Share

Hidup Terus Berjalan

My StepBrother, I Love U.

bagian 3

HIDUP TERUS BERJALAN

~Banyak yang peduli sama lo!~

🍁

Seminggu berlalu, remaja tanggung bersurai legam itu masih setia mengurung dirinya di dalam kamar. Beberapa temannya bahkan datang berkali-kali untuk membujuknya agar mau kembali bersekolah. Namun, Zian tampaknya belum memulihkan hati dari kehancurannya di tinggal sang Mama. Dia enggan pergi kemana pun, termasuk ke sekolah.

Sama seperti kemarin, Danu Ardana, remaja tinggi dengan pinggang ramping dan gaya rambut spiky-nya datang lagi ke rumah Zian, untuk menjenguk sekaligus membujuk lelaki itu agar mau keluar dari sarangnya.

Danu bukan hanya sekedar sahabatnya, dia juga teman semasa kecil sekaligus sepupu Zian. Anak dari tante Riana, adik Mamanya.

"Nana .. Ke mall, yuk. Temenin beli boxer." Danu berteriak sembari menggedor-gedor pintu kamar Zian.

Nana atau Zizi atau Rara adalah panggilan ejekannya pada Zian. Dia biasanya sengaja memanggil lelaki itu dengan nama perempuan agar Zian kesal. Semoga saja, kali ini remaja itu marah kepadanya dan mau keluar dari kamar untuk sekedar menonjok wajahnya.

"Nana, ih." Danu memisuh geram. Dia sudah mengetuk pintu kamar Zian beberapa kali, tapi sama sekali tidak di respon.

"Apa sih, Nu? Pergi sana, ah." umpat Zian dari dalam.

"Ayok temenin beli boxer ... boxer gue robek gara-gara main futsal kemaren!"

"Emang boxer lo cuma satu apa?!"

"Iya, itu yang motif macan favorit gue. Gue harus beli lagi yang baru." Danu pantang menyerah sebelum pintu kamar Zian terbuka.

"Bareng Riko aja."

Danu mendengus dengan keras. "Dia lagi jalan sama ceweknya."

"Yaudah, pergi aja sendiri."

Kesabaran Danu nampaknya mulai menipis. "Ih, lo tuh kenapa sih! Susah banget keluar rumah doang. Nggak baek Na ngurung diri terus di kamar." dia berseru lantang.

Zian tidak lagi menjawab. Hanya hening bermenit-menit yang membuat Danu kian merasa frustasi. Namun, lelaki itu masih belum mau beranjak dari tempatnya.

"Zian!"

"Ziiaaan!"

Pintu kayu di depannya tiba-tiba berderit, kemudian perlahan terbuka hingga tampaklah sosok Zian di baliknya. Danu memajukan wajahnya, dia melihat ruangan di belakang lelaki itu begitu gelap dan terlihat agak horor. Membuatnya seketika bergidik ngeri, mengingat dia amat benci pada yang namanya kegelapan.

"Berisik, lo! Sana pulang." ketus Zian kemudian hendak menutup kembali pintu kamarnya. Namun, dengan sigap Danu memasang kakinya untuk mengganjal pintu tersebut.

"Eits, enak aja maen ngusir. Kasih masuk kek sebentar." Danu tak mau membuang kesempatan. 

Jika tidak sekarang, kapan lagi cowok itu mau membuka pintu kamarnya. 

Zian menghela napas. "Mau ngapain?"

"Numpang pipis. Kebelet, nih."

Zian memutar bola matanya dengan malas kemudian mendesis. Pintu kamar ia buka lebar-lebar agar remaja narsis itu bisa masuk ke dalam.

"Buruan."

"Lampunya nyalain dulu." Danu nyengir dengan wajah tengilnya. Membuat Zian harus menghela napas panjangnya sekali lagi.

"Dasar."

Setelah saklar lampu ia hidupkan, Danu langsung menyambar tubuhnya dengan pelukan. Zian begitu terkesiap hingga nyaris jatuh terjungkal kebelakang jika saja tangannya tidak buru-buru berpegangan pada tembok. Danu ini benar benar membuatnya terkejut.

"Danu!" Zian berteriak karena kaget, sekaligus kesal.

Tapi, remaja yang lebih tinggi darinya itu malah memeluk tubuhnya semakin erat.

"Udah, ya. Jangan ngunci diri lagi. Gue tau lo sedih tapi jangan sampe nyiksa diri sendiri kayak gini." Danu bergumam lirih. Membuat Zian tak berdaya dan hanya mampu mematung di tempatnya.

"Gue emang nggak tau rasanya di tinggalin mama, karena bunda gue masih hidup. Tapi, gue ngerti. Pasti berat buat lo. Tapi, lo juga harus inget. Lo nggak sendiri, lo punya gue, punya temen-temen yang lain juga. Banyak yang peduli sama lo."

Zian hanya tertunduk mendengar perkataan Danu barusan. Lelaki itu memang ada benarnya. Di dunia ini dia tidak sendirian. Masih banyak sekali orang-orang yang menyayangi dirinya, entah itu keluarga ataupun teman.

"Nu?" Zian memanggil dengan pelan.

Sang empu nama berdegum dan menoleh padanya. "Apa?"

"Gue ... nggak bisa napas."

"Oh?" Danu buru-buru melepaskan pelukannya. "Sorry."

"Lo bener. Lagi pula, gue juga nggak mungkin kayak gini terus selamanya." Zian menarik satu sudut bibirnya. Berusaha untuk tersenyum.

Danu lega. Akhirnya, usaha untuk membawa kembali sahabatnya itu pada kehidupan luar tidak berbuah sia-sia.

"Mulai sekarang, nggak ada lagi sedih-sedihan! Kalo sekali lagi gue liat lo murung kayak gini, gue bakal nyuruh bi Asri pulang kampung."

"Hah?" Zian tercenung lalu mengerutkan alisnya. "Apa sih bawa-bawa bi Asri segala." dia terkekeh kecil. Guyonan garing Danu sukses membuatnya geleng-geleng kepala.

"Ya, ya gitulah. Intinya sekarang cepetan ganti baju terus kita pergi." Danu mendorong punggung Zian menuju sebuah lemari pakaian.

"Harus banget sekarang, ya?"

"Iya, Zian Nara putra Arga Wijaya. Temen-temen yang lain udah nungguin. Cepetan!"

🍁

Di salah satu tempat angkringan, ada dua remaja dengan pakaian styles-nya melambaikan tangan pada Zian dan Danu yang baru saja tiba. Mereka senang bukan kepalang saat melihat salah satu teman mereka yang menghilang selama seminggu ini akhirnya kembali.

"Gila! Zian ternyata masih idup." celoteh lelaki bernama Riko dengan menyikut orang di sampingnya.

"Hus! Yang meninggal itu ibunya, tau!"

"Iya iya. Gue becanda."

"Udah lama nunggu?" Danu menyapa keduanya dengan jabat tangan khas geng mereka. Kemudian Zian mengikuti setelahnya.

"Lumayan."

"Zi, gue turut berduka ya soal nyokap lo." si rambut hitam Surya menepuk bahu kanan Zian.

"Gue juga." Riko turut berucap setelahnya.

"Em, makasih."

"Udah-udah. Gue ngajak Zian keluar bukan buat bahan bela sungkawa kalian. Jadi, mending kitu pergi nyari hiburan."

"Kemana?"

"Denger-denger ada turnamen basket gitu di stadion deket sekolahan. Nonton, yuk!" Danu memberi usulan.

Kedua temannya yang tidak terlalu suka olahraga itu saling bertukar pandang sejenak kemudian menatap Danu penuh tanda tanya.

"Nonton basket? Serius?" tanya Riko ragu-ragu.

Danu menggerakan ekor matanya ke arah Zian. Dia memberi kode pada kedua teman lemot-nya itu bahwa ini adalah ide yang bagus untuk menghibur Zian, karena lelaki itu amat menggemari dunia basket.

"Ahh ..." Riko dan Surya akhirnya mengerti. Mereka dengan kompak mengangguk dan menyetujui usulan Danu. Sementara Zian, dia hanya ikut saja.

"Ayok! Nanti turnamennya keburu selesai." seru Danu dengan memiting leher Zian dan menyeret lelaki itu untuk mengikuti langkahnya.

Zian tidak menolak, dia membiarkan Danu menuntun tubuhnya kemana pun mereka pergi.

Dari sini, dia mengerti satu hal. Meski kehilangan membuatnya begitu terpuruk dan bersedih, dia tetap harus bangkit dan kembali menata hati.

Hidup terus berjalan, dan apapun yang akan terjadi di masa depan. Dia harus menghadapi semuanya dengan dada yang lapang.

🍁

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status