Share

BAB 9 - Salah Paham (2)

Para karyawan dari setiap divisi berkumpul di aula rapat. Sebagian besar dari mereka tidak mengetahui alasan terjadinya rapat mendadak. Bahkan kepala divisi pun tidak tahu, mereka menebak – nebak alasan dilakukannya rapat di tengah kesibukan menyiapkan proyek baru.

Kemudian datang Satya dengan didampingi kedua sekretarisnya, Nata dan Dewi. Nata berdiri di samping Satya di depan, sedangkan Dewi memilih duduk berbaur di antara yang lain.

Nata segera mempersiapkan file yang akan dimunculkan dalam layar LCD di depan. Dalam waktu sesingkat itu, ia berhasil menyusun presentasi yang cukup baik.

“Selamat sore, teman – teman. Mohon maaf, menganggu kesibukan kalian,” Satya menjeda ucapannya dan melihat keseluruh ruangan rapat,”ada kabar buruk mengenai proyek terbaru kita kali ini.”

Setelah ucapan Satya selesai, Nata memunculkan berita mengenai perusahaan saingan yang menluncurkan produk baru. Mereka semua langsung terkejut, sekaligus marah karena produk baru yang diluncurkan itu, hampir sama dengan produk yang mereka persiapkan.

Terdengar suara ricuh di seluruh ruangan, Satya yang sudah menduga reaksi tersebut langsung kembali berbicara untuk mengambil alih ruangan.

“Mohon tenang, teman – teman. Kita tidak bisa mencegah hal tersebut karena sudah terjadi. Yang bisa kita lakukan hanya memperbaikinya. Pasti ada solusi untuk masalah yang baru saja terjadi.”

Perkataan Satya membuat mereka sedikit tenang, setidaknya disini ada atasan yang bisa diandalkan, batin mereka.

“Mohon maaf, Pak. Izin bertanya, lalu apa yang harus kami lakukan untuk saat ini? Apakah tetap untuk mengerjakan proyek ini?” salah seorang dari mereka bertanya sebagai perwakilan.

“Iya, kita tetap melanjutkan proyek kita. Saya rasa, mereka tidak mengetahui bahwa produk dalam proyek kita masih dalam tahap perkembangan. Pasti, produk yang mereka keluarkan ada cacatnya. Dengan sedikit perubahan, kita masih tetap bisa menguasai pasar.” balasnya dengan tenang.

Seseorang yang bertanya tersebut menganggukkan kepala tanda paham. Kemudian, laki – laki yang di sampingnya terdengar mendecakkan lidah kesal.

“Baik, sekian untuk rapat kali ini. Mohon maaf karena menganggu waktunya. Silahkan bisa keluar, kecuali untuk Ibu Dilla, diharapkan untuk tetap tinggal.”

Yang disebut namanya tersenyum sumringah, seakan mendapatkan rezeki tak terduga. Para bawahannya yang menyadari hal itu, langsung memberikan thumbs kearah Dilla. Dia langsung tersenyum dengan percaya diri.

Mereka pun, segera keluar dari ruangan rapat. Rata – rata wajah mereka sangat marah, melihat kerja keras selama ini dicuri begitu saja. Ruangan rapat terasa lengang hanya tersisa Satya, Nata, Dewi, serta Dilla. Satya pun segera memulai rapat kembali.

“Saya mengerti, kejadian kali ini tidak bisa kita maafkan begitu saja. Saya meminta maaf secara pribadi karena kecolongan informasi. Proyek terbaru kita sangat besar, karena bertujuan untuk membesarkan nama Nadrika Group. Jika kita lengah, anak perusahaan yang di bawah kita akan meminta untuk keluar.” jelasnya dengan nada prihatin,”investor akan segera mendengar kabar ini. Mereka pasti menyadari adanya masalah di perusahaan kita.”

Mereka bertiga memperhatikan dengan serius, berbeda dengan para karyawan lain yang berseru marah, mereka terlihat tenang. Tidak ada waktu untuk meratapi masalah, mereka harus segera menemukan solusi, sebelum masalah semakin menjadi.

“Karena itu, saya meminta tolong secara khusus kepada Ibu Dilla untuk mencari kekurangan produk baru yang diluncurkan. Sebaik apapun tiruan, tidak akan mampu menyamai yang asli.”

Dilla mendengarkannya dengan mata berbinar, terlebih kata ‘secara khusus’ terus terngiang – ngiang di kepalanya.

“Baik, pak! Saya akan melakukannya dengan baik!” jawabnya dengan setengah berteriak. Membuat yang berada di ruangan terkejut. Dewi melihatnya dengan tanda tanya, kuia menemukan orang yang ‘unik’ di perusahaan ini, batin Dewi.

“Dia adalah fans fanatik si bos.” ucap Nata setengah berbisik ke telinga Dewi. Yang membuatnya menahan tawa,”katanya dia bahkan mendirikan fan-club buat bos.”

Satya melotot kearah Nata, serendah apapun suara Nata, ia tetap bisa mendengar bisikan tadi dengan jelas.

“Dan tolong pantau review dari masyarakat mengenai produk tersebut. Disitu kita bisa menemukan apa yang kurang dengan mudah.” lanjutnya.

“Baik, pak!” Lagi – lagi, Dilla mengucapkannya dengan berteriak. Satya menutup telinganya, karena sakit sedangkan Nata dan Dewi menahan tawa di belakang.

“Tolong jangan berteriak lagi. Saya masih bisa mendengar dengan baik.”

Dilla hanya menggaruk lehernya yang tidak gatal sambil tersenyum malu.

“Kalau sudah tidak ada yang ditanyakan, saya akhiri rapat kali ini.”

Setelah selesai, mereka bertiga keluar ruangan. Satya dan Nata keluar beriringan, sedangkan Dilla mengekor dibelakang Satya dengan tatapan Bahagia.

Entah mengapa, Satya merasakan bulu kuduknya merinding di bagian belakang tubuhnya.

Dewi keluar yang paling akhir, karena harus membereskan ruangan rapat yang sudah digunakan. Setelah ruangan terlihat rapi seperti semula, Dewi keluar dari ruangan.

Bisik – bisik pun menyertai Dewi selama ia berjalan pergi.

“Kemarin aku hanya melihat dia dari jauh, ternyata jika lebih dekat, ia terlihat sangat cantik.”

“Memang, yang menarik baginya hanya wajahnya saja. Dia tidak kompeten, bahkan terlambat di hari pertama bekerja.” Neta tiba – tiba menyela pembicaraan mereka, jika ada yang membicarakan mengenai Dewi, ia akan muncul untuk menjelekkannya,” atasan kami lebih cantik dan berkemampuan. Tidak sebanding dengan ular itu.”lanjutnya kemudian berlalu pergi.

Neta seperti hantu jailangkung, datang tidak diundang dan pulang tidak diantar. Datang dan pergi sesukanya.

“Apa benar yang dia katakan barusan?”

“Yah, bisa saja benar. Kudengar dia juga mengatakan sesuatu yang menarik."

“Apa itu?” tanya yang lain dengan penasaran.

“Kalian tahu kan, Perusahaan X yang mencuri konsep produk kita? Di sana tempat ia bekerja dulu sebagai sekretaris.”

“Apa! Jangan – jangan dia yang membocorkan proyek terbaru kita!” teriak salah satu dari mereka dengan kesal.

“Kita tidak akan memaafkannya!” timpal yang lain.

“Kita buat dia keluar dari perusahaan ini dengan sendirinya!”

Mereka menganggukkan kepala dengan setuju, sedangkan orang yang menjadi provokator hanya tersenyum senang.

“Orang yang sedang marah dan kecewa, mereka harus memiliki sesuatu untuk disalahkan. Mudah sekali memprovokasi dengan kondisi seperti ini.” Ia bergumam senang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status