"Mas, aku hamil."
"Astaghfirullah!" Lelaki yang berdiri di hadapanku terlonjak kaget. Gelas teh yang ia bawa terlepas dari tangan, jatuh berserak di dekat kakinya. Ia melompat mundur dengan wajah meringis. Tampak kepanasan oleh tumpahan air teh yang melebar menyentuh kaki telanjangnya."Astaghfirullah." Ia kembali mengusap-usap dadanya dengan wajah luar biasa kaget. Juga kecewa. Ya. Aku tahu kenapa lelaki tampan memesona ini begitu kecewa. Dan wajahnya ... kini terlihat luar biasa geram. Lima bulan lebih, kami tak pernah berhubungan suami istri. Bukan karena kami ada masalah, ya, tapi karena si Qila belum lama menikmati dunia. Suamiku tak pernah meminta melayaninya di tempat tidur karena tak ingin menyakitiku. Aku baru melahirkan 5 bulan lewat.Kami menikah 6 tahun lalu tapi baru dikaruniai Qila setelah tak putus-putus berdoa diiringi ihtiar. Puluhan kali kami ganti dokter kandungan dan akhirnya lahirlah Qila, bocah mungil berbadan montok yang tengah tengkurap di ranjang tak jauh dari kami. Bocah menggemaskan itu berceloteh sambil mengusap ibu jari. Sungguh menggemaskan bayi mungilku itu, bukan? Matanya yang bundar jernih dan pipinya yang gempil membuat tetanggaku selalu ingin menggendongnya.Kami hidup berbahagia. Sangat. Mas Rofi lelakiku tercinta ini amat lembut dan begitu penyayang. Aku pun sebaliknya, jadi semakin manja. Maklum, aku bungsu dari tiga bersaudara. Cewek sendiri pula. Jadilah aku dimanja orang tua dan dua kakak lelakiku. Tak sungkan, aku dan Mas Rofi bermesraan di depan ibu atau bapak mertua. Sampai kadang kakak iparku yang galak dan pendiam itu menegur. Ah. Sudahlah. Tak usah bahas kakak iparku yang jutek itu. Bisa membuat darting. Iya darting. Darah tinggi. "Kamu hamil sama siapa?" Terlihat lelaki gagah ini menahan amarah. Tatapannya tertambat pada Qila yang terus berceloteh riang. Eeeh. Eeeeh. Ah bocah itu lucu sekali sampai aku ingin berlari untuk menggendongnya, mendaratkan ciuman bertubi-tubi."Jawab kamu hamil sama siapa?!" Suamiku mengusap-usap dadanya dengan wajah seperti singa tengah mengintai mangsa. Enam tahun bersama, tak pernah kulihat suamiku semarah ini. Suamiku selalu lembut.Aku berpaling lantas tersenyum kecil. Kena, kamu, Mas. Ya. Ini adalah hari ulang tahunnya. Aku tak mau memberinya kejutan monoton yang biasa-biasa saja seperti tahun sebelumnya. Aku menghitung mundur dari 10. Sebentar lagi, lagu selamat ulang tahun akan menggema memenuhi ruangan lalu ibu mertua dan bapak akan keluar dari kamarnya membawa kue tar. "Jawab kamu hamil sama siapa?!" Nada suamiku semakin mengentak-entak. Aku menahan diri agar tak tersenyum. Di ranjang, si Qila tengah salah paham. Bocah itu menangis kencang, barangkali mengira tengah dimarahi ayahnya.Delapan.Tujuh.Enam.Suamiku menggigit bibir lalu kedua tangannya mengurut-urut dada. Wajahnya yang tadi sangat geram terlihat begitu kesakitan."Mas. Mas. Mas kamu kenapa! Maas!" Aku berlari ke arahnya hendak menolongnya yang terhuyung, tapi dia menepis kuat tanganku dengan tatapan memancar sinis penuh kebencian."Mas. Mas aku hanya bercanda. Mas!"Suamiku mengurut-urut dada sambil menggigit bibir tampak sangat kesakitan."Ibuuu! Bapaak!" teriakku histeris. Kedua mertuaku langsung keluar dari kamar dengan kue ulang tahun di tangan."Mas aku hanya bercanda, Mas!""Fi! Rofi!" Teriak ibu mertuaku panik, melempar kue dari tangannya begitu saja.Keringat membasah di wajah suamiku yang kini memucat. Tiba-tiba menggema lagu yang tadi kunanti-nantikan.Selamat ulang tahunSelamat ulang tahunPanjang umurnyaPanjang umurnya"Mas! Mas!" Teriakku histeris."Fii! Rofiiii!" Ibu tak kalah histeris. "Oeeeeek. Oeeeeek. Oeeeeek." Qila menangis keras setelah sempat terdiam. "Ayo bawa ke rumah sakit. Ayoo!" Teriak bapak yang juga terlihat syok. Selamat ulang tahunSelamat ulang tahunPanjang umurnyaPanjang umurnyaLagu itu mengiringi langkah kami yang tergesa menuju mobil.***"Ibu, Bapak, kami sudah berusaha. Tapi ...."Ucapan dokter yang menggantung membuatku sangat yakin ada yang tak beres. Aku langsung mendorong pintu lalu menerjang masuk. Mas Rofi terbaring dengan mata terpejam dan kedua tangan bersidekap di dada. Wajahnya begitu pucat. Aku memeluknya dan menangis kencang."Mas! Mas! Mas bangun mas! Aku hanya bercanda! Mas bangun!"Aku menoleh saat ibu dan bapak menyusul masuk. Ibu langsung mengusap-usap bahuku, berkata menenangkan seolah begitu tabah tapi mata ibu basah."Mas bangun Mas! Bangun Mas! Bangun Mas! Maaaas!" Kuguncang-guncang tubuh suamiku yang hanya diam. Aku kian terisak kencang.Pintu didorong kasar dari luar, tampak kakak iparku yang galak itu terpaku di ambang pintu. Tatapannya padaku ... penuh kebencian."Mas bangun Mas, kenapa tinggalin aku! Jangan tinggalin aku dan Qila, Maas! Maaas!" Kupeluk erat tubuhnya sambil tak henti berseru menyuruhnya bangun. Air mata di pipi kuseka cepat, tapi kembali mengalir deras, menetes membasahi wajah suami tercinta.Aku tercekat memandang wajahnya. Jantungku berdetak kencang membayangkan hari yang harus tetap dilalui setelah ini. Membesarkan Qila sendirian, mana aku bisa? Selama ini, seringnya Mas Rofi yang terbangun tengah malam menjaga anak semata wayang. Ia hanya akan membangunkan istrinya ini saat Qila menangis minta ASI. Kugigit bibir kuat dan tersengal, seolah batu sangat besar ditindih kan di dadaku. Amat sakit dan sesak rasanya sampai aku kesulitan bernapas."Mas, mas. Lihat aku, Mas. Jawab ucapanku!" Kuguncang-guncang tubuh lelakiku yang tak juga bergeming. Kenapa tega tinggalin aku, Mas? Mana janji yang selalu mengatakan akan setia dan mendampingiku sampai tua?Masih terpahat segar dalam ingatan, beberapa tahun lalu saat aku merebah di dada
Memangnya dengan menangis terus, bisa mengembalikan Rofi!" Terus saja begitu tatapan kakak iparku, sinis tak bersahabat. Aku terkadang heran, kenapa Mbak Mira mau bertunangan dengan duda satu anak itu. Aku sering memergoki saat ia berduaan dengan Mbak Mira di ruang tamu, seringnya duduk diam-diaman. Jika sosok Mbak Ndari tak terganti, kenapa memaksa membuka hati?Mungkin juga, alasannya karena ibu turut andil mencampuri hidupnya, tak henti menyuruh Mas Rasya menikah lagi demi Adnan. Anak lelaki kakak iparku itu tinggal bersama ibu karena Mas Rasya sangat sibuk. Bekerja dari pagi pulang sore, kadang menjelang dini hari. Rumah kami berdekatan, berjarak 3 kilo dari rumah ibu mertua. Jadi aku tahu betul kebiasaannya. "Puspita, sudah." Bapak berkata lirih. Tangan Qila kuangkat dari wajah Mas Rofi yang terus membisu, tampak begitu marah. Tak tahan lagi menanggung kepedihan, aku berlari pergi. Sakit rasanya, andai kamu tahu. Enam tahun kami ihtiar demi datangnya bayi, lalu setelah Qila me
"Bibi, ditunggu nenek di ruang makan. Cepet keluar, katanya nenek.”Aku yang tengah duduk melipat pakaian menoleh sekilas memperhatikan Adnan yang berdiri di ambang pintu. Setelah aku mengangguk kecil, bocah berumur 6 tahun lewat dua bulan itu langsung ngeloyor pergi.Kuhela napas dalam saat tatapanku terpacak pada foto Mas Rofi di atas meja. Di sebelah foto yang tersenyum lebar dengan tatapan menggoda itu, ada beberapa bingkisan kado warna-warni yang ditumpuk memanjang ke atas, membuatku lagi-lagi menghela napas dalam. Walau sudah empat bulan berlalu sejak kepergian Mas Rofi, tetap saja rasanya masih begitu sesak. Kado ulang tahun pemberian teman-teman Mas Rofi di hari suamiku merenggang nyawa itu, tak pernah dibuka sama sekali.Tanganku terus bergerak melipat pakaian lalu memasukkannya ke dalam koper. Di luar, terdengar Qila yang tengah tertawa riang dengan Adnan. Sesekali, Ibu mertua dan Bapak menimpali.HP yang berdering nyaring, membuatku dengan cepat mengangkatnya. Menempelkan k
Aku aib katanya? Maksudnya apa, yaa?! Seolah aku mau menikah dengannya saja. Bahkan hanya duduk seruangan dengannya saja aku tak ingin lama-lama."Hiiits, jangan bilang gitu. Puspita ini kesayangannya adikmu," ucap ibu."Tapi dia malah membunuhnya!" Ma Rasya menatapku sinis. Aku menggigit bibir merasakan perih yang berdenyar di dada.Seolah aku sengaja membunuh suamiku sendiri. Ya Allah, seandainya aku tahu, aku tak akan melakukan itu. Yang benar saja, masa aku dengan sengaja membunuh pengayom yang begitu dibutuhkan Qila.Tatapan tajam Mas Rasya yang menyiratkan kebencian kubalas tak kalah tajam. Lama-lama terus disalahkan membuatku kesal juga. Keberadaan Mas Hanif dan Mas Fadil membuatku semakin berani. Aku trus memandang Ms Rasya dengan mata yang perlahan memanas. Dan pada akhirnya, aku terisak lirih."Diapa-apain juga nggak dia nangis. Aku suruh nikah sama perempuan seperti itu, Pak, no! Mira mau dikemanakan!"Kulihat tangan kedua kakakku mengepal dengan wajah menegang."Kamu sejak
Aku memandang wajah Mas Rasya yang penuh lebam kebiruan dengan tatapan tak percaya. Lingkaran hitam menghiasi matanya yang terlihat sangat mengantuk dan rambutnya acak-acakan. Sepertinya, bukan hanya aku yang frustrasi dengan perjodohan mendadak ini. Ia juga."Mas yakin mau anter aku pulang?"Mas Rasya kembali meletakkan jari telunjuk ke bibirnya. Lalu mengangguk meyakinkan. "Cepat. Mumpung bapak dan ibu masih tidur."Ia masuk ke kamar, mengedar pandang ke sekeliling lalu melangkah tergesa mendekati koper dan tas besar yang kemarin sore telah kusiapkan. Tanpa cuci muka atau mengganti baju, aku segera menggendong Qila yang tengah terlelap di ranjang bayi kemudian dengan perasaan was-was menyusul langkah Mas Rasya. Jantungku berdetak kencang saat melewati kamar Ibu yang tertutup rapat. Tumben, Ibu jam segini belum bangun. Biasanya sudah heboh di dapur.Pintu mobil bagian depan sudah terbuka saat aku tiba di bibir jalan. Aku lekas masuk.Tanpa membuang waktu Mas Rasya langsung mengemudik
"Siapa bilang aku mau menikah dengannya, Bu. Tidak." Mas Rasya meletakkan tas dan koperku begitu saja lantas menyalami Mama dan Papa. Mata Ibu membeliak saat menatap ke arah benda berisi pakaianku dan Qila.Aku meringis, merasa tak enak hati pada perempuan yang langsung menggelengkan kepala dengan mimik jengkel itu.Ibu menghela napas, lantas berkata, "Kamu boleh tinggal di sini untuk sementara, Pus. Nanti, sebulan lagi kamu akan nikah sama Rasya." Perempuan bertubuh tambun itu kini ganti menatap anak sulungnya yang duduk di dekat Bapak. Lelaki itu memang jarang bicara, mirip dengan anak sulung. Tapi, jangan salah, sekali bicara tajam benget. Beda sekali dengan Mas Rofi. Lagi-lagi teringat wajah suami tercinta saat merenggang nyawa, rasa nyeri menyeruak ke dalam dada. Aku menggigit bibir dan menarik napas, membuangnya pelan.Jantungku mengentak kuat saat tatapanku dan Mas Rasya bertabrakan. Seperti biasa, sinis dan tajam. Seperti harimau mengintai mangsa. Aku menikah dengannya? Ih, ma
Pov RasyaAku terperanjat bangun saat terdengar gedoran keras berulang-ulang ditingkahi teriakan si nenek heboh. Aku menatap jam dinding. Pukul 6. Perasaan baru saja lelap, sudah pagi saja. "Le! Cepat bangun, Le!" Tok tok tok! Brak! Brak! Braak!Suara itu kembali menggaung memecah pagi. Kasihan tetangga jadi terganggu gara-gara ulah perempuan itu yang sudah bikin masalah saja. "Oalah, Le, Le, dibangunin kok gak bangun-bangun gimana, too!"Siapa yang tidak bangun kalau bunyinya berisik begitu? Heran, pagi-pagi sudah menyatromi tempat tinggal anaknya saja. Walau bunyinya begitu berisik dan sangat mengganggu, tetap saja aku bergelung selimut tebal berusaha menebalkan telinga. Acuhkan saja, nanti juga capek sendiri dan pulang ke rumahnya. Brak! Brak! Brak! "Le! Ini ibumu, durhaka kamu, Le!"Aku mendesah sebal. Tetangga-tetangga juga tahu kalau dia ibuku apalagi aku, sudah hafal benar suara cemprengnya itu. Heboh. Ibu super menyebalkan. Sangat sangat menyebalkan. Sudah berulangkali aku
Dari tadi, mobil hanya berputar-putar. Sebenarnya dia mau mengajak ke mana, sih? Aku meliriknya yang tampak begitu kesal. Lalu menatap ke luar jendela, jalanan sepi. Ini di mana, lagi. Aku sama sekali tak mengenali daerah ini. Sepertinya ini bukan lagi di Tanggerang. Apa jangan-jangan, yang kutakutkan benar Mas Rasya mau membuangku?"Mas kita mau ke mana?" Dengan dada berdebar, aku menoleh padanya."Berisik. Nanti juga tahu!" Sahutnya jutek yang membuat jantungku bertalu kencang. Jangan-jangan, benar, aku mau dibuang.Kuraih HP untuk memastikan GPS aktif. Lalu mengetik pesan pada Mas Hanif.(Mas ngikutin aku, kan?)(Dalam pantauan.) Balasnya.(Sama Mas Fadil apa gak?) Send(Gak. Mbak Rika minta dianterin belanja.)(Oke.) Balasku. Syukurlah kalau Mas Hanif mengikutiku. Aku menoleh ke belakang. Mobil Mas Hanif tak tampak. Jangan-jangan bohong, lagi.(Mas, aku di mana, coba.)Ceklis dua telah berganti biru terang. Lama menunggu tak juga ada balasan. Mas Hanif bohong, nih, jangan-jangan.