"Jadi itu si OB yang menggoda Pak Arvan?"
"Iya. Padahal denger-denger dia itu pacaran sama sepupu Pak Arvan."
"Paling cuma mau morotin mereka aja."
"Liat, tuh! Dia juga deket sama Pak Malik."
Bisik-bisik para karyawan yang melihat Diana. Terutama karyawan di lantai lima belas.
***
Arvan menjatuhkan Diana hingga ia jatuh terjerembab ke lantai. Lelaki dengan rambut berjambul ini sejenak tak bisa bernapas ketika melihat Malik di depan pintu serta karyawan di lantai lima belas yang berkerumun di luar pintu. Memandang dengan tatapan aneh ke arahnya dan Diana.
"Tu ... tu ... tutup pintunya!" titah Arvan dengan gagap kepada Malik sambil menunjuk-nunjuk ke arah pintu.
Malik menutup pintu dan menguncinya. Tangannya lengket terkena sarang laba-laba yang dipasang bosnya tadi pagi. Ia juga menutup tirai sekaligus mengelap tangann
Diana meneguk segelas air yang ia ambil dari dispenser. Kemudian melanjutkan tugasnya menuju kantin untuk mengecek menu makan siang untuk atasannya.Ia berjalan mengamati sekeliling. Setiap kali berpapasan dengan karyawan, mereka bertingkah aneh. Menatap dengan tatapan benci serta tak jarang yang berbisik entah apa yang mereka bicarakan."Mereka pada kenapa sih?" batin Diana.Gadis berponi ini sudah sampai di kantin Tak berbeda dengan yang lain, seluruh karyawan kantin pun menatap aneh pada dirinya. Membuat ia tertunduk dan memilih kembali sebelum melakukan pekerjaannya mengecek makanan untuk sang CEO.Ia berhenti di sebuah toilet umum di belakang gedung. Mengurung diri dan menangis sendirian."Apa aku ngaku sekarang aja kalo sebenarnya aku Diana temen kecilnya Arvan. Biar semua clear. Tapi bagaimana dengan Heksa? Aku sudah janji memberinya waktu seratus hari. Sebulan
Chintya melangkah maju mendekati Diana. Dengan tegas ia meminta gadis berponi itu segera keluar dari ruangan Arvan."Hey, kamu! Tolong keluar!" kata Chintya sambil mendorong bahu Diana.Hal itu membuat Arvan kesal. Ia beranjak dari duduknya dan menghampiri Diana yang hampir saja pergi."Gak ada yang boleh keluar tanpa seijinku!" Arvan menggenggam tangan Diana. Membuat gadis berwajah oriental yang hampir mengaku identitas aslinya terdiam membeku."Aku aja yang keluar," Malik berlari keluar dan menutup pintu rapat-rapat."Van, siapa dia?" tanya Chintya sambil menunjuk ke arah Diana."Bukan urusanmu tau tentang dia!""Van, apa kamu udah gak cinta lagi sama aku?""Cinta? Kamu masih berani bicara soal cinta?""Van, aku jelasin semuanya. Tolong ngertiin aku! Aku khilaf, Van." Chintya menarik tangan Arva
"Astaga! Kita di sini khawatir banget, ternyata dia tidur mangap gitu?" gumam Arvan dalam hati.Kekhawatiran mereka sirna sudah ketika melihat Diana yang mengurung diri di kamar mandi justru tertidur. Duduk di atas closet dengan kepala bersandar tembok. Sedikit menengadah hingga mulutnya terbuka."Diana!" bentak Pak Roni dengan keras dan mengagetkan.Diana membuka matanya. Menggeliat dan menguap lebar. Mulutnya masih terbuka ketika gadis berponi ini melihat banyak orang di depan kamar mandi."Ka ... kalian kenapa semua di sini?" tanya Diana dengan kepolosannya."Kamu itu udah bikin khawatir tau gak? Heksa sampe aku hubungin karena aku ngira kamu ngelakuin hal yang aneh-aneh di dalam," tukas Malik."Aku ketiduran, maaf.""Bisa-bisanya kamu tidur di jam kerja seperti ini?" pak Roni sangat marah."Maaf, Pak. Tadi aku lag
Niat awal mengajak Diana makan siang sebelum pulang gagal. Heksa masih merasa kesal dengan perlakuan Chintya terhadap kekasihnya itu. Heksa mengemudikan mobilnya hingga sampai ke istana mewah milik keluarga Wijaya. "Sa, kirain mau ajak makan," kata Diana sambil memanyunkan bibirnya. "Oh iya. Aku sampe gak kepikiran, Di. Nanti malem aja aku ajak makan di luar ya! Sekarang kamu istirahat." Heksa mengusap rambut Diana. "Kamu gak masuk dulu?" "Gak usah. Salam aja buat mamih sama papih kamu." "Ya udah. Hati-hati ya, Sa." "Iya, sayang." Diana turun dari mobil milik Heksa. Melambaikan tangan dan menunggu mobil sang kekasih lenyap berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya. Heksa mengendarai mobil sportnya itu dengan kencang. Ia berniat untuk menemui Chintya lagi. Ada satu hal penting y
Niat awal mengajak Diana makan siang sebelum pulang gagal. Heksa masih merasa kesal dengan perlakuan Chintya terhadap kekasihnya itu.Heksa mengemudikan mobilnya hingga sampai ke istana mewah milik keluarga Wijaya."Sa, kirain mau ajak makan," kata Diana sambil memanyunkan bibirnya."Oh iya. Aku sampe gak kepikiran, Di. Nanti malem aja aku ajak makan di luar ya! Sekarang kamu istirahat." Heksa mengusap rambut Diana."Kamu gak masuk dulu?""Gak usah. Salam aja buat mamih sama papih kamu.""Ya udah. Hati-hati ya, Sa.""Iya, sayang."Diana turun dari mobil milik Heksa. Melambaikan tangan dan menunggu mobil sang kekasih lenyap berbaur dengan kendaraan lain di jalan raya.Heksa mengendarai mobil sportnya itu dengan kencang. Ia berniat untuk menemui
"Jadi ini yang kamu lakukan selama ini di belakangku?" teriak lelaki berkaca mata di depan pintu ruangan Arvan."Apa-apaan ini? Kalian jangan bikin keributan di sini!" bentak Malik."Diam kamu! Ini urusan kami," kata Danu lagi."Kami? Urus saja urusan kalian sendiri. Jangan bawa-bawa saya! Dan katakan pada istrimu untuk berhenti mengganggu hidupku lagi!" Arvan mendorong tubuh Chintya ke arah suaminya. Ya, Danu adalah lelaki yang usianya 10 tahun lenih tua dari Chintya. Ia merupakan anak seorang konglomerat. Sama-sama menjabat sebagai seorang CEO."Van, tolong aku, Van, please! Aku gak mau lagi hidup sama pria ini," kata Chintya yang sudah diseret oleh suaminya.Malik segera menutup pintu. Meski sejenak tiba-tiba pria berkumis ini merasa kasihan dan iba kepada Chintya."Van, kayaknya Chin ....""Stop! Jangan sebut nama dia lagi
Diana meminjam charger salah satu pegawai salon. Ia segera mengisi daya baterai ponselnya dan membiarkannya tergeletak di meja."Kira-kira selesai jam berapa?" tanya Diana."Gak lama kok, mungkin sekitar 3 jam," jawab pegawai salon itu sambil menjepit poni Diana ke belakang."Ya ampun. Ini jidat apa lapangan? Lebar bener," batin pegawai salon itu ketika melihat dahi diana yang menonjol dan lebar.Diana melihat jam dinding dari cermin. Perombakan yang dilakukan diperkirakan akan selesai pukul 22.00 malam.***Heksa masih menunggu dengan gelisah. Ia memanggil salah satu pelayan dan memberikan cincin itu."Jika wanitaku sudah datang, taruh cincin ini ke dalam hidangan. Terserah kalian, mau di taruh pada makanan apa. Pastikan mudah ditemukan.""Baik, Tuan.""Saya akan menjemput kekasihku dulu. Siapkan
Diana mulai kesulitan bernapas. Tanpa pikir panjang, Heksa langsung membopong gadis itu. Wajah Diana sudah pucat. Napasnya pendek seperti orang yang terserang asma dadakan."Sabar, Sayang. Kita ke rumah sakit sekarang ya!"Heksa membawa Diana keluar dari private room. Beberapa pramusaji terlihat mengintip dari balik pintu. Mereka saling berbisik karena tidak tahu jika Diana menelan cincin yang dimasukkan ke dalam cheese cake."Kasihan. Pacarnya udah bikin momen romantis kayak gini malah asmanya kambuh.""Iya kasihan banget. Mudah-mudahan gak jantungan juga."Bisik-bisik dua pramusaji yang sedang melihat Heksa kesulitan membopong Diana yang cukup berat."Di, kamu kurus tapi kok berat. Apa aku yang gak pernah angkat beban?" kata Heksa sambil terengah.Diana tidak menjawab. Ia sibuk mencolok mulutnya dengan telunjuk. Berharap sesuatu yang te