Share

Di Tinggal Mati

My StepBrother, I Love U.

Bagian 2

DITINGGAL MATI

~Menjadi bintang dilangit.~

🍁

Hari ini adalah hari pemakaman Mama.

Rania, begitulah orang orang memanggilnya. Wanita cantik yang di kenal pekerja keras dan seorang ibu yang penyayang itu menghembuskan napas terakhirnya tadi malam.

Meninggalkan suami dan juga anak laki-kakinya yang baru berusia 18 tahun. Rania meninggal karena penyakit jantung yang ia derita. Dua malam sebelum kepergiannya, dia mengalami serangan jantung dan harus di larikan ke rumah sakit. Namun, waktunya ternyata tidak berlangsung lama. Setelah perawatan intensif yang ia terima, keadaannya semakin memburuk dan akhirnya menutup usia pada umur 40 tahun.

Zian begitu syok atas kepergian Mamanya. Dia tidak henti-hentinya menangis saat sang Mama di bawa kembali ke rumah untuk di kebumikan.

Bi Asri, selaku asisten rumah tangga sekaligus ibu asuh Zian terus memeluk anak itu agar dia berhenti menangis. Sebab jika Zian terlalu berlarut dalam kesedihannya, bi Asri takut anak itu akan membahayakan dirinya sendiri.

"Den, udah ya." wanita paru baya itu menyeka kedua pipi Zian yang di banjiri airmata. "Jangan nangis terus." ucapnya menenangkan. Dia memeluk Zian dan mengusap punggung lelaki itu tanpa henti.

Zian yang hancur, nyaris tidak tahu bagaimana caranya berhenti menangis. Airmatanya terus mengalir setiap kali ia ingat kenangan akan Mamanya. Dadanya sakit saat menerima kenyataan bahwa sang Mama kini sudah tiada. Pergi untuk selama-lamanya.

"Mama udah nggak ada, bi. Mama ninggalin aku." racaunya dengan suara parau dan napas tersendat-sendat karena cegukan. Dia menangis sepanjang hari, sampai matanya bengkak dan dadanya nyeri.

Zian memeluk bi Asri dengan erat, berharap bisa menghibur diri dari keterpurukan yang ia alami.

"Iya, nak. Bibi tau." bi Asri mengusap punggungnya lagi. "Kalo Aden nggak kuat, Aden nggak perlu ikut ke pemakaman. Di sini aja, ya. Bibi temenin."

Remaja tanggung itu menggelengkan kepalanya. "Aku mau ikut. Aku harus ikut."

"Aden boleh ikut kalo udah tenang, ya. Masih nangis gini, nanti kalo ada apa apa di jalan gimana?" bi Asri memperingati. Dia tahu betul jika anak asuhnya itu pasti memaksa untuk ikut pergi. Tapi, demi keselamatannya dia harus memastikan Zian sudah dalam kondisi tenang.

Lelaki itu, meski masih sesegukan, dia mengelap kedua pipinya dan menatap bi Asri dengan wajah meyakinkan. Dia ingin ikut, dia ingin melihat Mamanya untuk yang terakhir kali. "Aku udah nggak apa apa, bi."

🍁

Di pemakaman, Arga yang sebenarnya tengah bersedih, mau tak mau ikut andil dalam pengebumian istrinya. Dia turut mengangkat peti jenazah Rania dan mengebumikannya ke dalam liang lahat.

Tangisan dari para kerabat kembali pecah saat doa-doa di panjatkan ketika gundukan tanah kembali menutupi lubang pusara Rania. Zian pun kembali terisak ketika makam Mamanya di guyuri air dan bunga-bunga. Sempat ia ingin mendekat dan menyentuh nisan sang Mama ketika tiba-tiba tubuhnya melemas seperti tanpa tenaga. Dia jatuh, lalu pingsan tepat setelah bi Asri memegangi tubuhnya.

"Aden? Den Zian?" usaha bi Asri mengguncang tubuh Zian dan menepuk pipinya tampak tak begitu berpengaruh. Remaja itu benar benar kehilangan kesadaran.

"Zian?!" Arga yang berada tak jauh dari mereka, dengan gesit mengambil alih tubuh anaknya dari bi Asri. "Zian bangun, nak. Zian?" Arga mengusap wajah dan kening anaknya yang pucat. Dia sangat cemas, pasalnya napas anaknya itu terlihat tak stabil.

"Bibi bawa inhalernya?" Arga menatap pada bi Asri. Wanita paru baya itu langsung memberi anggukan kepala. "Ada, di dalam tas. Sebentar." dia beringsut mengubek-ubek isi tas yang ia selipkan di lengannya.

"Ini." sebuah benda berwarna biru ia serahkan pada Arga.

Arga mengambilnya dengan cepat kemudian membuka sedikit mulut Zian agar anaknya itu dapat menghirup salbutamol dari uap inhaler tersebut.

Arga kemudian membaringkan Zian di tanah yang datar, membuka semua kancing kemeja hitam yang di kenakan oleh Zian dan memberi isyarat pada orang-orang di sekitar untuk sedikit menjauh agar memberi mereka ruang udara yang cukup.

"Bi, suruh pak Amin bawa mobilnya ke sini. Kita harus bawa Zian ke rumah sakit." Arga berseru pada wanita di depannya.

"Iya, pak." Bi Asri mengangguk kemudian berdiri. Namun, seseorang mencegahnya ketika dia hendak pergi.

"Rumah sakit jauh dari sini. Bawa ke rumah Oma aja, ada Rangga yang kebetulan lagi cuti di rumah."

"Oma Linda?" Arga tercenung saat menatap wanita tua di depannya itu.

"Tunggu apa lagi? Ayo, bawa anak kamu sekarang."

"Baik Oma, terima kasih." Arga membungkuk beberapa kali sebelum akhirnya mengangkat tubuh Zian ke dalam pangkuannya. Dia pergi ke arah parkiran pemakaman bersama bi Asri yang setia mengekor di belakang.

🍁

Langit mulai gelap, Zian terbangun dan mendapati diri tengah berada di sebuah kamar. Suasananya begitu tenang dan sunyi. Tubuhnya terasa lemas, sampai sulit sekali bergerak. Beberapa saat kemudian ia menyadari sesuatu menancap di punggung tangannya. Sebuah infusan. Dia menengok ke samping, ada bi Asri tengah tertidur di sebuah sofa berwarna coklat.

Aneh, Zian merasa ini bukanlah kamarnya. Semuanya berbeda, tapi tempat ini sama sekali tidak asing di kepalanya. Seperti pernah dia lihat.

"Udah bangun?" suara lembut menyapa telinganya ketika seseorang berjalan masuk melalui pintu. Zian mengedipkan matanya beberapa kali, dia ingat sekarang. Ini adalah rumah Oma Linda. Dan yang berbicara padanya barusan adalah Dokter Rangga, anak tunggal Oma.

"Udah enakan?" Rangga mendekat dan membelai rambut Zian. Remaja itu hanya mengangguk lemah.

"Malam ini, tidur di sini aja, ya? Besok baru pulang ke rumah."

"Kenapa?" Zian menautkan alisnya bingung.

"Papa kamu masih sibuk ngurus ini itu. Di rumah juga banyak orang yang pulang pergi. Kamu nggak akan bisa istirahat." Rangga menjelaskan. Tapi, tampaknya Zian kurang setuju.

"Malem ini kan ada pengajian buat Mama."

"Kakak tau." dia kembali mengusap surai legam milik Zian. "Tapi kan kondisi kamu lagi seperti ini. Gimana kalo nanti kamu pingsan lagi? Papa kamu pasti kerepotan." Rangga diam sejenak ketika anak di depannya itu memurung. "Bi Asri juga cape, Nara. Kasian."

Zian kembali melirik ibu asuhnya itu. Wanita itu terlihat tidur dengan lelap di sana. Rasanya, Zian tidak akan tega untuk membangunkan bi Asri dan mengajaknya kembali pulang.

Dengan berat hati, mau tak mau Zian akhirnya setuju untuk menetap malam ini.

Sebenarnya, jarak rumah Oma Linda dan rumah dirinya tidak begitu jauh. Hanya sekitar beberapa ratus meter saja. Zian mengenal keluarga ini sejak dia masih kecil, karena dulu penyakitnya sering kali kambuh di malam hari dan rumah sakit begitu jauh dari rumahnya, maka Rangga lah yang menjadi jalan alternatif bagi Zian. Dari mulai pria itu masih duduk di bangku kuliah sampai saat ini. Saat dia telah menerima gelar dokter spesialis anak.

"Udah ... Jangan mikirin apa apa lagi. Kamu harus istirahat. Kakak bawain makanan dulu, ya. Tunggu sebentar."

"Nggak usah." Zian menggeleng dengan cepat. "Aku nggak lapar."

Rangga menghela napas dalam. Dia menatap Zian dengan cukup maklum, mengingat remaja ini baru saja di tinggalkan ibunya, dia harus lebih bersabar dalam membujuk Zian.

"Bi Asri bilang kamu nggak makan dari pagi. Mana mungkin nggak lapar. Udah, tunggu aja. Nanti kakak balik lagi."

Zian tidak bisa menolak lagi. Selain Rangga yang begitu bersikeras, perutnya sebenarnya juga sedikit keroncongan.

Setelah pria tinggi berkulit putih dengan rambut kastanye itu pergi, Zian kembali termenung dan larut dalam pikirannya.

Hari ini Mama tidak lagi ada di dunia. Dia sendirian,  meski sebenarnya tidak benar benar sendiri. Ada Papa dan juga bi Asri yang masih menemaninya. Tapi, jelas akan terasa berbeda. Mama punya tempat sendiri di hatinya, dan karena kepergian yang tergolong 'mendadak' hati Zian juga mendadak menjadi kosong.

Di samping ranjang, ada sebuah jendela tinggi dengan tirai yang di biarkan terbuka. Zian menatap hampa pada langit malam yang gelap dan di hiasi bintang-bintang kecil yang berkilauan di balik kaca.

Konon katanya, orang-orang yang meninggal akan berubah menjadi bintang di angkasa dan akan senantiasa melihat kita dari atas sana. Namun, Zian enggan percaya pada dongeng itu, karena dia tahu bahwa semua makhluk hidup di dunia ini hanya akan menjadi tanah saat mereka mati.

🍁

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status