Share

Part 5


Ingin rasanya Cia mengatakan tidak kepada Bima, tapi melihat antusias kedua orangtuanya membuat Cia bersedih. Pasti orang tuanya akan sangat kecewa jika ia menolak perjodohan tersebut.

Cia tidak kunjung menjawab pertanyaan tersebut sehingga Bima kembali berujar.

"Keterdiamanmu akan kami anggap sebagai jawaban, bahwa kamu menerima perjodohan ini." Ujarnya.

Lira dan kedua orangtua Cia tersenyum mendengar penuturan Bima barusan. Sementara Cia dan Elgan tampak diam seribu bahasa. Entah apa yang sedang mereka pikirkan, tetapi jika dilihat dari mimik wajah tampak jelas jika mereka tidak menunjukkan kebahagiaan yang biasanya dirasakan oleh sepasang kekasih yang akan segera menikah. 

"Elgan, kamu bisa langsung memasangkan cincin untuk Cia." Suruh Bima pada anaknya. 

Elgan merasa seperti sedang bermimpi. Bagaimana bisa ia berakhir seperti ini. Berakhir dengan gadis pilihan mamanya dan melamar gadis itu malam ini. Elgan melangkah menghampiri Cia dan berlutut, mensejajarkan tinggi mereka. Elgan mengeluarkan sepasang cincin dan mengenakan cincin tersebut di jari manis Cia. Setelah itu Elena juga menyuruh Cia agar melakukan hal yang sama seperti Elgan. Cia hanya pasrah menuruti perintah mamanya. 

Senyum bahagia langsung terpancar dari keluarga itu setelah melihat putra dan putri mereka yang sudah saling bertukar cincin.

"Lo, ikut gue sekarang." Perintah Elgan pelan dengan tatapan tajamnya melihat Cia. 

"Maaf. Kami permisi sebentar." Ujar Elgan dan berlalu begitu saja. Cia yang diperintah oleh Elgan hanya bisa pasrah mengikuti kemana arah pria itu berjalan. Hingga akhirnya Elgan menghentikan langkahnya di pelataran rumah, dibawah pohon yang tumbuh dengan rindang.

Elgan berbalik dan menatap Cia tajam.

"Mau lo sebenarnya apa? Kenapa lo nerima perjodohan ini?" Tanya Elgan dingin. 

Cia mendongak menatap wajah Elgan.

"Menurut lo?" Tanyanya balik.

"Lo seharusnya nolak perjodohan ini. Lo gak cinta sama gue, begitupun sebaliknya." Ucap Elgan sambil menatap Cia datar.

"Kenapa gak lo aja yang tadi nolak perjodohan gila ini?" Tanya Cia balik dan menantang.

"Asal lo tahu aja, dari awal gue memang udah nolak perjodohan ini. Tapi, karena gue gak mau orangtua gue kecewa, gue terpaksa harus nerima ini semua." Ucap Elgan tajam menekankan kata terpaksa pada kalimatnya.

"Dengar baik-baik ucapan gue. Gue SANGAT TERPAKSA menerima perjodohan ini." Setelah itu Elgan berlalu begitu saja meninggalkan Cia. 

Cia menatap sedih punggung Elgan yang berlalu meninggalkannya. Tidak pernah terpikir olehnya kalau ia akan menikah dengan pria bermulut pedas seperti Elgan.

"Lo juga harus tau kalo gue juga terpaksa menerima perjodohan ini." Lirih Cia menatap kosong kedepan. Tangannya terkepal kuat menahan tangis dan amarah.  Kenapa Elgan harus berkata seperti itu padanya? Ia juga sama dengan Elgan, menerima perjodohan ini karena terpaksa tapi ia tidak mengatakan yang sebenarnya. Iya hanya ingin orangtuanya bahagia dengan menikahi pria pilihan mamanya walaupun kebahagiannya sedang dipertaruhkan saat ini.

Cia mengatur deru napasnya. Ia tidak boleh terlihat sedih didepan orangtua dan calon mertuanya. Cia menarik nafas kuat lalu dihembuskannya secara perlahan. Setelah itu ia berjalan menuju pintu belakang dan memasuki dapur. Cia berdiri didepan meja bar kecil sambil meneguk segelas air.

"Cia, lo pasti bisa ngejalani semua ini." Ujar Cia meyakinkan dirinya. Cia menepuk-nepuk pelan kedua pipinya sebelum berjalan menuju keluarganya berkumpul. Cia melihat papanya, Om Bima dan Elgan yang sedang berbincang. Sesekali dilihatnya juga Elgan yang mengangguk setelah mendengar perkataan papanya.

"Sayang, kamu dari mana?" Tanya Elena sambil mengelus rambut Cia.

"Dari dapur, Ma."Jawab Cia sembari memeluk mamanya dari samping.

"Sayang coba lihat, kamu suka yang mana diantara undangan ini?" Tanya Lira sembari memperlihatkan beberapa macam model undangan. Cia menegakkan duduknya dan mulai memilih-milih undangan yang ada diatas meja.

"Kami sudah memutuskan resepsi pernikahan kalian akan dilakukan satu minggu lagi." Perkataan Elena barusan langsung menghentikan pergerakan Cia.

"Memangnya tidak terlalu cepat, Ma?" Tanya cia.

"Kita juga belum ada persiapan lho." Sambungnya.

"Enggak sayang, satu minggu itu sudah cukup untuk kita  menyelesain semua persiapannya. Kamu tenang aja, semua keperluan resepsi nanti biar kami saja yang menyiapkan."Jelas Elena pada putrinya. 

Cia melirik Elgan sekilas dan hal itu tidak lepas dari pengamatan Lira dan Elena.

Pria sombong itu sudah tau belum, ya?, batinnya.

"Kamu jangan khawatir, Elgan pasti menyetujui semua yang kami rencanakan." Ujar Lira, seakan tau apa yang sedang dipikirkan calon menantunya. 

Mendengar penuturan Lira, Cia langsung mengalihkan pandangannya dari Elgan.

"Iya deh ma. Kalau mama dan tante maunya seperti itu Cia ngikut aja." Ujar Cia sambil tersenyum simpul melihat keduanya. Elena dan Lira ikut tersenyum mendengar persetujuan Cia. 

Elena merasa bersyukur putrinya sudah bisa menerima perjodohan ini. Batinnya terus berdoa semoga Cia bahagia dengan pernikahan tersebut.

"Jadi, Cia pilih yang mana?" Tanya Lira.

"Yang ini aja tan." Jawab Cia sembari menyerahkan undangan yang berwarna gold. Lira dan Elena setuju dengan pilihan Cia.

Mereka membahas banyak hal mengenai pernikahan putra putri mereka yang akan berlangsung tidak lama lagi. Hingga akhirnya Bima datang menghampiri Lira.

"Ma, pulang, yuk." Suara Bima menghentikan percakapan tiga wanita yang sedang mengobrol.

"Oh. Ayo, Pa." Angguk Lira.

"Ya sudah Len. Kami pulang dulu ya, gak kerasa udah larut malam aja" Pamit Lira pada Elena.

"Tante pulang dulu ya cantik. Kamu jaga kesehatan, jangan sampai sakit di hari-H nanti." Ucap Lira sambil mengelus rambut Cia.

Cia tersenyum.

"Iya, Tante." Jawabnya.

Setelah berpamitan, keluarga Lambert pergi meninggalkan lingkungan keluarga Florence.

Cia melangkah menuju kamarnya. Ia ingat betul bagaimana tadi Elgan menatapnya sebelum keluar dari rumah. Tatapan datar dan dingin Elgan perlihatkan untuknya, hanya untuknya. Jika didepan orangtua mereka maka Elgan akan bersikap baik tetapi jika tidak, Elgan seakan menganggap Cia bagaikan musuh bebuyutannya.

Sesampainya dikamar, Cia langsung berbaring di ranjangnya. Pandangannya kosong menatap langit-langit kamar, sehingga tidak butuh waktu lama ia sudah terlelap dalam tidurnya.

     Sesampainya di mansion. Elgan langsung melesat menuju kamarnya. Ia mengambil kunci mobil yang terletak diatas nakas dan pergi lagi mengendarai mobilnya.

Elgan melangkahkan kakinya memasuki club malam. Seorang satpam penjaga pintu menyapanya dengan ramah. Menandakan kalau ia dikenal dan sering ketempat itu. Elgan duduk di kursi sudut, menjauh dari keramaian orang-orang yang sedang meliukkan tubuh mereka tak beraturan. Terlihat jelas 90 persen dari pengunjung club itu sudah tidak sadarkan diri. Mereka telah terpengaruh alkohol. 

Elgan meneguk segelas minuman yang baru saja dituangnya hingga kandas. Entah apa yang ia lakukan di tempat itu. Sedari tadi ia hanya memperhatikan orang-orang yang sudah tidak sadar dengan pandangan yang sulit diartikan. Malam kian larut, namun Elgan masih diposisinya semula. Matanya memerah, rambutnya yang tadi tertata rapi sekarang berantakan karena ulahnya. Sesekali kepalanya terhantuk kedepan dan sesekali pula ia tersenyum lalu menunjukkan ekspresi sedih. Pikirannya berkecamuk membuat kepalanya terasa sakit. Ia sedang memikirkan seseorang. Tidak. Bukan Cia yang ada dipikirannya. Melainkan seorang wanita yang dulu selalu ada untuknya selama bertahun-tahun.

"Kapan?"

"Kapan kamu akan kembali?" Racau Elgan tidak jelas. Ia seolah bertanya pada orang itu. Namun, hingga ratusan kalipun ia bertanya sebuah jawaban tidak akan pernah ia dapatkan.

Seorang pria menghampiri Elgan yang tidak lain adalah Niko.

"Heh, Bego!" Sergah Niko pada Elgan. Niko datang ke tempat itu karena Elgan tidak menjawab telponnya sama sekali setelah tadi ia melihat Elgan pergi kearah club itu saat hendak mengantarkan Nadin pulang.

Elgan mendongak.

Cahaya yang minim membuat Elgan mempertajam penglihatannya melihat seseorang yang berdiri didepannya.

"Eh Niko, hehe." Sapa Elgan sambil terkekeh saat melihat Niko lah orangnya.

"Sini, duduk disamping gue." Ajak Elgan menepuk-nepuk kursi kosong disampingnya. Matanya setengah terbuka menatap Niko.

Niko mengusap alisnya yang tidak gatal.

"Ya tuhan, ini udah larut malam tapi kenapa Engkau masih memberi hamba-Mu ini pekerjaan yang sulit." Lirih Niko frustasi. Ia memutuskan untuk duduk disamping Elgan.

"Lo kenapa lagi, sih?" Tanya Niko muak. Ia sangat sering mendapati Elgan yang berakhir di meja bar seperti ini.

"Rindu." Lirih Elgan.

"Lo rindu sama gue? Nih gua udah datang, rela-rela gue ngurangin jam tidur buat lo doang." Niko berujar sambil mengacak rambutnya.

Elgan menggeleng lemah.

"Gue rindu sama dia." Lirih Elgan, kemudian bersandar dipunggung sofa.

"Dia lagi... dia lagi..." Ucap Niko muak.

"Lo bodoh banget, sih! sampai mau mabuk-mabukan kayak gini hanya karena wanita itu!" Sergah Niko.

"Lo udah gak waras El" Sambungnya.

"Gue cinta sama dia, Niko." Ucap Elgan disisa kesadarannya. 

"Bokong lo tuh cinta. Gak ada cinta-cintaan sekarang. Lo itu harusnya sadar. Dia udah berulang kali nyakitin perasaan lo dan sekarang dia hilang begitu aja bagaikan ditelan bumi. Seharusnya lo senang, gak akan ada lagi yang ngelukai perasaan lo." Nasihat Niko panjang lebar bercampur emosi.

Mungkin ini sudah nasihat Niko untuk yang kesekian kalinya, tapi Elgan tidak pernah sekalipun menggubris perkataannya. Namun, Niko tak akan berhenti. Ia akan tetap menyadarkan sahabatnya itu hingga benar-benar sadar walaupun ia sendiri tidak tahu kapan hari itu akan tiba.

Huueekk...

Elgan memegang perutnya yang sakit sambil memuntahkan cairan di mulutnya.

"Aiiissh, jorok banget sih lo!" Niko menepuk-nepuk kemejanya yang hampir terkena muntahan Elgan.

"Udah tau lo itu gak tahan minum-minuman kayak ini, tapi masih aja diminum. Lo udah bosan hidup? mau mati muda, hah?" Sarkas Niko.

     Niko menuntun Elgan yang sempoyongan menuju mobil. Ia mengantarkan Elgan hingga sampai kekamar pria itu. Elgan yang kesadarannya semakin menipis hanya pasrah dengan apa yang dilakukan Niko padanya. Terakhir kali yang dilihatnya ialah Niko yang berlalu meninggalkannya dan menghilang dibalik pintu kamarnya.

           

            

     Pagi hari yang cerah menyambut kesadaran seorang gadis dari tidurnya. Suara burung-burung berkicau terdengar dari pepohonan bagaikan nyanyian di pagi hari. Cia bangun dari tidurnya dengan keadaan yang lebih segar.

Cia bersenandung kecil melangkahkan kakinya menuju dapur untuk bergabung bersama kedua orangtuanya.

"Pa, Cia berangkat duluan, ya?" Tanya Cia pada papanya lalu mencomot roti ditangannya.

"Iya, kamu duluan aja. Papa mungkin sebentar lagi baru berangkat " Jawab Xavier yang sedang berdiri didepan istrinya yang sedang memasangkan dasinya.

"Cia, itu punya papa kamu!" Teriak Elena saat melihat Cia menyantap sarapan yang telah dibuatnya khusus untuk suaminya.

Cia terkekeh lalu berlari kecil menghindari amukan mamanya.

"Dadaah... Mama... bye, Papa...." Teriak Cia dari garasi. Setelah itu ia melajukan mobilnya menuju perusahaan papanya, tempat ia bekerja.

Sekitar empat puluh menit kemudian, Cia sampai di basement. Ia berlari kecil memasuki lobby saat melihat Nadin yang berjalan tidak jauh darinya.

"Woy, Nadin!" Teriak Cia mengagetkan sahabatnya itu.

"Astaga, dasar lo ya." Kesal Nadin yang tersentak sembari mengelus dadanya.

"Heh ini masih pagi, lo udah main teriak-teriak aja." Ujar Nadin sarkas.

"Emangnya kalo mau teriak itu harus ada jadwalnya, ya?" Tanya Cia dengan tampang polosnya.

"Ya Iya lah, harus." Balas Nadin cepat.

"Siapa yang bilang?" Tanya Cia lagi.

"Ya gua lah." 

Cia menyengir kuda menampakkan deretan giginya yang tersusun rapi.

"Lo kenapa? Bahagia banget kayaknya." Tanya Nadin sambil melanjutkan langkahnya.

"Gue kan setiap hari emang selalu happy. Lo kayak gak tau aja."  Balas Cia dengan cengirannya.

"Au ah gelap." Nadin memasang tampang kesalnya.

"Atau jangan-jangan... lo ya yang lagi happy?." Tuduh Cia.

"Biasa aja."

"Hayo... ngaku lo." Ucap Cia menyudutkan Nadin.

"Kenapa jadi gue, sih!" Elak Nadin.

"Ciee... yang lagi jatuh cinta. Bunga-bunga cinta bermekaran." Cia berputar-putar didepan Nadin, menirukan iklan yang saat itu sedang sering tayang di TV.

"SERTES Lo!" Teriak Nadin di telinga Cia lalu berjalan memasuki lift.

Awalnya lift yang mereka naiki hanya ada beberapa orang namun lama kelamaan lift itu menjadi penuh dinaiki oleh beberapa karyawan. Seorang karyawan wanita berpakaian ketat memasuki lift saat mereka sedang berhenti di lantai 3.

Sisi jahil dalam diri Cia keluar. Ia memperhatikan wanita itu dari atas hingga bawah. Namun, tatapannya berhenti saat melihat resleting rok wanita itu turun. Senyum jahil terukir dibibir merahnya. Disenggolnya lengan Nadin lalu dilihatnya kembali rok wanita itu. Nadin yang mengikuti arah pandangan Cia terkekeh pelan. 

Waduh gila nih cewek, Nadin membatin. Ia ikut memperhatikan wanita itu lalu menyikut lengan Cia pelan. 

"Lihat lehernya." Ujar Nadin tanpa suara sambil memegang lehernya sendiri. 

Cia mengangguk cepat lalu melihat leher wanita itu.

"Waw...." Cia lebih terperangah saat melihat leher wanita itu yang terdapat banyak bercak merah.

"Husttt..." Nadin menyuruh Cia diam sembari menempeleng kepala sahabatnya itu. Cia mengusap kepalanya sampil mengacungkan jempolnya.

Ting!

Suara lift terdengar dan pintu didepan mereka pun terbuka lebar. Cia mencoba mensejajarkan langkahnya dengan karyawan papanya itu.

"He'em, hei..." Sapa Cia sok kenal saat sudah berjalan disamping wanita itu. Wanita itu hanya melirik Cia sekilas.

"Resleting rok lu turun tuh." Sambung Cia mengingatkan. Wanita itu refleks berhenti dan langsung meraba resleting roknya.

"Harga resleting turun!" Teriak Nadin sambil berjalan cepat melewati Cia dan wanita itu. Para karyawan yang berada di tempat itu terkekeh geli menyaksikan tiga orang tersebut. Para karyawan yang sudah tahu bagaimana kelakuan aneh Nadin dan Cia hanya bisa menggeleng-geleng.

Cia dan Nadin tertawa geli sambil melangkahkan kaki mereka menuju kursi masing-masing. Wanita berpakaian ketat itu mendengus kesal sambil menghentakkan kakinya menuju toilet.

"Dasar bocah tengik!!" Makinya pada Cia dan Nadin. Lagi lagi Cia dan Nadin hanya tertawa mendengar makian wanita itu. 

"Keliatan banget ya cewek itu habis ena-ena."  Ujar Nadin membuka obrolan.

"Yoi, girl. BTW cewek tadi siapa, sih?" Tanya Cia sambil menatap komputer didepannya.

"Namanya Della, orangnya seperti yang lo liat tadi. Gini ya kalo nanti lo punya pacar atau apalah itu, hati-hati deh sama tuh cewek tadi. Bisa bisa pacar lo dirembut sama dia." Ujar Nadin berbisik.

"Masa, sih?" Tanya Cia kurang yakin.

"Iya, gue udah pernah lihat langsung pakai mata kepala gue sendiri, kalo dia itu pernah jalan sama suaminya tetangga gue." Ucap Nadin lagi meyakinkan.

"Emangnya yang bilang lo ngeliat pakai mata kaki siapa?" Gurau Cia lalu terkekeh.

"Iiissh kebangetan lo, Gue serius tau." Nadin mengerucutkan bibirnya.

"Cieee.. yang maunya diseriusin."

"Cia, gue mau nanya deh sama lo. Menurut lo, kalo gue jadian sama Niko, gimana?" Tanya Nadin serius.

"Ya udah jadian aja. Lagian dia juga baik kok." Jawab Cia seadanya.

"Tapi, dia suka gak sama lo?" Tanya Cia balik.

"Entah lah." Lirih Nadin.

"Yaelah... jadi kenapa lo nanya kayak gitu?" Tanya Cia sambil membalik kertas ditangannya.

"Jangan jangan, lo suka ya sama dia?" Tebak Cia. Nadin yang mendengar penuturan Cia menyengir malu menampakkan gigi putihnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status