Share

BAB 10 - Salah Paham (3)

Setelah selesai rapat tadi, tugas Nata dan Dewi bertambah banyak. Mereka berdua bekerja keras agar pekerjaan selesai tepat waktu.

“Dewi, minta tolong berikan ini kepada Satya.” ucap Nata sambil menyerahkan beberapa kertas kepada Dewi,”dan minta kertasnya kembali.” lanjutnya tanpa mengalihkan pandangan dari kertas yang dibacanya.

“Baik, Pak.” Dewi menerima kertas tersebut lalu segera memasuki ruangan Satya.

Di dalam ruangan, Satya tak kalah sibuknya. Tangan kiri memegang telefon, sedangkan tangan kanannya mengetik dengan cepat. Dia sampai kagum sendiri ketika melihat Satya bekerja.

Merasa ada yang melihatnya, Satya mengalihkan wajahnya ke depan dan terlihat Dewi sedang memandangi dirinya dengan intens. Dengan reflek tangan kirinya langsung mematikan telefon.

“Dewi, ada apa?”

“Pak Nata menyuruh saya untuk memberikan ini, Pak.” Dewi menyerahkan lembaran – lembaran kertas kepada Satya.

“Hmm.. tunggu sebentar. Saya akan mengeceknya.” 

Di saat Satya sedang fokus membaca tulisan tersebut, tanpa sadar Dewi memperhatikan wajah Satya dengan saksama. Garis wajahnya yang tegas serta mata tajam milik Satya membuat Dewi betah melihatnya terus - menerus. 

Dewi terbiasa melihat karakter orang melalui pandangan mata mereka. Pengecualian untuk Satya, ia tidak bisa membaca apapun yang berada di sana. Karena semakin penasaran, ia memajukan wajahnya untuk memandang lebih dalam mata milik Satya.  Dalam jarak dekat, warna mata Satya terlihat lebih jelas, pupil matanya berwarna hitam pekat. Warna yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

Tangan Dewi bergerak dengan sendirinya menyentuh pipi Satya, ia masih ingin melihat lebih dalam warna hitam pekat tersebut. Tanpa disadarinya, wajah mereka berdua hanya berjarak satu senti. Satya hanya mematung melihat wajah Dewi yang terlampau dekat dengannya, apalagi ketika tangan Dewi menyentuh pipinya dengan lembut.

Hampir saja, Satya berpikiran untuk mencium bibir Dewi yang sangat dekat. Sebelum ia kehilangan kendali dirinya, Satya berdehem untuk mencairkan suasana.

Dewi kembali ke kenyataan, ia langsung reflek menjauh dari wajah Satya dengan terkejut.

"Ma-maaf, Pak." Wajah Dewi langsung memerah, ia menunduk minta maaf lalu pergi dari ruangan dengan tergesa - gesa. Sesampainya di meja kerjanya, Nata melihat Dewi dengan heran.

"Eh, kamu demam, Dewi? Wajahmu sangat merah." tanya Nata dengan penasaran karena melihat wajah Dewi sudah merah bak kepiting rebus. 

"Saya tidak apa - apa, Pak." jawabnya sambil tertawa canggung, lalu segera duduk.

"Eh, kertas yang saya berikan tadi udah selesai?" 

Dewi langsung teringat dengan lembaran kertas tadi, ia kembali masuk ke ruangan Satya dengan cepat. Melihat pemandangan itu membuat Nata heran, apa benar Dewi baik - baik saja?

Kedatangan Dewi yang cepat membuat Satya terkejut, ia hanya bengong melihat Dewi mengambil lembaran kertas tersebut lalu kembali keluar tanpa berkata satu patah pun.

Kesadarannya terkumpul kembali setelah kepergian Dewi. Ia memegang pipinya dengan senang. Meskipun ia tadi bisa mengontrol ekspresinya, sekarang setelah kepergian Dewi ia tidak bisa menyembunyikan apa yang ia rasakan. 

Setelah kejadian itu, Dewi tidak muncul lagi di hadapannya. Jika Satya berusaha untuk mendekati Dewi, dia langsung menghindar dengan cepat. Kejadian tersebut terus berulang sampai jam kerja berakhir. 

Alasan Dewi menghindari bosnya karena ia tidak memiliki wajah lagi untuk berhadapan dengannya. Rasa malu dan bersalah menghantuinya seharian penuh. Dewi memutuskan untuk bekerja lembur agar tidak bertemu dengan Satya lagi.

Usaha Dewi tersebut menjadi sia - sia, karena ternyata Satya yang sudah ia kira pulang, menunggunya di depan pintu masuk perusahaan. Dewi berusaha untuk kabur dari Satya untuk yang kesekian kalinya, namun berhasil dicegah oleh Satya dengan memegang tangan Dewi lalu menyeret paksa untuk masuk ke dalam mobil.

"Kenapa kamu menghindariku?" tanya Satya sesaat setelah mereka berdua masuk ke dalam mobil. Dewi tidak berani melihat wajah Satya, jika melihatnya dia akan teringat kejadian memalukan tadi pagi.

Melihat Dewi yang tidak bereaksi dan memalingkan pandangan dari dirinya membuat Satya sedikit frustrasi.

"Aku tidak akan membukakan pintu sampai kamu menjawab apa alasannya." paksa Satya.

Dewi mulai melihat wajah Satya dengan perlahan, meski dalam kegelapan, ia masih bisa melihat dengan jelas warna mata Satya yang membuatnya terpesona.

"Ma-af, Pak. Saya sangat malu karena kejadian tadi pagi. Saya tidak memiliki keberanian untuk melihat Bapak lagi, sekali lagi saya minta maaf karena kecerobohan sikap saya."

"Kamu tahu, saya paling tidak suka di pegang oleh orang lain."ucapnya yang membuat Dewi semakin merasa bersalah.

"Maaf, Pak. Saya benar - benar minta maaf." Dewi menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa tangis. Di dalam hatinya ia berharap agar tidak dipecat, karena kesalahan bodoh yang sudah dilakukan.

Satya memegang pipi Dewi dengan lembut lalu berkata,"Karena itu, saya mengembalikan apa yang saya dapat tadi pagi." ia memegang pipi Dewi cukup lama, wajah tampannya tersenyum melihat wajah terkejut Dewi.

"Kamu boleh keluar sekarang." ucap Satya pada akhirnya yang langsung direspon anggukan oleh Dewi dengan cepat, "dan juga, jangan lakukan hal itu lagi dengan lelaki lain." lanjut Satya sebelum pergi.

"Baik, Pak." jawabnya sambil melihat mobil milik Satya menjauh. Dia terduduk lemas di trotoar, energinya sudah terkuras habis. 

Sebenarnya Dewi bingung melihat perlakuan bosnya tadi, namun ia tidak memikirkannya lebih lanjut, ia harus bersyukur tidak kehilangan pekerjaan lagi. Dewi pun memutuskan untuk berjalan pulang, ia harus segera istirahat untuk mengembalikan energi.

Seseorang tak jauh dari tempat Dewi berada, mengawasi kejadian tersebut sejak Dewi keluar dari mobil Satya. Dia memperlihatkan ekspresi marah, tak hentinya mulutnya mengucapkan sumpah serapah yang ditujukan kepada Dewi. Setelah puas menyumpahi Dewi, ia pergi sambil tersenyum licik karena sudah terpikir skenario balas dendam yang dibuatnya dengan sempurna.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status