Share

4. Menikahlah Dengan Saya

Lavina cukup kesulitan keluar dari rumah tersebut. Setiap kali ia akan pamit pulang, Aurora menahannya dengan alasan ingin makan malam bersama.

Namun, tak cukup sampai di situ, setelah selesai makan malam, Lavina mengira Aurora akan melepaskannya, tetapi lagi-lagi anak itu menahannya karena ingin dibacakan buku cerita sebelum tidur oleh Lavina.

Lavina pasrah.

Pertama, ia tidak mau berakhir di kantor polisi karena tuduhan pencurian tas Auriga.

Sebab meski Lavina sudah menjelaskan kepada Auriga saat makan malam, mengenai apa yang terjadi tadi siang, tentang Yasa yang merupakan kakak tirinya yang kabur membawa kalung milik Mawar, sampai kemudian Yasa membawa kabur tas Auriga. Namun sepertinya Auriga belum percaya sepenuhnya pada penjelasan Lavina.

Kedua, setiap kali menatap mata polos Aurora, Lavina merasa tersentuh dan tak sampai hati untuk menolak keinginannya.

Begitu pula dengan Auriga. Lavina melihat pria matang itu kesal dengan keinginan Aurora, tapi Auriga seperti tak berdaya.

Lavina menilai bahwa Auriga adalah sosok ayah yang selalu menuruti kemauan putrinya.

Saat sedang membacakan buku cerita, Lavina ketiduran. Ia bangun sepuluh menit kemudian dan mendapati Aurora sudah terlelap di sampingnya.

Lavina menggeliatkan tangan ke atas, mengembuskan napas panjang, lalu turun dari ranjang dan ia terkesiap melihat Auriga sudah berdiri di hadapannya sembari bersedekap dada. Ekspresi pria itu tampak datar, sorot matanya tajam.

“Aku rasa hantu aja nggak seseram kamu, Om,” gumam Lavina sembari mengelus dada.

Auriga tidak memberi tanggapan apapun. Hanya menatap Lavina dengan datar, yang membuat Lavina merasa tak enak hati.

“Oh, maaf, barusan saya ketiduran.” Lavina berdiri, merapikan seprai yang kusut bekas tidurnya, menepuk-nepuknya pelan, sambil sesekali melirik Auriga dan menyengir lebar. “Saya emang belum mandi, Om, tapi badan saya nggak bau, kok. Nggak bakal nempel juga baunya ke kasur Aurora.”

Auriga mendengus pelan.

Mendapat respons seperti itu Lavina sedikit mencebikkan bibir. “Ngomong-ngomong sejak kapan Om berdiri di situ? Om nggak ngintip aku pas lagi tidur, ‘kan?” tanyanya dengan mata memicing.

“Buat apa saya merhatiin tidur anak kecil seperti kamu?” Auriga mengurai kedua tangannya dari depan dada.

“Anak kecil?” pekik Lavina, tapi sedetik kemudian ia menutup mulut saat sadar suaranya bisa membangunkan Aurora. Mata Lavina mendelik, lalu berbisik, “Siapa yang Om bilang anak kecil? Saya bukan anak—”

“Ikut saya,” sela Auriga, kemudian berbalik dan berjalan keluar kamar.

Lavina menggembungkan pipi dan mengembuskan napasnya, lantas mengikuti Auriga. Ia duduk di sofa ruang tamu, tepat di hadapan pria berkaos abu-abu itu.

Lavina pikir, ini kesempatan bagus untuk bertanya tentang mengapa Aurora bisa menganggap Lavina sebagai ibunya. Sampai saat ini Lavina masih penasaran akan hal itu.

“Ada yang mau saya tanyain ke Om.”

“Ada sesuatu yang ingin saya bahas sama kamu.”

Keduanya bicara berbarengan. Auriga memandang Lavina. Lavina berdehem.

“Silahkan Om dulu yang ngomong.”

“Kamu duluan.” Auriga membuang muka.

“Nggak sopan kalau saya yang duluan. Seharusnya yang lebih tua dulu,” timpal Lavina dengan santai.

“Tua?” Auriga memandang Lavina lagi dengan mata disipitkan. “Siapa yang kamu maksud tua?”

“Om. Siapa lagi? Nggak ada orang lain di sini selain kita berdua.”

Lavina orang yang blak-blakan. Apa yang ia ucapkan berarti memang begitu kenyataannya. Auriga terlihat matang dan tampan. Dia seperti aktor-aktor yang sering Lavina lihat di film holywood, tapi sayang tipe wajah seperti Auriga bukan tipe idamannya.

Lavina lebih suka oppa-oppa Korea yang pipinya mulus dan bermata sipit, bukan seperti Auriga yang rahangnya ditumbuhi rambut tipis dan bermata tegas.

“Terserah kamu saja,” ucap Auriga seraya menatap Lavina dengan malas. “Kembali ke pembahasan tadi. Kalau begitu saya yang bicara duluan.”

“Silahkan.” Lavina mengangguk.

Auriga menumpukan kedua siku ke lutut, tatapannya berubah serius. “Menikahlah dengan saya.”

“Oh itu, boleh—EH?!! APA?!!” Lavina tiba-tiba terperanjat, matanya membeliak seolah sedang melihat hantu. “Me-menikah? Saya nggak salah dengar, ‘kan? Menikah?!!” pekik Lavina.

Mata Auriga terpejam sejenak. “Bisa rendahkan suaramu? Saya nggak suka perempuan berisik.”

Namun, Lavina tak peduli. Ia masih berusaha mencerna ucapan Auriga yang tak masuk akal.

Menikah? Tidak mungkin. Sepertinya Lavina hanya salah dengar.

“Kamu nggak salah dengar. Saya memang sedang mengajakmu menikah dengan saya,” jelas Auriga, seolah-olah mengerti kebingungan di kepala Lavina.

Lavina panik. Lututnya bergetar.

Siapa yang tidak kaget ketika tiba-tiba diajak menikah oleh orang asing yang baru ditemui tadi siang? Lavina memang percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Namun, langsung mengajak menikah secepat ini rasanya benar-benar menakutkan.

“Ke-kenapa Om mau me-menikahi saya?” Lavina bicara tergagap. “Memangnya Om bisa jatuh cinta sama saya secepat ini? Padahal… kita baru ketemu tadi—”

“Saya nggak butuh cinta dalam pernikahan ini.”

Belum juga hilang keterkejutan Lavina, sekarang ia dibuat terkejut lagi oleh pernyataan Auriga yang bernada rendah dan santai itu.

“Maksud Om?” tanyanya tak mengerti.

“Pernikahan bisnis.” Auriga menyandarkan punggung ke sandaran sofa. “Itu yang sedang saya tawarkan sama kamu. Pernikahan yang saling menguntungkan, bukan pernikahan atas dasar cinta.”

“Hah?” Lavina ternganga. Jadi maksudnya pernikahan kayak di drama dan novel gitu? Lavina masih mencari-cari kewarasannya untuk mencerna penjelasan Auriga.

“Tapi kenapa saya harus mau menikah sama Om? Saya nggak butuh apa-apa dari Om, kok.”

“Kalau begitu gimana caranya kamu bertanggung jawab pada tas saya yang hilang?”

“I-itu ‘kan bukan saya yang mencuri.”

“Tetap saja.” Auriga membuang napasnya lagi. “Laki-laki itu kakak tiri kamu, ‘kan? Kalau kamu nggak ketemu dia, paspor, dokumen penting, kartu debet dan kredit, juga identitas saya nggak akan hilang. Kamu pikir, mengurus semua itu mudah?” Tatapan Auriga semakin serius dan tajam. “Semuanya butuh waktu yang nggak sebentar untuk mengurusnya dan akan membuang-buang waktu saya yang sangat berharga.”

Lavina menunduk, membuat tirai poninya menggantung menutupi wajah. Ia akui dirinya salah. “Maaf,” ucapnya penuh rasa bersalah.

“Saya nggak butuh permintaan maafmu. Kata maaf saja nggak akan menyelesaikan masalah saya.”

Bahu Lavina terkulai lesu. “Tapi kenapa harus dengan menikah? Saya masih sangat muda, Om. Kalau saya menikah, masa muda saya bakal terenggut. Lagian saya nggak punya rencana menikah di usia—”

“Aurora menyukaimu.”

“Huh?” Lavina mengangkat wajah, menatap Auriga dengan tatapan bingung. “Aurora?”

Auriga mengangguk. Ia mengusap wajah dan menyandarkan kembali punggungnya. “Sejak ditinggalkan ibunya tiga tahun yang lalu, Aurora berubah jadi anak yang pendiam dan takut dengan dunia luar,” ujar Auriga dengan suara yang jauh lebih berat dari sebelumnya. “Dia cuma bisa berinteraksi dengan keluarga saja. Sedangkan dengan orang lain, dia selalu merasa takut sampai sering berteriak histeris.”

Lavina tertegun. Ia jadi teringat dengan sikap Aurora saat pertama kali melihatnya tadi siang. Anak itu terlihat ketakutan dan terus bersembunyi di belakang kaki ayahnya.

Ternyata begitu kenyataannya, batin Lavina.

“Em… kalau boleh tahu, dengan kondisi seperti itu apa Aurora sudah dibawa ke Psikolog?”

“Sering, tapi nggak ada hasil. Karena….” Auriga mengembuskan napas panjang, ia membuka mulut hendak melanjutkan kalimatnya, tapi kemudian mengatupkannya lagi.

“Karena?”

“Bukan sesuatu yang harus kamu tahu.”

Lavina terdiam. Ia mengangguk, sadar diri karena ia hanya orang asing yang mungkin tidak pantas mendengar privasi keluarga Auriga.

“Tapi… kenapa Aurora bisa menganggap saya sebagai ibunya yang dia lihat di mimpi?” Akhirnya Lavina punya kesempatan untuk menyuarakan pertanyaan itu. “Bukannya dia sudah pernah tinggal sama ibunya? Kenapa bisa begitu?”

Tatapan Auriga seketika tertuju pada Lavina. Sorot matanya yang dalam membuat Lavina tiba-tiba salah tingkah. Lavina membuang muka sambil garuk-garuk kepala yang tak gatal.

“Karena kamu mirip sama ibunya.”

“Ya?!!” Lavina menatap Auriga lagi dengan mata membulat. “Mirip?”

“Hm.” Auriga mengangguk dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Mata Lavina mengerjap pelan. Ia pernah mendengar bahwa setiap manusia di dunia ini memiliki ‘kembaran’. Kembar dalam artian wajahnya mirip meski tidak ada hubungan darah. Entah anggapan itu benar atau tidak. Namun sampai sejauh ini Lavina percaya dengan hal itu. Beberapa tahun terakhir sempat viral wajah seorang pria biasa yang mirip dengan presiden. Dan hal itu membuat dugaan seseorang memiliki ‘kembaran’ itu semakin kuat.

Mungkin saja salah satu ‘kembaran’ Lavina adalah ibunya Aurora? Entahlah.

“Tapi saya nggak bisa nikah sama Om,” tolak Lavina dengan hati-hati. “Saya bisa, kok, jadi teman Aurora. Nggak harus jadi….” Tenggorokan Lavina tercekat saat mau mengatakan ‘ibu sambung’.

Auriga mengambil sebuah buku dari bawah meja, dan mengeluarkan selembar kartu nama yang terselip di antara lembaran buku itu. Kemudian menaruhnya di meja, tepat di hadapan Lavina.

Lavina melirik kartu nama itu. Auriga Space Ivander. Mata Lavina mengerjap. Ternyata dia seorang pilot?

Pilot?

Wajah Lavina memdadak berubah menegang.

“Saya kasih kamu waktu tiga hari. Kalau kamu mau menikah sama saya, kamu akan terbebas dari tuduhan pencurian, selain itu kamu juga akan mendapat pengganti kalung ibumu yang hilang dan… biaya hidup setiap bulan.”

***

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Tami Andriani
oke deal......
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
si polos Lavina bakalan terjebak sama sang cassanova nih
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status