Share

Dua

"Sejak kapan kau mencintainya?"

Dilger melengos kala tatapan kehancuran Risa bertemu dengannya.

"Jawab aku!" Risa meremas tangan Dilger.

Gigi Dilger saling beradu. Kenapa perasaan terlarang itu harus muncul dalam dadanya? Kenapa harus gadis pungut itu? Kepala Dilger mulai berkecamuk merutuki kebodohannya.

Dilger menarik napas. "Aku tak bisa, Risa. Itu tentu melukaimu."

Risa membuang wajah, mengusap kasar pipi basahnya. "Luka? Kalau kau tahu kelakuan bejatmu itu melukaiku, lalu kenapa kau tega? Kenapa?" Tangis Risa kini berhenti berganti tatapan nyalangnya. Kedua alisnya meliuk.

Risa mendengus menyaksikan Dilger tak berkutik. Wanita berambut hitam itu bangkit dari duduknya.

"Mau kemana, Ris?"

Risa menoleh tanpa menjawab dan melanjutkan langkahnya yang terhenti. Dilger mengusap kasar wajahnya. Dia menghempaskan punggungnya di sandaran sofa diikuti erangan frustrasi.

*

Vai cekikikan memeluk boneka beruang yang besarnya melampaui tubuhnya. Tawanya seketika terhenti saat pintu kamarnya diketuk. Gadis itu pun bangkit dari duduknya.

"Tante Risa!"

Risa menyunggingkan senyum. "Boleh aku masuk?"

Vai mengangguk dan membuka lebar pintunya. Risa mengedarkan pandangannya, kamar paviliun ditempati Vai berwarna merah muda seluruhnya dengan aneka pernak-pernik yang menempel di dinding layaknya kamar anak kecil.

"Tumben Tante kemari?" Vai bertanya dengan suara yang dibuat menggemaskan tak lupa bibirnya yang mengerucut.

"Berhenti bertingkah bagai anak kecil. Sadar, Vai, umurmu sudah hampir kepala tiga!"

Rahang Vai mengeras sesaat. Jelas ada nada tak suka dalam tekanan kata Risa. Namun, bukan Vai namanya jika suka menurut.

"Tante kok ngomong gitu sama anak sendiri!" Vai menyikut pelan lengan Risa diikuti senyum centilnya.

Risa mendelik. "Kau bukan anakku, lagi. Kita hanya berbeda enam tahun saja!"

Tatapan Vai berubah keras, dia menoleh menatap Risa dengan tatapan yang berbeda.

Vai memajukan wajahnya, lantas berbisik, "Oh, ya? Kalau begitu, kau pasti rela jika Dilger menikahiku."

Plak

Dada Risa kembali bergemuruh, amarah yang sudah tenang sebelumnya kembali bangkit meliar. Namun, tak lama setelahnya, wajahnya berubah pias kala mendapati bahu Vai bergetar.

"Va-Vai ...." Risa menyentuh bahu Vai. Namun, seketika dia tersentak kaget.

Vai tertawa keras yang terdengar mengerikan.

"Apa yang ingin kau dengar?" Tawa Vai berhenti dan menatap tajam ke arah wanita di depannya. Dia memajukan tubuhnya mendekati Risa.

"V-Vai, kenapa kau begini?" Risa beringsut mundur hingga gerakannya buntu di ujung sofa.

"Hahaha!" Tawa Vai kembali berderai, kali ini tawanya terdengar nyaring. Namun, tak seseram tawa sebelumnya.

"Wajah Tante lucu sekali, hahahah!" Vai mengusap sudut matanya yang berair.

"Jadi, apa karena Paman Dilger, Tante tak menganggapku anak lagi?" Vai mengerucutkan bibir.

"Ada yang ingin kutanyakan padamu." Risa beralih pada topik lain. Sejatinya, dia sudah tak menganggap Vai sebagai anak angkat sejak gadis itu berumur 25 tahun. Titik awal cerita yang tak pernah diduganya.

Alis Vai melengkung ke atas. Sungguh, Vai begitu menggemaskan dengan ekspresi khasnya itu, terlebih dengan mata bulatnya yang lentik, hidung mancung yang mungil, bibir tipis kecil yang begitu menggemaskan saat mengerucut, dan mata hazel-nya yang menghanyutkan.

Vai berparas boneka barbie yang katanya—Vai— bukan hasil operasi plastik. Risa akui, dirinya saja pangling melihat kecantikan Vai, apalagi Dilger.

Kini Risa mengerti alasan suaminya berubah. Gadis udik kumal yang dipungutnya tujuh tahun lalu kini berubah menjadi gadis cantik yang memikat hanya melalui wajah dan mimiknya yang menggemaskan.

"Sejak kapan kau mencintai suamiku?" Risa sengaja menekan kata 'suamiku' seolah menjelaskan barang kepemilikannya.

Vai mengerucutkan bibir, jemari pucatnya kini memilin-milin ujung rambutnya.

"Bagaimana aku tak cinta jika Paman Dilger selalu memberiku harapan."

Napas Risa tercekat. Harapan? Bagaimana mungkin? Dilger terkenal cuek terutama pada lawan jenis. Bahkan, semasa Risa pacaran dengan Dilger, Risa-lah yang lebih sering mengajaknya kencan dan poin terburuknya Risa yang melamar pria itu lebih dahulu. Jadi, apa yang dikatakan Vai terasa mustahil baginya.

"Seperti apa saja?" Risa memberanikan diri bertanya.

Alis Vai bertautan sedang berpikir. "Paman sering menciumku tiba-tiba, memelukku tiba-tiba, dan ...." Bibir mungilnya terkatup rapat, dia menatap Risa yang kini tercengang.

"Dan apa?" Mata Risa bergerak-gerak.

Vai memajukan wajahnya, mengikis jarak dengan Risa. Telapak tangannya terangkat di bibir. Dia berbisik, "Paman pernah berkata dia akan menikahiku."

Dua peluru terasa tertancap bersamaan di dada Risa, mulutnya mulai bergetar, tatapannya terpaku kosong.

"Benarkah Dilger seperti yang dikatakan Vai? Tapi tak mungkin ... tak mungkin," batin Risa menyangkal. Dia menatap Vai yang kini menaut-lepaskan jemarinya.

Vai mengangkat kepala menyadari Risa menatapnya bergeming.

"Paman pernah melucuti paksa pakaianku."

Wajah Vai terteleng keras ke samping. Satu tamparan mendarat lagi di pipinya. Risa dengan gemetar mengepal kuat tangannya, matanya kembali memanas.

"Jangan memanggil dia pamanmu lagi!" Risa memberi peringatan. Saat ini dia merasa muak dengan gadis dihadapannya. Ah, ralat, seharusnya remaja tua.

Dari cerita Vai, Dilger tak ada bedanya dengan pria belang diluar sana dan betapa rendahnya dia.

Panggilan paman dari mulut kecil remaja tua itu kini terdengar menjijikkan seolah Dilger seorang pria yang haus belaian.

Risa bangkit dari duduknya meninggalkan remaja tua itu yang masih menunduk tertutupi rambut panjangnya.

Risa tak langsung kembali ke kamarnya. Dia menuju kamar kecil yang tersembunyi dalam perpustakaan. Di sana, dia menangis sejadi-jadinya.

Namun, dia masih belum mengerti apa yang sedang ditangisinya saat ini. Dirinya yang malang, Dilger yang mencintai Vai, atau gadis pungut yang membawa malapetaka.

Risa menekan dadanya, tubuhnya bersandar pada daun pintu hingga tungkainya terasa melemas dan dia merosot pelan-pelan, terduduk di lantai. Risa menenggelamkan wajahnya di antara lututnya, meredam tangis.

Dia benci drama hidupnya.

Kini tangisnya mulai mereda, tersisa isakan kecilnya yang entah kapan berhenti. Risa merenungi satu hal yang kini sangat disesalinya. Dia seharusnya tak memaksa Dilger untuk memungut gadis jalanan itu—Vai— jika pada akhirnya, remaja tua itu yang akan menghancurkan hidupnya dan pernikahannya barangkali.

Risa menyalahkan dirinya. Kenapa dia harus terlena dalam indahnya mata hazel gadis itu, rambut cokelat lurus sepinggangnya, dan sorot matanya yang menjanjikan ketenangan.

Risa memejamkan mata. Sekarang siapa yang harus dia salahkan?

*

"Risa!" Dilger mendekati Risa yang baru kembali ke kamar setelah pagi tiba.

"Kau dari mana saja? Kau tahu betapa khawatirnya aku?" Dilger menarik Risa dalam dekapannya. Wanitanya tampak begitu kacau.

"Bagaimanapun kau tetap istriku, Risa, dan aku suamimu. Aku milikmu, hanya milikmu."

Risa melepas pelukannya berganti menatap Dilger. Sorot mata sayu Dilger kini berbeda di matanya.

"Makan dulu, ya, Sayang. Kamu belum makan sedari semalam."

Kali ini Risa tak merasakan manisnya panggilan sayang Dilger. "Mungkin hanya aku saja yang memilikimu, tapi kau tak merasa memilikiku."

"Apa yang kau katakan? Kamu milikku dan hanya kamu seorang yang memiliku sampai kapanpun. Minumlah dahulu, wajahmu begitu pucat."

Risa menepis pelan gelas yang dipegang Dilger.

"Apa kau bisa menjanjikan itu untukku? Berjanjilah padaku," lirih Risa.

"Apapun itu hanya untukmu." Dilger mengecup bibir Risa.

Wanita pucat itu kini tampak hidup dengan senyum tipis di wajahnya.

"Aku ingin kau jujur padaku," ujar Risa menatap lekat manik Dilger, "kau pernah mencoba memerkosa Vai?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status