!Daisy jadi salah tingkah dan kembali duduk di kursinya sambil mengancing semua kemejanya. Sedangkan aku membuka jendela mobil.“Apa?” Aku memelototi Alexa kesal.“Sabar lah, brody! Kenapa kau lakukan itu sekarang, di mobil. Dasar bodoh!” Alexa memukul kepalaku.“Aduh!” Aku meringis. “Kau kenapa sih?”“Kau yang kenapa? Kau lakukan itu di mobil? Kau harus cari kamar hotel yang mewah. Bukan di mobil, dan di depan rumah Daisy pula. Dasar tolol!” Alexa memukul kepalaku lagi.“Heeeei, kau ini!” Aku ingin sekali membalas Alexa. Tapi, dia sudah menjewer telingaku.“Aduh, aduh! Sakit.” Aku meringis lagi.“Alexa, maaf, aku tidak bermaksud—“ Daisy berusaha menjelaskan. Karena sepertinya, dia merasa tidak enak hati. Atau mungkin, dia merasa menyesal telah melakukan hal itu denganku tadi.“Tidak masalah cantik. Aku suka melihat adikku yang mulai ganas! Dan aku suka, kau membalas permainan ganas adikku juga. Yang menjad
Mobil yang aku kendarai akhirnya sampai di depan rumah Daisy.Selain itu, aku juga melihat ada mobil orangtuaku, dan mobil Alexa yang ikut terparkir di halaman rumah Daisy.Ternyata, mereka lebih cepat dari yang aku duga.Padahal, aku hanya ingin mengirimi pesan singkat di grup keluarga.[Drew : Keluarga-keluargaku yang terhormat dan tersayang. Aku ingin minta bantuan kalian untuk ke rumah Daisy dan membicarakan tentang pernikahan kami kembali dengan kakaknya. Karena, Daisy si keras kepala ini masih menolak menikah denganku. Um, sebenarnya, dia mau. Tapi malu-malu kucing. Jadi, mohon bantuannya. Aku dalam perjalanan]“Kenapa ramai sekali di rumahku?” Daisy menatap bengong rumahnya sendiri.“Yap. Karena ada keluargaku,” jawabku enteng.Daisy mengerutkan dahinya. “Keluargamu? Apa yang keluargamu lakukan di rumahku?”“Berdongeng.” Aku menatap wajah Daisy yang sudah serius. “Tentu saja ingin membicarakan acara pernikahan kita, sayang.”“Atas izin siapa? Kau selalu bersikap sesuai kehendak
“Drew, lepasin aku…. kemana kau akan membawaku pergi!” Aku terus membawa Daisy sampai masuk ke dalam lift. Daisy terus mengoceh tanpa henti, membuatku tidak tahan untuk tidak melumat bibirnya. Untunglah, hanya ada kami berdua saja di dalam lift ini. Daisy meremas kemejaku dan tidak bisa berkata apapun lagi. Ketika pintu lift terbuka, aku segera melepas ciuman dari bibir Daisy. Wajah perempuan itu bersemu merah karena malu. Hal itu membuatku jadi senyum-senyum sendiri melihatnya. Aku kembali menggenggam tangan Daisy dan membawanya keluar dari lift. “Lipstickmu berantakan.” Aku berbisik di telinga Daisy. Membuat wanita itu cepat-cepat menghapus lipsticknya dan memukul pundakku kencang. “Ini semua ulahmu, bajingan!” “Hahahah.” Aku tertawa kencang. “Habisnya, kau cerewet, sih.” Tibalah kami di depan ruangan Tuan Roy, dan aku mengetuk pintu sebelum masuk. “Maaf, aku ada masalah sedikit di bawah. Maaf membuatmu menunggu,” ujarku sunkan pada Tuan Roy. Tuan Roy tersenyum sambil memp
“Aku ….” Daisy menelan ludah. “Yah, kau benar. Aku lagi melamar pekerjaan di sini. Memangnya kenapa?” Kini Daisy balik berteriak padaku. Membuatku heran dan mengingat pasal satu. Jika wanita salah, maka yang marah tetap wanita. Jika wanita bikin kesalahan, wanita akan tetap menganggap lelaki itu salah. Aku berusaha mengontrol emosiku agar tidak mencium bibirnya karena gemas melihat tingkah Daisy. Lalu aku tertawa kencang. “Hahahah, untuk apa kau bekerja Daisy. Kehidupanmu sudah pasti terjamin jika menikah denganku. Kau lupa? Kau ini akan menikah dengan lelaki tertampan dan terkaya.” “Jangan geer!” Daisy menginjak kakiku. Ouch! “Memangnya aku sudah bilang akan menerimamu?” Daisy melangkah pergi. Tapi aku segera menahan lengannya. “Apa maksudmu dengan bilang begitu? Ada kemungkinan kau tidak menerimaku?” “Mungkin.” Daisy mengangkat bahu. “Please jangan begitu, aku betul-betul mencintaimu Daisy. Kalau kita tidak menikah, aku akan menikah dengan siapa?” “Bukankah kau lelaki pal