Share

Part 7 : Shock Therapy

My Actor

"Ibu gimana kabarnya?"

"Ibu sehat. Kamu sendiri bagaimana, Nak? Kamu baik-baik saja, ? Kapan kamu pulang?"

Suara penuh kelembutan dari sang ibu meski hanya lewat telepon mampu menghadirkan kesejukan ke hati Alana.

"Iya, Bu. Alana baik-baik aja. Ibu doain, ya, supaya kerjaan Alana lancar. Ntar kalau kerjaan Alana nggak terlalu padat, Alana pulang, nginap di rumah."

"Kamu, jaga kesehatan, ya, Nak. Ibu selalu doain kamu. Ibu juga selalu menunggu kedatangan kamu."

"Alana juga kangen Ibu. Sangat kangen malah. Oh, iya, Bapak kondisinya gimana? Masih stabil?"

"Alhamdulillah, Beberapa hari ini kondisi Bapak selalu stabil. Mudah-mudahan selalu begitu, ya. Oh, iya, Ibu berencana untuk jualan lagi. Mumpung kondisi bapak sudah semakin membaik."

"Bu, Ibu jangan capek-capek lagi. Ibu fokus ngerawat bapak aja sama jaga kesehatan ibu. Alana 'kan udah kerja, udah punya penghasilan. Biar Alana saja yang tanggung semuanya."

"Nak, Ibu masih kuat. Kalau cuma jualan seperti dulu, ibu masih sanggup. Ibu tidak mau kamu jadi terbebani. Kamu itu sudah capek kerja, jangan sampai penghasilan kamu habis untuk bapak dan Ibu saja. Kamu juga perlu mempersiapkan untuk masa depan kamu. Kamu juga harus memikirkan diri kamu sendiri, Nak."

"Ibu, Pokoknya Alana tidak izinkan Ibu untuk jualan atau kerja apapun. Semuanya Alana yang tanggung. Nanti Alana transfer lagi ke Ibu. Ibu butuh kapan pun bilang ke Alana. Tujuan Alana bekerja adalah untuk Bapak dan Ibu. Alana ingin meringankan beban ibu."

"Terima kasih, ya, Nak. Tapi jangan lupa juga tabungan buat masa depan kamu, ya."

"Iya, Bu. Sekarang ibu istirahat, ya. Alana mau ngecek jadwal kerjaan dulu."

"Iya, Nak. Kamu juga istirahat yang cukup, ya. Ingat, kalau kerjaan kamu sudah luang, pulang, ya!"

"Iya, Bu. Pasti."

Sejak dua tahun yang lalu Alana sudah tinggal terpisah dari orang tuanya. Kediaman orang tuanya yang berada di lingkungan padat penduduk serta akses yang lumayan memakan waktu membuat Alana memutuskan untuk tinggal di rumah kontrakan yang tidak jauh dari tempat tinggal Razka.

Di sebuah rumah di perumahan menengah, Alana tinggal bersama dua orang temannya yang bekerja di biro iklan. Jadwal Alana pulang ke rumah orang tuanya memang tidak menentu. Tergantung jadwal dan lokasi syuting Razka.

Pernah ketika Razka syuting di luar kota, selama beberapa bulan Alana tidak pulang. Namun begitu, Alana tidak pernah mengabaikan kebutuhan orang tua beserta adik-adiknya. Dia menjalankan peran sebagai tulang punggung keluarga menggantikan bapaknya yang sudah tidak bisa lagi bekerja.

Selesai menelepon ibunya, Alana duduk di pinggir tempat tidur sambil menatap ponsel keluaran terbaru miliknya. Sudah dua hari layar ponselnya itu tidak menampilkan nama Razka.

Dua hari juga Alana mencoba bercengkrama dengan dirinya sendiri. Merenungkan kembali perjalanan hubungannya dengan Razka. Pikir Alana, harusnya semua baik-baik saja. Alana merasa sikapnya wajar-wajar saja. Selama ini dia tidak pernah membatasi gerak-gerik Razka. Hanya ketika kedekatannya dengan Reana yang terkesan  berlebihan yang membuat Alana agak cemburu.

Alana pikir dengan dia menunjukkan rasa cemburunya, Razka akan menjaga jarak dengan Reana. Tetapi nyatanya malah jadi bumerang bagi dirinya. Razka malah merasa kalau Alana terlalu posisif dan curigaan hingga ujung-ujungnya mereka ribut dan Alanalah yang dituding bersalah.

Alana menghela napas berat. Harusnya Razka memberi perhatian lebih padanya bukan malah semakin menjauh dan lengket dengan gadis yang baru beberapa bulan ini hadir dalam hidupnya.

Lamunan Alana terhenti ketika ponsel di dalam genggamannya mengeluarkan getar dan suara. Nama Razka tertera di sana. Karena rindu yang begitu membuncah, tanpa berpikir apa-apa lagi langsung saja telepon itu dijawabnya.

"Aku di depan. Bukain pintu!" Suara Razka terdengar datar dan tanpa diawali basa-basi.

Alana menjauhkan kembali ponsel dari telinganya. Bergegas dia bangkit dan menyempatkan mematut penampilan di depan kaca. Menit berikutnya, Alana keluar dari kamarnya.

Alana kembali merapikan anak-anak rambutnya sesaat sebelum membuka pintu utama.

Begitu pintu terbuka, benar saja, Razka sudah berdiri di sana dengan ekspresi yang datar. Alana yang tadinya sudah menyiapkan senyum semringah untuk menyapa mengurungkan niatnya. Untuk beberapa saat mereka hanya terpaku dalam bisu.

"Masuk dulu!" ujar Alana yang masih berdiri di ambang pintu.

"Jadwal aku mana?" tanya Razka tanpa menggubris ajakan Alana.

"Jadwal apa?" balas Alana sembari beringsut masuk dan mendudukkan diri di sofa tamu. Dia pun mencoba mengimbangi sikap dingin Razka. Menguburkan kembali rasa rindu yang sempat dibiarkan menggebu.

"Ya, jadwal kerjaanlah! Aku mau reschedule."

Razka mengikuti gerak Alana. Namun dia duduk agak berjarak dari Alana.

Alana menajamkan tatapan pada Razka. "Buat apa reschedule?"

"Urusan aku! Nggak semuanya harus aku kasih tahu sama kamu," jawab Razka ketus.

Alana menghela napas pelan sembari mengalihkan pandangan.

"Okey, besok atau lusa aku kasih. Aku mau cancel dulu job-job yang belum terlanjur di-DP," ujar Alana tanpa menatap Razka.

Seketika Razka menoleh pada gadis yang telah bertahun-tahun menemani hari-harinya itu.

"Kenapa dicancel?" tanya Razka dengan tatapan penuh tanya.

"Kamu ingin lepas dari aku, kan? Tidak ingin dimanajeri aku lagi, kan? It's Okey! Aku tidak akan menahan kamu. Silakan aja, tetapi semua job yang didapat dari hasil nego aku, aku batalkan lagi. Yang sudah terlanjur, silakan kamu lanjutkan dan setelah itu, silakan kamu usaha sendiri dengan manajer kamu yang baru nantinya."

Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja terbesit ide seperti itu dalam pikiran Alana dan tanpa pikir dua kali langsung dilontarkan saat itu juga.

Razka nampak mengkerutkan dahi. Matanya membulat menatap Alana yang terlihat santai saja setelah mengucapkan kata-kata seperti itu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status