I*******m author : haniyahhputri
“Nyx Atlanta. Maksudku, Leona Veela Adams. Kau ditangkap atas kasus spionase industri. Kau berhak mendapatkan pengacara dan punya kesempatan untuk mengajukan banding.”
Dylan memborgol tangan istrinya yang sedang melayangkan tatapan terkejut padanya. Identitas pasutri tersebut telah terbongkar.
“Kau sungguh bukan seorang Pilot?” Atlanta masih tercengang.
Dylan menggenggam tangan Atlanta yang telah diborgol, menatap istrinya lekat-lekat kemudian menghela napas pelan. Menunjukkan bahwa Dylan juga tidak mudah untuk menghadapi situasi ini.
“Aku tahu, aku salah karena telah merahasiakan pekerjaanku selama kita menikah. Tapi jangan lupa jika kau juga memiliki kesalahan.”
Melihat Atlanta yang masih terbungkam, Dylan kembali berbicara.
“Tolong kerja samanya dalam penyelidikan ini Nyonya Adams.”
Dylan tak pernah membayangkan skenario terburuk sepanjang perjalanan karirnya selama tiga belas tahun. Menangkap istrinya sendiri.
***
2 tahun sebelumnya . . .
Atlanta berlari sepanjang jalan menyusuri jalan kecil demi menjauhi segerombolan orang yang terus mengejarnya. Penampilan Atlanta jauh dari kata anggun dan mewah. Dirinya hanya menggunakan hoodie hitam, celana panjang hitam, sepatu kets hitam seraya membawa ranselnya.
“Argh, sial.” Meski terus menggerutu, kaki Atlanta tidak berhenti berlari. Menjadi buronan bukanlah kali pertama terjadi pada Atlanta.
Tiba di tempat ramai, Atlanta mengubah kecepatannya menjadi berjalan dan membaur diantara kerumunan orang-orang. Diantara banyaknya toko-toko sepanjang jalan, Atlanta memilih untuk masuk ke dalam sebuah tempat makan. Tempat yang paling aman untuknya.
“Selamat datang,” sambut salah satu pegawai ketika melihat kedatangan calon pelanggan. Atlanta langsung memesan makan siang kepada salah satu pegawainya.
“Pukul berapa ini? Kenapa tidak ada meja kosong?” Atlanta mendengus kala melihat jam dinding yang menunjukkan jam makan siang.
Atlanta menyapu pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Mencari kursi kosong bersama orang asing.
“Duduk bersama si pria gendut? Aku pikir itu tidak baik.”
“Duduk bersama seorang wanita? Ah, tidak aman. Dia terlihat seperti orang yang suka menggosip.”
“Apakah tidak ada pilihan yang lebih baik?”
Sudut mata Atlanta menangkap seorang pria yang sedang makan sendirian. Pria itu berpenampilan rapih dan terlihat sopan. Tidak seperti orang yang rakus makan ataupun suka menggosip. Atlanta memutuskan untuk menghampiri pria itu.
“Hai, bolehkah aku duduk disini? Tidak ada lagi meja kosong yang tersisa.” Atlanta meminta izin.
Tanpa menatap siapa lawan bicaranya, pria itu menganggukkan kepala, memberikan izin Atlanta untuk duduk bersamanya. Terlalu sibuk makan untuk menghiraukan Atlanta.
“Terima kasih.”
Atlanta melepaskan hoodienya sebelum duduk di kursi. Tak lama kemudian, salah seorang pelayan mengantarkan makanan Atlanta berserta tagihan pembayaran yang harus Atlanta bayar. Tanpa banyak bicara, Atlanta mengeluarkan uang tunai sebagai metode pembayaran.
Selepas pelayan tersebut pergi, barulah pria tersebut membuka suara. “Aku pikir sudah tidak ada lagi orang yang menggunakan uang tunai.”
Atlanta tersenyum tipis. “Sayangnya di dunia ini masih ada aku yang lebih suka menggunakan uang tunai,” jawab Atlanta santai.
Pria itu mengulurkan tangannya, mengajak Atlanta berkenalan. “Dylan Jordan. Kau?”
“Le—On, eh Nyx Atlanta.” Atlanta membalas jabatan tangan Dylan dengan kaku. Tidak menyangka di situasi genting seperti ini sempat-sempatnya berkenalan dengan orang baru.
‘Atlanta? Astaga, apa yang aku pikirkan? Bisa-bisanya aku menyebut nama jelek Atlanta hanya karena aku melihat lukisan laut?’ rutuk Atlanta dalam hati.
Tak memiliki banyak waktu, Atlanta segera menghabiskan makan siangnya tanpa menghiraukan Dylan yang terus menatapnya sejak tadi. Seperti ada sesuatu yang ingin Dylan sampaikan.
“Katakan atau aku akan pergi?” lama-lama Atlanta merasa risih diintimidasi oleh orang yang baru dikenalnya lima menit yang lalu.
“Aku suka caramu menggunakan pisau.”
“Are you psycho?” Atlanta mendesis, “tidak ada orang yang memuji cara menggunakan pisau selain psikopat.”
Dylan tersenyum miring. Hanya melihat sekalipun Dylan tahu jika Atlanta adalah seorang profesional dalam bidang yang mengharuskan menggunakan pisau.
Mendengar suara kerincing bel pintu yang mendandakan calon pelanggan masuk, Dylan menatap seorang wanita bergaun biru yang sedang mencari keberadaannya.
“Kau tahu? Tempat yang sedang kau duduki sekarang adalah kursi kekasihku.”
Sontak Atlanta tersedak. “Kau gila? Kenapa kau membiarkan orang sepertiku duduk disini? Tunanganmu bisa salah paham.”
“Justru itulah yang aku inginkan.” Dylan menyeringai.
“Apa?” Atlanta tercengang karena Dylan tak menunjukkan rasa bersalah.
Plak!
Ketika wanita berpenampilan mewah tersebut datang dan langsung melayangkan tangannya di pipi Dylan. Refleks Atlanta menutup mulut saking terkejutnya. Saking kerasnya tamparan yang diberikan Emily, kejadian itu menimbulkan perhatian banyak pasang mata.
“JADI INI ALASANMU MEMBATALKAN PERNIKAHAN KITA?” teriak Emily berapi-api.
Emily menunjuk Atlanta menggunakan jari telunjuknya. “Kau benar-benar mengkhianatiku demi wanita berpenampilan lusuh tak tahu gaya seperti ini?”
“Apa? Lusuh? Tak tahu gaya?” Atlanta menganga mendengar hinaan yang didapatkannya barusan.
Dylan tetap tersenyum tipis dan bersikap dengan tenang. Tidak ada rasa bersalah yang Dylan tunjukkan sedikitpun. Dylan bertingkah seakan hal ini adalah hal yang paling diinginkannya.
“Emily, kenalkan. Dia Nyx Atlanta, kekasihku.”
“Atlanta? itu nama keluarga atau lukisan atlantis?” ledek Emily.
“Sialan. Seorang jalang akan selalu bernama Emily atau Sara,” gumam Atlanta.
“Tunggu dulu. Mungkin aku akan merasa lebih baik jika kau mengkhianatiku dengan pengusaha konglomerat ataupun politikus. Tapi, apa kau serius memilih untuk berkhianat dengan wanita yang berpenampilan seperti orang miskin ini?”
“Miskin?” Seumur hidup, Atlanta tidak pernah di hina seburuk ini. Atlanta berpenampilan acak-acakkan hari ini karena menjadi buronan dan harus berlari selama dua jam demi menyelamatkan diri.
“Emily, sepertinya kau sedikit salah paham.”
‘Emily? Oke, aku tandai namamu. Siapa suruh kau berani menghina mata-mata elite bayaran sepertiku?’ Atlanta mulai memberikan perhitungan pada wanita asing ini.
“Salah paham?” Emily berdecih sinis, “salah paham jenis apa lagi yang bisa aku dapatkan selain fakta kau membatalkan pernikahan kita?”
“Atlanta berantakan karena habis bercinta denganku,” alibi Dylan dengan santai. Seolah-olah yang disampaikan pria itu adalah fakta.
Mendengar jawaban gila yang Dylan berikan, Atlanta dan Emily kompak menatap Dylan penuh keterkejutan.
Plak!
Emily menampar pipi Atlanta hingga pipinya sangat merah, saking kerasnya tamparan yang Emily berikan. Atlanta tidak sempat menghindar karena masih kaget karena perkataan Dylan.
“Bitch,” umpat Atlanta. “Kau berani menamparku?”
“Kau yang jalang jangan berani mengataiku jalang,” sungut Emily.
Brak!
Terpancing emosi, Atlanta menggebrak meja lalu berdiri. Menantang Emily. Tidak peduli jika pertengkaran mereka kini menjadi tontonan banyak pasang mata.
“Pergi dari hadapanku sekarang juga sebelum kau menyesal.” Atlanta memberikan peringatan dengan nada dingin.
Tidak takut, Emily melipat kedua tangan di depan dada dan mengangkat dagunya sedikit. Belum merasa puas untuk menginjak-injak kedua orang di hadapannya ini.
Atlanta maju satu langkah kemudian berbisik. “Emily Augirel, seorang pengusaha gaun pengantin yang ternyata sudah menggunakan dan menyelundupkan narkoba selama dua tahun terakhir. Kau mau berita itu tersebar dan menghancurkan karirmu?”
Kali ini nyali Emily untung menantang Atlanta langsung menciut. Tidak ada orang selain manajer Emily yang mengetahui bahwa wanita itu seorang pecandu.
“Percaya diri sekali kau. Tidak ada bukti.” Emily masih berusaha melawan di sisa-sisa keberanian terakhirnya.
Atlanta mundur satu langkah, kemudian menunjukkan sebuah rekaman CCTV saat Emily mengkonsumsi obat-obatan terlarang. Dylan ikut kebingungan ketika melihat raut wajah takut, cemas dan marah Emily menjadi satu. Tidak dapat mendengar apa yang sedang mereka bicarakan.
“Jika kau pergi dalam hitungan lima, aku akan menganggap kejadian hari ini tidak pernah terjadi. Satu, dua—”
“Aku pergi.” Emily segera berjalan cepat keluar dari tempat makan.
Melihat kepergian Emily bak kucing yang baru saja di usir membuat Dylan penasaran sekaligus merasa kagum dengan Atlanta.
“Apa yang kalian bicarakan? Bagaimana kau bisa membuatnya pergi dalam hitungan detik?” Dylan benar-benar penasaran dengan cara Atlanta.
Cuek, Atlanta mengedikkan bahunya tak acuh. Atlanta kembali mengenakan hoodie, bersiap-siap pergi sebelum Dylan menariknya kembali ke dalam kekacauan.
“Hanya percakapan antar perempuan saja,” jawab Atlanta cuek.
Tanpa berpamitan, Atlanta pergi meninggalkan Dylan. Sebelum Atlanta pergi semakin jauh, Dylan segera mengejarnya dan meraih tangan Atlanta. Mencegah wanita itu pergi.
“Atlanta, karena aku sudah menarikmu dalam kekacauan, bagaimana jika kau bantu aku sekali lagi? Jadilah kekasihku.”
Haloo, ini karya pertamaku di Good Novel. Semoga kalian suka ya, jangan lupa ajak teman-teman, mantan, sepupu kalian buat baca cerita ini! Terima kasih!
“Atlanta, karena aku sudah menarikmu dalam kekacauan, bagaimana jika kau bantu aku sekali lagi? Jadilah kekasihku.” Kaki Atlanta berhenti melangkah, memutar balik badannya dan menatap Dylan yang tengah tersenyum kepadanya. Belum menjawab, Atlanta menatap penampilan Dylan dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rambut model curtain hairstyle, kaos lengan panjang warna putih bermotif garis abu-abu di bagian lengan, celana panjang warna abu dan sepatu kets putih. Atlanta berdecak pelan menyadari pria di hadapannya ini bak anggota boyband era 90-an. “Kau pikir kau anggota Westlife? Kenapa bergaya norak dengan rambut belah tengah?” cerca Atlanta blak-blakan. “Aku tidak berniat menjalin hubungan. Cari wanita lain saja,” sambung Atlanta kemudian pergi keluar tanpa menghiraukan Dylan lagi. Atlanta tidak ingin menarik diri ke dalam masalah. Terlebih lagi dengan orang asing. Tak ingin kehilangan jejak Atlanta, cepat-cepat Dylan pergi keluar menyusul
“Kau harus membayarku hari ini. Jasaku sangat mahal pertiga puluh menit. Aku tidak menolong sembarang orang,” bisik Atlanta sebelum mereka menghampiri lingkaran para petinggi yang hadir malam ini. “Kau bilang uangmu banyak, tidak butuh uangku,” jawab Dylan cepat. “Bayarlah menggunakan cara lain. Aku tunggu.” Atlanta mengedipkan matanya sebelah, membuat Dylan merengut. “Teman-teman, kenalkan, dia Atlanta, kekasih putraku Dylan.” Veronica memperkenalkan calon menantunya dengan perasaan bangga. “Halo semuanya. Selamat malam,” sapa Atlanta hangat dengan seulas senyuman manis. “Empat puluh lima derajat darimu adalah Lee Tania, seorang politikus dan minggu lalu menjadi bintang tamu sebuah acara talk show. Dia memiliki hobi bermain golf. Dia menyembunyikan suaminya yang berada di penjara atas kasus penipuan investasi lahan. Cari tahu dimana uangnya disembunyikan.” Mendengar informasi yang Lay berikan membuat Atlanta semakin berseman
“Mari kita bertemu lagi nanti,” ujar Atlanta, merasa tidak enak dengan perhatian Veronica yang telah diterimanya. Veronica melepaskan pelukan mereka dan menatap Atlanta dengan berbinar. “Benarkah? Kau harus janji!” Atlanta mengangguk. “Aku janji.” Senyuman Veronica semakin merekah setelah mendengar janji yang Atlanta berikan kepadanya. Dylan juga tidak menyangka jika Atlanta akan membantu sejauh ini. “Kalau begitu, aku harus pergi. Aku sudah terlambat,” pamit Atlanta. Sehabis memberikan salam perpisahan, barulah Atlanta dan Dylan keluar dari ruang acara yang mewah. Di lobi hotel, Dylan dan Atlanta berdiri berhadapan. “Terima kasih, kau berhasil menjadi kekasihku walau ada kecerobohan tak terduga. Padahal kau tidak perlu sejauh itu sampai berjanji dengan Ibuku. Sekali lagi terima kasih telah membuat Ibuku senang.” Dylan benar-benar berterima kasih atas bantuan Atlanta. Atlanta tersenyum kecil. “Lagi pula janjiku dengan Ibumu tak
“Dylan?” “Atlanta?” “Ow, ternyata kalian saling kenal? Pasti ini takdir.” Kompak Atlanta dan Dylan memberikan Orion tatapan sinis. Tidak terima dengan kata ‘takdir’ yang Orion sebutkan. Rasanya kata tersebut terlalu berlebihan bagi mereka yang baru bertemu tiga kali. “Pergilah,” usir Dylan pada Orion. “Kau mengusirku ketika tidak lagi membutuhkanku?” Orion mendramatisir keadaan. “Aku mengenal wanita ini. Terima kasih sudah membawanya kepadaku. Kau tidak lagi diperlukan jadi silahkan pergi.” Orion berdecih sinis kemudian pergi meninggalkan Atlanta dan Dylan. Orion rasa perannya hanya sebagai penghubung peran utama saja. Selepas Orion pergi, barulah Dylan menyadari penampilan Atlanta hari ini. Penampilannya sama seperti mereka pertama kali bertemu. Hanya saja yang berbeda adalah Atlanta menggunakan celana pendek. Atlanta memberikan kesan yang sangat berbeda ketika tampil mewah dan tampil sederhana. “Jika aku tahu
“Nyx Atlanta, mari kita menikah,” ajak Dylan dengan penuh keyakinan. Sontak Atlanta langsung tersedak saking terkejutnya. Tidak menyangka Dylan akan melamar dirinya dalam kondisi Atlanta sedang makan bak orang kelaparan. Apalagi pertemuan mereka masih bisa di hitung oleh jari. Alih-alih menanyakan ‘maukah menikah denganku?’, lamaran Dylan lebih terdengar seperti orang yang sedang mengajak bermain. Bahkan orang yang mengajak kencan pun tak akan sesantai ini. “Apa kau gila? Kau mengajakku menikah atau mengajakku bermain?” cerca Athen. Dylan merubah mimik wajahnya menjadi serius. “Aku serius Atlanta. Aku tidak bercanda. Mari kita menikah,” ulangnya. Atlanta lebih memilih untuk mengabaikan lamaran gila Dylan. Orang gila macam apa yang baru bertemu tiga kali sudah langsung melamar? “Atlanta,” panggil Dylan karena Atlanta tak menghiraukannya. “Biarkan aku menghabiskan makanan terlebih dahulu, kau benar-benar membutku kehila
Siulan Dylan memecah keheningan sepanjang Dylan berjalan menuju Apartemen. Hari ini pekerjaannya tidak membuat Dylan sibuk sehingga Dylan bisa pulang lebih cepat. Hari yang jarang terjadi. “Ah, tidak biasanya aku pulang ke rumah bersemangat seperti ini. Apa karena pekerjaan hari ini tidak banyak? atau karena kini ada seseorang yang menungguku di rumah?” Dylan dibuat terkejut bukan main mendapati sosok Atlanta yang hilang kesadaran di depan pintu Apartemennya. Dylan langsung memangku Atlanta dan menepuk-nepuk pipinya berulang kali. “Atlanta! Atlanta! Bangun! Atlanta sadarlah!” “Ada apa dengan wajahnya? Kenapa pipinya sangat merah?” Dylan segera menggendong Atlanta ala bridal style ke dalam ruangan. Dylan langsung membaringkan Atlanta di ranjang. Berniat mengganti hoodie Atlanta yang sudah di basahi oleh keringat, Dylan melepaskan hoodie tersebut dan mendapati banyak luka lebam di tubuh Atlanta. “Luka seperti ini sudah san
Zunaira dan Orion tersenyum kaku ketika Dylan membukakan pintu untuk mereka. Mereka berdua kompak tersenyum seperti orang bodoh. Satu detik kemudian Zunaira dan Orion kompak berdecih sinis karena Dylan yang muncul, bukan Atlanta. “Aku kira Kakak cantik yang membukakan pintu,” rungut Orion. Setelah Dylan memastikan jika Atlanta belum menyadari tamu mereka telah datang, Dylan menarik Zunaira dan Orion keluar dan menutup pintu dari luar. “Ada apa?” tanya Orion. “Apa sesuatu terjadi?” tambah Zunaira. “Apakah dalam tiga hari ini ada kasus penyerangan di sekitar sini? Radius lima kilo meter.” “Dalam tiga hari ini hanya ada kasus perampokan mini market dan tabrak lari. Tidak ada kasus penyerangan secara fisik,” jawab Zunaira. “Ada apa memangnya?” tanya Orion penasaran. “Atlanta mendapatkan banyak luka lebam tiga hari yang lalu. Jelas-jelas itu luka semacam penyerangan atau penganiayaan. Dia bilang orang asing yang meluLaynya t
“Aku memperingatimu untuk segera membatalkan pernikahan kalian jika tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi diantara kalian.” Dylan terkekeh. Tidak menganggap peringatan yang Zunaira berikan dengan serius. “Kau cemburu karena aku menikah lebih dahulu dari pada kau?” “Aku serius Dylan!” suara Zunaira naik satu oktaf, merasa kesal karena Dylan tidak mempercayainya. Ting! Begitu pintu lift terbuka, Dylan memegang kedua bahu Zunaira kemudian mendorongnya pelan supaya segera masuk lift. “Aku akan masuk kerja besok. Jangan lupa siapkan apa yang telah aku pinta,” pesan Dylan. “Tapi Dylan, kau harus mempercayaiku. Atlanta bukanlah—” “Sampai jumpa!” Dylan melambaikan tangan setelah menekan tombol pintu lift. Hal yang terakhir Dylan lihat adalah raut wajah kesal Zunaira sebelum pintu lift tertutup dengan sempurna. Dylan menghela napas. Tidak ingin menganggap serius apa yang dikatakan oleh rekan k