Share

Curiga

Penulis: Jeon Juliet
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-23 12:51:19

Abin mengelilingi setiap sudut kampus untuk mencari Jisya. Sejak pagi, kekasihnya itu tidak menunjukkan batang hidung di hadapannya. Terlebih, ketika berangkat ke kampus Jisya tidak mau menunggu Abin menjemputnya dan lebih memilih berangkat dengan taksi online.

Setelah lelah mencari, akhirnya Abin menemukan Jisya di perpustakaan tengah sibuk menyicil skripsi. Jisya yang tengah sibuk mengetik tiba-tiba merasakan pipinya dingin. Abin datang dengan menempelkan es krim di pipinya. “Jadi, aku dicuekin nih?” tanya Abin sambil duduk di samping Jisya.

Jisya pun berdecak sebal, lantas menutup laptopnya. Menatap Abin dengan mata yang memutar. “Abin… kebiasaan banget sih ngagetin orang,” gerutunya. Abin pun hanya memandangi wajah kesal Jisya dengan senyuman.

“Siapa suruh nyuekin aku?” protes Abin kembali berpura-pura tak acuh. Jisya memalingkan wajahnya dari Abin dan kembali sibuk membereskan buku-bukunya yang berserakan di atas meja.

Abin memamerkan es krim berbentuk kerucut yang dia bawa di hadapan Jisya. Mati-matian Jisya menahan untuk tidak mengambil es krim itu. Tapi, tidak bisa. Es krim adalah makanan favoritnya yang bahkan rela dia tukar dengan ponselnya. Dan Abin sangat tahu itu.

Dengan cepat Jisya merampas es krim Abin dan langsung membukanya. Abin hanya memandanginya dengan bertopang pipi sambil tersenyum. “Kenapa sih cewek suka banget sama es krim?” tanyanya melihat Jisya yang lahap memakan es krim pemberiannya.

 “Karena sama kayak kamu,” jawab Jisya dengan santainya masih berlagak tak acuh pada Abin.

“Sama-sama manis maksudnya?” Abin menaik-naikkan alisnya menggoda Jisya. Dia memang sangat percaya diri. “Iya. Sama-sama manis, tapi juga sama-sama bikin penyakit.”

Abin seketika mengerutkan keningnya mencerna jawaban dari Jisya. “Kok bikin penyakit?”

“Kamu kan suka bikin sakit hati.”

Abin tak pernah menampik penilaian Jisya. Memang dulu, nyatanya dia sering menyakiti perempuan. Tapi, herannya masih saja ada perempuan yang memuja-mujanya. Seperti Jisya contohnya. Meskipun awalnya Abin yang mengejar-ngejarnya, tapi lama-lama  Jisya juga terlena dengan pesona Abin. 

“Emangnya, kapan aku nyakitin kamu?” Jisya mencoba mengingat-ingat. Abin memang tidak pernah menyakitinya, bahkan selalu bersikap manis padanya. Tapi, entah mengapa Jisya merasa disakti oleh Abin.

“Nggak pernah, kan?” Padahal ketika marah pada Abin, biasanya Jisya mendapat banyak sekali keburukan laki-laki itu yang membuatnya sakit hati. Tapi, entah mengapa setiap di hadapannya, alasan sakit hatinya seolah sirna.

Tanpa sengaja Jisya melihat cincin di jari manis Abin. Prasangka-prasangka buruk kembali hinggap di kepalanya. Tapi tidak bisa dia ungkapkan. ”Itu cincin apa, Abin?”

Abin melihat cincin di jari manisnya. “Oh, ini cincin kawin papa. Dari pada nganggur aku pakai aja. Kamu mau juga?” Hebatnya, Abin sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda mencurigakan. Padahal itu cincin pertunangannya dengan Linzy. Jisya menggelengkan kepalanya. Prasangka buruknya pada Abin lagi-lagi sirna.

“Nggak dicari Papa?” tanya Jisya dengan polosnya. Papa Abin itu orang kaya. Mana mungkin mencari-cari cincin yang sudah tidak berarti baginya. “Nggak lah. Papa kan udah benci banget sama Mama. Malahan dia pacaran sama anak kuliahan. Keren kan Papaku?”

Jisya tak habis pikir dengan Abin. bisa-bisanya bangga kalau papanya pacaran dengan gadis yang seumuran dengannya. “Terus, Mama?”

“Sama aja. Mama bentar lagi nikah sama anak kuliahan juga. Heran banget sama Mama, mau-maunya diporotin sama brondong. Kalau papa sih mending, jadi sugar dady karena emang CEO kaya. Uangnya ngalir aja kayak pipa rucika. Kalau Mama kan harus kerja keras, sutting setiap hari.”

Jisya selalu miris mendengar cerita Abin yang menjadi anak broken home. Jisya bersyukur, meskipun ayahnya sudah meninggal, dia memiliki ibu yang baik. Tetap setia pada mendiang ayahnya dan menjadikannya prioritas meskipun jarang meluangkan waktu bersama.

Berapa kali dilamar pengusaha-pengusaha kaya, tapi dia menolak dengan alasan mau fokus membesarkan Jisya. Dia tidak lelah meskipun sudah menjada lebih dari dua puluh dua tahun lamanya. Baginya, tidak ada yang bisa menggantikan mendiang suaminya. 

***

Sepulang kuliah Abin mengajak Jisya untuk ke studio musiknya. Kebetulan juga bandnya libur latihan. Kepandaian Jisya menulis puisi membuat Abin tertarik untuk mengajakanya menciptakan lagu bersama.

Abin sudah memetikkan beberapa nada di gitarnya dengan menggumamkan nada-nada yang berhasil dia susun. Dan Jisya mulai menuliskan bait demi baik lirik yang pas untuk nada yang keluar dari petikan gitar Abin. “Gimana? Bagus nggak liriknya?” tanya Jisya ketika Abin mulai membaca lirik yang dia tulis.

“Bagus. Pinter banget sih pacarku ini,” rayu Abin dengan mencubit pipi Jisya dengan gemas.

Jisya tersenyum mendengar pujian dari Abin. “Lagunya kamu rilis apa cuma buat koleksi aja?”

“Lihat nanti. Kalau jadinya bagus dan momennya pas, bakal aku rilis. Kalau Kaffa sama Fras setuju sih.” Meskipun kesal dengan kenakalan Abin, Jisya bangga dengan kekasihnya itu. Dia punya kelebihan bisa menciptakan karya-karya yang luar biasa.

Tiba-tiba ponsel Abin berbunyi memunculkan panggilan dari papanya. Abin memutar matanya dengan malas sebelum menggeser tombol hijau di layarnya. “Ada apa, Pa?” tanya Abin ketika teleponnya sudah tersambung.

“Ke ruangan Papa. Ada yang mau papa kasih buat kamu,” ucap Papa Abin dari sebrang. Setelah mengiyakan perintah papanya, Abin menutup sambungan teteponnya dan menatap Jisya yang juga tengah menatapnya dengan kerutan di kening. “Kenapa?” tanya Jisya khawatir.

“Aku ke ruangan papa dulu. Kamu tunggu sebentar ya?” Abin kembali tersenyum melihat wajah Jisya sambil mengusap pipinya. 

“Ya udah, aku pulang aja ya?” Jisya takut Abin kembali menelantarkannya. Tapi, baru saja Jisya meraih slingbagnya, Abin Menahannya. “Nggak lama kok. Ruangan papa juga Cuma di bawah.” Jisya bernapas lega. Dia kira Abin akan meninggalkannya lagi.

Abin berjalan membuka pintu ruangan papanya yang sedikit terbuka. Di dalamnya sudah ada papanya dengan seorang perempuan muda di pangkuannya membuat Abin memutar mata. Pemandangan yang sangat tak pantas disaksikan meskipun Abin bukan lagi anak-anak. 

“Ehem. Ada apa, Pa?” Suara Abin mengalihkan perhatian Papanya dari gadis itu.

“Ini, ada undangan dari kolega Papa. Dia mengundang bandmu tampil di acara ulang tahun anaknya.” Papa Abin mengulurkan undangan tebal berwarna hitam. Setelah undangan hitam berpindah ke tangannya, Abin langsung keluar tanpa pamit. Terlalu malas melihat kelakuan papanya dengan sugar babynya itu.

Ketika kembali ke studionya, Abin tersenyum melihat Jisya tengah memoleskan gincu di bibir tipisnya. Tingkah gadis itu terlihat lucu hingga membuatnya mengulas senyum. “Kok udah gincuan aja. Mau kemana?” tanya Abin seraya melemparkan tubuhnya kembali ke sofa.

“Yuna minta ditemenin beli sepatu. Kamu anterin aku ke kos-kosannya Yuna ya?”

“Yah, kamu ninggalin aku buat Yuna?” Abin berpura-pura merajuk membuat Jisya menghela napas.

“Kamu dan Yuna itu sama-sama penting buat aku, Abin… kan seharian aku udah sama kamu. Sekarang gantian sama Yuna. Kamu nggak kasihan sama dia? Dia kan tinggal di sini sendirian.”

Abin harusnya beruntung memiliki kekasih seperti Jisya. Sudah pintar, cantik, kaya, berhati malaikat pula. Sayangnya, hanya menjadikannya selingkuhan. Dia masih bingung, harus memilih antara Jisya atau Linzy, tunangannya. Untuk saat ini Abin memilih untuk tidak memikirkannya dulu. Dia belum ingin melepas salah satunya.

“Ya udah, iya. Aku anter pakai mobil aja kalau gitu. Sekalian nganter kalian sampai tujuan biar nggak usah pesen taksi.”

Mata Jisya langsung berbinar mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Abin. Spontan memeluk Abin karena bangga. Kekasihnya itu ternyata sangat baik. Sepertinya, satu bulan berpacaran belum cukup untuk mengenal lebih jauh tentang laki-laki itu. Abin terlalu sulit dipahami oleh Jisya. “Makasih, Abin. Kamu baik banget. Sumpah. Nggak nyangka kamu peduli sama aku sama bestieku juga.”

Abin tersenyum simpul menerima pelukan kekasihnya itu. Biasanya, Jisya selalu menolak skinship. Tapi, tiba-tiba memulai pelukan membuat Abin seolah memenangkan lotre. Dia semakin tahu bagaimana cara mengendalikan Jisya. “Sama-sama, Sya. Kamu kan pacar aku. Jadi, udah seharusnya ada setiap kamu butuh,” jawab Abin sambil mengusap punggung Jisya.

Jisya perlahan melepas pelukannya, lantas memundukkan kepala malu-malu. Dia merutuki dirinya sendiri yang tidak bisa mengendalikan kebahagianya.

“Ayo, aku anter.” Abin langsung menyisipkan kelima jarinya di sela-sela jari Jisya. Menariknya untuk segera meninggalkan studio musiknya itu.

Sampai di ruang tamu mereka berpapasan dengan papa Abin dan seorang perempuan yang memakai rok sejengkal dan kemeja putih transparan hingga bra hitamnya bisa terlihat dari luar. “Bin!” papa Abin memanggilnya.

Abin pun menghentikan langkahnya dan Jisya otomatis mengikuti. Abin selalu malas setiap berhadapan dengan papanya. Orang tua yang harusnya mencontohkan hal yang baik pada anaknya, justru mencemari pikiran anaknya sendiri. Itulah salah satu yang melatar belakangi Abin menjadi seorang player.

“Kenapa lagi, Pa?” tanya Abin dengan malas. Dia malu harus mengenalkan Jisya pada papanya yang brengsek itu.

“Itu pacar baru kamu?”

Abin sekilas melirik ke arah Jisya yang terlihat tidak nyaman berhadapan dengan papanya yang tengah memeluk pinggang ramping seorang perempuan seusianya. Abin mengeratkan pegangan tangannya pada Jisya. “Iya,” jawab Abin dengan singkat.

“Baguslah, akhirnya dapet cewek baik-baik.” Dalam hati Abin mengumpati ucapan papanya itu. Apa papanya itu tidak pernah berkaca? Bukankah selama ini dia sendiri juga mendapatkan pasangan tidak baik. 

Papa Abin masih ingat kalau Abin punya tunangan. Tapi, dia tidak terlalu suka dengan tunangan Abin yang manja itu. Dia tidak pernah mau ikut campur urusan anaknya. Mau dia selingkuh dengan seribu waita pun akan dia biarkan. Asalkan menikahnya dengan perempuan yang tepat.

Meskipun menyadari bukan orang baik-baik, papa Abin selalu meginginkan Abin mendapatkan pasangan yang baik.  Dia tidak mau nasib Abin sama sepertinya yang salah memilih pasangan hidup.

Lima belas tahun menikah dengan mamanya Abin, dia baru sadar ternyata telah menikahi seorang peselingkuh. Sampai akhirnya memutuskan bercerai dan mencari pelampiasan dengan mengencani banyak wanita.

Abin tak mau lagi menanggapi papanya dan kembali menarik Jisya. Jisya memelot pada Abin karena telah bersikap tidak sopan pada papanya sendiri. Dia pun menahan Abin terlebih dulu. “Bin, aku belum kenalan sama Papa kamu,” bisik Jisya.

“Nggak usah. Nggak penting juga.” Baru akan melangkahkan kakinya kembali, Papa Abin kembali bersuara. “Kamu nggak mau kenalin papa sama pacar cantikmu itu?”

Jisya langsung melepas tangan Abin dan tersenyum pada pria paruh baya itu. Abin hanya bisa bernapas jenuh. Papanya itu pasti ingin berbasa-basi dengan Jisya.

“Hai, Om. Kenalin, aku Jisya.”

Papa Abin tersenyum dan menerima jabat tangan Jiysa. “Hai, Jisya. Kenalkan, Om Rama. Papanya Abin.”

Jisya tersenyum mengetahui nama Papa Abin. Abin tidak banyak cerita tentangnya. Lantas, pandangan Jisya beralih pada perempuan di sebelah Rama. Perempuan itu tidak asing baginya.

Rama mengikuti arah pandang Jisya dan sepetinya tahu maksudnya. “Kenalkan juga, ini Alice. Calon mamanya Abin.”

Jisya tersenyum dengan paksa melihat Alice. Dia tidak berani menatapnya lama-lama karena tatapan Alice padanya cukup mematikan seolah siap menerkamnya. Jisya ingat kalau perempuan itu sepupu Kaffa sekaligus mantan Abin. Pantas saja Abin bersikap dingin pada papanya.

“Ayo, Sya. Keburu malem.” Abin menarik paksa Jisya untuk segera pergi dari hadapan Rama dan Alice.

“Om, saya pamit ya?” Jisya berjalan sambil melihat ke belakang ke arah Rama karena Abin menariknya.

To be continue....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • My Liar Boyfriend   Kembali Pulang

    Pagi itu Yuna sudah membersihkan diri dan tengah mengeringkan rambut di depan cermin. Hari terakhir mereka di bali. Tak bosan mereka menghabiskan malam berdua dengan melakukan hubungan suami istri sekalipun mereka belum sah secara hukum maupun agama. Namun, beberapa hari terakhir dia dibuat uring-uringan pasca melihat panggilan dari Linzy di kontak Abin. Abin keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk yang melilit piganggya. Bibirnya tersenyum menatap pantulan wajah Yuna dari cermin. Dia tak pernah bosan mengakui kecantikan Yuna. Namun, dia belum bisa memutuskan pada siapa menjatuhkan hati. "Linzy siapa sih, Bin?" tanya Yuna dengan wajah terlihat sinis. "Mantan aku. Kenapa?" Jawaban Abin terdengar meyakinkan. Seolah memang yang dia katakan adalah sebuah kebenaran. Kalau seperti itu sulit untuk Yuna tidak percaya. Namun, yang namanya wanita, dia mudah sekali mencemburui. "Oh. Masih saling contact ya?" Abin jelas tahu Yuna cemburu. Dia hanya menutupinya saja. Wajah cemburu Yuna yang

  • My Liar Boyfriend   Di Tepi Pantai

    Hari-hari Jisya semakin terasa sepi. Dia mendapat kabar bahwa Yuna sedang ada Pemotretan di Bali untuk satu minggu ke depan dan Abin masih saja tidak menghubungi. Kalau perempuan lain, pasti sudah minta untuk putus. Untunya, dia Jisya. Perempuan yang memiliki pikiran selalu positif dan selalu sabar.Yuna sudah sampai Bali bersama crew dan Abin. Dia bahkan sudah menyelesaikan pemotretan hari pertama dengan sangat sempurna.Sore itu Yuna sudah mengganti pakaiannya dengan gaun berwarna putih sedikit transparan dan berjalan di bibir pantai tanpa alas kaki seraya menikmati indahnya pemandangan matahari terbenam.Dari kejauhan Abin yang kebetulan membawa kamera, lantas mengarahkan lensanya untuk menangkap potret perempuan cantik itu. Tidak salah Dion sangat membanggakan Yuna karena dalam situasi apa pun, foto-foto Yuna selalu bagus, sekalipun tanpa diedit.Bibir Abin melengkungkan sebuah senyuman seraya berlari mengejar Yuna dan langsung memeluknya dari belakan

  • My Liar Boyfriend   Dukungan

    Jemari lentik Linzy sibuk mengetikkan kombinasi angka untuk membuka pintu apartemen Abin. Namun, pintu itu tak kunjung terbuka hingga membuatnya menghentakkan kaki dengan kesal. Sebelum-sebelumnya dia bisa leluasa mengakses tempat pribadi tunangannya itu. Tapi, sejak Abin sering membawa Yuna keluar masuk, dia sengaja mengganti kodenya agar Linzy tak sembarangan masuk dan bisa-bisa mengetahui kelakuan bejatnya. "Ini kenapa diganti sih passwordnya?" kesal Linzy seraya merogoh ponsel dari dalam tasnya.Dia akhirnya menyerah dan memilih untuk menghubungi Abin. "Hallo, Bin! Kok passwordnya diganti sih? Aku kan jadi nggak bisa masuk! Aku capek tahu dari tadi ngetik passwordnya nggak kebuka juga! Kamu tahu nggak sih kalau kaki sama jari aku sampai pegel gini? Sekarang kamu di mana? Di dalem, kan? Atau lagi di luar? Ini passwordnya berapa? Aku mau masuk, buruan!" "Ck, berisik banget sih kamu, Zy!" Belum juga Linzy menutup teleponnya, Abin tiba-

  • My Liar Boyfriend   Janjian

    Pagi itu Jisya tengah berjalan gontai di koridor rumah sakit dengan menggenggam selembar surat hasil tes laboratorium. Kepalanya menunduk menatap lantai yang dia pijak, seolah tak memiliki semangat untuk melanjutkan hidup. Dia yang biasanya selalu ceria dan semangat, kini menjadi pemurung. Bruk! Tiba-tiba ada seorang yang dengan sengaja membenturkan diri padanya hingga surat hasil laboratorium itu jatuh. "Ups! Sorry, sengaja." Jisya membungkukkan badannya untuk meraih kembali hasil tesnya. Namun, lagi-lagi orang itu membenturkan diri lagi hingga Jisya tersungkur di lantai. Jisya memejamkan matanya untuk menahan segala emosi yang melanda. Tangannya mengepal dengan berkali-kali menghela napas panjang. Demi menghindari adu mulut dengan perempuan itu, Jisya memilih untuk melanjutkan langkah tanpa memedulikannya. "Heh, tunggu!"

  • My Liar Boyfriend   Tanpa Kabar

    Sudah seharian Jisya tidak mendapat kabar dari Yuna maupun Abin. Bukannya apa-apa, hanya saja tidak biasanya Yuna melupakannya. Terlebih dia mendapatkan kabar baik karena berkerja sama dengan designer luar negri. Biasanya dia akan curhat pada Jisya tentang hari-harinya. Abin pun juga begitu. Tidak ada sekali saja niat menanyakan kabar Jisya. Tidak tahu kalau gadis itu tengah menahan tubuhnya yang tengah sakit. Ditambah lagi sudah berhari-hari mamanya tidak pulang. Dia harus merawat dirinya sediri yang lemah. Masih memandangi layar ponsel, tiba-tiba saja darah menetes melalui hidungnya dan mengenai selimut. Dalam hatinya sangat panik dengan hal itu, hanya saja Jisya mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Nggak apa-apa, Jisya... Cuma mimisan kok," monolognya seraya meraih tisu di atas nakas untuk mengusap hidungnya. Bukannya berhenti, darahnya justru semakin banyak menetes hingga Jisya berkali-kali

  • My Liar Boyfriend   Project Besar

    Jisya sampai rumah dengan selamat. Beruntung sebelum baterai ponselnya habis, taksi online yang dia pesan tiba di waktu yang tepat. Hanya saja karena kehujanan gadis itu mendadak terserang flu. Sejak malam sampai pagi hanya bergelut dengan selimut tebal dan tidak berhenti bersin hingga hidungnya memerah. Bahkan dia terpaksa membatalkan jadwal bertemu dengan designer yang bekerja sama dengannya karena kondisinya benar-benar tidak bisa diajak kompromi. Ketidakprofesionalan Jisya membuat Dion murka sampai harus meneleponnya pagi-pagi. "Kamu, gimana, Jisya? Udah gue bilangin, jaga kesehatan. Jangan sampai pas ada jadwal kamu seenaknya batalin! Ini project penting lho, Sya! Jangan sampai cuma gara-gara kamu mereka cabut kontraknya." "Maaf, Mas... Aku janji cuma kali ini aja aku izin," jawab Jisya. Suaranya bahkan terdengar lemah dan berkali-kali menarik ingusnya. Tapi, Dion seolah tak mau tahu dengan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status