Bab 45.
Di dalam mobil aku hanya diam. Mataku fokus ke arah jalan raya. Sore itu sangat ramai. Apalagi ketika melewati kawasan Blok M. Lalu lintas padat merayap. Hanya bunyi klakson yang berbunyi. Banyak sekali mengemudi yang tidak sabar untuk saling mendahului.
Kulirik Sarah sebentar. Dia menyenderkan kepalanya di jok dengan rileks. Matanya terpejam dan bibirnya menyungging senyuman. Aku sengaja menyetel lagu romantis untuk menemani perjalanan kita.
Malam mulai merayap. Suasana malam itu sangat ramai. Pikiranku mengembara tidak tahu arah. Duuh … isi dompetku kosong. Gengsi sekali ketika Sarah mengajak kencan harus selalu menggunakan uangnya.
"Sayang," panggilku lirih.
" Kita ke mana?" tanyaku pelan.
Bab 46Kehadiran sosok pria itu sontak membuat Sarah sedikit grogi. Apalagi dengan posisi yang sangat dekat denganku. Dia menyambut pria itu dengan agak sedikit gugup."Eh, Mas Hans!" seru Sarah dengan nada agak gugup.Sarah menghampiri pria itu dan menyalaminya. Sosok yang dipanggil Hans tersenyum sangat manis. Aku hanya berdiri terpaku sekian detik. Tidak tahu apa yang akan kulakukan. Baru kemudian bisa menguasai diri.Mencoba tersenyum dalam situasi yang tidak terduga dengan pria itu. Nampak sosok borjuis itu terkesan dingin dan hanya melirikku.Sikapnya tidak bersahabat dan kurang begitu ramah. Apakah aku nampak seperti gembel? Senyumku terbang percuma. Rasanya sampai menusuk dalam jantung.
Bab 47Sebuah notifikasi di ponsel membuat diriku tidak percaya. Ada pemberitahuan transfer sejumlah uang di rekeningku.[Sayang, Ibu dan Nita sangat membutuhkan uang. Kirimkan yang ini sekarang.] sebuah pesan dari Sarah yang terkirim di ponselku.Jiwa egois dan harga diri seorang laki-laki menggelegak dan mendidih. Dia selalu menyogok dengan uang dan fasilitas. Sarah mencoba menyenangkanku dengan mengatur semua kehidupanku.Dia pikir aku akan menikmati semua ini. Mungkin aku yang masih terlalu muda tidak mengerti dan paham dengan jalan pikiran Sarah.Braaak…Puncak dari segala keresahan dan kegundahan. Merasa tidak dianggap dan selalu menutupi kenyataan. Aku terlahir sebagai laki-l
Bab 48 "Hallo, Mas Pram. Kapan mau pulang. Ibu sedang sakit ini. Gak bisa jualan," kata seseorang ketika kuangkat ponsel.Ternyata Nita--adik perempuanku--yang mengabari."Sebentar, Nit. Mas masih ada pekerjaan yang gak bisa ditinggal," jawabku dengan sedih.Memang sejak menikah dengan Sarah jarang sekali menghubungi keluarga di kampung. Kesibukan kerja dan masalah Sarah kadang tidak sempat menelpon ibu. Padahal dulu hampir setiap hari wajah ibu selalu hadir di tampilan ponsel tipis ini." Siapa, Sayang?" tanya Sarah mengernyitkan dahi." Nita," jawabku singkat sambil berbisik."Ibu pengen Mas Pram pulang dulu. Lagian lama gak nengok rumah," ujar Nita dengan badan sedih.
Sarah sudah berdiri di depan pintu ruangan cleaning service. Aku segera berdiri dan menghampiri. Nampak Reni dan Bagas agak gugup melihat kehadiran bosnya di ruangan. Sarah tersenyum pada Reni yang salah tingkah.Aku berdiri dan menghampiri Sarah yang menatapku. Sepertinya dia telah menolong dari sindiran pedas Reni."Siap, Bos!" seruku penuh semangat."Tolong siapkan mobil. Aku ada meeting dengan Pak Hans!" perintah Sarah."Duluan, Bro," pamitku pada Bagas. "Siip," jawab Bagas dengan melambaikan tangan.Sementara Reni masih terpaku melihatku. Gadis itu seperti melihat hantu yang menakutkan."Selamat tinggal cantik! Jaga m
Sarah dan ketiga putranya mengantarku ke Bandara Sukarno Hatta. Sebenarnya aku ingin naik bis saja menuju kampung halamanku kota Semarang. Tetapi Sarah memaksa untuk membelikan tiket pesawat agar perjalananku cepat tiba di kampung halaman.Sudah pukul setengah empat sore, jadwal penerbangan menuju Kota Semarang masih setengah jam lagi. Kami masih duduk di sebuah gerai cepat saji di Bandara Sukarno Hatta. Ketiga putra Sarah masih menempel seperti perangko. Apalagi Arsya dan Atta yang seolah berat melepas kepulanganku. Aska terlihat seperti pria dewasa kali ini.Penampilanku masih terlihat cuek dengan hanya memakai celana pendek warna coklat dan kaos warna hitam. Dengan sepatu merek brand ternama yang baru diberikan Sarah.Penampilan Aska juga tidak kalah cuek denganku. Dia hanya
Bab 51Pesawat sudah mendarat di Bandara Ahmad Yani pukul 5 sore. Aku bersiap untuk mengambil barang bawaan yang berada di locker pesawat. Para penumpang lain juga bersiap untuk turun dari pesawat.Gadis yang berada di sampingku masih duduk tenang. Dia mungkin kesal karena selama dalam perjalanan tidak aku perdulikan. Sebenarnya dia ingin mengajak berbincang denganku, tetapi aku lebih memilih tidur dengan mendengarkan lagu.Gadis itu perlahan berdiri lalu mengambil koper kecil yang berada di locker pesawat."Semarangnya mana, Mas?" tanya dia masih penasaran."Ah dekat kok, Mbak," jawabku sekenanya.Gadis seperti dia adalah tipe wanita yang super nekat. Bisa saja di
"Sayang, gimana udah nyampai di rumah ya?" tanya seseorang yang ternyata Sarah. "Iya. Ini lagi makan. Ibu masak sayur kesukaanku," jawabku membalas telponnya. "Bagaimana keadaan anak-anak, Yang?" tanyaku lagi. "Yah biasa lah. Mereka semakin aktif." "Sayang, aku rindu dan kangen nih. Jangan lama di kampung ya," rajuk Sarah. "Sama, Sayang. Aku juga kangen," jawabku. "Mas!" panggil Nita dari belakang serasa menepuk pundakku. Aku tergagap dan hampir saja gawai itu jatuh ke lantai. Ternyata Nita telah mencuri dengar di belakangku. Sekarang anak itu benar-benar curiga dengan kakaknya.&nbs
"Pram!" panggil ibu yang telah duduk di tikar ruang tamu.Kami memang tidak mempunyai meja dan kursi di ruang tamu. Lebih asyik duduk di tikar. Kadang ruang tamu yang sempit itu bisa untuk tiduran dan kegiatan lainnya.Mendengar panggilan ibu, aku segera keluar kamar dan menghampirinya. Kucium tangan ibu yang sudah renta. Aku duduk bersimpuh di hadapannya.Wajah ibu nampak lebih ceria dibanding hari-hari kemarin. Walaupun beliau masih belum mau menerima hadiah kalung dariku. Aku tidak mau memaksa ibu."Pram, kalungmu coba lihat bawa sini," kata ibu dengan tersenyum.Sedikit kaget tapi hati ini senang karena ibu menanyakan kalung. Segera aku bangkit masuk ke kamar untuk mengambil kot