Share

My StepBrother, I Love U.
My StepBrother, I Love U.
Penulis: Shins Wijaya

PROLOG

My StepBrother, I Love U.

Bagian 1 : Prolog

KELAHIRANKU KE DUNIA

~Malaikat mengambil nyawaku~

🍁

Malam itu, Mama terus mengerang kesakitan. Perutnya terasa seperti teriris-iris pisau dari dalam. Tangannya meremat seprai hingga seprai itu berubah menjadi kusut.

"Sudah bukaan ke delapan, bu. Anda pasti bisa." seorang perawat mengecek sudah seberapa jauh bibir rahim Mamaku terbuka saat itu.

Papa mengamati keadaan Mama dengan cemas. Dia sama sekali tidak beranjak dari sisi istrinya yang terus menangis karena kesakitan.

"Kepalanya mulai keluar. Ayo tarik napas dan mulai mengejan!" dokter memberi intruksi pada Mama untuk segera mengeluarkanku.

"Ayo, bu."

"Aarrggghhh !!" raungan Mama berbalasan dengan suara gemuruh di langit. Hujan lebat turun seketika seolah menyambut kelahiranku ke dunia.

Semua mata menandang ke arah tubuh kecilku. Namun, bukan ekspresi bahagia yang terlukis di wajah mereka. Melainkan seperti khawatir dan ketakutan.

"Dia tidak menangis!" perawat bersuara dengan panik. Buru-buru tubuh kecilku ia pangku dan ia taruh dalam sebuah box kecil yang hangat.

"Pak Arga, kita akan melakukan resusitasi jantung dan paru-parunya. Saya harap tidak ada masalah serius." seru dokter yang hanya di balas anggukan cepat oleh Papa.

"Mas," Mama mulai menangis dan ketakutan.

"Tenang Rania, tenang." Papa memegangi kedua tangan Mama dengan erat. Mereka berusaha saling menenangkan hati satu sama lain.

Setelah dokter dan perawat itu memasukan benda asing seperti selang ke dalam mulutku, cairan berwarna keruh keluar dari dalam paru paru. Tangan-tangan besar menepuk-nepuk punggungku hingga akhirnya tangisan kecilku mengeruak mencairkan ketegangan mereka.

"Syukurlah,"

"Saya khawatir Pak Arga. Dia menangis setelah waktu dua menit. Kita harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk memastikan kondisinya." dokter itu berujar saat membawaku kembali pada Mama dan Papa.

"Aku mau menyusui dia mas." Mama menarik-narik lengan kemeja Papa.

Meski sempat ragu untuk mengambil tubuhku dari sang dokter, Papa akhirnya menyerah karena Mama terus merengek. Dia meminta persetujuan dokter dan akhirnya memberikanku pada Mama.

Mama melihatku dengan penuh rasa syukur dan bahagia, aku merasakan kehangatan menyelimuti diriku saat kulit kami saling bersentuhan. Detak jantungnya yang semula kencang kini mulai berangsur-angsur stabil, membuatku pun merasakan kenyamanan.

Mulut kecilku bergerak mencari-cari sumber air susu dan dengan sigap aku meminum air kehidupanku itu. Tangan halus Mama menyapu pipiku, dia tersenyum kemudian menitikan airmata bahagia.

"Selamat datang ke dunia, sayang."

🍁

Namaku Zian Nara.

Tidak ada arti khusus dari nama tersebut setahuku, hanya spontanitas Mama dan Papa ketika aku lahir ke dunia.

Aku ini anak yang normal, meski sebenarnya memiliki sedikit perbedaan diantara teman teman sebayaku.

Aku terlahir dengan penyakit bawaan Asthma Bronchiale atau biasa di sebut asma. Tidak aneh sebenarnya, karena aku tahu, di dunia ini banyak sekali orang yang menderita penyakit yang sama sepertiku.

Hanya saja, mungkin hanya diriku yang tidak pernah bisa menerima keadaan. Dari pada penyakit, aku lebih sering menganggap asma ini sebagai cacat. Betapa tidak, impianku adalah menjadi seorang pemain basket nasional. Dan sudah tentu, aku tidak akan pernah bisa mencapainya karena kecacatanku ini.

Kalian tahu? Aku selalu memaknai arti kelahiranku dengan bersungut-sungut dan menggerutu pada Tuhan. Sampai akhirnya, pelan-pelan aku mulai bisa menerima semua kekuranganku karena kehadiran seseorang.

🍁

Pagi itu, hujan turun begitu lebat. Aku yang 'penyakitan' ini tentu saja dilarang keras untuk bermain hujan-hujanan. Padahal, bocah seusiaku biasanya menikmati hidup mereka dengan bermain di bawah guyuran rahmat tuhan itu.

Aku menghela napas untuk ke sekian kalinya. Di balik jendela kamar, aku hanya bisa menonton anak anak berlarian bermain kejar tangkap di bawah naungan hujan. Cemburu rasanya, tapi aku harus sadar diri.

Dari dalam rumah saja, dinginnya udara sudah sangat menusuk kulit. Sampai-sampai aku harus memakai tiga rangkap baju, dan satu selimut tebal agar tidak terkena flu.

~Meow ~Meow

Dari riuhnya bunyi air yang turun ke bumi, sayup-sayup aku mendengar suara kecil dari arah teras rumah. Aku memajukan wajah sampai menempel di kaca. Di balik semak-semak pohon jarak yang ada di halaman, aku melihat benda putih menggumpal tengah meringkuk bersembunyi dari hujan.

"Oh? Kucing!" Aku berlari keluar dari kukungan selimut tebalku dan pergi ke arah dapur.

"Ma ada kucing, Ma. Kasian keujanan." aku berteriak pada Mama yang tengah memasak sarapan. Aku menarik-narik ujung bajunya, tapi dia sama sekali tidak bergeming.

"Biarin aja."

"Tapi kasian, Ma. Aku bawa masuk boleh, ya?"

Mama dengan cepatnya berbalik dan menatapku. "Mau Mama cubit?" gertaknya, dengan membulatkan mata seperti hendak benar benar menyakitiku.

Aku langsung cemberut saat itu. Dan berjalan kembali ke kamar dengan ketus. "Mama galak!" aku berteriak saat keluar dari dapur. "Mama galak sama Zian!"

"Mama galak karena ada alasannya. Kamu jangan ngambekan gitu dong, nak. Kalo kamu nyium bulu kucing nanti asmanya kambuh."

Dengan kedua tangan, aku menutup kupingku rapat-rapat. Semua alasan Mama selalu sama setiap kali aku menginginkan sesuatu, jangan begini nanti kamu kambuh, jangan begitu nanti kamu kambuh. Selalu saja begitu. Membosankan!.

"Siapa bilang bulu kucing bikin asma." aku menggerutu dalam hati.

Karena sebal, aku akhirnya nekat mengendap-endap keluar rumah. Karena Mama ada di dapur, otomatis dia tidak akan mendengar jika aku membuka pintu depan.

Cukup cerdas bukan? Aku memuji diri karena kenakalanku ini.

Hujan masih deras, tapi tidak sederas sebelumnya. Jadi, udara tidak terlalu dingin lagi. Aku melangkah dengan hati hati ke arah taman. Senyum di wajahku mengembang ketika aku dapati kucing itu masih ada di tempatnya. Dengan cepat, aku membawa hewan berbulu itu ke dalam pangkuanku.

Lucu, aku mengelusnya dengan tanganku. Hingga beberapa saat aku mulai merasa hidungku gatal dan ingin sekali aku garuk.

"Hatcu!" aku bersin-bersin dan hidungku menjadi sangat merah.

Ini tidak bagus.

Buru-buru aku lepaskan kucing dalam pangkuanku dan hendak kembali masuk ke dalam rumah. Namun, bunyi klakson mobil Papa mengalihkan atensiku. Dengan lonjakan kegembiraan aku pergi ke arah garasi yang ada di bawah.

Yup! Rumahku ini seperti bukit, bangunan utama ada di dataran paling atas sementara garasi berada di bagian paling bawah. Ada rentetan anak tangga yang menghubungkan mereka.

Aku dengan riangnya berlari meski sesekali bersin. Dari atas tangga aku bisa melihat Papa melambai ke arahku saat dia turun dari mobil.

"Papa." teriakku begitu senang. Kaki kecilku hampir saja melangkah dengan benar ketika tiba tiba aku bersin lagi dan lupa bahwa di depan adalah titian tangga. Aku kehilangan keseimbangan diri dan jatuh berguling-guling hingga mendarat di undakan tangga terakhir.

Sakit sekali, aku rasa semua rusuk kecilku patah dan remuk saat itu. Bayangkan saja, anak usia lima tahun jatuh berguling di lima belas titian anak tangga. Tentu saja, sebuah keberuntungan jika tidak terluka sedikit pun.

Aku merintih tanpa daya. Tubuhku lemas, tidak bisa di gerakkan. Napasku tiba tiba menjadi pendek dan dadaku sesak. Aku pikir, mungkin hari ini adalah hari kematianku. Dengan pandangan yang buram, aku hanya bisa melihat bayangan Papa mendekat. Di belakang punggungnya ada seorang anak perempuan cantik yang menatapku ketakutan.

Apa dia malaikat yang hendak mengambil nyawaku?

Aku tidak tahu, karena saat Papa memelukku, kegelapan mengambil alih semuanya.

🍁

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status