“Kau lagi?” tanya Damar dengan ekspresi lelah. “Aku hari ini sudah punya janji dengan Audrey dan Jennie,” jawab Mathilda dengan santainya. “Aku juga tahu itu, tapi ....” Damar menjeda untuk menarik napas, tapi pada akhirnya dia tidak melanjutkan kalimatnya. “Sudahlah lupakan saja, aku sedang tidak ingin berdebat.” “Tidak apa-apa, katakan saja,” ucap Mathilda sedikit memaksa. “Apa pun yang kau katakan, akan aku dengar dan akan berusaha menerimanya dengan baik. Ingat ya, berusaha. Bukan langsung menerima.” Damar menaikkan satu alis mendengar nada memaksa itu. Nada suara seperti itu, sesungguhnya membuat Damar merinding. Untung saja kali ini dia bisa menahan diri dengan baik, karena ada orang lain di ruangan. Keberadaan orang lain, membuat Damar merasa sedikit lebih tenang. Hanya sedikit saja, karena sekarang tangannya masih basah oleh keringat. “Ayo bicara saja, aku akan mendengar,” desak Mathilda sekali lagi. “Maaf, Nona ....” Tere ingin mencoba untuk menengahi, tapi Dam
“Akhirnya kau datang juga.” Audrey mengatakan itu, tanpa menatap orang yang baru masuk ke dalam ruangannya. Dia sedang bekerja. “Kupikir kau mau membatalkan janji.” Kening Audrey berkerut ketika tidak langsung mendengar jawaban. Padahal, harusnya Mathilda sudah mengomel sekarang. Setidaknya itu yang dipikirkan oleh yang empunya ruangan. “Apa lehermu sakit atau apa? Kenapa kau ....” Audrey baru saja mendongak, ketika merasakan sesuatu menarik rambutnya dengan cukup keras. “Kenapa kau harus merebut Damar dariku,” desis Mathilda yang menjadi pelaku utama. Audrey berdecih pelan ketika melihat wajah memerah Mathilda yang sangat dekat dengan wajahnya sendiri. Perempuan itu tampak sudah akan menangis, antara merasa marah dan sakit hati. “Pertanyaan itu adalah milikku, Bocah.” Audrey balas mendesis. Yang empunya ruangan bukan mendesis karena merasa sakit, tapi merasa kesal dengan pertanyaan Mathilda. Padahal yang menjadi orang ketiga di sini adalah Mathilda, bukan Audrey. “Apa
“Kenapa dia sering sekali masuk rumah sakit?” Vita mengembuskan napas pelan, ketika melihat kondisi menantunya. “Aku hanya sedikit kelelahan, Mom,” jawab Damar dengan pelan. “Aku sama sekali tidak pingsan, tapi semua orang memaksaku pergi ke rumah sakit.” “Mom?” Jennie yang juga ada di ruangan rumah sakit langsung bertanya. “Siapa yang kau panggil Mom, Damar?” Semua orang menoleh ke arah datangnya suara. Tidak ada yang menyangka, kalau Jennie ternyata belum pulang sejak tadi. Kini, perempuan itu datang lagi dengan secangkir kopi di tangan. Jennie tentu saja mengenali siapa Vita. Perempuan yang dimaksud adalah ibu tiri dari Audrey dan jelas tidak punya hubungan dengan Damar. “Kau ... salah dengar mungkin,” jawab Vita mencoba untuk menutupi. “Saya tidak salah dengar, Bu Vita. Sejak tadi di kantor, saya sudah mendengarkan hal tidak masuk akal dan ikut sampai ke sini untuk meminta penjelasan. Vita mengembuskan napas dengan pelan. Dia sudah tahu pernikahan ini disembunyikan,
“Jadi, kau ibunya Audrey?” tanya Fiana dengan tangan terlipat di depan dada. “Kau menipuku?” Mereka semua, pada akhirnya berkunjung ke cafe terdekat dari rumah sakit. Tapi kali ini, Mathilda tidak ikut. Fiana sendiri yang memintanya untuk pulang. “Aku tidak menipu,” jawab Vita dengan tegas. “Aku hanya tidak tahu kalau kau adalah ibunya Damar. Panggilan Mbak Fiana itu, Madre kan? Kupikir Madre itu adalah sebuah nama, tapi tahu-tahunya sebutan untuk ibu.” Fiana mengangkat sebelah alisnya. Dia sedang mencoba melihat apakah perempuan yang hanya sedikit lebih muda darinya itu sedang berbohong atau tidak. Sayangnya, Fiana tidak bisa menemukan apa pun. “Saat kita bertemu, aku bahkan tidak tahu siapa Mbak Fiana,” lanjut Vita dengan tenangnya. “Aku pikir kita bisa berteman baik, jadi aku mencoba untuk akrab. Aku bahkan tidak tahu kalau Damar masih punya keluarga, sampai beberapa hari lalu." Untuk yang kalimat yang terakhir, Vita sama sekali tidak berbohong. Memang pada awalnya dia t
“Jadi, apa yang sebenarnya terjadi di sini?” Pertanyaan itu adalah hal pertama yang keluar dari mulut Jennie keesokan harinya. Lebih tepatnya lagi, saat dia sudah duduk di sofa yang ada di ruangan Audrey. Tentu saja sang pemilik ruangan, Damar dan Mathilda juga ada. “Kami sudah menikah,” jawab Audrey tanpa harus berpikir panjang. “Jadi sebenarnya dari awal Damar masuk, kalian sudah bersama? Atau, setelah itu?” Jennie kembali bertanya. “Dari sebelumnya.” Kini giliran Damar yang berbicara, menyamakan dengan apa yang pernah dia katakan pada ibu dan mertuanya. “Kami memang berkenalan belum terlalu lama dan tidak terlalu akur juga, tapi kami memutuskan menikah.” “Lalu setelah dijalani, ternyata aku membutuhkan Audrey lebih dari yang aku bayangkan.” Damar kembali menatap istrinya dengan senyum lebar. Tentu saja Audrey kembali tersenyum pada lelaki yang duduk di sampingnya. Dia harus melakukan itu, untuk menunjang skenario yang sudah mereka susun bersama. Tapi entah kenapa, Audr
“Damar.” Audrey memanggil dengan hati-hati. “Ya.” Lelaki yang dipanggil, menoleh untuk sesaat dan mengalihkan perhatian dari jalanan yang ada di depannya. Sekarang ini, dua orang itu sedang perjalanan pulang dari kantor ke rumah. Keadaan jalanan yang hari ini sangat macet, membuat mereka berdua menghabiskan lebih banyak waktu di jalanan. “Aku penasaran, bagaimana kau menanggapi pernikahan kita sekarang ini?” tanya Audrey pada akhirnya memantapkan hati untuk bertanya. Damar tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir, tapi itu hanya berlangsung sebentar saja. Mungkin hanya semenit saja. “Sebenarnya, aku menginginkan pernikahan ini dilanjutkan saja.” Damar menoleh, untuk melihat reaksi perempuan yang ada di sebelahnya. “Maksudku, tidak perlu pakai kontrak lagi. Tapi kalau mau ada perjanjian pernikahan, aku tidak keberatan.” “Kenapa kau ingin seperti itu?” tanya Audrey jadi makin penasaran saja. “Kenapa tiba-tiba berubah pikiran. Sebelumnya kan kau tidak menginginkan ikatan
“AUDREY.” Perempuan yang dipanggil itu mendongak. Dia bisa melihat ibu dan mertuanya berlarian di lorong rumah sakit. Hal yang membuatnya sedikit saja merasa lebih lega. Setidaknya, ada yang bisa menemaninya dan ada tempat Audrey untuk curhat. “Apa yang terjadi?” Fiana adalah orang pertama yang bertanya. “Kenapa Damar ada di rumah sakit lagi?” “Ada begal,” jawab Audrey tanpa perlu berpikir panjang. “Padahal jalanan cukup ramai, tapi mereka tetap berusaha memecahkan kaca mobil dan melukai Damar dengan pisau.” “Apa mereka gila?” tanya Vita dengan nada suara yang meninggi. “Dasar orang-orang tidak ada kerjaan. Memangnya mereka pikir tidak akan tertangkap.” “Mereka tertangkap, Mom. Itu pun karena Damar punya refleks yang cukup bagus,” balas Audrey terlihat cukup cemas. “Dia dengan cepat membuka pintu mobil dengan keras, untuk menjatuhkan orang-orang itu. Kebetulan mereka sangat mepet ke mobil.” “Lalu apakah Damar terluka? Di mana dia?” Audrey tersenyum kecut mendengar perta
“Ada apa dengan matamu itu?” Vita langsung bertanya, ketika melihat tampang putri sambungnya esok hari. “Kenapa dengan mataku?” tanya Audrey kebingungan. “Dia tampak merah.” Fiana yang menjawab. “Seperti orang habis menangis.” “Siapa yang menangis?” hardik Audrey tampak sedikit panik. “Aku hanya tidak bisa tidur semalaman, tapi itu tidak berarti aku cemas.” Fiana mendengus pelan mendengar apa yang barusan menantunya katakan. Baginya, melihat Audrey yang menyangkal terlihat sangat lucu. Tapi sudahlah, Fiana sedan tidak ingin bertengkar dan memilih untuk mengangguk saja. “Bagaimana Damar?” tanya Audrey, mengintip ke arah ranjang pasien. “Seperti yang kau lihat.” Masih Fiana yang berbicara. “Dia sudah dipindahkan ke kamar rawat inap biasa dan itu berarti Damar sudah lebih baik dari kemarin.” Audrey mengangguk pelan. Dia merasa sangat bodoh, karena masih mempertanyakan hal yang sudah pasti. Hal yang membuat perempuan itu lupa mendekat ke arah ranjang dan melihat lelaki yang