"Sudah dipastikan, bukan mereka pelakunya," tablet hitam Alexa menyisir kebenaran. Zara gusar walau diam di ruangan Alexa."Tenang saja, kami semua di sini untukmu." lirih Zack meneleng tersenyum manis. Termakan rayuan, Zara mendongak terpana. "Kalian semua ...," bahkan lidah tak mampu berucap. "Kata Tuan Reon, sungguh merepotkan," desis Alexa kaku.Zack berkacak pinggang, "Oh, jadi kau menghilang saat kehilangan Ryo karena mendatangi seluruh media yang akan menghadiri pesta? Hebat sekali! Apa kau peramal?" "Aku terlalu pintar, tidak lamban sepertimu," jawab Alexa cuek. Zack merasa terhina. "Argh, kau selalu mencari gara-gara denganku! Aku harus mengawasi Bos agar tidak disentuh wanita manapun walau hanya seujung kain. Dia bisa alergi nanti!" menunjuk Alexa marah."Alibi!" Alexa acuh. Zack semakin kesal. Mereka pun berdebat dan dipastikan Alexa selalu menang. Zara melongo menatap mereka bergantian. Dia bisa merasakan desiran darahnya yang mengalir tenang. 'Perasaan apa ini?
Zara dipaksa memasuki kamar utama. Reon langsung memeluknya. "Aaa, Tuan, aku tidak bisa bernapas! Ini tidak benar!" pekiknya kecil mendorong Reon."Apa yang kau pikirkan? Bercanda seperti ini tidak baik."Memalingkan wajah mengatur napas. Laki-laki itu tetap memandangnya datar. Zara melirik dengan perasaan gelisah.'Apa-apaan dia? Keterlaluan sekali! Kenapa tiba-tiba memelukku?' batinnya mencicit seperti burung.Wajahnya semerah tomat menahan malu. Mengerjap sadar telah meninggalkan Bastian. "Oh, tidak! Bastian sendirian di depan!" Zara memekik.Reon melotot menekan keberanian Zara. "Biarkan saja!" serunya tajam dan dalam.Sontak nyali Zara menciut. "Kenapa jadi seram begini?" gumamnya jelas.Zara menangkap adanya kegelapan di bola mata Reon."Inikah balasanmu?" Pertanyaan itu menyiratkan alasan. Begitu dalam dan berdengung di kepala. Zara tak bisa mengelaknya. 'Apakah Reon ingin diperhatikan? Benar juga, sejak kemarin aku belum berterima kasih dengan benar. Aku sibuk dengan pi
Kabar Reon terjangkit virus mematikan menyebar ke penghuni rumah. Seluruh pelayan berjajar di depan kamar Reon memakai masker. Mereka sedih. "Ah, aku tidak percaya ini. Mereka menganggap demam itu virus mematikan?" Zara menepuk dahinya. "Zara, selamatkan Tuanku dari kematian," Alexa sedih di ujung lemari."Sudah kubilang dia tidak akan mati! Ini hanya demam tinggi!" teriak Zara kesal di tepi ranjang."Selama ini Tuan tidak pernah sakit," ujar Alexa. "Hah? Benarkah? Mustahil!" Zara berubah terkejut.Alexa hanya mengangguk. "Kalau begitu kenapa kau melarangku tadi?" Alisnya bertaut sendu memandang Reon.'Sejak kedatanganku, dia telah menunjukkan kerapuhannya. Apa selama ini ... Reon selalu menahan sakit sendirian? Meskipun jam kerjanya tidak teratur, tapi dia bekerja tanpa henti tidak peduli siang atau malam,' pikir Zara. Mendadak sedikit bersimpati.'Kenapa aku merasa sakit?' batinnya.Kemudian, Zack menerobos kamar terlalu panik, syok ketika melihat Zara merawat Reon. "Kenapa
Mendung selalu mengindahkan istana. Tanpa gemuruh, udara sejuk menerjang berlebihan.Rambut Zara terombang-ambing tak karuan."Apa maksudmu?" desis Alexa tajam.Berdiri di depan pilar penyangga, hati mereka sedingin teras. "Apa rencanamu?" Alexa kembali bersuara.Zara membuang muka."Tidak akan kuberitahu." Sore tanpa jingga bagai lautan kelabu. Zara menyadarinya. Langit tidak akan menurunkan hujan dan semangatnya tetap membara. Namun, pandangan cantik itu menunduk redup. "Aku tau Reon yang menyuruhmu bertanya, 'kan?" ucap Zara tak mau menatap Alexa. "Tidak," jawab Alexa kaku. "Eh?" Terlalu terkejut, Zara sampai terbelalak. Pikirnya bohong jika Alexa melakukan sesuatu tanpa dasar perintah dari Reon. Gadis keren itu berubah malu-malu. Mata Zara semakin melebar karenanya. "Terima kasih atas kue-nya. Itu enak." Zara mundur mendengar suara berat Alexa. Dia bisa merasakan kelemahan yang berasal dari lubuk hati yang paling dalam. Lantas Zara tersenyum dan berbalik badan menatap
Pipi merah merona melihat bekas pergelangan tangan yang memerah."Jujur saja jika kau mengikutiku. Kau takut aku menghilang lagi, 'kan? Sikap Tsundere-mu itu sudah jelas, Tuan. Aku juga tidak akan minta maaf meskipun Alexa meminta." Lahan Konstruksi masih menjadi saksi. Setiap kali mereka bersinggungan, cuaca berubah sebagaimana mestinya. Udara dingin malam ini tak sedingin kemarin malam. Zara tidak mengelak kedinginan walau tatapannya sepanas api.'Sial! Reon tak bergerak. Lagipula kenapa dia mengejarku?' batin Zara. Laki-laki itu terdiam. Kehadirannya menyita seluruh kehangatan. Memandang wajahnya saja Zara terhanyut dalam udara hangat. "Kita pulang." Reon melenggang pergi. Bibir Zara yang membulat menjadi datar."Eh? Kenapa dia?" alisnya terangkat kebingungan. Dari perjalanan hingga ke rumah hanya tersisa sunyi. Hingga kemudian, Reon meminta Zara untuk kembali memakai pakaian pelayan. Setelah itu, masa hukuman berlangsung. Zara hanya perlu tidur di samping Reon. "HEH?!" te
Kabut menerpa dari ufuk timur. Pukul lima dini hari, Zara berada di lokasi proyek dalam penyamaran.Kamera Bastian terpasang alat perekam yang selalu menyala. Zack dan Alexa meninggalkan jati diri sementara. Mereka berempat sedang dalam pengaruh bendera perang. 'Akan kubongkar semua rahasiamu, Tuan Muda,' batin Zara penuh keseriusan. Tangan terkepal, pandangan lurus ke lahan penuh material bangunan, dan niat pun bercabang dua. Keinginannya untuk bertemu Reon sangat membuncah, sehingga penyelesaian misi ini harus dipercepat. Kepalan tangan dan kerutan di dahi cukup menggambarkan keseriusan gadis itu."Semuanya, geledah lokasi!" seru Zara membelah kabut di depannya. Sontak mereka berpencar mencari bukti. Dua jam kemudian, para kuli dan tukang datang.Terkejut lahannya dijarah, Zara membungkam mereka hanya dengan menyebut namanya. "Za-Zara Azuri Frazanista? Kau adalah mantan tunangan Tuan Muda Ryo?!" salah satu dari mereka bersuara. Tangannya sampai gemetar.Senyum Zara mengemban
"Di mana Tuan?" tanya Zara resah. Hatinya tidak tenang. Setelah kejadian tadi usai, dia mengikuti kemanapun Alexa pergi."Masih belum selesai. Tuntaskan dulu!" dahi Alexa berkerut. Kakinya begitu cepat menuju ruangannya.Zara tersentak."Hah? Nasib Ryo sudah berakhir sekarang. Izinkan aku bertemu dengannya." gadis itu menangkupkan tangan. Alexa menahan diri untuk tidak berdecak."Berisik sekali!" Berbelok memasuki ruang kerja dan mengunci pintu. Suara dentumannya begitu keras."Alexa, tunggu!" Zara hampir terantuk pintu. Dia pun mundur. "Ck, menyebalkan!" Tanpa sadar hari berada di pertengahan siang.Zack melarikan diri lebih dulu untuk bekerja. Membiarkan mereka mungkin lebih baik bagi untuk saat ini.Zara termenung memandang para pegawai dari dinding kaca. Perasaan gelisah semakin tak berdaya membuat kening itu membentuk garis halus. 'Apa Reon sudah sembuh sepenuhnya? Apa yang mengganggunya kali ini?' pikiran Zara terus melayang-layang. "Zara?" Suara Bastian mengusir lamun
Aksi pukul pun terjadi. Zara sebagai saksi. Pandangannya seperti ikan mati. Permintaan Zack membuat Alexa marah besar.Lebih baik meninggalkan mereka secara diam-diam. Zara melewati gerbang belakang. "Eh? Sudah malam, ya? Aku tidak sadar karena sibuk mengobrol dengan dua ajudan Reon. Sekarang, di mana aku harus mencarinya?" Zara berjalan di sepanjang trotoar. Memegang surat yang telah diremas-remas. Rambutnya yang terurai terbelai angin begitu lembut. Perasaan tidak nyaman menghampiri dan enggan pergi. Niatnya memang ingin mencari Reon. Azuma dan beberapa pelayan tidak ada di rumah. Mereka pasti pergi menemui majikannya."Aku lengah! Kapan mereka pergi? Para pelayan juga bungkam, tidak mau menjawabku," gerutu Zara tanpa henti. Seolah dia yang dirugikan atas segalanya. Mendadak langkahnya terhenti. Dia mencium aroma parfum wanita. Menoleh ke belakang dengan sigap. "Siapa?!" Sungguh terkejut, ternyata salah satu pelayan Reon mendapatinya. "Nona, ayo kembali. Tuan Bastian datang