Hari ini adalah hari Minggu yang menyebalkan. Alexa datang menggedor-gedor kamarku dan memaksaku untuk segera bangkit dari kasur pukul sebelas siang. Biasanya aku selalu bangun pukul dua siang di hari Minggu.
Carie naik ke atas punggungku seperti kuda dan berteriak, “Paman Drew ayo bangun!”
Alexa dan anaknya adalah paket sempurna yang berhasil bikin aku tidak nyaman hidup di dunia.
“Ada apa sih?” Aku membentak Alexa, bukan Carie. Sambil menelungkupkan tubuh dan menenggelamkan wajahku di bantal.
“Please temani aku dan Carie ke mall. Hari ini aku harus membelikan kado untuk Andreas. Postur tubuhmu dan suamiku sama persis.” Alexa mengeluarkan suara memohon. Dan terdengar sangat menyebalkan.
“Ini hari Minggu, Lex. Aku benci diganggu di hari Minggu sebelum pukul dua siang.” Aku menggerutu.
“Kau bos yang pemalas, Drew.” Alexa mengajak anaknya untuk menggelitik telapak kakiku. “Ayolah Drew, sekali ini saja. Dua hari lagi suamiku ulang tahun. Besok kau pasti tidak bisa menemaniku karena sibuk kerja.”
“Iya Paman Drew, temani aku main Funzone!” Seru Carie.
Aku membalikkan badanku jadi terlentang. Aku menatap Ibu dan anak yang sedang menatapku balik dengan bola mata berbinar seolah sedang memohon.
“Janji cuma sebentar?”
Mereka mengangguk. “Janji!” Tentu saja menyunggingkan senyuman manis bak bidadari.
Butuh waktu tiga puluh menit untuk aku bersiap-siap. Dan Alexa sudah mengomeliku kembali karena katanya aku mandi begitu lama. Well, aku wajib menggunakan sabun sebanyak empat kali setiap mandi. Aku harus terlihat sempurna, meskipun hanya mengenakan kaos lengan pendek dan celana pendek berwarna khaki.
Selama di mall, aku dijadikan sebagai tempat penitipan barang belanjaan mereka. Alexa dan Carie mencari baju-baju untuk mereka dulu sebelum mencari kado suaminya.
“Kau bilang cuma sebentar,” aku mulai mengeluh kesal.
“Aku butuh berbelanja juga, Drew.” Alexa mengelak.
“Kau dan anakmu kan, sudah punya banyak pakaian.”
“Aku dan Carie nggak mungkin pakai baju itu-itu saja.”
“Memangnya kau pakai baju berapa kali sih?”
“Sekali pakai.” Alexa memutar bola mata. “Dua kali pakai, heheh.”
Aku geleng-geleng kepala. Lantas kami pergi lagi ke toko pakaian khusus anak-anak. Aku tidak sengaja bertemu dengan Daisy dan kakanya yang sedang hamil.
“Pak Drew?” Dia membelalakkan mata.
“Hai ….”
Mata Daisy tertuju pada Carie yang berada tepat di sebelahku.
“Anakmu yah?” Tanya Daisy polos. Padahal jelas-jelas dia tahu kalau aku belum menikah.
“Bukan, ini keponakanku,” jawabku.
“Hai Aunty!” Carie menyapa Daisy dengan senyuman lebar. Carie memang anak yang ramah.
Tak lama kemudian Alexa datang bersama tumpukan pakaian yang akan dia bayar ke kasir.
“Hai!” Alexa menatap Daisy. “Kamu bukannya adik Clara?” Tebak Alexa.
Daisy mengangguk.
“Drew ….” Alexa menatapku. “Ini adiknya Clara yang ingin aku kenalkan padamu.”
“Aku sudah kenal,” kataku singkat.
Alexa tampak terkejut. “Wah, bagus! Kalau begitu perjodohan ini akan lebih mudah.”
“Apa?” Aku terbelalak menatap si cerewet. “Perjodohan? Dengan wanita ini?” Lalu menunjuk Daisy. “Kau gila.”
“Kenapa aku gila? Daisy ini wanita yang cantik, baik, dan … oh ya! Dia juga bekerja di perusahaan kita.”
“Well, dia sekretarisku.”
“Oh my god!” Alexa menutup mulutnya tak percaya. “Dunia memang hanya selebar daun kelor.”
Aku memutar bola mata jengah. Sesungguhnya sudah malu melihat tingkah Alexa di depan Daisy dan kakaknya.
“Oke baiklah, Lex. Aku tidak punya waktu berlama-lama di sini. Ayo kita pergi!” Aku menarik Alexa secara paksa. Si cerewet dan Carie melambaikan tangan pada Daisy.
“Sampai ketemu lagi, Daisy.” Setelah berhasil menjauh dari Daisy dan kakaknya, Alexa melepaskan sentuhanku dan mencubit pinggulku. “Kau ini!”
“Aw!” Aku meringis kesakitan. Dan Carie tertawa.
“Daisy itu wanita yang baik,” lanjut Alexa lagi.
“Darimana kau tahu dia baik kalau kau saja baru pertama kali bertemu dengannya?”
“Aku punya insting.”
“Insting kepalamu.” Aku mencibir. “Daisy dan kakaknya, Clara pernah menamparku. Ng … kakaknya hampir pernah menamparku.” Aku meralat kalimat terakhir. “Mereka menuduhku menghamili saudara perempuan mereka.”
“Apa?” Alexa berteriak kencang setelah kami sampai di depan kasir. Alexa menaruh baju-bajunya di meja kasir dan menatapku sambil berkacak pinggang. “Jadi perempuan yang berdiri di samping Daisy tadi adalah perempuan yang kau hamili?”
Orang-orang di sekitar kami jadi memandangku.
“Bukan!” Aku ingin sekali menyumpel mulut Alexa. “Evans yang menghamili kakaknya. Selama ini Evans menggunakan identitasku untuk membuat dia terlihat kaya.”
“Evans?” Alis Alexa berkerut. “Sepupu kita?”
“Yup.”
Alexa menghela napas panjang. “Dia tidak pernah berubah. Dasar buronan gila!”
“Ya, bagus. Evans memang buronan gila, bukan adikmu yang gila.”
****
Hari Senin. Hari menyebalkan bagi mereka yang sudah malas-malasan di hari Minggu.
Kemarin, selain membelikan kado untuk suaminya. Alexa juga membelikanku stelan jas berwarna abu-abu yang sudah aku pakai hari ini.
Haru Seninku di awali dengan rapat bersama Daisy dan para Tim di perusahaanku untuk membahas tentang produk baru yang sebentar lagi akan launching di pasaran.
Daisy membantuku menjelaskan materi. Dia terlihat sangat cerdas, gesit, dan … mengapa tiba-tiba dia terlihat sangat cantik berdiri di depan seperti ini.
“Bagaimana Pak?” Daisy menatapku, tapi aku tidak sadar sampai dia memanggilku sekali lagi. “Pak Drew ….”
“Ya?” Refleks aku kaget. Aku langsung merubah posisi duduk dan juga memperbaiki jasku.
“Apa ada tambahan yang ingin Bapak sampaikan?” Tanya Daisy.
“Saya rasa penjelasan Daisy sudah lebih dari cukup untuk kalian pahami,” kataku pada rekan-rekan di hadapanku.
Tak lama kemudian pintu di ruangan rapat terbuka lebar hingga terpantul ke dinding sampai menimbulkan suara dobrakan yang cukup keras.
Nela muncul di depan pintu dengan gurat wajah marah. Ia melotot saat menatapku.
“Drew, aku ingin bicara padamu!”
Semua orang yang ada di ruangan rapat langsung menatapku. Benar-benar membuatku malu.
“Daisy, tolong usir dia!” Aku memberi perintah pada Daisy.
“Baik Pak.” Daisy menurut. Dan langsung menarik Nela pergi.
“Sebentar ….” Nela menepis sentuhan Daisy. “Kau perempuan yang ada di restaurant waktu itu kan? Drew yang membayar makananmu.” Nela berkacak pinggang. “Ada hubungan apa kau dengan Drew?” Nela menoleh ke arahku. “Jadi dia pacar barumu? Dia yang membuatmu sampai membuangku begitu saja?”
Aku memijit pelipis yang mulai terasa pusing. Kalau aku tahu si montok Nela ini suka bikin ulah, dari awal aku tidak akan mau berkencan dengannya.
Nela kembali menatap Daisy. “Ternyata kau perempuan yang tidak tahu diri ya ….” Nela langsung menarik rambut Daisy.
Lalu terjadilah keributan di ruang rapat ini. Timku yang lain berusaha untuk menghentikan perkelahian mereka. Tapi Nela terlalu ganas dan tidak bisa dihentikan.
Aku menghubungi satpam.
“Dasar wanita jalang!” Nela mendorong Daisy kuat sampai kepalanya terbentur ke meja.
“Nela!” Aku berseru kencang. Menarik tangan Nela kuat-kuat dan mendorongnya sampai menabrak pintu. Lalu satpam datang dan membawa Nela pergi.
“Awas kau wanita jalang!” Nela terus meracau sampai tubuhnya menghilang dari pandangan kami.
Aku menghampiri Daisy. “Kau tidak apa-apa?”
Daisy mengangguk, dari wajahnya sudah terlihat lemah. “Sakit.” Dia menyentuh keningnya.
Aku lihat ada darah di keningnya. Pasti dorongan Nela begitu kuat.
“Kau bisa bangkit?”
Daisy mengangguk lemah. Aku berusaha menuntun Daisy untuk bangkit. Tapi itu tak lama. Karena setelah itu, Daisy tiba-tiba jatuh pingsan ke dalam pelukanku.
“Daisy …” aku memukul kecil kedua pipinya. Dia tidak beraksi apa-apa.
Akhirnya aku menggendong Daisy dan membawanya menuju ruanganku.
Aku membawa Daisy baring di sofa yang ada di dalam ruanganku. Kening Daisy berdarah akibat dorongan kencang Nela yang membuat kepala Daisy terbentur meja.Aku segera mengambil mangkuk dari pantry dan mengisinya dengan air hangat. Lalu aku mulai mengompres luka kecil Daisy dengan saputanganku.Daisy pingsan cukup lama. Aku menatap wajahnya dengan saksama. Ternyata Daisy terlihat cantik juga dengan bibirnya yang tipis.Aku menyentuh wajah Daisy yang selembut sutra. Lalu mendekatkan wajahku. Rasanya aku ingin mencicipi bibir Daisy sekali lagi. Ciuman pertamaku dengan Daisy sangat berkesan.Tak lama kemudian tiba-tiba saja Daisy membuka mata dengan lebar.“Apa yang kau lakukan padaku?” Daisy menendang kemaluanku dengan sepatu hak tingginya.
Aku melihat Angelina duduk di kursi Daisy ketika aku melangkah keluar dari lift. Angelina adalah sekretaris manager operasional di lantai lima. “Pagi, Pak Drew.” Perempuan itu berdiri dan sedikit menunduk untuk menyapaku. “Pagi,” jawabku ragu. Lalu menatap ke sekeliling. “Mana Daisy?” “Hari ini Daisy nggak bisa hadir.” Angelina menyodorkan sebuah amplop putih. “Ini surat sakitnya,” lanjut Angelina. Aku mengernyit sambil membuka isi amplop tersebut. Ternyata isinya surat keterangan dari Dokter yang menyimpulkan kalau Daisy sakit lambung. Aku menyimpan kembali surat Dokter tersebut di amplop. Aku menghela napas berat sebelum menatap Angelina. “Kau yang menggantikan Daisy?” “Untuk sementara waktu, iya Pak
“Kenapa kau memukulku?” Evans terkulai lemas di lantai ketika aku berhenti melayangkan pukulan di wajahnya.Evans terbatuk saat darah keluar dari mulut dan membasahi bibirnya. Sedangkan orang-orang di sekitar kami berhenti beraktivitas. Semua mata memandang ke arahku. Sebelum security benar-benar datang, aku langsung menarik kera baju Evans dan membawanya bangkit. Aku menarik Evans masuk ke dalam mobilku.“Ah, sial!” Evans menatap wajahnya di spion depan mobilku. Lalu menatapku. “Apa salahku, Drew?”“Kau masih bertanya?” Aku mengangkat kepalan tanganku lagi tinggi-tinggi. Evans langsung melindungi wajahnya dengan lengan.“Oke, sorry, aku minta maaf. Aku tahu, kalau aku salah telah menggunakan identitasmu!” Akhirny
“Aku akan mempertemukan kau dengan Evans." Daisy mendongak, ketika aku melontarkan kalima yang sejak dulu ia tunggu-tunggu. “Sungguh?” Daisy berhenti mengetik di komputer. Aku mengangguk. “Yap. Sore ini kalau kau mau?” “Ya, aku mau. Aku akan menyelesaikan pekerjaan ini secepat mungkin.” Daisy tampak bersemangat. “Tapi, sebelum ke aku mempertemukan kau dengan Evans. Kita ke rumah sakit dulu!" Daisy menaikkan kedua alisnya. “Siapa yang sakit?" “Kau.” “Aku?” Daisy menunjuk dirinya sendiri. “Aku tidak sakit apa-apa.” “Memar di tubuhmu, harus segera diobati.”
Pukul dua belas siang, aku menyelesaikan semua pekerjaanku dan keluar dari ruangan. Aku melihat meja kerja Daisy sudah kosong. Berkas-berkas yang tadinya berantakan, kini sudah ditata rapi di atas meja. Mungkin Daisy sudah pergi makan siang, pikirku. Dan sepertinya aku sedang tidak mood untuk makan siang. Jadi, aku memilih untuk menikmati segelas kopi di cafe seberang kantor—yang baru saja buka seminggu lalu. Betapa terkejutnya aku, ketika sudah tiba di cafe dan melihat Daisy dan Gideon duduk berdua di salah satu tempat makan yang berada di sudut jendela. Aku melihat mereka tertawa sambil menceritakan sesuatu. Aku berusaha mengabaikan mereka, lalu memesan segelas Americano di meja barista. Sambil menunggu pesananku selesai, aku curi-curi pandang ke arah Daisy dan Gideon. Cerita mereka sepertinya semakin seru. Padahal, mereka baru pert
Aku mendongak, ketika Daisy datang membawakan kotak bekal di atas meja. “Apa ini?” “Buka saja, Pak,” kata Daisy penuh semangat. “Buatanku sendiri, di jamin higenis.” Aku mengerutkan dahi. Lalu membuka kotak bekal tersebut. “Taco? Buatanmu sendiri?” “Yup! Bapak harus cobain. Aku sengaja masak ini, agar Bapak sarapan pagi dengan teratur,” katanya. Berhasil menyentuh hatiku. Aku menatap taco cukup lama. “Tidak ada racunnya, kan?” Daisy cemberut. “Aku tidak sekejam itu.” “Baiklah.” Aku langsung mencoba taco pertama buatan Daisy. Aku mengunyah perlahan sambil meresapi rasanya yang nikmat. Aku menatap Daisy sejenak—yang sedang menunggu respons dar
Seharian bekerja membuat kepalaku rasanya ingin pecah. Aku butuh hiburan dan mangsa baru. Malam ini, aku pergi ke kelab malam sambil menikmati sebotol wiski. Aku duduk di depan bar, sesekali menatap ke lantai dansa dan mencari perempuan cantik yang bisa aku ajak tidur malam ini. “Hai ….” Salah seorang perempuan berambut merah menghampiriku. Matanya agak sipit, bibirnya sedikit tebal, dan berbadan sexy. “Maukah kau berdansa denganku?” Perempuan itu menarik dasiku, sambil tersenyum centil. “Namamu?” Tanyaku. “Eva.” Eva berbisik di telingaku. “Aku bisa meluangkan waktu untukmu.” Aku memperhatikan tubuhnya lagi dari atas sampai ujung kaki. Aku menyukai kaki Eva yang jenjang. Tapi, entah mengapa tiba-tiba saja sosok Daisy terlintas di otakku.
Ponselku berdering dan nama Rehan berkelap-kelip di layar. “Ya?” Sahutku setelah panggilan kami tersambung. “Pak, saya menemukan keberadaan Vespa Butut di Hotel Calton,” ujar Rehan, setelah aku menyuruh Rehan untuk memat-matai Vespa Butut beberapa hari ini. Aku ingin, Daisy segera tahu seperti apa laki-laki brengsek yang coba Daisy pertahankan selama ini. Aku mengernyit. Hotel Calton adalah hotel murahan yang dikenal sebagai tempat para laki-laki hidung belang yang kere. “Kau yakin?” Aku memastikan. “Aku yakin, Pak. Nomor kamarnya 202.” “Oke.” Aku memutuskan sambungan sepihak dan keluar dari ruangan. Daisy masih sibuk dengan pekerjaannya, padahal waktu sudah menunjukkan jam makan siang.