Share

Chapter 8

Aku melihat Angelina duduk di kursi Daisy ketika aku melangkah keluar dari lift. Angelina adalah sekretaris manager operasional di lantai lima.

“Pagi, Pak Drew.” Perempuan itu berdiri dan sedikit menunduk untuk menyapaku.

“Pagi,” jawabku ragu. Lalu menatap ke sekeliling. “Mana Daisy?”

“Hari ini Daisy nggak bisa hadir.” Angelina menyodorkan sebuah amplop putih. “Ini surat sakitnya,” lanjut Angelina.

Aku mengernyit sambil membuka isi amplop tersebut. Ternyata isinya surat keterangan dari Dokter yang menyimpulkan kalau Daisy sakit lambung.

Aku menyimpan kembali surat Dokter tersebut di amplop. Aku menghela napas berat sebelum menatap Angelina. “Kau yang menggantikan Daisy?”

“Untuk sementara waktu, iya Pak.”

“Terus bosmu?”

“Pak Roy sedang dinas di luar kota.”

“Oh, baiklah.” Hanya itu responsku. Setelahnya, aku masuk ke dalam ruangan.

Aku duduk di kursi sembari menyandarkan punggung. Aku memutar kursiku dan menatap gedung-gedung pencakar langit dari jendela kaca. Kemudian aku mengambil ponsel dari saku celana dan mencoba untuk menghubungi Daisy.

Aku penasaran, mengapa dia tidak masuk kerja hari ini. Apakah dia membenciku karena kejadian kemarin?

Aku yakin Daisy tidak selemah itu, hanya karena kalimat sarkasme yang aku lontarkan padanya.

Lagian aku benar, apa hebatnya sih pacar Daisy? Tidak ada apa-apanya dibandingkan aku.

Ngomong-ngomong tentang teleponku, sial! Nomor Daisy tidak aktif. Hal itu membuatku jadi cemas.

Setiap menit yang aku lewati untuk bekerja hanya sia-sia. Aku jadi kepikiran tentang Daisy. Wajahnya terus terlintas di otakku.

Ah, aku tidak bisa diam di sini!

Aku kembali menyimpan ponsel di saku celana, dan beranjak dari kursi.

Baru saja aku membuka pintu ruanganku, si cerewet Alexa sudah muncul dengan suara melengking.

“Drew!”

“Aku sibuk.” Aku melewati tubuh Alexa. Tapi si cerewet menarik tanganku.

“Tunggu dulu, ini penting.”

“Ada apa sih? Kenapa kau selalu menggangguku?”

“Aku minta tolong agar kau mencari buronan ini,” kata Alexa to the point.

Aku mengerutkan dahi. “Buronan? Lapor saja ke polisi, kenapa lapor denganku?”

“Lambat!” Alexa menggerutu kesal. “Kau kan, punya mata-mata hebat. Aku percaya adikku ini bisa segalanya.” Lalu Alexa menampilkan raut wajah sedih agar aku kasihan padanya. “Tolonglah, laki-laki ini menipuku. Dia bilang, dia menjual tas branded yang aku incar sejak lama karena stock di sini sudah habis. Dan setelah aku transfer duitnya. Dia melarikan diri, Drew.” Alexa menangis di atas pundakku.

Aku berusaha mendorong kepalanya menjauh karena Angelina memperhatikanku. Si cerewet berhasil bikin aku malu!

“Aku sudah mencari tahu orangnya, dan aku menemukan wajah dia di cctv rumahku.”

“Darimana kau tahu, kalau itu orangnya?”

“Kami pernah bertemu sekali ketika dia menawarkan tas branded itu. Ternyata dia mengintai rumahku, Drew.” Alexa memegang tanganku. “Kalau Andreas tahu, matilah aku.”

“Kasih tahu sajalah suamimu.”

“Kau gila ya!”

“Bukan aku yang gila, tapi kau.”

Alexa semakin merengek di depanku. Dia menggoncang-goncang tubuhku sambil memohon. “Please, tolong aku. Hanya kau satu-satunya harapanku, Drew.”

“Huft, kau selalu bikin aku susah saja.” Aku memutar bola mata jengah. Si cerewet menyebalkan. Dia selalu seperti ini, setiap kali ada maunya.

“Mana coba, aku lihat wajah buronan kamu itu,” kataku.

Alexa buru-buru mengeluarkan ponsel dari tas dan mulai membuka galery. Lalu dia memperlihatkan hasil jepretannya.

“Ini ….”

Aku mengernyit ketika memperhatikan wajah familier buronan yang tertangkap cctv di rumah Alexa.  Aku coba menge-zoom fotonya sampai benar-benar yakin kalau tebakan aku tidak salah.

Laki-laki—yang kata Alexa—buronan, ternyata dia adalah si vespa butut, pacar Daisy. Luar biasa!

Rupa-rupanya, pacar Daisy ini penipu. Tapi ngomong-ngomong, apakah Daisy tahu kalau pacarnya seorang penipu?

“Kirim fotonya ke ponselku sekarang. Aku akan pergi mencari buronan yang kau bilang itu,” kataku sambil melangkah cepat melewati tubuh Alexa.

Aku menekan lift dan masuk ke dalam. “Angelina, kalau ada yang mencariku. Bilang saja aku sibuk. Dan, tolong batalkan semua janji temuku hari ini.” Aku menatap Angelina.

“Baik Pak,” jawab Angelina. Kemudian pintu lift tertutup.

***

Siang ini aku mengunjungi rumah Daisy. Tapi tidak ada seorang pun di dalam. Aku sudah mengetuk, sampai berteriak. Tetap saja tidak ada yang membukakan pintu untukku.

Para tetangga bilang, kalau mereka semua sudah pindah rumah. Dan tetangga juga tidak tahu, di mana alamat rumah baru Daisy dan kakaknya.

Ah, sialan! Aku mengumpat kesal setelah kembali masuk ke dalam mobil. Aku coba untuk menghubungi Daisy kembali, dan hasilnya nihil.

Aku menyandarkan kepala di stir kemudi sambil memikirkan sesuatu.

Bukankah ini aneh? Pertama, Kakak Daisy—Clara—datang ke kantorku dan marah-marah tentang Evans. Kedua, Daisy juga datang ke rumahku dan marah-marah tentang Evans. Ketiga, Daisy melamar pekerjaan di perusahaanku. Keempat, Alexa memakai jasa catering Clara. Seolah-olah Clara mencari cara agar masuk ke keluargaku yang lain. Dan keempat, si vespa butut, pacar Daisy telah menipu Alexa dan membawa kabur uangnya.

Ini masuk akal. Mereka semua berencana dan sengaja masuk ke dalam keluargaku karena keluargaku kaya raya. Dan setelah vespa butut berhasil mengambil keuntungan yang banyak dari Alexa, mereka semua langsung kabur.

Astaga, hal ini membuatku pusing. Atau jangan-jangan, Evans juga masuk ke dalam skenario mereka? Sialan!

Akhirnya hari ini, aku pulang dengan tangan kosong.

*** 

Aku berdiri di balkon kamarku sambil menatap langit yang tampak mendung malam ini. Bulan kesepian, tanpa ditemani oleh bintang-bingang. Aku menimbang-nimbang ponselku sambil menunggu kabar dari Rehan.

Rehan adalah kaki tanganku. Sudah hampir tiga tahun, dia bekerja denganku sebagai mata-mata. Biasanya, Rehan memata-matai klienku, agar aku tahu rencana apa yang akan klienku lakukan. Untuk kali ini, Rehan aku tugaskan untuk memata-matai si Vespa Butut dan juga Evans. Aku sudah lama tidak berkomunikasi dengan Evans. Dan rumah lamanya juga sudah tidak berpenghuni. Terakhir kali, aku dengar kabar Evans sekitar satu tahun lalu, saat Ayahnya meninggal dan ibunya pindah ke kota lain untuk menikah. 

Bahkan, aku juga tidak tahu apa pekerjaan Evans sekarang. Yang aku tahu, Evans sering menggunakan namaku untuk menyamar di depan para wanita.

Lima menit kemudian, ponselku berdering. Dan Rehan menghubungiku.

"Bagaimana?" Tanyaku to the point setelah kami tersambung.

"Pak, aku sulit menemukan jejak Tonny. Tapi, aku berhasil menemukan Evans. Kabarnya, Evans sekarang bekerja sebagai montir si showroom dekat kontrakannya yang baru. Sekarang, Evans sedang minum-minum di bar sekitar sini," jelas Rehan panjang lebar.

"Dia mabuk?" Tanyaku.

"Nyaris." 

"Kalau begitu, kau harus berusaha untuk menahannya. Segera kirim lokasinya, aku akan ke sana sekarang juga."

"Baik, Pak."

Sambungan terputus. Aku buru-buru mengambil jaket dari lemari dan kunci mobil di atas nakas. Aku langsung menuju mobil dan melaju mobilku dengan kecepatan tinggi menuju tempat Evans.

Selama di perjalanan, suara klakson mobilku terus berbunyi nyaring untuk menyingkirkan mobil-mobil yang menghalangi jalanku. Tidak sampai satu jam, aku sudah sampai di bar tempat Evans mabuk. 

Aku memakirkan mobil di pelataran bar. Dan segera masuk ke dalam bar.

Evans sedang duduk di depan bartender sambil menegak gelas minumannya. Sesekali dia menghisap rokok, dan mengepulkan asap rokoknya ke udara.

"Evans!" Seruku.

Evans berhasil menoleh. Ketika Evans tahu, kalau aku ada di sana bersamanya. Evans langsung menyulut rokoknya di asbak dan beranjak dari kursi.

Evans sialan itu ingin berlari menjauh, tapi aku segera mengejar dan memukul wajahnya sampai dia tersungkur ke lantai.

"Dasar bajingan!" Aku menindih tubuh Evans, dan memukul laki-laki itu berulang kali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status