“Tunggu sebentar.” Damar mengucapkannya dengan terbata-bata. “Aku belum benar-benar siap lagi, Audrey.”
“Rey,” bisik perempuan itu tepat di telinga sang asisten, merangkap suami. “Panggil aku Rey.” “Rey,” desah Damar mengikuti permintaan istri kontraknya. “Pelan-pelan saja.” “Kita tidak punya banyak waktu, Sayang.” Tidak ada angin, tidak ada hujan. Audrey malah memanggil suami kontraknya dengan panggil baru. “Setelah ini masih harus bekerja.” Damar menggeram pelan. Lelaki itu tidak marah, tapi sedang tersulut gairahnya. Padahal, pasangan itu baru saja menyelesaikan satu sesi bercinta di atas meja kerja Audrey, tapi perempuan itu meminta lebih lagi. Setelah tadi Damar berkesempatan memimpin, makan kini Audrey yang meminta untuk memimpin. Karena itulah, sang asisten diminta untuk di kursi dan Audrey duduk di atas lelaki itu. Hal itu bahkan dia lakukan, sebelum keadaan sang suami kontrak benar-benar siap lagi. Lak“Kenapa kalian semua tidak menungguku.” Seorang anak berteriak keras, diiringi dengan isakan pelan. “Bukannya tidak mau menunggu.” Vita-ibu sambung dari Audrey yang menjawab. “Kan tanggalnya sudah ditetapkan, tapi Brian lebih memilih untuk ikut school trip dan habis itu sakit.” “Tanggal pernikahannya kan bisa diundur,” hardik anak itu tidak mau kalah. “Mana bisa seperti itu.” Vita meringis mendengar hal itu. Audrey yang sejak tadi dipeluk bocah bernama Brian hanya bisa mendesah pelan. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa bocah itu selalu menempel padanya, padahal tidak pernah diperlakukan dengan cukup baik juga. Inginnya sih Audrey mengusir anak itu, tapi jelas tidak bisa. Biar bagaimana, Brian adalah bagian dari keluarganya. “Brian.” Pada akhirnya Audrey bersuara juga. “Coba kenalan dulu sama kakaknya.” Damar tersentak pelan, ketika melihat bocah tadi memandangi dirinya dengan sengit. Dia tidak pe
“Kalian ini.” Carl tidak mungkin tidak memarahi anak dan menantunya. “Masa melakukan hal tidak senonoh di kantor?” “Ada masalah dengan itu?” tanya Audrey dengan santainya. “Tentu saja ada masalah, terutama karena adikmu datang berkunjung,” desis lelaki paruh baya bermata sama dengan putrinya. “Siapa suruh dia datang tanpa membuat janji.” Kali ini, Audrey bahkan mengedikkan bahu. “Lain kali minta Brian untuk buat janji.” Carlisle Allen mendelik melihat tingkah putrinya. Makin dinasihati, malah makin mengejek. Entah mirip siapa putri pertamanya itu. Untung saja menantunya masih waras. “Maaf, Dad. Lain kali tidak diulangi.” Walau amat malu, Damar tetap mengatakannya. “Mungkin setelah anak baru kau bisa berubah.” Ayah dua anak itu berdecak pelan. “Berhentilah pakai pengaman, biar cepat jadi dan sisanya tidak dimainkan adikmu.” Damar menahan napas mendengar hal itu, sementara Audrey terlihat biasa sa
“Pak Damar? Kok gak masuk?” Seorang satpam menegur lelaki yang hanya berdiri di luar gedung. “Oh, tidak apa-apa, Pak.” Damar dengan cepat menggeleng. “Saya sedang izin dan cuma kebetulan lewat, jadi ....” Lelaki itu terlihat ragu pada awalnya, tapi pada akhirnya menyerahkan juga bungkusan yang dia pegang sejak tadi. Sebuah tas kanvas yang terlihat seperti tempat bekal. “Bisa tolong sampaikan ini untuk Bu Audrey?” tanya Damar terlihat agak sedih. “Tadi dia meminta tolong dicarikan makan siang, tapi hanya ini yang bisa saya dapatkan.” “Pasti bisa kok, Pak. Tenang saja.” Damar hanya bisa tersenyum melihat pak satpam paruh baya itu berlari masuk lagi. Satpam itu sepertinya pergi untuk meminta OB menyampaikan tas kanvas bergambar karakter kartun itu pada orang yang bersangkutan. “Semoga dia tidak marah lagi,” gumam lelaki yang berdiri di depan gedung itu dengan raut sedih. *** “Kau bilang ini
“Maaf.” Audrey segera menyela apa pun itu yang ingin dikatakan oleh Felix. “Tapi aku tidak mengerti kenapa kau terlihat ragu seperti itu." “Aku terlihat ragu bagaimana?” tanya Felix dengan kening berkerut. “Kau baru saja mempertanyakan Damar.” Felix dan Jennie yang mendengar itu refleks mengerutkan kening. Mereka berdua tampak berpikir cukup keras, sampai akhirnya Jennie duluan yang bersuara. “Kurasa Bu Audrey benar.” Perempuan itu mengangguk dengan cukup yakin. “Kenapa kau menanyakan Damar yang sudah jelas adalah asisten pribadi Bu Audrey?” Kening Felix jelas makin berkerut mendengar itu. Di sudah bisa menebak kenapa perempuan berjas putih di sebelahnya tidak tahu menahu, tapi masih bingung dengan alasannya. Untung saja lelaki itu tidak memperpanjang masalah. “Kalau begitu, di mana Damar?” Felix memilih untuk menanyakan lelaki yang dibicarakan. “Izin,” jawab Audrey refleks saja. “Ada urusan keluarga
“Kau barusan bilang apa?” tanya Audrey dengan sebelah alis terangkat. “Bercerailah dan menikah denganku saja. Kalau hanya untuk menerima warisan ....” Kalimat Felix terhenti begitu saja, ketika dia merasakan ada cairan yang mengenai wajahnya. Cairan cokelat berbau kopi itu, membuat pakaiannya yang berwarna terang jadi ternoda. Hal yang membuat lelaki itu nyaris saja mengumpat. “Aku bertanya baik-baik padamu dan ini yang kudapatkan?” Felix bertanya, setelah mengusap wajahnya dari cairan yang terasa sedikit lengket di wajahnya. “Apakah meminta orang yang sudah menikah untuk bercerai bisa disebut baik-baik?” tanya Audrey dalam desisan marah. “Harusnya kau bersyukur karena aku hanya menyirammu dengan kopi dingin.” “Aku tahu kau melakukan ini dengan terpaksa.” Felix mengucapkannya dengan lebih lembut. “Dari pada dengan lelaki tidak di kenal, lebih baik denganku kan?” Audrey memukul meja kacanya dengan keras. Suarany
“Kau ingin ke mana?” tanya Audrey dengan kedua alis terjungkit naik. “Taman hiburan,” jawab Damar dengan mata berbinar. “Kenapa harus ke sana?” “Karena kita akan pergi kencan kan?” “Tidak adakah tempat lain?” “Menonton film dan makan?” Audrey memegang keningnya yang tiba-tiba saja merasa tidak nyaman. Padahal dia sudah mengiyakan ajakan Damar pergi kencan di hari libur, tapi kenapa lelaki itu ingin pergi ke tempat yang terdengar kekanakan? Bukankah mereka sudah berumur lebih dari dua puluh tahun? Harusnya bisa pergi ke tempat yang lebih bermanfaat seperti tempat olah raga, museum dan sejenisnya kan? Kenapa malah taman hiburan? “Apa kau tidak mau?” tanya Damar dengan tatapan mata yang terlihat sedih. Sungguh, rasanya Audrey bisa melihat lelaki tinggi besar itu menjelma jadi anak anjing. Dia bisa membayangkan ada ekor yang melengkung lesu di belakang Damar. Hal yang membuat A
“Audrey, tolong jangan cari gara-gara.” Damar makin merapatkan diri ke jendela. “Aku sama sekali tidak cari gara-gara,” jawab perempuan yang tengah bersandar pada bahu bidang suaminya. “Memangnya aku tidak boleh bersandar padamu ya?” “Tentu saja kau boleh bersandar, tapi tolong tanganmu dijaga.” Setelah bersabar beberapa menit, pada akhirnya Damar menangkap tangan sang istri yang sejak tadi bertengger di paha dan dadanya. Bukan hanya sekedar diam, tapi tangan lentik nun putih itu menjelajah ke mana-mana. Tangan Audrey mengelus, sampai pada titik-titik tertentu yang membuat Damar merinding. Sesuatu hal yang memang disengaja perempuan itu. “Oh, apa sekarang kau ingin memimpin?” tanya Audrey melirik kedua tangan yang dipegang sang suami. “Aku mengajakmu berkencan dan naik bianglala bukan untuk ini,” pekik Damar dengan wajah bersemu merah. Sungguh, demi apa pun dia merasa malu. Walau apa yang dilakukan sang istri s
“Cieh, yang sudah punya pacar.” Ucapan bernada mengejek itu, terdengar ketika Damar muncul dan setelah Audrey masuk ke dalam ruangannya. “Apaan sih, Kak Jen.” Hanya itu yang bisa dikatakan Damar, sebagai jawaban pada sekretaris Audrey. “Padahal banyak yang suka padamu loh, Dam.” Perempuan yang dipanggil Jen tadi tetap menggoda lelaki yang lebih muda darinya itu. “Mereka jadi patah hati deh. Siapa cewek beruntung itu?” Tentu saja Damar tidak akan menjawab. Dia langsung duduk di mejanya, lalu mengatur beberapa barang. Walau terus didesak, Damar tentu tidak akan mengatakan apa pun. Dia tidak mungkin menyebut nama sang atasan kan? “Kau sungguh tidak mau bilang apa-apa?” tanya Jen dengan kedua alis yang naik turun. “Apa yang harus saya katakan?” tanya Damar dengan sopan dan senyum lebar. “Siapa perempuan yang kau foto kemarin?” “Bukan siapa-siapa.” “Ah, tidak seru.” Jen mendengkus kesal. “Masa yang seperti itu saja mau disembunyikan.” “Apanya yang disembunyikan?” Dua orang yang