Share

Mr Playboy & Me
Mr Playboy & Me
Penulis: Nayla Fitri

Bab 1 : Cinta dalam diam

Cinta tidak bisa ditebak kapan datangnya

Rasa lembut itu hadir tanpa aku sadari

Diam-diam dan perlahan merasuki hatiku

Membuat aku menggilai dirimu 

Membuatku ingin memilikimu 

Membuat diriku candu akan dirimu

Dulu diriku tidak pernah tau cinta yang sesungguhnya

Aku tidak pernah percaya akan cinta

Bagiku cinta hanya sebuah kata

Sampai kamu datang

Dan menyadarkanku 

Bahwa cinta itu ada

Diantara kita

***

Della mempercepat jalannya. Jam sudah menunjukkan pukul setengah empat. Dan dia masih berada di area kampus. Padahal nanti jam empat tepat, dia harus sudah berada di tempat bimbel. Ini semua gara-gara Ardan.

Kalau saja dia tidak memaksa Della menemaninya latihan basket, pasti Della tidak perlu buru-buru seperti ini. Awas saja nanti, batin Della kesal. Dengan langkah cepat, gadis itu menyusuri lorong kampusnya. 

Dia harus sampai di tempat bimbel setengah jam lagi. Dia tidak mau telat dan akhirnya malah merugikan murid-muridnya yang sudah membayar mahal untuk jasa bimbingannya. 

Della tidak memperhatikan langkahnya. Kakinya tanpa sengaja menginjak rok panjang yang dia pakai. Della pun limbung. Hampir saja dia tersungkur ke bawah.

Namun sebuah lengan menahannya. Menyelamatkan badannya yang ramping dari kerasnya lantai. Della spontan mendongak, menatap wajah orang yang sedang menahan tubuhnya. 

"Kak Raka?" ucapnya kaget. 

Raka pun tak kalah kagetnya dengan Della. "Della?"

Pria itu segera memberdirikan Della. "Kamu gapapa?" 

Della mengangguk. Senyuman tipis tercetak di bibir merahnya. "Gapapa, Kak. Makasih."

Raka ikut tersenyum. "Lain kali hati-hati. Kalo kamu jatuh kan jadi lucu," guraunya. 

Della tertawa. "Oh iya. Kak Raka kok bisa ada disini?" tanyanya. 

"Aku tadi ada urusan sama temen. Kebetulan dia jadi dosen disini."

Della mengangguk paham.

Raka kembali tersenyum. "Kamu baru pulang ya?" 

Della mengangguk cepat. Kemudian gadis itu menepuk dahinya pelan dengan wajah syoknya. "Mati aku!" ucapnya.

"Kak, aku duluan ya! Aku buru-buru! Takut telat!" 

Raka mengernyit. "Kamu mau kemana?" tanyanya. 

"Aku harus ngajar jam empat, Kak. Sekarang udah setengah empat lewat lima. Mampus deh, telat beneran gue!" ujar Della dengan panik.

Gadis itu segera berlalu dari hadapan Raka. Della berlari cepat keluar dari kampus. Raka memandang punggung gadis itu dari kejauhan. Sedikit senyum tersungging di bibirnya. 

Melihat wajah panik Della, dia langsung teringat pada Verona. Gadis itu mirip dengan kakaknya. Raka menghembuskan nafas pelan. Lalu dia pun memutuskan berjalan perlahan menuju ke tempat parkir mobilnya. 

***

Della meremas tangannya pelan. Dia cemas bukan main. Sudah hampir sepuluh menit dia menunggu angkot, namun tidak ada yang lewat. Seperempat jam lagi dia harus tiba di tempat bimbel. 

Gadis itu benar-benar kalut. Della mulai putus asa. Dia ingin menangis sekarang. Sepertinya dia benar-benar akan terlambat. Matanya sudah berkaca-kaca. Cairan bening menggenang di pelupuk matanya. 

Sedetik kemudian Della berkedip. Dan tumpahlah sudah air matanya. Kini gadis itu menangis tersedu di pinggir jalan. Isakannya terdengar kencang. 

Della terus menangis. Dia tidak peduli akan tatapan heran dan juga geli orang-orang yang lewat di depannya. Sembari terus terisak, Della menggigiti kukunya dengan menunduk. Memandang ujung sepatu berwarna cream yang dia pakai saat itu.

Ini semua gara-gara Ardan! Della jadi terlambat berangkat ke tempat bimbel. Della mengutuk Ardan dalam hatinya. Dia berjanji kalau bertemu Ardan nanti, akan dia cakar habis wajah tampannya itu. 

"Kayak anak kecil aja sih, nangis nggak liat tempat!" 

Della sontak mendongak. Gadis itupun menghentikan tangisnya saat melihat Raka berdiri di hadapannya sembari tersenyum tipis.

"Kak Raka?" 

Raka menepuk-nepuk kepalanya pelan. "Kenapa nangis?" 

Della menunduk. Ketahuan sedang menangis oleh Raka membuatnya malu. Namun dia tidak bisa menutupi rasa sedih dan kesalnya. "Nunggu angkot nggak dateng-dateng, Kak. Aku jadi telat ke tempat bimbel."

Raka menghela nafas pelan. "Aku anter yuk!" 

Della terdiam. Gadis itu menatap Raka tak percaya. 

"Aku anter! Tempat kamu bimbel dimana?" 

Della masih diam sambil memandangi Raka. Matanya menatap Raka tanpa kedip. Raka menjentikkan jarinya di depan Della. "Della?"

Seketika Della pun tersadar. "Ya? Kenapa, Kak?" 

Raka terkikik melihat ekspresi Della. Sedangkan Della hanya bisa meringis malu. "M-maaf, Kak."

"Tempat kamu bimbel dimana? Biar aku anter."

"Di jalan Kartini, Kak."

Raka mengangguk paham. "Nggak jauh dari sini. Sepuluh menit mungkin sampai. Ayo aku anter!" 

Della menggeleng cepat. "Ng-nggak usah, Kak. Biar Della nunggu angkot aja."

"Nggak terima penolakan!" Raka menarik tangan Della. Mendorong gadis itu memasuki mobil Audy miliknya. Lalu dia sendiri masuk dan mulai menjalankan mobilnya. 

Tepat pukul empat sore, mobil yang dikemudikan Raka tiba di depan tempat bimbel. Della buru-buru melepas sabuk pengaman yang dipakainya. Lalu turun tanpa pikir panjang. 

"Makasih, Kak!" ucap Della singkat. 

Lalu gadis itu masuk ke dalam tempat bimbel itu dan meninggalkan Raka yang ternganga di dalam mobil. Raka menggeleng pelan. Pria itu pun berniat untuk pergi dari sana.

Namun gerakan tangannya untuk menghidupkan mesin mobil terhenti. Tanpa sengaja saat menoleh, dia melihat tas ransel Della tertinggal di dalam mobil. Raka menghela nafas panjang. 

Diraihnya tas itu. Raka pun keluar dari mobil. Dengan langkah perlahan, Raka memasuki bangunan yang cukup besar itu. 

Raka mendorong pintu itu agar terbuka. Belum sempat dia masuk ke dalam, Della terlebih dahulu berdiri di depannya dengan nafas terengah dan wajah paniknya. 

"Kak-"

Raka mengangkat tas Della ke atas. Dia tau Della pasti akan mencari tasnya. "Tas kamu kan?" 

Della tersenyum lega. "Makasih, Kak. Makasih banget." 

Raka mengangguk pelan. Disodorkannya tas itu pada Della. "Ceroboh! Bisa-bisa itu hidung ilang juga kalo ga dijaga baik-baik," omelnya. 

Della terkikik. "Sekali lagi makasih ya, Kak. Aku masuk dulu. Udah telat."

Raka tersenyum tipis lalu mengangguk. Della pun kembali masuk ke dalam untuk mengajar bimbel siswa di LBB tersebut. Raka memandangi tubuh belakang gadis itu lekat-lekat.

Tidak tau kenapa ada rasa tenang dan nyaman saat melihat Della. Entah itu wajahnya, senyumnya maupun perilakunya. Raka menduga itu karena Della mirip seperti Verona.  Karena itu dia merasa nyaman dekat dengannya. 

Verona? Senyum Raka pun memudar. Bagaimana mungkin, pikirnya. Dia tidak pernah nyaman berada di dekat Verona. Lalu kenapa sekarang dia nyaman berdekatan dengan seorang gadis yang mirip dengannya? 

Bahkan Raka pun tidak bisa mengartikan kata nyaman. Dia menyukai Verona.  Sangat. Tapi dia merasa ada yang kurang dalam dirinya ketika berdekatan dengan gadis itu. 

Raka merasa hampa. Dia bisa tersenyum lebar. Dia bisa bersikap romantis dan melakukan apapun yang menunjukkan rasa cintanya pada Verona.  Tapi dia sadar jika hatinya kosong. 

***

Raka menguap pelan. Matanya terasa begitu berat. Seharian ini pekerjaannya benar-benar banyak. Bahkan hanya untuk sekedar menemui Verona di kantornya saja tidak bisa. Dan itu cukup membuat Raka kesal. 

Dia merindukan Veroba, tapi tidak bisa menemuinya. Seandainya saja nanti Romeo mau menggantikan tugasnya di perusahaan, mungkin dia akan memilih hidup di tempat terpencil, hidup tenang bersama Verona tanpa gangguan dari siapapun. 

Raka tersenyum kecil membayangkan hidupnya dengan Verona nanti. Pasti dia akan sangat bahagia bisa menjadi suami Verona. Lalu punya anak yang lucu-lucu darinya. 

Pria itu terlalu fokus melamun, sampai tidak memperhatikan jalan di depannya. Raka refleks menginjak rem mendadak saat seseorang hampir tertabrak mobilnya. 

Dengan panik, Raka pun turun dari mobil. Dia mendekati seorang gadis yang jatuh terduduk di aspal dengan badan gemetar dan ketakutan.

"Mbak, maaf. Maafkan saya. Saya nggak sengaja."

Raka membelalak seketika saat melihat wajah gadis yang ada di hadapannya itu. "Della? K-kamu kok..."

Della berhambur memeluk Raka. Gadis itu menangis tersedu. Wajahnya basah oleh air mata. Badannya bergetar hebat. "Tolongin aku, Kak. Tolong!" lirihnya seraya terisak. 

Raka pun menjadi panik. Melihat bagaimana takutnya Della, dia menduga sesuatu yang buruk terjadi pada gadis itu. "Kamu kenapa, Dell?" 

"Aku dikejar sama dua orang preman tadi. Aku lari dari mereka. Tas aku udah diambil. Aku takut... aku takut, Kak." 

Raka makin membulatkan matanya. Pria itu mengepalkan tangannya dengan kencang. "Brengsek! Dimana mereka? Biar Kak Raka hajar preman yang berani ganggu kamu itu!"

Della menggeleng lemah. Dia menangis terisak. "Nggak tau, Kak. Aku tadi lari sekencang mungkin. Aku nggak perhatiin mereka lagi. Aku takut," lirihnya.

Raka pun terenyuh melihatnya. Pria itu mengusap lembut kepala Della. "Ya udah. Kamu aman sekarang. Jangan takut."

"Sekarang ikut Kak Raka ya. Kak Raka anterin kamu pulang!" 

Della mengangguk kecil. Gadis itu menurut saat Raka menuntunnya menuju ke mobil. Dia rupanya begitu syok. Sampai diam saja saat Raka membantu memakaikan sabuk pengaman di badannya. 

Raka melirik tangan Della yang masih gemetar. Pria itu meraihnya. Lalu menggenggam tangan Della dengan tangannya yang hangat. Berusaha memberikan ketenangan untuk gadis itu. 

"Jangan takut. Kamu udah aman sekarang. Tenang ya," ucapnya lembut. 

Della menoleh pada Raka. Gadis iti terdiam lama sembari memandang Raka. Kemudian Della mengangguk pelan. Raka pun tersenyum melihatnya. Dan senyum itu rupanya menular pada Della.

Raka menepuk-nepuk puncak kepala Della dengan lembut. Entah kenapa dia merasa begitu dekat dengan gadis itu. Tidak ada kecanggungan sama sekali. 

Padahal Della hanyalah adik sepupu Verona, gadis yang dia cintai. Tapi bagi Raka, terasa lebih. Dia seolah selalu ingin berada dekat dengan Della. Ingin menjaga dan melindunginya. 

***

"Kak Ve udah tidur, Kak. Aku ketok pintu kamarnya berkali-kali tapi nggak ada jawaban." 

Raka tersenyum tipis pada Della. "Ya udah gapapa. Jangan dibangunin. Biar aja."

Della mengangguk pelan. Gadis itu duduk di kursi samping Raka sembari menunduk. Dia merasa malu diperhatikan Raka dengan begitu intens. 

"Kamu beneran gapapa kan? Preman-preman itu nggak ngapa-ngapain kamu kan?" ujar Raka.

Della menggeleng. "Aku gapapa kok, Kak. Aku baik-baik aja. Makasih udah mau nolongin aku." 

Raka menjawab ucapan Della dengan sebuah usapan lembut di puncak kepala Della. "Lain kali hati-hati ya! Jangan pulang malem-malem."

Della menatap wajah Raka. Wajah gadis itu memerah saat melihat sebuah senyuman manis terukir di bibir pria itu. Untuk sesaat Della mengagumi ketampanan wajah kekasih kakaknya itu. 

Dia menyukai sosok Raka yang penyayang. Della tau Raka pasti sangat mencintai Verona. Della bahkan langsung tau Raka sangat mencintai kakaknya dari tatapan memuja pria itu pada Verona. 

Verona benar-benar gadis yang beruntung, batin Della. Ada dua orang pria yang mencintainya. Raka dan juga Romeo. Romeo, pria idaman Della dulu. Karena sepertinya sekarang tipe pria idaman Della berubah. 

Della ingin punya suami yang seperti Raka saja.

"Kak Raka pulang ya, Dell. Udah malem." Ucapan Raka sontak mengagetkan Della. Gadis itu tersenyum kaku. 

"I-iya Kak. Sekali lagi makasih banyak udah nolongin aku."

Raka mengangguk pelan. "Salam buat Ve, ya!" 

Della tersenyum tipis dengan dada berdebar-debar saat sekali lagi Raka memandangnya intens. Gadis itu langsung menunduk malu. "I-iya Kak. Nanti aku sampaikan," lirihnya. 

Saat mendengar suara mobil Raka menjauh, Della baru mengangkat wajahnya. Memandang mobil mewah itu hingga mengilang di belokan komplek. 

Della meremas pelan tangannya. Gadis itu menggigit bibirnya pelan saat dia menyadari jantungnya memompa kian cepat. Mendadak kakinya lemas. Della memegangi daun pintu karena takut terjatuh. 

Ada apa ini, batinnya. 

***

Della berjalan dari dapur ke ruang tamu sambil membawa sebuah nampan berisi cemilan dan juga segelas teh hangat. Gadis itu tersenyum pada Romeo.  Meletakkan nampannya di meja tepan di depan Romeo. 

"Tehnya diminum dulu, Mas Romeo.  Maaf ya, cuma ada ini. Mau nawarin sarapan tapi belom masak." 

"Gapapa, Dell. Mas Romeo yang harusnya minta maaf. Karena bertamu pagi-pagi gini," balas Romeo. 

Pria itu membalas senyum Della. Kemudian mengangguk dan meraih secangkir teh yang disuguhkan Della. Meminumnya sedikit lalu meletakkannya kembali. 

"Ah... gapapa kok, Mas. Mas Romeo tiap pagi main kesini juga boleh. Della malah seneng kalo ada Mas Romeo."

"Ehem!" 

Della dan Romeo sama-sama menoleh. Dan mereka melihat Verona berjalan menuju ke arah mereka dengan memberikan tatapan tajamnya pada Della. Della meringis menatap Verona. 

"Eh... ada Kak Ve. Udah mandinya?" tanyanya sok manis.

Verona hanya menjawab dengan deheman singkat. Gadis itu pun duduk di dekat Romeo. Menyingkirkan tubuh Della secara halus agar menjauh. 

Della tersenyum kecut. Gadis itu pun berpamitan untuk masuk ke dalam. Lebih baik dia cepat menyingkir sebelum wajahnya diacak-acak oleh kakaknya yang kejam itu. 

Kembali ke kamarnya, Della malah merasa bosan. Tidak ada yang bisa dia lakukan di kamarnya. Dia ingin sekali keluar. Tapi kan ada Romeo di ruang tamu. Kalau dia berani keluar, maka Kakaknya galak itu pasti akan mengamuk. 

Jadilah Della hanya berbaring saja di kasur sembari memainkan ponselnya. Tidak beberapa lama, pintu kamarnya terbuka. Verona muncul dari balik pintu dengan wajah semringah. 

"Kak Ve keluar sama Romeo ya!"

Della mengernyit. "Mau kemana, Kak?" tanyanya. 

Verona mengendikkan bahunya pelan. "Nggak tau Romeo mau ngajak kemana."

Gadis itu sempat tertawa melihat wajah Verona yang bersemu merah. Rupanya Kakak galaknya itu bisa tersipu juga, batin Della. Dia pikir Verona cuma bisa berwajah garang. 

"Kamu jaga rumah ya! Jangan ngeluyur! Awas kalo kamu berani keluar rumah! Uang jajan kamu Kak Ve potong!" ancam Verona pada Della. 

Della memanyunkan bibirnya. Verona seperti tau saja kalau Della berniat akan keluar rumah juga. Gadis itu mendesah lemah. "Iya, iya."

"Ya udah. Kak Ve berangkat ya! Assalamualaikum!" 

"Waalaikumsalam," sahut Della malas. 

Della menutup pintu kamarnya dengan kencang. Dia kesal pada Verona. Nenek sihir itu benar-benar tukang ancam, batinnya. Gadis itu memukuli bantal berkali-kali untuk melampiaskan kemarahannya. 

Kalau tau Verona seperti ini, Della tidak akan mau saat gadis itu mengajaknya mengontrak bersama dulu. Lebih baik dia tinggal di tempat kos yang sempit dengan teman-temannya. Bisa bebas melakukan apa saja dan yang pasti tidak akan diomeli setiap hari. 

Huh, penyesalan selalu saja datang terlambat. 

Della tersentak saat ponsel yang dia pegang bergetar. Dengan perlahan, dibukanya satu pesan yang masuk ke ponselnya. Itu pesan dari Fika, sahabatnya. 

"Ikut gue ke mall ya sekarang. Gue baru dapet rejeki. Ntar gue traktir lo makan sepuasnya."

Mata Della langsung berbinar seketika. Gadis itu tersenyum bahagi karena dijanjikan makan gratis oleh Fika. Della memekik girang. Lalu tanpa banyak kata lagi, Della bangkit dari kasur. 

Menuju ke lemari, Della mengobrak-abrik seisi lemari. Mencari-cari baju yang bisa dia pakai untuk jalan ke mall. Gadis itu tersenyum lebar di depan cermin meja rias kamarnya. 

"Astaga Della! Lo cantik banget sih," ucapnya seraya terkikik mengagumi dirinya sendiri. 

"Tuh kan, gue nggak kalah cantik dari nenek sihir itu! Emang dia aja yang bisa keliatan cantik! Saking aja Mas Romeo nggak liat gue sekarang. Gue yakin nih, pasti Mas Romeo bakal milih gue dibanding si nenek sihir!" gumamnya. 

Della berputar di depan cermin dengan senyuman lebar. "Oke, Della. Cepetan berangkat. Dan jangan kelamaan. Keburu nenek sihir pulang dan uang jajan lo dipotong."

Della terus menggumam seraya berjalan keluar rumah. "Ckck... udah kayak anak buahnya Kak Ve aja sih gue. Nurut banget sama dia. Nasib... nasib... kapan gue bisa nikah sama orang kaya. Ntar nggak bakal gue akuin si nenek sihir itu!" 

Gadis itu segera mengunci pintu rumah dan pintu pagar. Lalu keluar dari komplek perumahan dengan terburu-buru. 

***

"Ka! Kamu ini jawab dong kalo Mama lagi nanya!" 

Raka menoleh dengan malas. "Kenapa sih, Ma?" 

Kasih mendengus kesal. "Ini loh, Mama mau kamu kasih pendapat. Bagus yang ini atau yang ini?" 

Wanita itu menunjukkan dua buah gaun panjang ke hadapan Raka. Satu berwarna biru gelap dengan aksesoris batu-batu mengkilat di lehernya. Satunya berwarna pink muda dengan model serupa namun bagian punggungnya agak terbuka. 

"Dua-duanya bagus."

"Kalo yang ini cocok ya sama Mama?"

"Cocok."

"Kalo satunya gimana? Mama lebih suka yang pink sih sebenernya. Tapi kok punggungnya kebuka gini. Menurut kamu gimana Ka?"

"Terserah Mama aja. Kan Mama yang pake."

Kasih berdecak keras. "Kamu ini sama aja kayak Papa kamu! Kalo dimintain pendapat selalu kayak gitu!" ujarnya kesal. 

"Terus Raka harus gimana, Ma? Kan emang Mama yang mau pake. Jadi yang milih ya Mama. Raka nggak ngerti apa-apa." Raka mendesah pelan saat melihat wajah cemberut Kasih. 

Kasih merengut marah. Wanita itu pun membawa dua gaun pilihannya ke ruang ganti. "Saya coba dulu ya Mbak," ucapnya pada si pelayan toko. 

Raka menunggu Kasih mencoba pakaian dengan gelisah. Sudah lama mamanya masuk ke ruang ganti, namun belum keluar juga sampai sekarang. Karena bosan, Raka pun melihat-lihat gaun lain yang ada disana. 

Dia punya ide untuk membelikan Verona. Siapa tau nanti ada gaun yang pas untuk Verona. Raka tersenyum saat melihat sebuah gaun panjang berwana biru dengan bolero satin berwarna cream dan dihiasi manik-manik cantik di bagian leher dan pergelangan tangannya. 

Seketika Raka merasa jatuh cinta pada gaun itu. Dia jadi membayangkan saat Verona memakai gaun itu. Pasti akan terlihat begitu cantik. Raka pun memanggil pelayan toko untuk mendekat. 

"Yang itu ada ukuran S, Mbak?" 

"Ada sih, Mas. Tapi lagi dicoba sama Mbak-mbak yang ada di ruang ganti."

Raka mengangguk. "Kalo yang sedang dipajang itu ukuran apa, Mbak?"

"Itu ukuran M."

Raka berdecak pelan. Sayang sekali, batinnya. 

"Tunggu aja Mbak-mbak yang nyoba tadi keluar dari kamar ganti, Mas. Siapa tau dia nggak jadi beli gaunnya," saran si pelayan toko. 

Raka mengangguk. "Mbaknya nyoba dimana emang, Mbak?" 

Pelayan toko itu menunjuk di kamar ganti dekat kasir. "Itu yang di tengah, Mas."

"Oke. Makasih, Mbak."

Pelayan toko itu tersenyum lalu kembali melayani pembeli lain. Sedangkan Raka berjalan menuju ke ruang ganti yang ditunjukkan olehnya tadi. 

Pria itu menunggu tepat di depan kamar ganti yang berada di tengah. Harapannya besar untuk bisa membawa gaun itu pulang dan memberikannya pada Verona nanti. 

Raka seketika mendongak saat pintu kamar ganti di depannya terbuka. Seorang gadis keluar dari sana dengan memakai gaun yang diinginkan Raka.

"Mbak, gaunnya nggak jadi be-" ucapan Raka terhenti. 

Pria itu ternganga melihat wajah cantik seorang gadis yang ada di hadapannya itu. Bagaimana mungkin, batinnya. 

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status