Share

Part 4

Malam hari, sekitar pukul setengah delapan keluarga Lambert sudah bersiap-siap hendak pergi kerumah sahabat mereka. Lira sedari tadi terus tersenyum tidak jelas membuat Elgan heran melihat tingkah mamanya itu. Lira sudah cantik dengan dress berwarna baby blue yang melekat ditubuhnya yang masih terlihat indah. Lira memang masih cantik disaat umurnya yang sudah hampir memasuki usia 50-an. Tidak heran ia memiliki putra yang sangat tampan seperti Elgan.

"Kenapa sih Ma kelihatannya seneng banget?" Tanya Elgan mengalihkan perhatian mamanya.

"Iya, mama lagi bahagia, bentar lagi bakalan jumpa calon mantu mama." Jawab Lira masih dengan senyumannya. Elgan langsung mengalihkan pandangannya dari mamanya mendengar jawaban tersebut.

Tiiin...

Tiiin...

Suara klakson mobil terdengar dari garasi. Bima yang sedang memanaskan mesin mobil membunyikan klaksonnya saat istri dan anaknya tak kunjung keluar.

"Ayo, Nak. Papamu sudah heboh sendiri didepan." Lira mengajak Elgan yang terlihat ogah-ogahan.

"Ayo!" Ulang Lira dengan suara naik satu oktap.

Elgan mendengus.

Ia berdiri dan berjalan dengan malas mengikuti langkah mamanya dengan mulut yang terus mengoceh tanpa suara.

"Kalian sudah siap?" Tanya Bima saat melihat istrinya.

"Sudah, Sayang." Lira memasuki mobil.

"Elgan mana, Ma?" Tanya Bima lagi saat tidak mendapati keberadaan putranya.

"Masih di dalam, tadi katanya ada yang ketinggalan." Lira menatap suaminya.

Tiiin...

Tiiin...

Suara klakson kembali berbunyi.

"Iya, Pa, iya. Berisik banget." Elgan berlari kecil menghampiri mobil papanya.

"Lama sekali kamu!"  Sergah Bima setelah Elgan memasuki mobil.

     Mobil yang dikendarai keluarga Lambert itu menjauh meninggalkan palataran mansion. Sekitar dua puluh lima menit kemudian mobil itu terlihat sedikit melambat dan berbelok memasuki sebuah rumah yang memiliki pelataran yang cukup luas.

"Mereka sekarang tinggal disini, Pa?" Tanya Lira sembari melepas sealtbelt ditubuhnya. Ia sudah sangat lama tidak mengunjungi tempat tinggal sahabat lamanya itu. Terakhir kali ia bertamu kerumah Elena dan Xavier saat sahabatnya itu masih tinggal di Amsterdam. Dan itu sekitar tiga tahun yang lalu. Setelah itu mereka juga sangat jarang berkomunikasi. Mereka mengetahui kabar satu sama lain dari suami mereka yang memang lebih sering bertemu dikarnakan kerjasama antar perusahaan.

"Iya, Ma. Kemarin papa sempat kesini menemui Xavier, tapi hanya sebentar." Balas Bima sembari melepas sealtbeltnya.

Mereka keluar dari mobil. Pandangan Lira menyusuri pekarangan tempat tinggal sahabatnya itu. Perasaan senangnya kali ini bertambah dua kali lipat. Ia tidak sabar ingin bertemu dan menghambur kepelukan sahabatnya itu.

"Elgan, kamu nanti kalo bertemu calon mertua harus sopan. Buang jauh-jauh sifat songong kamu itu." Lira mengingatkan dengan pandangan fokus kedepan.

Tidak ada jawaban.

"Kamu dengerin mama gak, sih?"

Masih tidak ada jawaban. Ingin rasanya ia menjitak kepala putra pembangkangnya itu. Lira membalikkan badan dan mendapati putranya masih duduk dengan santainya didalam mobil.

"ELGAN!" Bentak Lira.

"Kenapa, Ma? Elgan disini." Jawab Elgan sambil buru-buru keluar dari mobil.

"Sayang papa kesana duluan, ya?"Pamit Bima dan diangguki oleh Lira.

"Ada apa, Ma?" Tanya Elgan saat sudah berdiri dihadapan mamanya.

"Kamu ini, kenapa lama sekali?!" Ucap Lira sambil mendorong kening Elgan dengan telunjuknya.

"Ma..." Rengek Elgan setelah ia sedikit terjungkal kebelakang.

"Yang sopan kamu!" Tegas Lira menatap Elgan tajam.

"Tau kali Ma." Balas Elgan seadanya.

"Ayo!" Lira mengayunkan kakinya menghampiri suami dan sahabatnya yang berdiri didepan pintu.

"Elena!" Teriak Lira sambil berlari manuju Elena berdiri.

"Lira!" Suara Elena Tak kalah keras.

"I miss you so much." Ujar Lira sembari memeluk Elena erat.

"I miss you too." Balas Elena memeluk Lira tak kalah erat.

"How are you?" Elena mengurai pelukannya.

"I'm fine." Balas Lira sambil tersenyum.

"You?" Tanya Lira balik.

"Yeah, I'm good." Jawab Elena sembari memperlihatkan kondisinya sekarang.

"Ini putramu?" Tanya Elena sambil menatap Elgan.

"Iya, Lena. Ini putraku, Elgan." Jawab Lira sambil sedikit menyenggol lengan putrnya.

"Malam, Tante. Saya Elgan." Ujarnya sembari menyalam Elena. Keningnya menyentuh punggung tangan Elena.

"Halo, Om." Sapanya juga pada Xavier.

"Wah, kau sudah tumbuh besar ya sekarang, sama seperti anak om." Ucap Xavier dengan senyumannya.

"Tampan lagi." Sambungnya. Elgan yang dipuji hanya menampakkan senyum tipis yang hampir tak terlihat. Pujian, sudah biasa baginya.

"Ayo masuk. Kita berbicara didalam saja." Ajak Xavier sembari mempersilahkan sahabatnya masuk.

     Elgan berjalan paling belakang mengikuti langkah si pemilik rumah. Baru saja beberapa menit ia tiba dikediaman sabahat mamanya ini rasa bosan sudah menghinggapinya.

Sangat membosankan, ujarnya dalam hati.

Saat tadi memasuki rumah tersebut, Elgan sesekali memperhatikan suasan sesekali nya. Sangat sunyi, pikirnya. Dalam hati Elgan bertanya-tanya apakah anak sahabat mamanya itu tinggal disini? Jika iya, kenapa tidak kelihata? Dan jika ada disini, ia akan lebih memilih mengobrol dengan anak sahabat mamanya itu daripada menjadi nyamuk mendengar obrolan orangtua yang akan membuatnya bosan. Ah... tidak. Ia akan memilih pulang. Ya, itu lebih baik daripada ia harus bertatap muka dengan gadis yang akan menjadi calonnya. 

"Ayo silahkan duduk. Jangan sungkan, anggap saja rumah sendiri." Elena mempersilahkan calon besan dan calon menantunya duduk.

"Bisa aja lo Len." Lira terkekeh sembari menduduki kursi disamping suaminya. Begitupun dengan Elena, ia juga ikut duduk disamping suaminya yang berhadapan dengan Bima.

Mereka mengobrol ringan menanyakan dan menceritakan hal-hal yang meraka alami selama tiga tahun balakangan ini. Elgan hanya menjadi pendengar diantara mereka. Ia melirik jam yang melingkar dipergelangan tangan kirinya.

"Huuft.." Elgan menghembuskan nafas bosan. 

Baru dua puluh menit, kapan ini semua akan berakhir?, pikirnya.

Sesekali Elgan melihat mamanya dan wanita yang dipanggilnya tante itu tertawa keras. Elgan sangat jarang melihat mamanya sedekat ini dengan seseorang.

Apa mereka sedekat itu?, Elgan membatin.

"Oiya, BTW putrimu mana Len? Kenapa dari tadi tidak kelihatan?" Tanya Lira sambil menatap sahabatnya. Saat ini mereka sedang berada di dapur untuk mengambil makanan yang akan dihidangkan.

"Cia lagi ditempat temenya. Tapi tadi udah ditelpon kok disuruh pulang." Jawab Elena sebelum berlalu menuju ruang makan.

Semua menu makan malam sudah selesai dihidangkan. Namun, Cia tak kunjung pulang sehingga mereka belum memulai makan malam.

"Cia, mana sih, Pa? Kenapa belum pulang juga? Coba papa telepon lagi." Elena merasa khawatir. Sudah satu jam dari ia menelpon Cia tadi, tapi sampai saat ini putrinya itu tidak juga terlihat memasuki rumah.

"Gak diangkat sayang." Ujar Xavier setelah mencoba menghubungi putrinya.

"Mungkin sebentar lagi sampai." Sambungnya.

"Manasih tuh anak? Suka banget keluyuran." Gerutu Elena saat rasa khawatir semakin menghinggapinya.

"Sudah lah Len. Dulu kita juga kayak gitu. Namanya juga anak gadis." Lira berusaha menenangkan Elena.

Tidak lama kemudian cia datang memasuki rumah.

"Assalamu'alaikum." Suara Cia yang mengucap salam terdengar.

"Mama!" Panggilnya kuat.

"Mama!" Panggilnya lagi lebih keras.

Elena yang mendengar suara putrinya langsung menghampiri Cia yang berdiri didepan pintu utama.

"Kamu dari mana aja? Keluyuran aja kerjanya." Gerutu Elena sambil berjalan.

"Aaa.. !" Pekik Cia saat bahunya dipukul cukup keras.

"Mama" Cia memelas pada Elena yang menatapnya tajam.

"Kamu, kenapa kotor begini?" Tanya Elena saat mendapati pakaian putrinya yang berlumpur di beberapa sisi.

"Kena cipratan air, Ma." Balas Cia sambil merengut.

Baju yang dikenakannya saat ini memang sudah kotor karena cipratan air yang tergenang dipinggir jalan.

Elgan dan orang tuanya hanya memperhatikan dua wanita yang sedang bersiteru itu. Elgan menatap gadis yang berdiri membelakanginya dengan sebelah alis yang terangkat. Dilihatnya penampilan gadis itu dari atas hingga bawah. Tatapan tak suka langsung terpancar dari kedua matanya.

"Sana masuk! Selesai itu langsung kemari, kita makan malam bersama dengan tamu mama. Yang cepat mandinya." Perintah Elena. Cia langsung melangkahkan kaki menuju kamar sambil menggerutu.

"Sial! Sial! Sial!" Gerutunya dengan suara yang keras. Ia membanting pintu kamarnya kuat membuat semua orang yang berada di meja makan tergelonjak kaget.

"CIA!!" Teriak Elena pada anak semata wayangnya itu.

"APA LAGI SIH MA!" Teriak Cia tak kalah keras. 

Xavier geleng kepala melihat tingkah istri dan anaknya. 

Dasar, anak sama mama sama saja, batinnya.

Satu jam yang lalu.

     Setelah Cia mendapat telpon dari mamanya. Ia langsung berpamitan pulang kepada Nadin dan orangtua sahabatnya itu. Saat diperjalanan, tiba-tiba saja ia merasa ada yang aneh dengan mobilnya sehingga ia berhenti dipinggir jalan. Setelah dilihatnya, ternyata ban mobil bagian depannya kempes. Cia yang merasa bingung mencoba menghubungi orang bengkel agar segera memperbaiki ban mobilnya.

Cia berdiri didepan mobilnya sambil menunggu kedatangan orang yang akan memperbaiki ban mobilnya. Di saat ia tengah kesal, tiba-tiba saja sebuah mobil yang melaju dari arah berlawanan dengan kecepatan sedang membuat air yang tergenang didekat mobilnya terciprat dan mengenai pakaiannya. Cia berteriak memaki si pengemudi mobil tersebut.

"WOY!" Teriak Cia.

"BERHENTI LO BRENGSEK!" Teriak Cia lagi semakin keras. Rasa kesal semakin menyeruak di dalam dirinya.

Mobil mewah berwarna hitam yang diteriaki Cia berhenti begitu saja. Suasana jalanan tempat ban mobil Cia bocor memang sunyi, sehingga mobil hitam yang entah siapa pengemudinya itu bisa mundur secara perlahan dan berhenti diseberang mobil Cia.

"Turun lo!" Perintah Cia. Ia sangat kesal saat melihat pemilik mobil hitam itu hanya menurunkan kaca jendelanya, tidak ada niat sedikitpun untuk keluar dari mobilnya dan meminta maaf pada Cia. Cia menyeberangi jalan menghampiri mobil hitam didepannya. Ia langsung memukul kaca depan mobil hitam itu dan berteriak.

"Turun lo!" Suruhnya lagi. Pria didalam mobil itu jengah melihat tingkah Cia yang bar-bar. Akhirnya ia keluar dan berdiri dihadapan Cia.

"Kenapa, lo?" Tanyanya Cuek.

"Kenapa?! Kenapa?! Lo gak punya mata untuk lihat kondisi pakaian gue sekarang?" Bentak Cia didepan wajah pria itu.

"Liat pakaian gue jadi kotor gara-gara lo!" Ucap Cia keras sambil memperlihatkan pakaiannya yang kotor.

"Terus?" Tanya pria itu seolah tak bersalah sedikitpun. Cia menggertakkan giginya menatap tajam pria didepannya.

"Ya, y-ya setidaknya lo harus minta maaf, bodoh!" Bentak Cia lagi.

"Lo ini cewek jenis apa sih? Suka sekali berteriak." Pria itu mengusap telinganya yang terasa panas.

"Bukan urusan lo." Sergah Cia.

"Udah lah, gue gak punya waktu untuk berurusan sama lo. Lo urusi aja pakaian lo itu dan ini kartu nama gue. Kalo lo mau ganti rugi hubungi aja gue." Ucap pria itu sambil menyerahkan sebuah kartu.

"Heh! Gua gak butuh kartu nama lo. Gue cuma mau lo minta maaf. Apa susahnya coba?!" Ucap Cia tak habis pikir menatap pria didepannya.

"Lo berisik banget, sih!" Pria itu menarik tangan Cia dan meletakkan kartu namanya ditelapak tangan Cia dengan keras. Setelah itu ia kembali memasuki mobilnya dan melaju meninggalkan Cia yang terlihat menahan amarahnya.

"DASAR PRIA ARROGANT, jangan sampai gue nemu jodoh kayak lo!" Teriak Cia sambil menendang batu kecil didepannya. Cia kembali menyeberangi jalan menuju mobilnya. Hari sudah gelap, hembusan angin malam membuat tubuhnya kedinginan sehingga ia memutuskan untuk menunggu di dalam mobil. Sekitar lima menit kemudian, Cia merasa penasaran siapa pria tadi dan ia langsung mengambil kartu yang tadi dilemparnya asal ke jok di sebelahnya.

"Alden Saptaprabu." Ucap Cia sambil mangut-mangut.

Cia akhirnya kembali melajukan mobilnya setelah menunggu kurang lebih tiga puluh menit untuk memperbaiki ban mobilnya. Sesampainya di pelataran rumah, Cia melihat mobil asing yang terparkir disamping mobil mamanya.

     Tidak butuh waktu lama bagi Cia untuk membersihkan diri. Sekarang ia sudah siap dengan pakaian santainya. Ia menuruni anak tangga dan melangkah menuju ruang makan sesuai dengan perintah mamanya tadi. Cia berdiri didekat guci keramik berukuran besar sambil memperhatikan tiga orang asing yang duduk membelakanginya.

"Eheem. " Cia berdehem, menarik perhatian orang-orang yang ada disana. Semua pasang mata mengarah kepada Cia, kecuali seorang pria yang tengah asik dengan ponselnya.

"Cia. Ayo sini nak, kenalan dulu sama om dan tante ini." Elena menghampiri Cia sambil menyuruhnya untuk berkenalan dengan sahabatnya.

"Halo, Tante." Sapa Cia sambil mencium punggung tangan Lira.

"Halo, Sayang. Kamu sudah jadi gadis yang cantik ya sekarang."  Puji Lira sambil mencium kedua belah pipi Cia. Cia yang dipuji hanya tersenyum malu.

"Halo, Om." salam Cia pada pria yang duduk disamping tante yang baru saja disalamnya.

"Karena semua sudah lengkap. Jadi, kita langsung makan saja  ya. Selesai itu baru kita bahas point pentingnya." Ujar Xavier memberi solusi dan diangguki oleh istri dan kedua sahabatnya.

Cia yang tak tahu menahu hanya diam dan duduk dikursi yang kosong. Cia tak sengaja melihat wajah pria yang duduk dikursi seberang mejanya. Ia menyipitkan mata mempertajam penglihatannya menatap pria yang juga sedang menatapnya tak kalah kaget.

Waduh, ngapain cowok ini disini? Apa dia kemari sama Niko? Tapi Nikonya dimana, dari tadi kenapa gak kelihatan?, Cia mencari keberadaan Niko yang memang sudah pernah datang mengunjunginya.

Tapi, kenapa ia bisa sama om dan tante ini? Memangnya dia siapa?, tanya Cia dalam hati sambil melihat sekelilingnya.

"Kenapa sayang, kamu kayak orang bingung gitu?" Suara Lira mengagetkan Cia.

"Enggak kok tante." Jawab Cia setelah tak mendapati Niko dikediamannya. 

Lira tersenyum manis melihat calon menantunya. Dalam hati ia sangat bersyukur akan mendapatkan menantu secantik Cia. Hayalannya sudah jauh sampai ia membayangkan sudah menggendong cucu-cucunya yang sangat menggemaskan.

Elgan yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya sebagai penghilang jengah, mengalihkan perhatiannya saat mendengar suara wanita yang sedang berkenalan dengan mamanya. Dilihatnya gadis yang berdiri tidak jauh dari tempatnya duduk dengan tatapan bingung juga kaget.

Ini cewek lusuh tadi, bukan?, tanyanya dalam hati.

Cewek ini bukannya temennya Niko?, sambungnya.

Elgan memperhatikan Cia dari atas hingga bawah. Cia sedang mengenakan kaos oblong berwarna putih yang ujung lengannya dilipat dan juga dengan celana pendek diatas lutut yang memperlihatkan paha putihnya. 

Dia mengenakan pakaian yang tidak pantas untuk dikenakan ketika bertemu calon mertuanya, dasar, Elgan menimpali. 

Hah, itu bukan urusanku, mengapa juga aku berkata begitu? Sialan, kesalnya, seakan perkataannya tadi sudah mengakui Cia sebagai calonnya. Ia kembali sibuk dengan ponselnya. 

Elgan mendongakkan kepalanya yang menunduk saat mendengar suara kursi ditarik. Ditatapnya Cia dan pandangan mereka bertemu. Ia dapat melihat kebingungan dari wajah Cia. Tidak dapat dipungkiri hati kecil Elgan mengagumi ciptaan tuhan didepannya. Mereka duduk hanya terpisahkan oleh meja makan. Dengan jarak yang lumayan dekat ini, Elgan dapat melihat wajah Cia lebih jelas. Elgan memperhatikan Cia yang sedang mengunyah makanan, mulut Cia yang penuh dan sedikit menggembung juga bibirnya yang berwarna pink alami sedikit berminyak karena makanan membuat Elgan menarik sebelah ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman tipis yang tidak terlihat.

Selesai makan malam, mereka berkumpul diruang tamu untuk membahas point penting yang sudah ditunggu-tunggu oleh kedua orangtua Cia dan Elgan.

"Elgan, kamu sudah taukan tujuan utama kita kesini untuk apa?" Tanya Bima membuka pembicaraan. Ia menatap putranya yang duduk disampingnya.

"Sudah, Pa." Jawab Elgan pelan.

"Jadi begini Cia, kamu sudah dengarkan kalau kamu akan dijodohkan?" Tanya Bima pada Cia yang duduk didepan istrinya.

Cia sedikit terkejut ketika Bima bertanya kepadanya.

"Sudah, Om."Jawab Cia seadanya.

"Jadi Cia, anak om ini yang akan dijodohkan dengan mu. Kamu mau kan?" Tanya Bima menatap anak sahabatnya itu.

"Pa?" Panggil Cia pada papanya yang duduk disamping mamanya.

"Iya, Nak. Dia pria yang akan dijodohkan dengan mu. Dia anak sahabat papa yang kemarin papa ceritakan." Ucap Xavier menjelaskan pada putrinya.

"Kamu Elgan, om tanya sama kamu. Kamu maukan menikah dengan putri om ini?" Tanya Xavier pada Elgan yang duduk dihadapannya.

Elgan diam. 

Dalam hati ia menjawab kalau ia sangat tidak mau menerima perjodohan gila itu.

"Elgan, seperti yang mama bilang." Ujar Lira menyadarkan Elgan.

Gue gak bisa nerima perjodohan ini, tapi aarrgh..., hati dan pikiran Elgan bertolak belakang. Hatinya tidak ingin ia menikah dengan gadis pilihan mamanya, namun pikirannya mengatakan ia harus menerima perjodohan ini agar mamanya tidak kecewa padanya dan tidak akan ada yang tersakiti disini kecuali dirinya.

"Iya, Om. Elgan terima perjodohan ini." Jawab Elgan akhirnya dengan tatapan kosong.

"Bagaimana, Cia? Elgan sudah menerima kamu sebagai calon istrinya. Kamu mau kan, anak om ini menjadi suamimu?" Tanya Bima. 

Cia menatap mama dan papanya bergantian. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ini terlalu cepat, Pikirnya. Bagaimana mungkin ia bisa menikah dengan pria yang baru dua kali bertemu dengannya.

Ini gila, batinnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status