Share

chapter 72 - Travel Moment

Setelah melakukan banyak sekali pertimbanhan antara terapi ingatan atau sebuah pemulihan secara bertahap.

Dengan segala hal pilihan dan berbagai resiko, Julian pada akhirnya tetap memilih untuk terapi ingatan, dia tahu resiko jika akan ada pelumpuhan ingatan jika dipaksakan secara tiba-tiba untuk mengembalikan ingatannya, terapi ini juga seperti kembali ke alam bawah sadar dan keberhasilan hanya dirinya yang bisa mendapatkan itu.

Dokter Jake dan Sean, mereka hanya bisa mencoba untuk mendukung keputusan Julian, walau sebenarnya ini bukan pilihan baik.

"Kau yakin Julian?" Tanya Jake, tidak tahu sudah berapa kali pertanyaan itu dirinya katakan sejak tadi, Julian tahu temannya itu sangat peduli walau ucapannya cukup ketus dsn terdengar kasar.

"Kau paham bagaimana diriku bukan? Jadi percuma juga oamu terus bertanya, jawabanku hanya tetap sama, aku ingin melakukannya dqn aku akan menerima resikonya," Ucap Julian dia hanya tinggal menunggu dokter memberikan perintah untuknya, dia akan menyeberang ke dalam alam bawah sadarnya.

"Apakah perlu aku menghubungi Leira?" Tanya Sean, dia tahu jika sejak kemarin Julian selalu berharap jika gadis itu datang kembali, tapi sepertinya masalah lebih serius dari perkiraannya.

Leira tidak pernah kembali dan tidak memberikan tanda jika dirinya ingin tahu kabar Julian, Sean pikir Leira mengatakan hal itu karena dia kecewa tapi sepertinya gadis itu benar-benar serius.

"Aku—pikir, untuk saat ini biarkan dia menenangkan dirinya, aku berharap bisa bertemu setelah mendapatkan ingatan kembali," Ucap Julian, dia malah takut jika hal ini malah akan menjadi gagal, karena bukan hanya sekali Julian akan melakukan terapi tapi akan ada banyak tahapan, dan yang terakhir memiliki tingkatan yang berat.

Jake dan Sean secara serentak menghela nafas, kedua orang itu sudah pasrah untuk membujuk Julian bukan keduanya tidak percaya tapi ini terlalu terburu-buru, terapi itu ada banyak sekali seleksi untuk mengatakan jika pria itu boleh melakukannya.

"Baiklah, aku yakin kau hebat, jadi sadarlah dengan ingatan yang baik," Ucap Jake, dokter yang akan menerapi Julian sudah ada di ruangan ini, jadi pria itu memutuskan untuk membawa Sean segera keluar dari ruangan itu.

"Semoga berhasil kakak Julian!" Teriak Sean, dia menggunakan ibu jarinya untuk memberikan semangat pada sang kakak, walau sebenarnya sean ingin berada di ruangan itu tapi karena terapi membutuhkan ketenangan yang extra jadi terpaksa, Sean harus membiarkan sang kakak sendirian di sana.

Julian sedikit merasa gugup dan tegang saat di dalam hanya berdua dengan sang dokter, sebelumnya dia tidak memikirkan apapun atau memiliki perasaan gugup itu, tapi ketika sean keluar barulah hatinya mulai goyah oleh kegugupan itu, tapi seperdetik kemudian Julian terus meyakini hatinya untuk tetap kuat dalam pilihannya.

Seperti yang dirinya katakan pada Julian pada Jake, dia sudah memutuskan maka dirinya akan tetap berada dalam keputusan itu hingga hasil menentukan nantinya, Julian menghela nafas untuk mengusir perasaan gugup itu.

Baru sedikit tenang dirinya melihat ke arah dokter yang sedang memeriksa catatan di tangannya.

"Haruskah kita memulainya sekarang?" Tanya Julian, jika waktu semakin berlalu dan dirinya hanya di sana sambil menunggu, rasa gugup itu akan kembali, jadi itulah Julian memutuskan untuk mengangkat suaranya.

"Baiklah, aku akan membimbingmu dengan tenang menuju alam bawah sadarmu, di mulai di mana kau terjatuh saat kecelakaan itu terjadi,"

Julian mengangguk, lalu pria itu membaringkan tubuhnya secara perlahan, memejamkan matanya setenang mungkin dan mendengarkan instruksi apa yang akan dokter itu sampaikan pada dirinya.

________

Liera duduk setelah rasanya seharian hanya mengurung dirinya di dalam kamar, sedikit merasa bersalah karena tidak berbicara dengan ibunya kemarin, tapi berkat berbicara dengan sang kakak, kini kesedihannya ity berangsur pergi secara perlahan, dadanya sudah tidak lagi merasa sesak karena ucapannya pada Julian hari itu.

Setelah di pikirkan, itu benar. Leira terlalu buru-buru menginginkan sebuah perpisahan padahal dirinya saja belum siap untuk melakukan hal itu, Leira hanya takut jika dirinya akan di lupakan, apalagi Julian begitu berbeda dengan Julian yang mencintai dirinya.

Tanpa sadar Leira juga ikut dalam rasa egoisnya, dan melupakan bagaimana mereka pernah berjanji untuk selalu bersama dalam keadaan apapun, tapi kenapa malah dirinya yang ingin meninggalkan Julian ketika seharusnya Leira berada di sampingnya.

"Apa yang kamu pikirkan?" Tanya sang ibu, dirinya meletakan sebuah roti di hadapan putrinya, karena kesibukan jadwal Keira, marry jarang pulang dan kebutuhan di rumah jadi jarang dirinya beli, dia membuatkan sarapan seadanya karena dia bangun siang hingga tidak sempat membeli persediaan makanan.

Leira tersentak dan langsung menatap ke arah sang ibu, menggelengkan kepalanya dengan pelan lalu menatap roti yang di berikan sayuran dan telur di atasnya, tidak beda jauh dengan sandwich bukan?

Melihat makanan itu membuatnya teringat bagaimana setiap pagi selalu Julian yang menyiapkan sarapan pagi, tanpa sadar Keira tersenyum tipis saat teringat momen itu, tapi setelahnya Leira hanya menghela nafas, seperti telah lama hidup bersama Julian, apapun yang dirinya lihat dan lakukan tidak pernah lepas darinya.

"Kamu tidak ingin sarapan dengan itu? Di dalam kulkas masih ada sereal kesukaanmu, mau ibu ambilkan itu?" Tanya Marry, wanita itu meletakan kembali kopi yang dirinya minum, dia lebih suka menikmati secangkir kopi daripada menikmati roti untuk sarapan.

Leira menggelengkan kepalanya, walau enggan rasanya untuk menyentuh makanan itu, tapi Leira tidak bolrh mengabaikan kesehatannya.

"Tidak perlu ibu, kebetulan aku ingin makan ini," Ucapnya, Leira memotongnya dan memakannya sedikit demi sedikit, menikmati bagaimana rasanya yang begitu hambar di mulutnya, mungkin karena baru pulih jadi makanan yang dirinya nikmati akan terjadi seperti itu.

Keira turun setelah dirinya menelepon managernya, gadis itu berencana untuk mengambil libur hari ini, Leira masih butuh sebuah hiburan dan teman berbagi cerita, lagipula mereka jarang berkumpul bukan? Jadi harus memanfaatkan waktu yang ada, karena kemungkinan Leira akan kembali itu cukup seimbang, walau disini lain Keira ingin adiknya bebas dari pria itu.

"Selamat pagi, ibu dan Leira." Sapanya, Keira menarik kursi untuk bergabung dengan mereka, menarik kursi yang dekat dengan Leira.

"Kamu ingin makan apa Keira?" Tanya Marry, dia melupakan putri satunya lagi.

"Aku ingin sereal dan susu, ibu." Ucapnya, Keira memperhatikan Leira yang seharusnya menikmati sarapannya, kenapa dia memisahkan sayuran lebih tepatnya gadis itu sedang bingung sekarang dari raut wajahnya.

"Kelihatannya tidak menarik ya makanannya?" Tanya Keira.

Leira baru menyadari kedatangan sang kakak hingga terkejut melihat ke arahnya, "Ah! Makanannya, aku hanya—"

"Jika tidak suka salah satunya, atau tidak menginginkannya, hanya perlu mengganti dengan yang lain, jika hanya mengacak-acaknya, tidak akan mengembalikan nafsu makanmu,"

Leira tersenyum, dia berusaha menghilangkan ekspresi wajah sedihnya, pada akhirnya Leira mendorong jauh makanan itu dan hanga meneguk susu yang memang juga disiapkan untuk dirinya.

"Bagaimana jika hari ini kita pergi ke suatu tempat? Kebetulan hari ini aku tidak ada pekerjaan," Ucap Keira, dia memang berencana ingin menghabiskan waktu bersama ibunya dan leira juga.

"Baiklah, toko bunga ibu juga sedang tutup hari ini."

Marry dan Keira secara serentak menatap ke arah Leira, keduanya menunggu keputusan apa yang akan Leira katakan

"Ayo, aku juga merindukan liburan bersama kalian."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status