Share

#7 Risa

Risa menolak tidur sekamar dengan Dilger. Dia masih kesal, Dilger seolah-olah bertindak tidak melakukan kesalahan, pria itu belum mengaku padanya.

"Ibu akan marah lagi jika menemuimu tidur disini," ucap Dilger, tapi Risa tetap kekeh tidur sendiri.

Risa tak peduli, biarkan saja Samara berasumsi seenaknya. Lagi pula, Risa tak yakin bisa sekamar dengan Dilger setelah apa yang didengarnya. 

Amarahnya tak tenang saat bersama Dilger, barangkali dia menancap pisau di tengah malam pada suaminya.

Matanya terpejam, deru napasnya semrawut. Risa menyadari dirinya akan segera gila. 

Pintu kamarnya diketuk pelan. Risa mengabaikan, tapi ketukannya kian lama terdengar kasar dan mengusiknya.

"Sudah kubilang, aku tetap akan tidur di sini! Jangan membujukku!" Risa berteriak menatap jengkel pintu kayu.

"Ini aku."

Risa membatu mendengar suara di luar pintu. Bukan suara Dilger. Risa enggan membuka pintu, tapi tubuhnya bereaksi sebaliknya.

"Memutuskan membuka pintu juga membuatmu berpikir lama?" Vai bersedekap tangan, tubuhnya bersandar di dinding.

"Ada apa kemari?" Risa menduga Vai tentunya tak datang hanya untuk menjenguknya saja, apalagi di tengah malam begini.

"Kamu kesusahan tidur. Aku kemari ingin menemanimu." Vai beralih menatap kukunya, lalu menatap datar wajah pucat nan tegang Risa.

"Aku tak butuh siapa pun saat ini." Risa menutup pintu, tapi Vai menahannya.

Vai berjalan masuk, menutup dan mengunci pintu. Risa sontak berjalan mundur.

"Kamu takut? Padahal aku kemari murni hanya ingin menemanimu." Vai mendekati Risa, mengulurkan tangan untuk menangkap lengannya.

"Jangan dekati aku!" bentak Risa.

Vai mendengus. "Aku tidak akan melakukan hal buruk padamu. Kau tak percaya?"

"Apa masih ada yang percaya pada manusia iblis sepertimu?"

Alis Vai meliuk. "Manusia iblis? Aku?" Vai menunjuk dirinya sendiri, sedang Risa masih berjalan mundur hingga terduduk di ranjang.

Vai membungkukkan badan, hidungnya hampir beradu dengan milik Risa.

"Kamu menamaiku manusia iblis? Hm, kedengarannya bagus, tapi aku tak suka. Aku manusia yang baik. Ya, setidaknya awalnya begitu hingga ...." Vai menghela napas kasar.

"Sepertinya kamu sudah tahu."

"Aku tak tahu apapun? Sebenarnya apa yang kamu sembunyikan? Apa hubunganmu dengan Wiston?" Risa menatap Vai yang masih berekspresi kaku.

Vai berpindah di depan cermin, melihat pantulan wajah cantiknya, rambut lurusnya di gelung tinggi, sedikit berantakan, tapi dia nampak manis. 

Jemarinya menelusuri tepi meja. "Aku tak bisa mengatakan semuanya secara langsung, Risa. Walau ini sebenarnya sangat menyiksa, aku sendiri merasa tak kuat. Namun ...." Vai berbalik menatap Risa, senyumnya mengembang.

"Aku ingin bermain-main sebentar."

"Bermain-main katamu?" gumam Risa.

"Oh, ya, kamu bertanya hubunganku dengan keluarga Wiston?" Vai mengusap-usap dagunya seolah berpikir keras harus menjelaskannya bagaimana.

"Kami tak memiliki hubungan keluarga, tapi kami berhubungan darah."

Darah yang dimaksud Vai ialah pembunuhan.

"Aku memang bisa ketawa, tapi aku juga menderita, Risa." 

Risa bergeming. Dia ingin mendengar kelanjutan bicara Vai. Terlalu banyak yang tak dia mengerti.

Vai tertawa kecil. "Kenapa kamu diam? Kamu ingin mendengar apa dariku? Wajahmu mudah sekali ditebak, Risa."

Vai beralih duduk di samping Risa. "Baiklah, akan kukatakan satu hal. Sebenarnya, aku sudah menunggu lama kesempatan ini. Aku ingin terbebas dari siksaan ini, Risa. Aku harus menyelesaikannya. Segera. Namun, aku masih perlu bersabar, ini pemanasan."

Kening Risa mengerut, mulutnya terbuka.

"Aku tahu, kamu bingung. Kamu akan segera mengerti." Vai membaringkan tubuhnya di ranjang.

"Jadi, bagaimana kabarmu dengan Dilger?" alihnya.

"Kenapa kamu berubah pendiam, Risa? Padahal kamu itu anti diam." 

Vai menggoyangkan lengan Risa, tapi tak digubris. Risa memikirkan ucapan Vai. Menunggu lama kesempatan ini? 

"Apa maksudmu ... membunuh keluarga Wiston?" 

Vai mendudukkan lagi dirinya. "Aku menunggu jawaban, Risa. Aku bertanya tentang Dilger. Oh ... kamu memikirkan ucapanku tadi? Hm ... sebenarnya aku tak ingin membahasnya, tapi pertanyaanmu layak dipikirkan."

Risa menoleh. "Layak? Layak membunuhnya?"

"Astaga, Risa. Kenapa kamu berpikir begitu? Aku bahkan tak pernah memikirkannya. Tunggu!" Vai mendekatkan wajahnya.

"Apa kamu kini dendam dengan Samara dan kau berencana membunuh nenek tua itu? Oh, tidak!" Vai menutup mulutnya seolah dia terkejut setengah mati.

Tatapan mata Risa berubah nyalang, tapi dia mencoba untuk tidak terpancing. Vai mencoba mengubrak-abrik emosinya lagi.

"Aku hanya bercanda, Risa. Tidak perlu dibawa serius begitu." Vai mengayunkan tangannya di depan wajah Risa.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku. Bagaimana dengan Dilger? Kamu sudah tahu 'kan?"

"Ini semua ulahmu."

"Ulahku?" Vai mendengus. "Perbuatan baikku dibalas keji. Apa kamu lupa, aku membantumu kemarin. Kamu tentu mendengar obrolanku dengan Dilger di dalam lemari 'kan?"

Risa membatu.

"Benar, kamu sudah mendengarnya. Bagaimana? Apa kamu sudah memutuskan siapa yang berbohong dan dibohongi?" Bibir Vai mengerucut seolah prihatin melihat kondisi renggang suami-istri itu.

"Keluar!"

"Ini memang menyakitkan untuk didengar, tapi ini kenyataan—"

"Keluar!" bentak Risa.

"Aku akan keluar nanti—"

Risa mencekik leher Vai. "Aku bilang keluar!" mata Risa melotot seakan-akan segera melompat dari tempatnya.

Vai terbatuk-batuk. "Aku mengira akulah yang akan membunuh keluarga Wiston, tapi sepertinya aku memiliki saingan." Vai terbata-bata mengucapkannya.

Risa menarik tangannya, bibir bawahnya bergetar menatap aksi tangannya barusan. Risa berganti menatap leher Vai yang sedikit memerah.

"Aku ...."

"Pembunuh tak pernah menyadari dirinya sedang membunuh." Vai memaksakan seulas senyum seolah cekikan Risa tak berarti.

Risa menunduk, tangannya mencengkram kuat seprei ranjang.

"Mari kita lihat, tangan siapa yang menghabisi keluarga Wiston. Benih-benih dendam mulai datang, mungkin kamu sudah menyadarinya."

"Keluar," desis Risa. Tubuhnya mendadak lemah seolah mencekik Vai menguras habis tenaganya.

"Aku masih ingin mengatakan banyak hal, tapi kamu mengusirku." Vai beranjak dengan enggan dari ranjang.

"Oh, ya." Vai berbalik. "Apa kamu masih percaya dengan pria yang kau sebut suami itu? Berontak sekali lagi barangkali dia akan menceraikanmu lebih cepat dari rencananya."

Risa melempar bantal, tapi Vai sudah berburu keluar. Buku-buku tangannya memutih mencengkram sprei.

"Jika aku memiliki kesempatan membunuh. Kupastikan aku membunuhmu lebih dulu, Vai."

Vai melempar semua bantal ke lantai diikuti erangan frustrasinya.

"Risa, Risa, apa yang kamu lakukan?" 

Pintunya kembali digedor-gedor, suara Dilger terdengar cemas.

"Pergi!" teriak Risa.

"Jangan bertindak bodoh, Risa."

"Memangnya kenapa? Meski aku mati sekalipun, kamu pun tak akan peduli ...."

"Argghhh!" Risa mengacak rambutnya, lalu membanting kursi rias. Suara gedebuk membuat Dilger merinding, dia menggedor pintu lebih keras.

"Risa! Jangan bodoh! Ingat aku, Risa!"

Risa menghentikan aksinya. "Mengingatmu? Kamu bahkan tak menganggapku ada, Dilger."

Risa bertekuk lutut di lantai. Bahunya mulai bergetar.

"Risa, buka pintunya!" Dilger mencoba mendobrak pintu. Dia cemas mendengar Risa yang menangis sesenggukan.

Pintu dibuka paksa. Suasana kamar begitu kacau. Di tengah-tengah kamar, Risa terduduk menangkup wajahnya yang sudah tertutupi rambut.

Dilger melangkah mendekati.

"Risa." 

Tangan Dilger ditepis bahkan belum menyentuh pundak Risa. Istrinya tak menatapnya sedikitpun.

"Lebih baik kamu menceraikanku secepatnya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status