Nasi Berkat 30
"Mak, Mak tau gak ada yang meninggal. Tadi pas aku pulang udah ada bendera kuning diujung jalan," Erna berucap sambil tangannya sibuk memisahkan irisan cabai dengan pepaya muda yang dirajang kasar."Meninggal, siapa?" tanya Mak Siti sedikit kaget. Ia meletakkan pisau yang ia pegang dan menatap Erna serius.Erna hanya mengangkat bahu tanda tak tahu. Ia juga tidak menoleh sedikitpun, asik dengan tumis pepaya muda dipiringnya."Ck, ditanya kok malah koyo ngono to jawabane," sungut Mak Siti kesal."Tenanan iki, Nduk?" tanya Mak Siti lagi dengan sedikit menekan suaranya dan menatap putrinya itu tajam. Ia gregetan melihat Erna menanggapi ucapannya hanya dengan mengangkat bahu.Erna menaruh piringnya di amben, lalu menoleh menatap Maknya. "Yo tenan lo, Mak, masa ngapusi. Tadi aku buru-buru mau nanyain soal itu juga, tapi keburu Emak ngomel. Udah gitu perut laper," ucap Erna sambil nyengir danNasi Berkat 31"Mak...," panggil Pak Kasno pelan.Mak Siti mengusap air matanya kasar, dan mendongak. Menatap wajah Pak Kasno dengan tatapan yang entah, sulit diartikan."Kenapa?" Pak Kasno bertanya sembari menggelar sajadahnya."Gak apa, Pak!" Mak Siti menjawab sambil menundukkan wajah, tak berani menatap wajah sang suami."Ora ilok ngapusi karo bojo!" Pak Kasno menatap lekat istrinya.Mak Siti mendongak, memberanikan diri menatap suaminya dengan senyum yang dipaksakan. "Salat dulu, Pak. Mak mau bangunin Erna, udah sore."Pak Kasno hanya menghembuskan nafas berat melihat sikap istrinya. Biarlah nanti malam tanya lagi. Berusaha khusuk dalam salat walaupun pikiran sebenarnya kemana-mana.***Semilir angin sore berhembus dari jendela kamar Erna yang masih terbuka. Membawa hawa dingin karena hari memang sudah senja. Ia meringkuk lebih dalam, memeluk guling usangnya dengan erat.Pekerjaan Mak Siti yang terpaksa ditinggalkan karena harus melayat kerumah Bu Jaya sudah rapi semua.Badan keci
Nasi Berkat 32"Mak, galah yang di samping gubuk, kamu yang benahi ya?" tanya Pak Kasno sesaat setelah masuk kamar dan mendapati sang istri sedang merapikan tempat tidur dengan sapu lidi kecil."Iya, Pak!" jawab Mak Siti singkat tanpa menoleh, masih mengibas-ibaskan sapu diatas kasur.Salah satu kebiasaan dan adab sebelum tidur yang selalu Mak Siti lakukan, selain wudhu dan dzikir serta doa sebelum tidur adalah membersihkan tempat tidur dengan sapu liidi kecil, khusus untuk tempat tidur. Hal itu juga ia ajarkan kepada Erna, dan hampir tiap hari selalu mengingatkan putrinya, takut lupa katanya.Pak Kasno mengelap wajahnya dengan handuk yang tersampir dibelakang pintu. Ia lalu mengambil kaos oblong dari lemari.Mak Siti yang baru saja usai membereskan tempat tidur dan duduk ditepi ranjang, menatap heran pada Pak Kasno. Pasalnya suaminya itu mengambil kaos yang sudah sangat lusuh. Bagaimana tidak, keteknya bolong, pu
Nasi Berkat 33"Nduk ...!"Mak Siti menghentikan langkah kakinya. Ia lantas menoleh kebelakang untuk melihat siapa gerangan yang memanggilnya. "Bude Lastri, tumben!" gumamnya lirih.Bude Lastri melambaikan tangannya, sebagai isyarat agar Mak Siti mendekat. Mak Siti tersenyum tipis, lalu mengangguk. Perlahan menghampiri Bude Lastri yang berdiri di teras rumahnya."Injih, Bude, pripun (iya, Bude, gimana)?" Mak Siti bertanya sopan."Seko layat, to (dari ngelayat, ya)?" tanya balik Bude Lastri sambil menunjuk bakul kosong yang dibawa Mak Siti dengan dagunya.Bude Lastri orangnya memang sedikit ketus dan dingin. Namun sebenarnya orangnya baik. Dia tidak suka basa basi dan banyak omong."Iya, Bude. Bareng sama yang lainnya tadi," jawab Mak Siti."Tegalku panen telo jalar, mbok menowo koe meh ngasak. Wite yo hurung dijipuki, iso dijipuk gawe bibit, opo meh didol gawe sayur. Pinggir omahmu rung ditanduri to?" jelas Bude Lastri panjang lebar dan diakhiri sebuah pertanyaan."Alhamdulillah, ter
Nasi Berkat 34Mak Siti begitu semangat menggoes sepeda tuanya. Terik matahari seolah tak mempan dikulitnya. Walau keringat sudah bercucuran, tapi senyum diwajahnya tidak pernah pudar.Begitupun dengan Erna. Sepanjang jalan ia terus saja berceloteh. Apapun hasilnya nanti, yang penting mereka usaha dan optimis.Kebun Bude Lastri sudah dekat, terlihat dari adanya mobil pick up yang parkir di seberang kebun. Ya, jalan menuju kebun memang tergolong lebar. Cukup untuk mobil dan motor lewat. Walaupun akan menyulitkan jika hujan tiba, karena jalan jadi berlumpur."Udah deket, Mak?" tanya Erna dari boncengan belakang, kepalanya sambil melongok kedepan."Sebentar lagi, itu didepan yang ada mobil pick upnya!" jawab Mak Siti, dengan menunjuk mobil pick up dengan dagunya, yang tentu saja tidak bisa dilihat putrinya karena Erna duduk membelakanginya.Sedangkan Erna hanya manggut-manggut mendengar penuturan M
Nasi Berkat 35"Lihat itu," Mak Siti menunjuk sayuran liar di hadapannya."Wahh, ini namanya rejeki, Mak. Banyak banget lagi, enak ini kalau diurap, bisa dijual juga!" terang Erna dengan antusias. Membayangkan makan urap esok hari saja sudah membuat Erna meneguk liur."Iya, enak banget sintrong sama tempuh wiyung diurap, baunya seger banget!" ujar Mak Siti tak kalah semangat."Yowis, kamu bantu Mak petikin sintrongnya yang gampang, biar Mak yang nyabutin tempuh wiyungnya!" sambung Mak Siti."Tapi ... ngasaknya belum selesai, Mak!" protes Erna.Mak Siti menatap putrinya dengan senyum yang teduh. "Yang kita dapat udah cukup, Nduk. Barangkali besok yang kerja di Bude Lastri mau ngasak juga. Kalaupun gak ada yang ngasak besok kita bisa kesini lagi, ini udah mau sore kasian Bapak di rumah sendirian!" tutur Mak Siti bijak."Lihat, udah mendung juga, kalau hujan malah repot nanti pulangnya!"
NASI BERKAT 36Indah bukan keluarga Pak Kasno dalam merajut nestapa menjadi bahagia. Ya, kuncinya ada pada rasa syukur.Entah sudah berapa banyak air mata yang tumpah. Seberapa berat beban yang mereka pikul. Semua itu mereka bingkai dengan senyum dan syukur. Menikmati apa yang mereka punya. Tidak perlu melihat apa yang orang punya, agar hati mereka tetap tenang dengan rejeki yang sudah tertakar untuk mereka.Erna menggeliat dari tidurnya. Perlahan membuka mata dan mengerjap, lalu menoleh pada jendela. Langit masih gelap, tapi hujan sudah reda, menyisakan rintiknya.Dengan perlahan beringsut dari tempat tidurnya. Berjalan mendekati jendela yang masih terbuka. Seketika tubuhnya meremang diterpa dinginnya udara dari luar."Dinginnya." Erna berucap sembari menggosok-gosok lengannya. Ia menghirup udara segar sore itu dalam-dalam. Dengan mata terpejam dan sudut bibir yang melengkung. Udara bersih dan segar jadi salah satu nikmat yang selalu ia
NASI BERKAT 37"Nggak gerah Pak Kasno pakai baju tebal begitu?" tanya Pak Rusdi menatap Pak Kasno risih.Pak Kasno tersenyum lalu menggeleng pelan. "Enggak, Pak. Biasa aja."Bapak-bapak yang lain lantas menatap Pak Kasno lalu sibuk mengobrol kembali. Sebagian besar dari mereka sudah paham kalau tubuh Pak Kasno tak sekuat mereka. Kadang justru lebih banyak sakitnya dari pada sehatnya.Hal pertama yang tetangga Pak Kasno tanyakan ketika bertemu bukanlah pekerjaan, tapi kesehatannya. Tubuh sehat menjadi hal luar biasa bagi Pak Kasno. Namun tak semua tetangga seperti itu, karena sifat orang pasti berbeda-beda."Nggak pantes banget tahlilan kok pakai baju kayak gitu," cibir Pak Rusdi."Mbok yang umum kayak yang lainnya," tambahnya lagi."Yang pakai baju Pak Kasno kok situ yang gerah sih, Pak." Bapak-bapak yang duduk di samping Pak Kasno menimpali ucapan Pak Rusdi yang menurutnya tak etis.Pak Kasno menghela napas pel
NASI BERKAT 38Sebelum subuh Mak Siti sudah bangun. Ia menoleh ke samping menatap sang suami yang masih pulas dalam alam mimpi. Berucap syukur sudah diberi tidur nyenyak dan umur panjang. Dengan perlahan menurunkan kakinya dan duduk di tepi pembaringan. Merapikan rambut dan menyanggulnya.Tempat pertama yang dituju tentu saja kamar mandi. Usai menuntaskan hajat dan mencuci muka, Mak Siti melangkahkan kakinya ke dekat sumur untuk melihat sayuran yang ia letakkan di bakul. Ia menyunggingkan senyum saat melihat sayuran itu masih nampak segar.Mak Siti mengambil bakul berisi sayur tempuh wiyung dan sintrong yang sudah ia pisahkan untuk dimasak sendiri. Menyiramnya dengan air agar bersih dan segar lalu mengambil baskom kecil untuk menampung air tirisan dari bakul agar tidak becek di mana-mana.Saat menaruh di amben dapur, matanya menatap kayu bakar yang ia letakkan di samping tungku. Ternyata sudah mau habis."Tinggal sedikit kayunya," ucapnya