Share

Musnahnya Keluarga Wiston
Musnahnya Keluarga Wiston
Penulis: Feroza

Satu

Vai meloncat pindah menuju balkon di samping kamarnya, lalu mengetuk pintu kaca yang sudah tertutup gorden.

Dilger yang tengah mengetik saat itu terusik. Dia menghela napas dan bangkit membuka pintu, tampak Vai yang menyengir dihadapannya, badannya bergerak ke kanan-kiri dengan kedua tangan bersembunyi di belakang persis anak kecil yang tengah meminta sesuatu.

"Ini sudah malam, Vai!"

Vai mengerucutkan bibir menunduk, lalu mendongak menatap pria yang berwajah setengah timur tengah dihadapannya.

"Dingin." Vai berujar diikuti tampang memelasnya.

Senyum Dilger terbit, dia mengelus kepala Vai, dan mempersilakannya masuk. Gadis itu menyelonong berlalu dengan riang, lalu melempar tubuh mungilnya di ranjang king size.

Gadis itu Vairre Midelli, tingkahnya bagai remaja; lucu, polos, dan menggemaskan. Namun, tak ada yang menyangka jika dia sudah menginjak umur 25 tahun. Wajah dan tubuh langsingnya begitu menipu. 

"Aku 'kan sudah bilang, jangan lompat dari balkon. Kalau kau jatuh, bagaimana?"

Vai mengubah posisi menjadi tengkurap sambil menangkup dagu, rambut lurusnya melorot di bahunya.

"Ya 'kan ada Paman. Lagi pula aku rindu sama Paman." Vai berujar dengan suara yang dibuat menggemaskan, tak lupa mimik wajahnya dengan bibir mengerucut.

Itulah kekuatan gadis manis itu yang susah sekali untuk dimarahi, ekspresi wajah dan suaranya selalu meluluhkan orang lain.

"Tante Risa belum pulang?"

"Mungkin satu jam lagi dia datang," jawab Dilger.

Vai menyunggingkan senyum, lalu berpindah duduk di samping pria yang berbeda sembilan tahun darinya. Mata hazel-nya menatap tanpa kedip manik amber Dilger.

"Kau sudah memutuskannya?" Nada suara Vai berubah serius. Kalau begini, Vai kelihatan seperti wanita pada umumnya.

Dilger tak menjawab, Vai beringsut mendekat, semakin mendekat hingga pucuk hidungnya menyentuh milik Dilger.

"Kau pasti belum mengatakannya pada Risa, kan?" tebak Vai.

Dilger menghela napas pelan, dia mengangguk.

Vai beringsut mundur kembali menghempas punggungnya di sofa.

"Mungkin hanya aku yang mencintai di sini." Vai tak mengalihkan pandangannya menatap lampu gantung di di atasnya.

Dilger menghela napas, kali ini terdengar berat dari sebelumnya. Lalu, tangan kekarnya meraih jari mungil Vai.

"Ini salah, Vai!"

Vai menoleh memiringkan kepala menatap Dilger. "Siapa? Cinta? Aku atau kamu?"

Dilger membuang pandangan ke samping menatap gorden putih dengan hampa. Dia pun tak tahu, siapa yang harus disalahkan.

Dilger tak pernah menduga bahwa dia akan menaruh rasa pada gadis lugu di sampingnya, gadis yang dahulu terpaksa dia tolong. Gadis tua bertampang anak kecil, begitulah Dilger menyebutnya. Siapapun yang melihatnya pasti menerka dia masih gadis sekolahan dengan tampang imutnya terlebih tubuh mungilnya yang hanya setinggi dada Dilger—sekitar 167 sentimeter.

"Aku tak tahu," lirih Dilger.

Vai beralih menghadap Dilger, tangan mungilnya menangkup wajah pria berkulit agak cokelat itu. Vai terkekeh kecil merasakan telapak tangannya geli dengan rambut-rambut halus dagu Dilger.

"Kau tentu tahu karena kau yang menghadirkan rasa ini." Vai berpindah menarik tangan Dilger, meletakkannya di dada kirinya.

"Kau dengar itu?" Vai menatap Dilger. "Aku ingin membalas rasa yang kau berikan."

Vai menurunkan tangan Dilger, kali ini kedua tangannya berpindah mengalun di leher Dilger. Keduanya saling menatap lekat cukup lama.

"Aku merindukanmu," lirih Vai sambil melirik bibir ranum tebal Dilger. Vai memajukan wajahnya, menelengkan kepalanya saat jarak kian mengikis.

"Dilger, aku–"

Seorang wanita buru-buru membuka pintu kamar. Dilger gelagapan, dia bangkit berdiri dengan cepat menghampiri wanita itu yang kini mematung.

Wanita itu istri Dilger, Risa. Mulutnya menganga, tas yang dijinjingnya kini tergeletak di lantai. Dia baru saja pulang dari reuni teman kuliahnya dan disodori pemandangan tak senonoh di rumah.

"Kalian–"

"Risa, ini tak seperti yang kau pikirkan!"

Wanita berambut hitam bergelombang itu menepis tangan Dilger. Dia mendengus seraya berkata, "Risa?"

"Ini tidak seperti yang Tante pikirkan. Paman kelilipan dan aku membantunya." Tentu saja itu bohongnya berselimut mimik wajah polos.

Risa menoleh menatap Vai yang berdiri menunduk di belakang Dilger. Risa menarik napas kuat. Pemandangan ini bukan hanya sekali dia dapatkan.

Dulu, Risa abai saja sebab dia sudah menganggap Vai sebagai anaknya sendiri, terlebih gadis itu sebatang kara, wajar jika bermanja-manja, menarik perhatian orang sekitarnya. Namun, Risa menyadari jika gadis pungut itu kini sudah berumur, hanya terpaut enam tahun saja darinya.

Cuman, wajah Vai begitu kekanakan dan tingkahnya masih bagai anak kecil. Jika Risa dan Vai berdekatan—tentunya tanpa memandang umur—keduanya memang bagai ibu dan anak.

Risa mendekati Vai, ditatapnya wajah polos gadis itu. Tangannya mengelus pipi Vai. "Kau bisa tinggalkan kami sebentar 'kan, Sayang?"

Vai mengangguk tanpa menatap wanita dihadapannya, dia berlalu pergi. Risa menjeling memastikan Vai benar-benar keluar. Setelahnya, dia menghela napas kasar.

"Sekarang apalagi alasan yang ingin kau katakan padaku?" Rahang Risa mulai mengeras.

"Risa, ini–"

"Risa?"

Dilger mengecap bibir. "Ini tak seperti yang kamu pikirkan, Sayang!" Dilger memegang lengan Risa sontak wanita itu menggeliatkan tangan melepasnya.

Keduanya kembali terdiam, Risa menatap kosong vas bunga di meja. "Kau berubah." Risa terdiam.

"Aku tidak bisa pura-pura lagi, wanita itu sudah kelewatan!" Risa menatap Dilger. "Katakan dengan jujur padaku!"

Dilger meneguk susah ludahnya. Dia bergeming di tempatnya berdiri.

"Gadis lugu itu memikatmu, iya? Atau ... jangan-jangan kamu yang terpikat?"

"Sayang, dengarkan aku dulu–"

Risa menepis tangan Dilger yang ingin menangkup wajahnya.

"Kau masih tak ingin mengakuinya? Kau kira aku tak tahu apa yang kalian lakukan di belakangku?" Risa mengembuskan napas kasar.

"Kau tak mencintaiku lagi, kan?" Risa bertanya tanpa melihat lawan bicaranya.

Lagi-lagi Dilger terdiam. Dia tak tahu harus berkata apa. Kalau dia berkata jujur, Risa pasti terluka, tapi jika dirinya berkata sebaliknya, itu sama saja dia membohongi dirinya.

"Kau diam, berarti aku benar, kan?" Risa berlalu duduk ke sofa.

Dilger memejamkan mata, kini Risa memojokkanya. "Ya, ya, aku mencintainya, kenapa? Kau cemburu?!"

Risa terkejut di duduknya mendengar suara meninggi Dilger dan pernyataan pria itu. Manik matanya bergerak-gerak menyelisik mata Dilger.

"Kau ...." Mata Risa mulai berkaca-kaca dan bahunya pelan-pelan mulai bergetar.

"Risa," lirih Dilger. Ada rasa sesal terjepit dalam dadanya, seharusnya dia tak mengatakannya. Istri mana yang tak terguncang mendengar suaminya terang-terangan mencintai wanita lain.

Dilger menarik Risa dalam dekapannya, mengelus-elus punggung wanita itu, berharap tangisnya mereda, tapi Risa justru malah kian menangis. Dilger kini merasakan cairan basah menembus kemejanya.

"Apa karena aku sudah tak cantik lagi hingga kau berpaling dariku?" desis Risa di tengah-tengah isak tangisnya.

Dilger menggelengkan kepala, lalu mengecup rambut Risa. "Kau cinta pertamaku dan akan selalu begitu."

"Bohong!" Risa menarik dirinya dari dekapan Dilger. Matanya sudah memerah bercampur tangis dan amarah.

"Maafkan aku, Sayang!" Hanya itu yang keluar dari mulut Dilger. Dia kembali mencoba menarik Risa. Namun, wanita itu segera menepis keras tangannya.

"Sejak kapan?" Risa menatap buram wajah Dilger, air matanya masih meluruh seolah tak ingin berhenti.

"Sejak kapan kau mencintainya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status