Aku melihat Angelina duduk di kursi Daisy ketika aku melangkah keluar dari lift. Angelina adalah sekretaris manager operasional di lantai lima.
“Pagi, Pak Drew.” Perempuan itu berdiri dan sedikit menunduk untuk menyapaku.
“Pagi,” jawabku ragu. Lalu menatap ke sekeliling. “Mana Daisy?”
“Hari ini Daisy nggak bisa hadir.” Angelina menyodorkan sebuah amplop putih. “Ini surat sakitnya,” lanjut Angelina.
Aku mengernyit sambil membuka isi amplop tersebut. Ternyata isinya surat keterangan dari Dokter yang menyimpulkan kalau Daisy sakit lambung.
Aku menyimpan kembali surat Dokter tersebut di amplop. Aku menghela napas berat sebelum menatap Angelina. “Kau yang menggantikan Daisy?”
“Untuk sementara waktu, iya Pak.”
“Terus bosmu?”
“Pak Roy sedang dinas di luar kota.”
“Oh, baiklah.” Hanya itu responsku. Setelahnya, aku masuk ke dalam ruangan.
Aku duduk di kursi sembari menyandarkan punggung. Aku memutar kursiku dan menatap gedung-gedung pencakar langit dari jendela kaca. Kemudian aku mengambil ponsel dari saku celana dan mencoba untuk menghubungi Daisy.
Aku penasaran, mengapa dia tidak masuk kerja hari ini. Apakah dia membenciku karena kejadian kemarin?
Aku yakin Daisy tidak selemah itu, hanya karena kalimat sarkasme yang aku lontarkan padanya.
Lagian aku benar, apa hebatnya sih pacar Daisy? Tidak ada apa-apanya dibandingkan aku.
Ngomong-ngomong tentang teleponku, sial! Nomor Daisy tidak aktif. Hal itu membuatku jadi cemas.
Setiap menit yang aku lewati untuk bekerja hanya sia-sia. Aku jadi kepikiran tentang Daisy. Wajahnya terus terlintas di otakku.
Ah, aku tidak bisa diam di sini!
Aku kembali menyimpan ponsel di saku celana, dan beranjak dari kursi.
Baru saja aku membuka pintu ruanganku, si cerewet Alexa sudah muncul dengan suara melengking.
“Drew!”
“Aku sibuk.” Aku melewati tubuh Alexa. Tapi si cerewet menarik tanganku.
“Tunggu dulu, ini penting.”
“Ada apa sih? Kenapa kau selalu menggangguku?”
“Aku minta tolong agar kau mencari buronan ini,” kata Alexa to the point.
Aku mengerutkan dahi. “Buronan? Lapor saja ke polisi, kenapa lapor denganku?”
“Lambat!” Alexa menggerutu kesal. “Kau kan, punya mata-mata hebat. Aku percaya adikku ini bisa segalanya.” Lalu Alexa menampilkan raut wajah sedih agar aku kasihan padanya. “Tolonglah, laki-laki ini menipuku. Dia bilang, dia menjual tas branded yang aku incar sejak lama karena stock di sini sudah habis. Dan setelah aku transfer duitnya. Dia melarikan diri, Drew.” Alexa menangis di atas pundakku.
Aku berusaha mendorong kepalanya menjauh karena Angelina memperhatikanku. Si cerewet berhasil bikin aku malu!
“Aku sudah mencari tahu orangnya, dan aku menemukan wajah dia di cctv rumahku.”
“Darimana kau tahu, kalau itu orangnya?”
“Kami pernah bertemu sekali ketika dia menawarkan tas branded itu. Ternyata dia mengintai rumahku, Drew.” Alexa memegang tanganku. “Kalau Andreas tahu, matilah aku.”
“Kasih tahu sajalah suamimu.”
“Kau gila ya!”
“Bukan aku yang gila, tapi kau.”
Alexa semakin merengek di depanku. Dia menggoncang-goncang tubuhku sambil memohon. “Please, tolong aku. Hanya kau satu-satunya harapanku, Drew.”
“Huft, kau selalu bikin aku susah saja.” Aku memutar bola mata jengah. Si cerewet menyebalkan. Dia selalu seperti ini, setiap kali ada maunya.
“Mana coba, aku lihat wajah buronan kamu itu,” kataku.
Alexa buru-buru mengeluarkan ponsel dari tas dan mulai membuka galery. Lalu dia memperlihatkan hasil jepretannya.
“Ini ….”
Aku mengernyit ketika memperhatikan wajah familier buronan yang tertangkap cctv di rumah Alexa. Aku coba menge-zoom fotonya sampai benar-benar yakin kalau tebakan aku tidak salah.
Laki-laki—yang kata Alexa—buronan, ternyata dia adalah si vespa butut, pacar Daisy. Luar biasa!
Rupa-rupanya, pacar Daisy ini penipu. Tapi ngomong-ngomong, apakah Daisy tahu kalau pacarnya seorang penipu?
“Kirim fotonya ke ponselku sekarang. Aku akan pergi mencari buronan yang kau bilang itu,” kataku sambil melangkah cepat melewati tubuh Alexa.
Aku menekan lift dan masuk ke dalam. “Angelina, kalau ada yang mencariku. Bilang saja aku sibuk. Dan, tolong batalkan semua janji temuku hari ini.” Aku menatap Angelina.
“Baik Pak,” jawab Angelina. Kemudian pintu lift tertutup.
***
Siang ini aku mengunjungi rumah Daisy. Tapi tidak ada seorang pun di dalam. Aku sudah mengetuk, sampai berteriak. Tetap saja tidak ada yang membukakan pintu untukku.
Para tetangga bilang, kalau mereka semua sudah pindah rumah. Dan tetangga juga tidak tahu, di mana alamat rumah baru Daisy dan kakaknya.
Ah, sialan! Aku mengumpat kesal setelah kembali masuk ke dalam mobil. Aku coba untuk menghubungi Daisy kembali, dan hasilnya nihil.
Aku menyandarkan kepala di stir kemudi sambil memikirkan sesuatu.
Bukankah ini aneh? Pertama, Kakak Daisy—Clara—datang ke kantorku dan marah-marah tentang Evans. Kedua, Daisy juga datang ke rumahku dan marah-marah tentang Evans. Ketiga, Daisy melamar pekerjaan di perusahaanku. Keempat, Alexa memakai jasa catering Clara. Seolah-olah Clara mencari cara agar masuk ke keluargaku yang lain. Dan keempat, si vespa butut, pacar Daisy telah menipu Alexa dan membawa kabur uangnya.
Ini masuk akal. Mereka semua berencana dan sengaja masuk ke dalam keluargaku karena keluargaku kaya raya. Dan setelah vespa butut berhasil mengambil keuntungan yang banyak dari Alexa, mereka semua langsung kabur.
Astaga, hal ini membuatku pusing. Atau jangan-jangan, Evans juga masuk ke dalam skenario mereka? Sialan!
Akhirnya hari ini, aku pulang dengan tangan kosong.
***
Aku berdiri di balkon kamarku sambil menatap langit yang tampak mendung malam ini. Bulan kesepian, tanpa ditemani oleh bintang-bingang. Aku menimbang-nimbang ponselku sambil menunggu kabar dari Rehan.
Rehan adalah kaki tanganku. Sudah hampir tiga tahun, dia bekerja denganku sebagai mata-mata. Biasanya, Rehan memata-matai klienku, agar aku tahu rencana apa yang akan klienku lakukan. Untuk kali ini, Rehan aku tugaskan untuk memata-matai si Vespa Butut dan juga Evans. Aku sudah lama tidak berkomunikasi dengan Evans. Dan rumah lamanya juga sudah tidak berpenghuni. Terakhir kali, aku dengar kabar Evans sekitar satu tahun lalu, saat Ayahnya meninggal dan ibunya pindah ke kota lain untuk menikah.
Bahkan, aku juga tidak tahu apa pekerjaan Evans sekarang. Yang aku tahu, Evans sering menggunakan namaku untuk menyamar di depan para wanita.
Lima menit kemudian, ponselku berdering. Dan Rehan menghubungiku.
"Bagaimana?" Tanyaku to the point setelah kami tersambung.
"Pak, aku sulit menemukan jejak Tonny. Tapi, aku berhasil menemukan Evans. Kabarnya, Evans sekarang bekerja sebagai montir si showroom dekat kontrakannya yang baru. Sekarang, Evans sedang minum-minum di bar sekitar sini," jelas Rehan panjang lebar.
"Dia mabuk?" Tanyaku.
"Nyaris."
"Kalau begitu, kau harus berusaha untuk menahannya. Segera kirim lokasinya, aku akan ke sana sekarang juga."
"Baik, Pak."
Sambungan terputus. Aku buru-buru mengambil jaket dari lemari dan kunci mobil di atas nakas. Aku langsung menuju mobil dan melaju mobilku dengan kecepatan tinggi menuju tempat Evans.
Selama di perjalanan, suara klakson mobilku terus berbunyi nyaring untuk menyingkirkan mobil-mobil yang menghalangi jalanku. Tidak sampai satu jam, aku sudah sampai di bar tempat Evans mabuk.
Aku memakirkan mobil di pelataran bar. Dan segera masuk ke dalam bar.
Evans sedang duduk di depan bartender sambil menegak gelas minumannya. Sesekali dia menghisap rokok, dan mengepulkan asap rokoknya ke udara.
"Evans!" Seruku.
Evans berhasil menoleh. Ketika Evans tahu, kalau aku ada di sana bersamanya. Evans langsung menyulut rokoknya di asbak dan beranjak dari kursi.
Evans sialan itu ingin berlari menjauh, tapi aku segera mengejar dan memukul wajahnya sampai dia tersungkur ke lantai.
"Dasar bajingan!" Aku menindih tubuh Evans, dan memukul laki-laki itu berulang kali.
“Kenapa kau memukulku?” Evans terkulai lemas di lantai ketika aku berhenti melayangkan pukulan di wajahnya.Evans terbatuk saat darah keluar dari mulut dan membasahi bibirnya. Sedangkan orang-orang di sekitar kami berhenti beraktivitas. Semua mata memandang ke arahku. Sebelum security benar-benar datang, aku langsung menarik kera baju Evans dan membawanya bangkit. Aku menarik Evans masuk ke dalam mobilku.“Ah, sial!” Evans menatap wajahnya di spion depan mobilku. Lalu menatapku. “Apa salahku, Drew?”“Kau masih bertanya?” Aku mengangkat kepalan tanganku lagi tinggi-tinggi. Evans langsung melindungi wajahnya dengan lengan.“Oke, sorry, aku minta maaf. Aku tahu, kalau aku salah telah menggunakan identitasmu!” Akhirny
“Aku akan mempertemukan kau dengan Evans." Daisy mendongak, ketika aku melontarkan kalima yang sejak dulu ia tunggu-tunggu. “Sungguh?” Daisy berhenti mengetik di komputer. Aku mengangguk. “Yap. Sore ini kalau kau mau?” “Ya, aku mau. Aku akan menyelesaikan pekerjaan ini secepat mungkin.” Daisy tampak bersemangat. “Tapi, sebelum ke aku mempertemukan kau dengan Evans. Kita ke rumah sakit dulu!" Daisy menaikkan kedua alisnya. “Siapa yang sakit?" “Kau.” “Aku?” Daisy menunjuk dirinya sendiri. “Aku tidak sakit apa-apa.” “Memar di tubuhmu, harus segera diobati.”
Pukul dua belas siang, aku menyelesaikan semua pekerjaanku dan keluar dari ruangan. Aku melihat meja kerja Daisy sudah kosong. Berkas-berkas yang tadinya berantakan, kini sudah ditata rapi di atas meja. Mungkin Daisy sudah pergi makan siang, pikirku. Dan sepertinya aku sedang tidak mood untuk makan siang. Jadi, aku memilih untuk menikmati segelas kopi di cafe seberang kantor—yang baru saja buka seminggu lalu. Betapa terkejutnya aku, ketika sudah tiba di cafe dan melihat Daisy dan Gideon duduk berdua di salah satu tempat makan yang berada di sudut jendela. Aku melihat mereka tertawa sambil menceritakan sesuatu. Aku berusaha mengabaikan mereka, lalu memesan segelas Americano di meja barista. Sambil menunggu pesananku selesai, aku curi-curi pandang ke arah Daisy dan Gideon. Cerita mereka sepertinya semakin seru. Padahal, mereka baru pert
Aku mendongak, ketika Daisy datang membawakan kotak bekal di atas meja. “Apa ini?” “Buka saja, Pak,” kata Daisy penuh semangat. “Buatanku sendiri, di jamin higenis.” Aku mengerutkan dahi. Lalu membuka kotak bekal tersebut. “Taco? Buatanmu sendiri?” “Yup! Bapak harus cobain. Aku sengaja masak ini, agar Bapak sarapan pagi dengan teratur,” katanya. Berhasil menyentuh hatiku. Aku menatap taco cukup lama. “Tidak ada racunnya, kan?” Daisy cemberut. “Aku tidak sekejam itu.” “Baiklah.” Aku langsung mencoba taco pertama buatan Daisy. Aku mengunyah perlahan sambil meresapi rasanya yang nikmat. Aku menatap Daisy sejenak—yang sedang menunggu respons dar
Seharian bekerja membuat kepalaku rasanya ingin pecah. Aku butuh hiburan dan mangsa baru. Malam ini, aku pergi ke kelab malam sambil menikmati sebotol wiski. Aku duduk di depan bar, sesekali menatap ke lantai dansa dan mencari perempuan cantik yang bisa aku ajak tidur malam ini. “Hai ….” Salah seorang perempuan berambut merah menghampiriku. Matanya agak sipit, bibirnya sedikit tebal, dan berbadan sexy. “Maukah kau berdansa denganku?” Perempuan itu menarik dasiku, sambil tersenyum centil. “Namamu?” Tanyaku. “Eva.” Eva berbisik di telingaku. “Aku bisa meluangkan waktu untukmu.” Aku memperhatikan tubuhnya lagi dari atas sampai ujung kaki. Aku menyukai kaki Eva yang jenjang. Tapi, entah mengapa tiba-tiba saja sosok Daisy terlintas di otakku.
Ponselku berdering dan nama Rehan berkelap-kelip di layar. “Ya?” Sahutku setelah panggilan kami tersambung. “Pak, saya menemukan keberadaan Vespa Butut di Hotel Calton,” ujar Rehan, setelah aku menyuruh Rehan untuk memat-matai Vespa Butut beberapa hari ini. Aku ingin, Daisy segera tahu seperti apa laki-laki brengsek yang coba Daisy pertahankan selama ini. Aku mengernyit. Hotel Calton adalah hotel murahan yang dikenal sebagai tempat para laki-laki hidung belang yang kere. “Kau yakin?” Aku memastikan. “Aku yakin, Pak. Nomor kamarnya 202.” “Oke.” Aku memutuskan sambungan sepihak dan keluar dari ruangan. Daisy masih sibuk dengan pekerjaannya, padahal waktu sudah menunjukkan jam makan siang.
“Daisy, tunggu … kau mau kemana?” Aku berusaha menarik lengan Daisy, saat perempuan itu ingin menyebrangi jalan dan menunggu di halte bus.“Aku mau pulang, Pak.” Daisy menarik tangannya dari sentuhanku.“Kita pulang bersama.”“Aku bisa pulang sendiri.”“Okey, aku minta maaf.” Akhirnya, aku mengakui kesalahanku.Daisy berhenti memberontak dan menghadapku. “Kenapa kau lakukan ini semua, Pak?”“Aku peduli padamu.”“Sejak kapan, kau peduli dengan karyawanmu? Bukankah, dari dulu kau selalu mengincar karyawan untuk kau ajak berkencan? Maaf Pak, aku tidak tertarik.”
Aku puas, karena akhirnya Tonny di penjara, dengan bukti-bukti yang kuat kalau dia memang menggelapkan dana kakakku.Tapi sepertinya, berbeda dengan Daisy. Dia tampak sangat murung selama bekerja.“Ehem ….” Aku berdehem sembaru berjalan menghampiri meja Daisy.Daisy langsung mendongak. Terlihat seperti kaget saat mengetahui keberadaanku ada di dekatnya.“Pak ….” “Ya. Apa yang membuatmu termenung?”“Aku ….” Daisy gagu. “Aku tidak menung. Aku hanya, sedang mengecek schedulemu.” Aku mencondongkan kepala ke arah monitor Daisy. Dan dia tidak membuka folder apapun di komputernya.“B