Share

Bab 2

Hawa dingin di pagi hari menguliti wajah Elina. Dia mengusap wajahnya lembut dengan kedua telapak tangannya. Mengusap berkali-kali hingga menimbulkan hawa hangat di sekitar wajahnya.

Hari ini, Elina sengaja berangkat lebih pagi. Setengah jam sebelum jam kerja, dia sudah harus duduk manis di ruangannya, menunggu kedatangan CEO tempat dia magang. Dia tidak ingin lagi telat dan menjadi sasaran omelan Aland.

"Pagi ... Pak Aland," sapa Elina menyambut kedatangan Aland, sang CEO tampan.

Tak membalas sapaan Elina, Aland hanya memandang dingin ke arah gadis imut itu.

"Dasar sombong!" gerutu Elina.

Sialnya telinga Aland cukup tajam untuk mendengar itu semua. "Kamu bicara apa, Elina?"

Elina mendongakkan kepalanya melihat Aland sudah berdiri di hadapannya. Elina terlihat bingung mencari alasan apa yang tepat untuk dia utarakan.

"Tidak Pak, saya tidak bicara apa-apa." Elina menarik bibirnya paksa, melukiskan senyuman palsu agar tak terlihat gugup di hadapan Aland.

"Jelas-jelas saya mendengar kamu mengatakan bahwa saya sombong, benar kan, Elina?"

Mata itu memandang tajam Elina, seolah menghujani Elina dengan pertanyaan yang menyudutkannya.

"Bapak sombong tidak, kalau tidak, jangan tersinggung dong," celetuk Elina tanpa dosa. Dia tak suka di pandang dengan mata yang tajam.

Merasa apa yang dikatakan gadis imut itu ada benarnya, Aland hanya menelan salivanya dan berlalu masuk ke dalam ruangannya.

Jika dia meladeni Elina itu artinya dia mengakui bahwa dirinya memang sombong. Maka dari itu, Aland memilih untuk berlalu saja.

"Huft ... lolos!" Elina mengusap dadanya yang sudah bergemuruh.

Padahal dia sudah was-was jika Aland akan memarahinya seperti kemarin.

Baru saja 5 menit Aland memasuki ruangannya, dia kembali membuka pintu ruangannya lagi dan memanggil gadis imut itu.

"Elina, ke ruangan saya, sekarang!" teriak Aland tak memajukan selangkah pun kakinya.

"Apa-apa sih itu orang, di ruangannya kan ada telepon, kenapa tidak menelepon saja, kenapa harus berteriak seperti itu." Elina terus menggerutu.

Tok tok tok, Elina mengetuk pintu.

"Masuk!"

"Ada apa Bapak memanggil saya?" tanya Elina berdiri di hadapan Aland.

"Kamu bisa ... bisa memakaikan dasi?" Aland ragu menanyakan hal konyol itu kepada Elina.

Ya, Aland memang tak bisa memakai dasi, setiap hari Mamanya yang memakaikan. kebetulan hari ini Mama pergi ke London untuk urusan bisnis.

"Bisa dong, Pak. Kenapa, Bapak meminta saya pakai dasi?" Elina mengerutkan dahinya, menebak apa yang menjadi maksut Aland itu.

"Nih!" Aland menyodorkan dasi berwarna biru tua kepada Elina.

Mata Elina menyipit, dia menggaruk kepalanya yang sama sekali tak gatal. "Bapak, saya ini perempuan lho, kenapa harus pakai dasi juga, sih?"

"Bukan untuk kamu, bodoh!" ketus Aland.

"Kalau bukan untuk saya terus untuk siapa, Pak?'' Elina memberikan penekanan di akhir ucapannya.

"Pakaikan ke saya, dasar bodoh!"

"Bilang dong!" gerutu Elina.

Elina menghampiri Aland, berdiri di depan Aland.

"Hei, jongkok dong, Bapak terlalu tinggi."

"Kamu saja yang pendek, ck ... hanya segini." Aland mengukur tinggi badan Elina dengan tangannya yang hanya sebatas dada.

Aland berjongkok di hadapan Elina. Memperhatikan wajah imut Elina yang masih berusia 19 tahun.

Tanpa Aland sadari, bibirnya kini sudah menyunggingkan senyuman.

"Selesai," ucap Elina menatap wajah Aland yang tepat berada di wajahnya.

Dada Elina berdebar, tak pernah dia berada sedekat ini dengan lawan jenisnya. Dia menggigit bibir bawahnya. Tak kuasa menahan gemuruh di dalam hatinya.

'Astaga, Om galak ini tampan sekali ... uuuh.'

Hatinya terasa ingin menjerit.

Elina menundukkan wajahnya tersipu malu hingga wajahnya bersemu merah.

"Kenapa tersenyum begitu?" tanya Aland membuat Elina salah tinggal.

"Ha ... siapa ... enggak!" Elina gugup.

"Dasar bocah!" Aland berdiri, Elina mendongak dengan mulutnya yang mengerucut.

"Bapak lupa mengatakan sesuatu," sindir Elina.

"Mengatakan apa?" tanya Aland tak mengerti.

"Bilang, terima kasih, Elina!" ucap Elina manis, dia memiringkan kepalanya genit.

"Tidak usah berterima kasih. Mulai besok setiap pagi kamu harus memasangkan dasi untukku."

"Kenapa begitu, suka sekali menyusahkan orang lain, pasanglah sendiri, Pak!"gerutu Elina merasa keberatan dengan permintaan Aland.

"Kalau aku bisa tak akan pernah aku memintaku untuk menolongku," cebik Aland kesal. Menurut Aland Elina itu terlalu bawel.

"Ha ... jadi Bapak tidak bisa memakai dasi, lalu siapa yang memakaikan setiap hari istri Bapak?" tanya Elina.

"Enak saja, saya belum menikah!" bentak Aland.

"Terus siapa?" Elina mukai kesal dengan Aland.

"Mamaku," lirih Aland menahan malu

"Mama?" Elina tertawa hingga terpingkal-pingkal. "Rupanya Bapak ini anak Mama, ha ha ha."

"Diam kamu Elina, apa yang lucu!" bentak Aland kesal karena menjadi bahan tertawaan Elina.

"Oh ... ini sangat lucu, Pak. Gayanya saja Bapak ini angkuh, arogan, ternyata Bapak anak Mama, ha ha ha!" Elina tertawa semakin keras, membuat Aland semakin kesal pada Elina.

Dengan tangannya, Aland membungkam mulut Elina, membuat mereka tak sengaja saling bertatapan.

Anehnya, ada rasa yang tiba-tiba muncul dari keduanya. Rasa yang tak pernah mereka rasa sebelumnya.

Menyadari apa yang dia lakukan salah, Aland melepaskan tangannya dari mulut Elina, berpura-pura melihat ke arah lain, agar tak timbul rasa canggung.

Sementara Elina, dia masih berdiri di tempat yang sama. Dia terpaku dan terpesona kepada Aland.

"Ngapain masih berdiri disitu!" bentak Aland memecahkan lamunannya.

"Tidak ... ini mau pergi Pak," ucapnya gugup.

Elina hendak keluar dari ruangan Aland namun baru beberapa langkah saja Aland sudah memanggil gadis labil itu.

"Elina ...!"

Elina menoleh dengan perasaan yang tak karuan "I-iya, Pak Aland."

"Terima kasih."

Senyuman tulus terukir di bibir Aland. Ini adalah kali pertamanya dia merasakan hal aneh di hatinya.

Memang Aland sudah pernah mempunyai kekasih, tapi tak pernah dia merasa ada getaran seperti yang dia rasakan kepada Elina.

"Nggak ... nggak mungkin aku jatuh cinta pada anak kecil seperti Elina, dia masih kuliah," gumammya sesaat setelah Elina meninggalkan ruangannya.

Aland terus menyangkal perasaannya, perasaan yang jelas membuat matanya tak bosan memandangi wajah Elina yang masih sangat imut.

Sementara itu, Elina menarik nafasnya panjang setelah keluar dari ruangan Aland. Dia tidak tahu apa yang terjadi dengan hatinya.

'Kenapa kalau menatap CEO galak itu aku jadi deg-degan ya?' Elina tanyakan itu pada hatinya. Jika itu cinta, ini adalah cinta pertama Elina.

'Tapi ... si galak itu memang tampan sih, tak jauh bedalah dengan yang ada di drama Korea, hi hi hi.' Elina meringis tanpa suara yang keluar dari mulutnya. Karena hanya hatinya saja yang mengetahui perasaannya sekarang.

Elina duduk di ruangannya, mempersiapkan beberapa berkas untuk meeting siang nanti satu jam sebelum jam makan siang.

Ini adalah pengalaman pertamanya, jangan sampai dia mendapat kesan buruk dari Aland.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status