"Sudahlah, kau tidak perlu mengerjakan pekerjaanmu," tandas Ruan yang sebenarnya kesal juga dengan keponakannya yang selalu melalaikan pekerjaannya.
Ya, wanita itu adalah Angel–keponakan Ruan. Ia memang kerap kali menyalahi jabatannya sebagai manager. Namun, kadang ia juga bekerja dengan baik. Ah, bisa dikatakan juga gadis itu hanyalah manager abal-abal.Angel menghentikan geraknya, lalu melihat bingung penuh tanya pada Ruan. Sudah ketakutan akan dimarahi sang bos, karena sudah keseringan seperti itu. Namun, kini ia malah diperbolehkan untuk tidak melakukan pekerjaannya."Lalu? Apa kau akan memecatku, Uncle? Uncle, jangan pecat aku atau kau akan menurunkan jabatanku? Maafkan aku, Uncle. Aku berjanji akan mengerjakan pekerjaanku dengan baik, aku … aku tidak akan menunda-nunda lagi. Aku …." cerocos panik Angel tanpa jeda memohon sambil memegang tangan Ruan."Jangan seperti ini, Angel. Kau dan aku harus bersikap profesional. Jangan kau panggil aku dengan sebutan itu dan kita harus menjaga jarak. Kau mengerti?" Ruan melepas tangan Angel."Ya, baiklah. Aku mengerti, Pak. Lalu apa yang harus aku lakukan?" tanya gadis berusia 23 tahun itu."Pertanyaan yang bagus! Ikutlah denganku," ajak Ruan selanjutnya.Ruan melangkah lebih dulu, baru kemudian Angel berjalan di belakang. Matanya tak turun dari menatap punggung Ruan. Ada rasa lain yang dirasakannya selain hubungan kekerabatan.'Oh, uncle Ru. Kau begitu gagah dan tampan' batinnya sambil tersenyum melayang-layang, entah apa yang dibayangkannya.Tak jauh berjarak dengan ruangan sang keponakan, mereka telah sampai di ruangan Ruan. Tak melihat kebelakng lagi, Ruan masuk saja. Sedangkan sang keponakan terhenti sejenak, masih dengan penuh tanya. Apa tujuan pamannya ini membawa dirinya ke ruangan sang Uncle. Jika biasanya ia yang lebih dulu mendatangi, walaupun tanpa panggilan.Gadis yang belum lama bergabung di perusahaan Ruan, seusai kuliahnya itu berpikiran yang tidak-tidak. Ia mengira Ruan akan menggodanya di ruangannya ini setelah tidak berani jika di ruangannya. Karena ruangannya bisa saja didatangi bawah staf lain."Pak, mengapa kau membawaku ke si … ni," ucapnya bertanya, namun terhenti ketika melihat ada seorang wanita lain di ruangannya."Siapa dia, Pak?" tanyanya lagi menunjuk pada Zea.Ruan tidak menjawab pertanyaan Angel. Berbeda dengan Angel yang tidak mengenali Zea karena penampilan palsunya. Lain halnya dengan Zea yang tentunya mengenali Angel sebagai keponakan Ruan. Terhitung banyak pertemuan Zea dengan Angel sejak pernikahannya."Bantulah dia untuk mempelajari tugasnya sebagai pendamping kerjaku, Angel," perintah Ruan. Angel mengernyit kening, kebingungan."Hoh, Uncle. Tidak salah, kau memilih seorang sekretaris dengan bentuk yang seperti ini?" cerca Angel menertawai penampilan Zea.Zea yang tadinya sudah mulai mempelajari apa yang diberikan Ruan, menjadi terhenti karena kedatangan Ruan dan gadis keponakannya. Sebenarnya Zea sudah sedikit banyak tahu tentang seluk beluk perusahaan Ruan ini, meskipun dia tidak terjun langsung ke dalam perusahaan itu, tetapi ketika Ruan membawa pekerjaannya ke rumah disitulah ada campur tangan Zea.Tak segan-segan Ruan menceritakan banyak hal yang terjadi selama ia di kantornya. Selain itu juga Ruan terkadang meminta pendapat Zea mengenai kemajuan berjalannya perusahaan dibilang ritelnya tersebut. Masuk-masukan yang diberikan Zea pun terbukti mampu meranjakkan grafik pendapatan perusahaan."Angel, kau tidak perlu mencemooh seperti itu. Melihat seseorang dari penampilan luarnya itu tidaklah cukup, sebelum kita mengetahui kepribadiannya lebih jauh. Paham!" larang Ruan memarahi Angel.Ucapan Ruan membuat Zea melihat cepat padanya. Kata bijak itu adalah yang pernah diucapkan Zea untuk menasihati Ruan. Namun, bukannya senang, Zea malah mencibir dalam batinnya.'Kau tidak pantas mengatakan itu, Ruan. Jika kau sendiri saja masih terjebak dengan penampilan wanita cantik'"Hey, mengapa kau menatap uncle seperti itu? Jangan-jangan kau menyukai Uncle Ru, iya?!" hentak Angel memergoki tatapan tajam Zea kepada Ruan.Ruan segera menoleh pada Zea karena ucapan keponakannya itu. Zea segera mengalihkan pandangannya, sehingga Ruan tak keburu melihat Zea memandangnya seperti apa yang dikatakan Angel."Angel, jangan berpikir yang tidak-tidak! Sudah, waktu satu jam terus berjalan. Jangan terbuang sia-sia. Dia sudah harus mendampingiku untuk sebuah proyek besar dan kita harus memenangkannya," perintah Ruan."Ya, baiklah, Uncle." Angel menuruti."Angel, profesional, ingat!" kecam Ruan."Ish, baiklah," kesal Angel. Karena sebenarnya Angel tidak ingin membedakan panggilan untuk Ruan secara profesional atau keluarga.Angel menghampiri Zea yang duduk di sofa tamu, untuk membimbing Zea mempelajari tugasnya sebagai sekretaris. Tidak rela dan lebih malas sebenarnya dari mengerjakan pekerjaan sendiri, tetapi ini perintah sang bos yang harus dipatuhi. Satu lagi, Angel juga harus bersikap baik agar tetap eksis berada di perusahaan Ruan atas perintah ayahnya."Hey, bagaimana kau bisa dipilih uncle Ru? Sungguh aku tidak habis pikir," sarkas Angel melihat sinis pada Zea."Mungkin uncle Anda mengetahui ada yang spesial di dalam diriku. Apa kau memilikinya?" jawab Zea balik menyindir dengan berani. Mereka berucap dengan suara yang pelan agar tidak terdengar oleh Ruan."Kau! Kau bilang apa?" gadis itu marah."Aku hanya bertanya." Zea tersenyum santai.Ruan yang tengah fokus pada layar laptop-nya, menoleh kemudian pada dua wanita berbeda usia tiga tahun itu. Ia mendengar bisik-bisik keduanya, walaupun tak mendengar jelas apa mereka katakan."Angel! Apa sudah ada yang kau terangkan padanya?" tanyanya."Iya, Pak. Aku sedang menerangkannya," jawab Angel menghembus napas kesal kemudian."Aku tidak akan menerangkan apa pun padamu, wanita jelek," bisiknya terfokus lagi pada Zea.Menurutnya Zea sangat menyebalkan. Zea dapat menimpali setiap ucapan serangannya. Namun, yang menjadi pertanyaannya mengapa Zea sudah begitu berani melawannya padahal belum apa-apa. Angel menjadi terpikirkan juga akan perkataan Zea yang mengatakan bahwa ada yang spesial dalam dirinya.Ruan masih sibuk mengutak-atik laptop-nya. Zea sedikit melirik pada Ruan, banyak pertanyaan berdatangan dalam benaknya. Apakah Ruan tidak mencarinya selama ini, apakah Ruan sudah menikah lagi atau dia benar-benar melupakan dirinya dan tak mengingat sedikit pun."Hey, wanita jelek. Lagi-lagi kau memandangi uncle Ru. Awas saja kalau kau sampai jatuh cinta! Akan ku buat dirimu daging cincang!" tegur Angle dengan mengancam."Aku tidak akan tertarik dengan uncle mu itu," tandas Zea menimpali lagi."Hah! Mana mungkin!" balasnya tak percaya.Angel kemudian melihat pada Ruan. Sejurus kemudian ia beranjak dari duduknya untuk menghampiri Ruan. Rasa ingin menarik perhatian Ruan begitu besar. Ia bahkan rela melakukan apa saja untuk pria yang padahal uncle-nya sendiri."Uncle, apa kau ingin ku buatkan kopi?" tawarnya dengan suara yang sedikit dimainkan.Zea yang melihat begitu berusahanya gadis nakal itu, malah tersenyum merasa lucu. Namun, ia pernah menduga sebelumnya jika gadis yang berarti juga keponakannya itu memiliki rasa yang lain pada pamannya sendiri. Suatu hal yang tentunya tidak diperbolehkan."Lily, syukurlah, aku bisa menemui Vio! Bagaimana keadaan Vio?" cecar Zea setelah sampai pada Lily."Bu Zea, tadi itu siapa? Pria itu begitu mirip dengan Vio," tanya Lily."Lily, dia itu suamiku! Lily maafkan sikap yang sudah memarahimu tadi." Zea merasa sangat tidak enak pada Lily akan sikap Ruan tadi."Tidak Bu Zea, tidak apa. Itu hal yang wajar! Dia benar-benar mirip dengan Vio! Sayang sekali jika Anda sampai berpisah," lirih dan takjubnya Lily."Apa Anda tidak ingin kembali? Kurasa dia pria yang baik." Lily menatap Zea penuh harap. Ia benar-benar berharap agar Zea kembali lagi pada Ruan. Ia akan sangat menyetujui hal itu."Tidak, Lily," jawab Zea lirih."Ouh, sayang sekali," lirih Lily lagi.Zea menciumi dan memeluk Vio kemudian. Rasa khawatirnya sudah lenyap. Melihat Vio tidak seneng khawatirkan yang dipikirkannya. Tak lupa pula ia mengungkapkan rasa terima kasihnya pada Lily.Banyak hal yang akhirnya diceritakan Lily mengenai jatuhnya Vio dari tempat tidur. Lily yang walaupun be
"Terima kasih, Bu, sudah membantu," ucap Zea kepada Ibu itu sambil mengatupkan tangannya."Iya, Nak. Mengapa kau harus berbohong. Apa kau merahasiakan Ibumu dari Bosmu itu?" sahut Ibu itu merasa peduli pada Zea."Tidak, Bu. Aku hanya tidak ingin dia tahu kalau yang sakit dan berada di Rumah Sakit ini adalah anakku, karena dia melarang seorang Ibu bekerja di perusahaannya," ungkap Zea."Oh, jadi seperti itu! Kebanyakan memang perusahaan seperti itu, Nak." Ibu pasien itu memahami."Tapi kelihatannya dia pria yang baik. Jika kau berkata jujur, aku yakin dia akan memahami. Apalagi jika kau memang menjadi tulang punggung keluarga," lanjutnya."Lalu di mana suamimu? Apa kalian berpisah?" tanyanya kemudian."Amm … amm….:" Zea kebingungan menjawab. Jika ia berbohong mengatakan apa yang ditebak Ibu tersebut, ia merasa berdosa kepada orang yang sudah baik padanya itu."Dia itu … dia itu adalah suamiku, Bu," akhirnya Zea mengatakan juga yang sebenarnya, dengan berpikir, Ibu itu tidak akan bertem
Semua mata tertuju pada Zea, terutama Angel. Ia merasa sangat terganggu dengan suara dering ponsel Zea yang tak segera dimatikan. Merasa kesal, ia lekas saja menghampiri Zea, tentu bukan untuk berbicara baik-baik."Heh! Kau ini sangat tidak sopan, kau pikir kau ini orang yang penting, hah! Cepat matikan ponselmu!" hardiknya.Rasa cemas langsung saja menyerang Zea. Ingin sekali ia menerima panggilan telepon dari Lili itu. Ia sangat meyakinkan, kalau ada sesuatu yang terjadi pada Vio."Maaf, Pak Ruan. Apa boleh aku menerima panggilan telepon ini?" Zea tak menghiraukan Angel, ia malah berbicara pada Ruan meminta izinnya untuk menerima telepon dari Lili. Hal itu membuat Angel semakin kesal."Kau!" kesalnya geram melihat pada Zea sambil mengepal tangan, merasa omelannya diacuhkan oleh orang yang dianggapnya tidak penting itu."Apa begitu penting, sehingga kau harus menerima panggilan telepon itu?" tanya Ruan."I-iya, Pak," jawab Zea gugup."Ya, baiklah, silakan. Selagi kita belum memulai m
"Aku sangat bahagia, kita memenangkan tender itu. Proyek pembuatan gedung mall itu jatuh ke tangan kita," seru Angel setelah mereka keluar dari gedung itu.Zea, Ruan dan Shera juga merasa bahagia. Hanya saja mereka tidak terlalu ekspresif seperti Angle yang sudah seperti cacing kepanasan. Ya, lelang tender yang kemarin diperebutkan beberapa perusahaan, kini jatuh ke perusahaan milik Ruan.Sebenarnya passion perusahaan Ruan, mungkin kurang sesuai. Secara, ada beberapa perusahaan kontraktor yang lebih sesuai untuk sebuah proyek. Hanya saja, demo atau presentasi yang disampaikan Zea yang dibantu dengan Shera serta ditambahi oleh Ruan membuat tim perusahaan yang memiliki tender memilih mereka."Kita harus segera mempersiapkan segalanya, Ru," ucap Shera."Ya, kau benar," sahut Ruan.Angel yang sedang berjingkrak kegirangan menjadi terhenti. Ia merasa tidak ada seorangpun yang menghiraukannya. Akhirnya ia hanya cemberut kesal."Baiklah, Ru. Aku kembali ke kantorku. Besok mungkin baru kita a
"Bapak ada di taman belakang, Bu. Dari tadi entah mengapa hanya terdiam saja. Kami tidak ada yang berani bertanya," ungkap Pak Galih sambil melangkah mendampingi Zea yang melangkah cepat untuk menemui Ruan."Loh, Anda …." henyak Bi Danty berpapasan melihat terkejut akan kedatangan Zea lagi."Bibi Danty," sahut Zea menyebut nama asisten rumah tangganya itu.Ketiganya kemudian melihat diam pada Ruan yang tengah termenung. Pandangannya luruh kedepan, namun tak terfokus pada apa pun. Bibi Danty dan Pak Galih kebingungan harus berbuat apa."Biarkan saja, Ruan seperti itu dulu. Dia sedang membutuhkan ketenangan," ucap Zea.Seperti halnya pertemuan pertama ketika Zea datang sebelumnya, Bibi Danty merasa sudah tidak asing dengan suara yang ia dengar baru saja. Kembali ia melihat detail pada Zea yang tentunya dengan penyamarannya. Bibi Danty memfokuskan penglihatannya pada bagian alis Zea."Bu Zea!" kali ini Bibi Danty sudah sangat yakin kalau wanita berpenampilan aneh itu adalah Zea, majikann
Seperti biasa, Zea mendatangi Day Care untuk menitipkan Vio. Hari ini Zea terlambat bangun, sehingga apa pun yang ia kerjakan di rumahnya serba terburu-buru. Ditambah lagi sesampainya di Day Care, Lili sudah mendapat anak titipkan. Zea memelas, tidak mendapatkan Lili. Ia sudah sangat mempercayai Lili yang menjaga Vio."Kau tenang saja, Zea. Semua petugas di sini sangat bertanggung jawab. Kami akan benar-benar menjaga putra atau putri costumer kami." Lili meyakinkan Zea untuk tidak perlu khawatir."Ya, Lili. Bagaimanapun aku tetap memohon padamu untuk membantu memperhatikan Vio," lirih Zea, bukan tidak percaya kepada petugas yang lain, tetapi karena sugestinya lebih yakin kepada Lili.Pada akhirnya, Zea tetap menitipkan Vio pada Day Care itu walaupun tidak dengan Lili sebagai petugasnya. Sungguh Zea tidak merasa tenang. Namun, Ia harus merelakan juga."Ayo, Zea. Kau akan sangat terlambat," ucap Adam mengingatkan Zea, karena Zea terlihat meragu untuk meninggalkan Vio.Zea mengangguk dan