Share

3. Rumah Asing

last update Last Updated: 2023-09-25 18:26:33

“Tante, em… maksud aku Mommy, ayo kita pulang ke rumah!”

“Hah?!”

Lavina ternganga. Mulutnya terbuka untuk bicara, tapi melihat tatapan Aurora yang mengiba, lidah Lavina mendadak terasa kelu. Bibirnya mengatup lagi, lalu menatap Auriga, seolah-olah lewat tatapan itu ia ingin bilang apa yang harus saya katakan?

Sejak awal melihat Aurora, Lavina merasa kasihan karena anak ini tampak ketakutan saat melihat orang lain.

Lavina melihat Auriga mengembuskan napas kasar. Sekali lagi, Auriga berkata kepada putrinya bahwa Lavina bukanlah ibunya. Auriga meminta Aurora untuk melepaskan pelukannya.

Namun, tanpa diduga-duga, tangisan Aurora malah semakin kencang. Aurora menolak dipeluk ayahnya dan memilih untuk menangis berguling-guling di lantai seperti anak sedang tantrum.

Melihat pemandangan itu, hati Lavina yang sehalus kapas ikut merasakan sakit. Ia pernah berada di posisi Aurora, yang ingin sekali bertemu dengan ibu kandung yang tak pernah Lavina lihat seumur hidup.

Sementara itu Aurora masih mengamuk kendati Auriga sudah berhasil menggendongnya. Aurora terus meronta, meminta turun. Auriga kewalahan hingga ia menyerah dan menurunkan Aurora kembali.

Tanpa berpikir dua kali, Lavina segera menghampiri Aurora, memeluknya sambil berbisik, “Iya, ayo kita pulang. Maafin Mommy ya baru datang sekarang.”

Itu kata-kata yang ingin Lavina dengar dari ibu kandungnya meski hanya satu kali. Sayang, Lavina tak pernah mendengarnya.

Tangisan Aurora seketika terhenti. Napasnya tersengal-sengal, mata coklat terangnya menatap Lavina dengan sendu.

“Mommy,” lirih Aurora.

Lavina tersenyum lembut, tangannya mengusap pipi Aurora yang bersimbah air mata. “Nggak capek emangnya nangis terus?”

Bibir Aurora cemberut. Dia tidak berbicara lagi, hanya memeluk Lavina dengan erat.

Kemudian Lavina membawa Aurora duduk di kursi, di samping Auriga yang sedang memijat pelipis. Lavina melihat pria itu tampak frustrasi menghadapi anak ini.

“Aurora,” panggil Auriga setelah beberapa saat ia terdiam.

“Iya, Dad?”

“Sekali lagi Daddy tegaskan, perempuan ini bukan—” Auriga mengembuskan napas kasar dan berhenti bicara saat wajah Aurora kembali murung dan terlihat siap menangis. Auriga mengusap wajahnya dengan kasar.

“Dia bener-bener mommy aku, Dad, dan mommy mau kok pulang ke rumah."

“Apa?” Auriga menatap Lavina dengan mata dipicingkan, seolah sedang protes melalui tatapan tajamnya itu.

“Cuma itu satu-satunya cara, ‘kan?” gumam Lavina.

“Kamu sengaja meracuni pikiran anak saya?” Auriga balas berbisik.

Lavina mendelik. “Udah dibantuin bukannya berterima kasih malah nuduh yang nggak-nggak.” Seketika Lavina menyesal sudah membantu menenangkan putri laki-laki tua di sampingnya ini.

Auriga mendengus. Laki-laki itu seperti ingin mengatakan sesuatu dengan ekspresi jengkelnya pada Lavina, tapi Auriga hanya membuang muka setelah menatap Aurora sebentar.

“Dad, ayo kita pulang. Aku nggak marah liburannya batal, asal Mommy ikut bareng kita pulang ke rumah,” celetuk Aurora dengan polos, yang membuat Auriga memejamkan matanya dengan geram.

***

Mobil baru saja berhenti melaju. Lavina terperangah melihat rumah mewah tiga lantai di hadapannya. Sudah ia duga, laki-laki bernama Auriga itu bukan orang sembarangan, dia kaya raya.

Namun Lavina heran, kenapa orang seperti Auriga harus kehilangan ibu dari putrinya?

Lavina memang belum mendengar cerita yang sebenarnya mengenai ibu kandung Aurora, tapi dari apa yang ia alami di bandara tadi, cukup membuat Lavina paham jika Aurora tidak pernah melihat wajah ibu kandungnya, sehingga anak itu menganggap Lavina sebagai ibu yang ia lihat dalam mimpi.

Apa wajahku mirip sama wajah ibunya? batin Lavina.

“Mommy, ayo turun.”

“Eh?! Aku?”

Suara Aurora membuyarkan lamunan Lavina.

“Iya, siapa lagi? Masa aku manggil ‘mommy’ ke Pak Amir, sih?”

Lavina menggaruk kepala yang tidak gatal sama sekali, lalu tersenyum canggung pada sopir bernama Pak Amir yang baru saja membuka pintu.

Lavina lantas keluar, menyusul Auriga yang sudah turun lebih dulu.

Ya, setelah perdebatan panjang yang terjadi di bandara, akhirnya Lavina tak punya pilihan lain selain ikut kemari, karena jika tidak, Lavina akan berakhir di kantor polisi atas tuduhan pencurian tas Auriga.

Auriga sendiri yang bilang begitu kepada Lavina.

“Urusan tas saya yang kamu curi belum selesai,” ucap Auriga dengan dingin setelah memasuki rumah. “Lakukan apa yang Aurora mau lakukan bersama kamu. Tapi ingat, jangan sekali-kali berani mencuri satu barang pun dari rumah saya, kamera CCTV terpasang di mana-mana.”

Tangan Lavina terkepal. Wajahnya merah padam karena marah, tatapannya tajam menatap punggung Auriga yang berlalu pergi dari hadapannya.

Lavina hendak protes kalau ia bukan pencuri, tapi terhalang Aurora yang tiba-tiba mendekat sambil menggenggam tangannya.

“Mommy, ayo ikut ke kamar aku!” pinta Aurora dengan mata berbinar-binar.

Terpaksa Lavina menyembunyikan kekesalannya pada ayah anak ini, lalu tersenyum lebar dan mengangguk cepat. “Ayo!”

Aurora membawa Lavina ke kamarnya. Cat dinding, furniture, kasur dan boneka di kamar itu nyaris berwarna pink semua. Anak itu dengan semangat menunjukkan mainan yang ia miliki. Sampai-sampai Lavina tidak percaya kalau Aurora yang pertama kali ia lihat—yang penakut dan parno ketemu orang, adalah orang yang sama dengan Aurora yang sekarang ia lihat.

Sejujurnya Lavina tidak ingin terlibat terlalu jauh. Ia bukan ibu anak ini, dan Lavina tidak mau membuat Aurora berharap lebih kepadanya.

Baiklah.

Lavina mengembuskan napas panjang.

Aku cuma harus berpura-pura jadi ibu buat hari ini aja!

***

“Kamu masih libur sampai lusa, ‘kan?”

“Iya, Dad.” Auriga membuka pintu balkon dan berjalan menghampiri satu-satunya sofa yang ada di sana sambil menempelkan ponsel di telinga kiri. Matahari mulai turun ke peraduannya. “Kenapa memangnya?”

“Besok malam temani Daddy makan malam sama klien Daddy.”

Auriga mengembuskan napas berat. “Daddy mau ngejodohin aku lagi?”

“Ya, begitulah.”

“Sama siapa lagi sekarang?” erang Auriga sambil menahan kesal. “Daddy nggak kapok setelah selama ini aku tolak terus-terusan itu para perempuan yang Daddy kenalin ke aku?”

“Kali ini Daddy yakin kamu pasti suka. Ngomong-ngomong, Daddy nggak akan kapok sebelum kamu menerima salah satu perempuan pilihan Daddy.”

“Astaga,” gumam Auriga sembari mengusap wajahnya dengan kasar. “Dad, lebih baik Daddy berhenti ngejodohin aku, karena sampai kapanpun aku—”

“Jangan cuma mikirin diri kamu sendiri, Bang,” sela Axl di seberang sana. “Pikirkan juga Aurora. Dia butuh ibu. Kamu mau ngebiarin dia terus menerus seperti itu sampai dia dewasa?”

Auriga bergeming.

“Bukannya kamu sendiri tahu? Sekarang kondisi Aurora makin sulit terkendali. Kamu nggak kasihan sama anak kamu?”

Auriga memijat ruang di antara kedua alis. Ia menunduk sejenak, menghela napas, lalu menatap langit jingga dengan gamang.

“Aku akan cari wanita pilihanku sendiri, Dad,” gumam Auriga. “Jangan khawatir.”

“Kamu selalu bilang begitu, tapi buktinya nihil.” Axl berdecak lidah. “Pokoknya Daddy tunggu satu minggu. Lebih dari itu, kamu harus terima siapapun wanita yang Daddy pilih!"

“Dad!” protes Auriga. “Nggak bisa begitu! Satu minggu terlalu cepat, gimana bisa aku nemu wanita yang cocok denganku?”

“Itu urusan kamu, bukan urusan Daddy. Dan Daddy berharap, kamu juga bisa berhenti dari kehidupan bebasmu.”

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Erich Banget
asikkk ada cerita, adiknya, archer
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
Daddy pusing juga ya anaknya hampir mirip sama Daddynya dimasa muda kehidupan bebasnya sebelum.ketemu mommy Darly
goodnovel comment avatar
Siti Nur janah
kok bingung sih mas auriga, kan udah ketemu sama jodohnya, tinggal di bawa kerumah terus di kenalin sama orang tua juga ............
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 9

    Auriga menghela napas panjang, perintah Lavina sulit untuk ia bantah. Akhirnya ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Auriga melirik Aurora melalui kaca spion tengah.“Sayang, gimana latihannya?”“Em… kayak biasa aja, Dad.” Aurora mengedikkan bahu sambil mencubit pipi Melody dengan gemas. “Nggak ada yang spesial, tapi juga nggak ngebosenin.”“Kenapa dia ikut kamu ke sini?”“Farel?”“Iya.”“Farel cuma mau lihat aku latihan, Dad.”“Memangnya kenapa dia harus nonton kamu latihan?”“Daddy….” Aurora merotasi matanya dengan malas. “Daddy mulai, deh. Aku tahu Daddy melarang aku pacaran, dan aku emang nggak niat pacaran. Okay? Aku dan Farel cuma teman biasa aja. Jadi, Daddy stop bersikap posesif.”Auriga mengembuskan napas, dan ia tidak puas dengan jawaban Aurora. Namun sentuhan lembut Lavina di pahanya membuat Auriga memfokuskan matanya kembali ke arah jalanan.Lavina yang sejak tadi mendengarkan dan tidak mau pembahasan itu menjadi panjang lebar, buru-buru ia mengalihkan

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 8

    Selepas menjemput Samudra dan Melody di rumah orang tuanya, kini Auriga melajukan kendaraannya menuju tempat les biola untuk menjemput Aurora.Sore ini ibukota kembali di guyur hujan. Lavina memandang ke luar, memperhatikan tetesan hujan yang jatuh ke kaca pintu mobil. Akan sangat menyenangkan jika ia menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca buku dan menikmati musik yang merdu.Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Di dalam mobil ini, alih-alih menikmati lagu yang romantis, Lavina justru harus mendengar lagu Cocomelon yang berjudul Wheels on the Bus, diiringi gelak tawa dan celotehan kedua putranya di kabin belakang.“Love….”“Hm?” Lavina menoleh saat Auriga memanggilnya. Pria berkaos polo hitam itu menumpukan siku di pintu sambil mengusap-usap dagu, sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Lavina. Mobil sedang berhenti di lampu merah.“Kenapa, Mas?” tanya Lavina kemudian.“Kamu tahu nggak, ada berapa banyak rintik hujan yang j

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 7

    5 tahun kemudian.Di luar rumah langit terlihat mendung, tetesan-tetesan gerimis berjatuhan ke atas dedaunan dan tanah kering yang menimbulkan aroma khas.Gemerisik daun dari pepohonan yang memagari rumah mewah tersebut terdengar berisik saat angin sepoi-sepoi menerpanya.Cahaya matahari seakan enggan menerobos masuk ke dalam kamar karena tertutupi awan kelabu. Suasana terasa hening di dalam kamar yang didominasi warna putih itu.Di dinding yang bersebrangan dengan ranjang, terlihat sebuah foto yang terbingkai, berukuran besar, menggantung di sana. Jika dulu dalam foto itu hanya ada empat anggota keluarga, sekarang sudah bertambah satu orang lagi.Foto itu diambil di sebuah studio foto, dengan background bunga-bunga kering yang bernuansa vintage. Kelima orang itu memakai pakaian senada,

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 6

    Suasana di dalam restoran malam itu tidak begitu ramai, tapi juga tidak sepi. Musik klasik mengalun merdu di seluruh penjuru ruangan. Lavina mengibaskan rambut bergelombang sepunggungnya ke belakang. Matanya tertuju pada meja yang terletak di dekat pintu masuk. Auriga, Aurora, Flora dan Jiro duduk di sana.Lavina mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak cemburu melihat pemandangan tersebut.Lavina tahu, Auriga juga tidak ingin ada di sana, tapi karena Aurora yang meminta ditemani untuk mengobrol dengan Flora—setelah Flora memohon-mohon agar diizinkan bicara dengan Aurora, akhirnya Auriga pun menemani Aurora sejak lima menit yang lalu.“Mama… Mama….”Celotehan Samudra yang duduk di baby chair, membuat Lavina mengalihkan pandangan dari mereka, ke arah anaknya yang sedang memakan biskuit.Lavina terkekeh karena bibir dan tangan Samudra belepotan. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan dan mulut anak berkulit putih itu.Samudra memanggil-manggil ayahnya sam

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 5

    “Capt, perempuan kalau lagi marah, jangan didiamkan. Bujuk dan rayu dia sampai luluh. Karena kalau di silent treatment, marahnya bakal menjadi-jadi.”Auriga mengangkat satu sudut bibirnya sembari mendengarkan nasihat Fredy—copilot yang terbang bersamanya hari ini, yang berbicara dengan nada bijak itu.“Aku tahu.” Dan kepala Auriga sedang menyusun rencana, setelah selama penerbangan pikirannya ia tumpahkan untuk pekerjaan. Sekarang, saat ia kembali ke Jakarta, barulah ia memikirkan cara untuk membuat Lavina luluh kembali.“Pantas saja dari pagi kamu nggak ceria, ternyata gara-gara istri marah, toh.” Fredy tersenyum kecil. “Melihat gimana cara kamu memperlakukan istrimu, kurasa kamu sangat mencintai dia.”Auriga mengangguk, mengiakan ucapan lelaki yang duduk di hadapannya itu. “Begitulah,” jawabnya sambil terkekeh. “Dia sangat istimewa.”Pada saat yang sama, deringan ponsel Auriga berhasil menginterupsi percakapan mereka.Auriga mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponsel di te

  • My Cassanova Husband   Extra Chapter 4

    Auriga memandangi Lavina dengan kening berkerut. Ia duduk di sofa, menyamping menghadap Lavina dengan satu tangan bertumpu di dagu. Sementara itu yang dipandangi tengah asyik membaca buku sambil ngemil keripik kentang.“Love, sejak kapan buku lebih menarik dipandangi daripada wajahku, hem?” Auriga akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.“Sejak hari ini,” jawab Lavina enteng, suara kriuk terdengar begitu nyaring saat ia menggigit keripik kentang itu yang sengaja dikeraskan.“Kamu tahu? Dari tadi siang kamu aneh banget, Love.”“Masa?”Iya, sejak tadi siang Auriga merasakan ada yang aneh dengan sikap Lavina. Perempuan itu memang tidak ketus, tapi justru dia terlihat cuek pada Auriga. Seperti saat ini contohnya, entah sudah berapa puluh menit Auriga duduk di sampingnya, tapi Lavina malah asyik membaca novel roman picisan.“Kamu mengabaikan suami kamu sendiri, Sayang. Aku di sini dari tadi, lho, nunggu perhatian dan kasih sayang dari kamu.”Mata Lavina merotasi matanya denga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status