Lavina memasuki sebuah ruangan sembari mengerutkan kening. Ia sama sekali tidak mengerti kenapa dibawa kemari, karena petugas keamaan itu tidak menjelaskan apapun lagi.
Setelah duduk di sofa, Lavina baru menyadari bahwa di hadapannya ada seseorang yang duduk bersilang kaki, bersedekap dada, dan sedang menatapnya dengan marah.
Mata Lavina mengerjap-ngerjap.
Bukannya dia om yang tadi sama anak perempuan itu? batin Lavina.
Kenapa dia di sini? Apa jangan-jangan….
Lavina seketika membelalak, lehernya terasa seperti dicekik. Tidak mungkin ia dibawa kemari karena mereka mengira ia yang mencuri tas itu, ‘kan?
“Halo,” sapa Lavina sembari mengangguk dan melemparkan senyuman termanis yang pernah ia berikan pada orang lain.Ia berharap senyuman itu bisa melenyapkan tatapan tajam pria tersebut darinya.
“Pantas saja gerak-gerik kamu dari tadi mencurigakan. Ternyata kamu seorang pencuri,” kata pria itu dengan ekspresi dingin, tersenyum kecut.
Lavina terperanjat. Senyumannya lenyap. “Eh? Pencuri?!” pekiknya dengan suara yang sedikit meninggi. “Maksud Om apa ya? Jangan sembarangan nuduh, saya bukan pencuri!”
Pria berkaos putih itu mendengus. Jaket denim tergeletak di sebelahnya. “Kamu pikir, saya nggak sadar dari tadi kamu merhatiin barang-barang saya?”
Mata Lavina mengerjap. “Jangan fitnah, Om. Fitnah orang nggak bersalah itu dosa.”
“Begini, Dek, kami sebenarnya melihat–”
“Dek?” sela Lavina seraya menoleh pada petugas keamanan yang barusan berbicara.
Tatapan Lavina penuh selidik, seolah sedang bertanya Apa di mata Bapak saya ini anak-anak?
Petugas itu mengusap wajah, lalu memindai Lavina yang bertubuh mungil dan mengenakan hoodie kuning kebesaran, celana jeans belel dan rambut sebahu yang tampak acak-acakan.
“Kamu masih sekolah? Kelas berapa? Di mana orang tua kamu?”
“Saya sudah kuliah semester empat, Pak.”
“Oh, begitu?”
Lavina mengangguk. Empat bulan yang lalu, tambahnya dalam hati. Setidaknya, ia memang seorang mahasiswi empatbulan yang lalu.
Namun sekarang, ia sudah bukan mahasiswi lagi, ia tidak memiliki biaya untuk melanjutkan kuliahnya dan terpaksa harus cuti.
Dulu Lavina bekerja sebagai pekerja paruh waktu di sebuah cafe, ia membayar biaya kuliahnya dari gaji yang ia dapatkan.
Namun cafe itu gulung tikar, Lavina dirumahkan dan ia belum punya sumber pendapatan baru. Pada saat yang sama ia harus membayar biaya semester berikutnya, tapi Lavina tidak memiliki uang yang cukup untuk melunasi, sehingga ia terpaksa tidak melanjutkan kuliahnya lagi.
Petugas keamanan itu manggut-manggut. “Begini, sebelumnya saya perkenalkan dulu, ini Pak Auriga,” katanya seraya menunjuk pria yang duduk di hadapan Lavina.
Oh, namanya Auriga. Lavina membatin seraya melirik Auriga yang masih menatapnya dengan tajam.
“Terus? Kenapa saya dibawa ke sini?” tanya Lavina, yang masih belum mengerti duduk perkaranya dengan jelas.
“Pak Auriga kehilangan tas berisi paspor, tiket, dokumen penting penerbangan, dompet dan sejumlah uang yang tidak sedikit. Tadi kami melihat CCTV dan kamu yang bawa tas itu. Benar?”
“Tas?” Mata Lavina melebar, tubuhnya menegang. “I-itu memang benar, tadi niat saya mau ngembaliin tas itu. Tapi saya bukan pencuri! Tas itu keburu dibawa kabur orang lain.”
“Laki-laki ini?” Auriga menunjukkan layar ponsel yang berisi gambar Lavina bersama Yasa di depan restoran cepat saji beberapa saat yang lalu.
Lavina terperanjat. Walaupun Yasa kakak tirinya, tapi Lavina tidak bisa lagi mentolerir perbuatan Yasa. “Iya! Dia yang bawa kabur tas Om!”
Auriga mendengus dan menarik kembali ponselnya. “Komplotan kamu, ‘kan?”
“Bu-bukan! Saya nggak tahu apa-apa!” sanggah Lavina dengan cepat. Wajahnya pucat. “Tadi saya beneran mau ngasih tas itu ke Om, tapi saya keburu ketemu orang itu dan tiba-tiba—”
“Sampai jumpa di kantor polisi,” sela Auriga sambil berdiri dari sofa.
Lavina terkejut. Ia bukan pencuri dan tidak mau masuk ke penjara gara-gara Yasa!
Dengan cepat Lavina menyusul Auriga yang akan membuka pintu. Lavina merentangkan kedua tangan di depan Auriga, mencegah pria itu untuk tidak keluar, mata bulat Lavina menatap Auriga dengan panik.
“Saya tegaskan sekali lagi, saya nggak nyuri tas Om dan saya bukan komplotan laki-laki itu!” tegas Lavina, “Om jangan fitnah saya dong! Om tahu ‘kan fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan? Kalau saya dipenjara, Om sudah melakukan kejahatan lebih dari membu—”
“Fitnah kamu bilang?” Sekali lagi Auriga mendengus, kepalanya menunduk, menatap Lavina dengan sengit yang tingginya sebatas dada. “Saya punya bukti kuat untuk memasukkan kamu ke penjara.”
Leher Lavina makin terasa tercekik.
“Dan apa kamu tahu?” desis Auriga, “karena ulah kamu, perjalanan saya dengan anak saya terpaksa dibatalkan. Kamu sudah banyak merugikan saya.”
Auriga mendorong tubuh kurus Lavina ke samping hingga Lavina terhuyung dan nyaris terjatuh.
“Saya mau, perempuan ini dibawa ke kantor polisi dan hukum dia!” perintah Auriga pada petugas keamanan sebelum membuka pintu.
“Siap, Capt. Akan kami urus secepatnya.”
Lavina makin panik ketika dua petugas itu mencekal kedua lengannya dan diseret ke luar. Jantungnya berdegup cepat. Dadanya sesak.
Tuhan, kenapa ia yang selalu mendapatkan hukuman atas perbuatan yang dilakukan saudara tirinya?
Lavina ingin protes kenapa ia harus menjalani hidup seperti ini? Kenapa ia tidak terlahir dari keluarga konglomerat atau dari keluarga pejabat saja? Atau lahir menjadi anak Ratu Elizabeth misalnya. Dengan begitu ia tidak perlu terus menerus menderita.
Lavina diseret keluar. Pada saat yang sama, anak kecil bernama Aurora berlari menghampirinya. Lavina terkejut saat Aurora berdiri di hadapannya dan menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Mommy?” lirih Aurora.
“Hah?” Lavina terperanjat.
Ia menoleh ke kiri, kanan dan belakang, memastikan ada wanita lain selain dirinya. Namun tak ada wanita manapun yang dipanggil mommy oleh anak itu.
“Mommy,” lirih Aurora lagi sambil terus menatap Lavina.
Lavina ingin menggaruk kepala yang tak gatal, tapi ia baru sadar kedua tangannya masih dicekal petugas. Lavina kemudian melihat Auriga berjalan mendekat dan berjongkok di samping Aurora. Tatapan tegas pria itu seketika berubah lembut saat menatap putrinya.
“Kita pulang ya. Maaf rencana liburan kita harus batal karena keteledoran Daddy.”
“Daddy,” panggil Aurora seolah tak menghiraukan ucapan ayahnya barusan.
“Iya, Sayang?”
Aurora tersenyum lebar, menatap Auriga sebentar, lalu mendongak menatap Lavina lagi. “Akhirnya aku ketemu Mommy, Dad!” pekiknya sambil memeluk kaki Lavina.
Lavina kembali terperanjat, bola mata bulatnya membelalak dan nyaris keluar. Ia menatap Aurora dan Auriga bergantian dengan penuh kebingungan.
“Aurora, dia bukan mommy kamu.” Nada suara Auriga berubah tegas. Ia pun tampak terkejut mendengar ucapan Aurora barusan. “Lepaskan perempuan ini dan kita pulang sekarang.”
“Nggak mau!” seru Aurora sambil mengeratkan pelukannya saat Auriga hendak meraih tubuhnya. “Aku mau di sini sama Mommy!”
“Tapi dia bukan mommy kamu, Aurora.”
“Dia mommy aku!” Aurora tiba-tiba berteriak dengan mata berkaca-kaca. Ia mulai menangis tersedu-sedu. “Aku sering ketemu sama Mommy di mimpi aku, Daddy. Aku tahu dia Mommy karena wajahnya sama dengan yang ada di mimpi aku,” rengek Aurora sambil terisak.
Kepala Lavina mendadak pening. Ia menarik tangannya yang dicekal petugas, dan petugas pun memberi kelonggaran tanpa menjauh dari Lavina.
Ada apa dengannya hari ini? Pagi-pagi sekali Lavina dibuat syok karena kalung ibu tirinya dicuri Yasa, dia lari-lari di bandara, lalu dituding sebagai pencuri, dan sekarang… ada seorang anak tak dikenal yang memanggilnya mommy?
Tuhan, kenapa hidupnya sedramatis ini?
“Tante….”
Lavina menunduk saat Aurora memanggilnya. Kening Lavina berkerut dalam.
“Tante, em… maksud aku Mommy, ayo kita pulang ke rumah!”
“Hah?!”
***
Auriga menghela napas panjang, perintah Lavina sulit untuk ia bantah. Akhirnya ia pun melajukan kendaraannya meninggalkan tempat tersebut. Auriga melirik Aurora melalui kaca spion tengah.“Sayang, gimana latihannya?”“Em… kayak biasa aja, Dad.” Aurora mengedikkan bahu sambil mencubit pipi Melody dengan gemas. “Nggak ada yang spesial, tapi juga nggak ngebosenin.”“Kenapa dia ikut kamu ke sini?”“Farel?”“Iya.”“Farel cuma mau lihat aku latihan, Dad.”“Memangnya kenapa dia harus nonton kamu latihan?”“Daddy….” Aurora merotasi matanya dengan malas. “Daddy mulai, deh. Aku tahu Daddy melarang aku pacaran, dan aku emang nggak niat pacaran. Okay? Aku dan Farel cuma teman biasa aja. Jadi, Daddy stop bersikap posesif.”Auriga mengembuskan napas, dan ia tidak puas dengan jawaban Aurora. Namun sentuhan lembut Lavina di pahanya membuat Auriga memfokuskan matanya kembali ke arah jalanan.Lavina yang sejak tadi mendengarkan dan tidak mau pembahasan itu menjadi panjang lebar, buru-buru ia mengalihkan
Selepas menjemput Samudra dan Melody di rumah orang tuanya, kini Auriga melajukan kendaraannya menuju tempat les biola untuk menjemput Aurora.Sore ini ibukota kembali di guyur hujan. Lavina memandang ke luar, memperhatikan tetesan hujan yang jatuh ke kaca pintu mobil. Akan sangat menyenangkan jika ia menikmati secangkir kopi hangat sambil membaca buku dan menikmati musik yang merdu.Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidak sesuai dengan apa yang ia bayangkan. Di dalam mobil ini, alih-alih menikmati lagu yang romantis, Lavina justru harus mendengar lagu Cocomelon yang berjudul Wheels on the Bus, diiringi gelak tawa dan celotehan kedua putranya di kabin belakang.“Love….”“Hm?” Lavina menoleh saat Auriga memanggilnya. Pria berkaos polo hitam itu menumpukan siku di pintu sambil mengusap-usap dagu, sementara tangan kirinya masih menggenggam tangan Lavina. Mobil sedang berhenti di lampu merah.“Kenapa, Mas?” tanya Lavina kemudian.“Kamu tahu nggak, ada berapa banyak rintik hujan yang j
5 tahun kemudian.Di luar rumah langit terlihat mendung, tetesan-tetesan gerimis berjatuhan ke atas dedaunan dan tanah kering yang menimbulkan aroma khas.Gemerisik daun dari pepohonan yang memagari rumah mewah tersebut terdengar berisik saat angin sepoi-sepoi menerpanya.Cahaya matahari seakan enggan menerobos masuk ke dalam kamar karena tertutupi awan kelabu. Suasana terasa hening di dalam kamar yang didominasi warna putih itu.Di dinding yang bersebrangan dengan ranjang, terlihat sebuah foto yang terbingkai, berukuran besar, menggantung di sana. Jika dulu dalam foto itu hanya ada empat anggota keluarga, sekarang sudah bertambah satu orang lagi.Foto itu diambil di sebuah studio foto, dengan background bunga-bunga kering yang bernuansa vintage. Kelima orang itu memakai pakaian senada,
Suasana di dalam restoran malam itu tidak begitu ramai, tapi juga tidak sepi. Musik klasik mengalun merdu di seluruh penjuru ruangan. Lavina mengibaskan rambut bergelombang sepunggungnya ke belakang. Matanya tertuju pada meja yang terletak di dekat pintu masuk. Auriga, Aurora, Flora dan Jiro duduk di sana.Lavina mengembuskan napas panjang, berusaha menahan diri untuk tidak cemburu melihat pemandangan tersebut.Lavina tahu, Auriga juga tidak ingin ada di sana, tapi karena Aurora yang meminta ditemani untuk mengobrol dengan Flora—setelah Flora memohon-mohon agar diizinkan bicara dengan Aurora, akhirnya Auriga pun menemani Aurora sejak lima menit yang lalu.“Mama… Mama….”Celotehan Samudra yang duduk di baby chair, membuat Lavina mengalihkan pandangan dari mereka, ke arah anaknya yang sedang memakan biskuit.Lavina terkekeh karena bibir dan tangan Samudra belepotan. Ia mengambil tisu basah untuk membersihkan tangan dan mulut anak berkulit putih itu.Samudra memanggil-manggil ayahnya sam
“Capt, perempuan kalau lagi marah, jangan didiamkan. Bujuk dan rayu dia sampai luluh. Karena kalau di silent treatment, marahnya bakal menjadi-jadi.”Auriga mengangkat satu sudut bibirnya sembari mendengarkan nasihat Fredy—copilot yang terbang bersamanya hari ini, yang berbicara dengan nada bijak itu.“Aku tahu.” Dan kepala Auriga sedang menyusun rencana, setelah selama penerbangan pikirannya ia tumpahkan untuk pekerjaan. Sekarang, saat ia kembali ke Jakarta, barulah ia memikirkan cara untuk membuat Lavina luluh kembali.“Pantas saja dari pagi kamu nggak ceria, ternyata gara-gara istri marah, toh.” Fredy tersenyum kecil. “Melihat gimana cara kamu memperlakukan istrimu, kurasa kamu sangat mencintai dia.”Auriga mengangguk, mengiakan ucapan lelaki yang duduk di hadapannya itu. “Begitulah,” jawabnya sambil terkekeh. “Dia sangat istimewa.”Pada saat yang sama, deringan ponsel Auriga berhasil menginterupsi percakapan mereka.Auriga mengangkat panggilan tersebut dan menempelkan ponsel di te
Auriga memandangi Lavina dengan kening berkerut. Ia duduk di sofa, menyamping menghadap Lavina dengan satu tangan bertumpu di dagu. Sementara itu yang dipandangi tengah asyik membaca buku sambil ngemil keripik kentang.“Love, sejak kapan buku lebih menarik dipandangi daripada wajahku, hem?” Auriga akhirnya tidak bisa menahan diri untuk tidak bersuara.“Sejak hari ini,” jawab Lavina enteng, suara kriuk terdengar begitu nyaring saat ia menggigit keripik kentang itu yang sengaja dikeraskan.“Kamu tahu? Dari tadi siang kamu aneh banget, Love.”“Masa?”Iya, sejak tadi siang Auriga merasakan ada yang aneh dengan sikap Lavina. Perempuan itu memang tidak ketus, tapi justru dia terlihat cuek pada Auriga. Seperti saat ini contohnya, entah sudah berapa puluh menit Auriga duduk di sampingnya, tapi Lavina malah asyik membaca novel roman picisan.“Kamu mengabaikan suami kamu sendiri, Sayang. Aku di sini dari tadi, lho, nunggu perhatian dan kasih sayang dari kamu.”Mata Lavina merotasi matanya denga