Nayanika memejamkan matanya dengan sangat erat. Ia ketakutan. Tapi, ia juga sedang mencoba bertahan, dari keberingasan suami sahabatnya sendiri.
Gaun minim itu disingkap dan tubuh Nayanika digulingkan. Tapi saat akan bertatap muka, Nayanika segera menutupi wajahnya dengan punggung tangannya. Ia juga berpaling wajah, karena saking takutnya ketahuan juga.
"Hei, Sayang Ayo lihat ke sini," pinta Abiyaksa sembari mendekat dan mengungkung tubuh Nayanika.
"Nggak usah takut. Aku pelan-pelan kok. Aku coba sekarang ya?" ucap Abiyaksa dan rasanya, Nayanika sudah ingin sekali menangis. Bahkan, saat Abiyaksa, yang berusaha melucuti pakaiannya ini pun, Nayanika masih berusaha untuk mencegahnya juga. Tetapi, Abiyaksa terus berusaha menyakinkan Naya, bila semuanya akan baik-baik saja.
"Akh!" pekik Naya, yang langsung membekap mulutnya sendiri, setelah ia kelepasan berteriak tadi.
Ini sakit sekali. Laki-laki yang berada di atas tubuhnya, masih terus mendorong tapi belum juga bisa membuat segelnya terbuka.
Nayanika ingin sekali meminta belas kasih. Ia ingin menghentikan semua ini. Tapi, uang sudah di tangan bahkan sebagian sudah ia pakai untuk membiayai ibunya di rumah sakit dan juga membeli sebuah rumah kecil untuk tempat tinggalnya sekarang. Tidak lagi bisa melarikan diri. Nayanika, harus terima, apa pun yang dilakukan oleh pria yang sedang berada di atas tubuhnya ini.
"Akh!" pekik Naya lagi sambil dengan membekap mulutnya sendiri. Tubuhnya terasa menggigil. Ia gemetar. Ia pun merasa lemas, hingga kemudian, ia merasa sesuatu yang perih dan terasa robek.
Air bening yang terasa panas, meleleh dari kedua pelupuk mata. Rasa perihnya, hampir sama dengan rasa perih di hatinya ini. Hancur sudah masa depannya. Hilang sudah, hal yang seharusnya, hanya ia berikan kepada suaminya seorang. Mengelak tidak bisa. Mencegah pun sudah tiada gunanya lagi. Hanya bisa meratapi nasib, yang berbarengan dengan air yang terus menerus mengalir, dari kedua pelupuk matanya ini. Seperti dikoyak hidup-hidup. Nayanika hanya bisa diam saja, saat tubuhnya dihujam sesuka hati, oleh suami dari sahabatnya sendiri, yang kedengarannya sangat menikmati penyatuan mereka ini, hingga beberapa puluh menit ke depan.
"Aghh... Terima kasih ya, Sayang?" ucap Abiyaksa dengan napas terengah, setelah merasakan sensasi kenikmatan malam pertama, bersama dengan wanita, yang bukanlah istrinya itu. Dia juga, sempat membubuhkan sebuah kecupan, di pipi basah wanita ini.
"Kamu menangis? Apa sakit sekali tadi?" tanya Abiyaksa sembari mengusap pipi Nayanika yang terasa basah, di tengah ruangan yang gelap gulita. "Maaf ya, kalau memang sesakit itu," imbuhnya lagi, sembari membubuhkan sebuah kecupan lagi, di pipi Nayanika kembali. Nayanika tetap memalingkan muka, sambil meringis dan sambil meratapi nasib buruknya sendiri. Nasi sudah menjadi bubur. Mau disesali sudah tidak ada gunanya lagi. Tetapi setidaknya, dengan begini ia tidak lagi memiliki hutang, biarpun hal tersebut, sama saja seperti ia yang sedang menjual diri secara tidak langsung.
"Aku ke kamar mandi dulu ya sebentar," ucap Abiyaksa, yang kini menarik diri dan pergi meninggalkan Nayanika ke kamar mandi, untuk membersihkan tubuhnya.
Kesempatan. Nayanika turun perlahan dari atas tempat tidur, sambil mengais-ngais pakaiannya lagi. Ia gunakan pakaiannya tersebut dan terburu-buru keluar dari dalam kamar tersebut. Kemudian, dia pun pergi ke kamar lainnya, dengan wanita yang tengah duduk sambil menopang kaki di atas kursi yang berada di depan meja rias dan tengah mengikir ujung kuku-kuku jemari tangannya.
"Eh, Nay!" seru wanita itu, yang langsung bangun dan menghampiri wanita, yang nampak berantakan sekali itu.
"Terima kasih ya, Nay!" seru Meisya sembari memeluk wanita, yang matanya terlihat sembab ini dan tidak ada satu patah katapun, yang keluar dari mulutnya.
Nayanika melepaskan dekapan temannya ini dan berjalan ke kamar mandi dengan tertatih-tatih. Meisya cepat-cepat mendekat, sebelum pintu kamar mandi tertutup rapat.
"Nggak ketahuan kan, Nay??" tanya Meisya dan sebuah gelengan kepala menjawab pertanyaan tersebut.
"Sekarang, dimana Mas Abiyaksa-nya??" tanya Meisya.
"Kamar mandi," jawab Nayanika dengan suara yang serak.
"Ya udah. Kamu mandi dan tidur di sini dulu aja ya? Besok pagi, baru kamu pulang," suruh Meisya.
"Nggak, Mei. Aku langsung pulang aja. Kasian ibuku di rumah dan juga adikku," jawab Nayanika.
"Yakin? Tapi aku nggak bisa antar kamu lho. Nanti, Mas Abi cari-cari aku lagi," ucap Meisya.
"Iya. Nggak apa-apa kok, Mei. Nanti, aku naik ojek online."
"Ya udah. Kalau gitu, aku tinggal dulu ya. Kamu hati-hati di jalan," ucap Meisya, yang kini melenggang pergi ke kamarnya tadi.
Baru memasuki kamar dan menutup pintu. Pria yang sudah keluar dari dalam kamar mandi, beberapa saat tadi pun, melihat sosok yang tengah menghadap belakang, karena sedang mengunci pintu kamar ini kembali.
"Kamu habis dari mana??" tanya Abiyaksa dan Meisya sempat melonjak kaget, lalu melihat siluet tubuh yang hanya berbalut handuk dari pinggang hingga lututnya itu saja.
"Eum, aku... A-aku habis cari angin dulu tadi, Mas," jawab Meisya dengan terbata.
Abiyaksa segera mendekat dan memeluk erat wanita, tepat di bahunya, karena ia yang memiliki tinggi badan dua puluh lima senti lebih dari kepala wanita, yang ada di dekapannya ini.
"Maaf ya? Apa masih sakit?" ucap Abiyaksa dan wanita yang ada didekatnya ini tentu saja menggeleng.
"Nggak kok, Mas. Aku kuat kan. Cuma sakit sedikit. Setelahnya, malah buat aku melayang," ucap Meisya sambil tersenyum lebar.
"Yang benar? Tapi tadi, kamu menangis lumayan lama juga."
"Em, ya namanya juga baru pertama kali kan, Mas? Jadi ya wajar. Ya udah. Ayo, kita tidur. Kita istirahat," ajak Meisya sambil mendekap Abiyaksa juga dan menggandengnya ke atas ranjang.
Sementara itu. Nayanika yang berada di kamar sebelah. Kini tengah bermandikan kehampaan, di bawah guyuran air shower yang hangat. Ia usap seluruh tubuhnya. Terutama pada bagian pipi maupun leher, yang tadi sempat dijelajahi seorang pria, yang adalah suami orang.
Tidak waras. Ia seperti orang yang gila saja. Karena, dimana ada wanita waras, yang memberikan tubuhnya kepada suami orang lain begitu? Apa juga, yang akan didapatkan oleh suaminya sendiri, bila apa yang berharga dari dirinya sekarang, malah sudah ia relakan untuk pria lain.
Bodoh. Sungguh benar-benar bodoh. Ia telah menjual harga dirinya. Ia telah menukarnya dengan uang dan sekarang, ia bahkan tidak tahu, pria mana yang mau , dengan wanita yang sudah ternoda seperti dirinya.
Air mata sudah terasa kering. Ditangisi seperti apapun itu, tidak ada gunanya lagi. Kini, hanya tinggal menyusun kembali puing-puing hidupnya yang telah hancur ini dan memulai kehidupan yang baru, dengan hanya terfokus kepada kesembuhan ibu maupun masa depan adik satu-satunya.
Tangan kanan Nayanika terulur, untuk menghentikan aliran air, yang membasahi tubuhnya ini. Kemudian, ia raih handuk dan dikeringkan nya juga, tubuhnya yang basah kuyup dan setelahnya, ia berpakaian lagi, lalu pergi dari tempat, yang sepertinya tidak ingin ia datangi lagi, karena di sini, ia sudah menghilangkan apa yang berharga, yang tidak akan pernah bisa kembali seperti semula lagi.
"Neng, atas nama Nayanika ya?" ucap seorang driver ojol, yang sudah menunggu di depan gerbang rumah.
"Iya, Pak. Itu saya," jawab wanita yang keliatan lesu serta tak berdaya ini juga.
"Ini helm, Neng," ucap driver tersebut, seraya memberikan helm dan kini sedang dipakai oleh Nayanika.
"Sudah siap, Neng?" tanya si driver itu lagi, saat Nayanika tengah memandangi jendela kamar, yang tadi sempat ia datangi hanya untuk mengantarkan keperawanannya saja.
"Iya, Pak. Ayo jalan," ajak Nayanika, yang kemudian berpaling muka dan tidak lagi melihat jendela tadi lagi.
Nayanika membekap wajahnya sendiri. Ia sedang berusaha keras, untuk menghentikan aliran air yang mengalir deras dari kedua matanya ini. Terlalu sering menahan, sekalinya air itu keluar, malah tidak mau berhenti juga sedari tadi. "Nggak apa-apa. Aku bisa. Aku kuat kok," ucap Nayanika, kepada dirinya sendiri. Tidak ada yang memberikannya support. Maka, dirinya sendirilah yang akan melakukannya.Nayanika terus menerus menarik dan mengembuskan nafas. Ia tenangkan dirinya yang penuh dengan kekalutan. Ia usap lagi pipinya yang basah dan kemudian, ia berjalan pulang kembali ke rumahnya. Setibanya Nayanika di rumah. Dia bergegas masuk ke dalam rumahnya lagi. Dia pergi ke dalam kamar dan melepaskan jaketnya di sana, lalu naik ke atas tempat tidur dan meringkuk di atas ranjangnya itu.Rasa laparnya belum hilang. Keinginannya pun masih belum padam dan sekarang, malah ditambah dengan mood yang hancur habis-habisan. Harusnya tadi, ia tidak perlu keluar. Tida
"Kak?? Kakak kok udah pulang jam segini?? Masih sore lho ini, Kak," tanya Mentari, yang sedang menyuapi sang ibunda di teras rumah."Iya. Kakak berhenti, Dek," jawab Nayanika lesu."Kenapa berhenti, Kak??" tanya Mentari."Ada masalah sedikit di tempat kerja. Jadi harus berhenti. Tapi nanti kakak cari kerjaan yang lain kok. Kamu sekolah aja yang bener ya?? Nggak usah mikir macem-macem. Spp bulan ini udah kan??" tanya Nayanika."Iya, Kak. Udah sih, Kak," jawab Mentari yang tetap kelihatan lesu. Ia tidak tahu bagaimana keuangan sang kakak sekarang. Kalau tidak bekerja, siapa yang akan mencari untuk ia dan juga ibu mereka??"Apa Mentari ikut cari uang aja ya, Kak??" ucap Mentari dan Nayanika malah terlihat membuat senyuman masam."Buat apa? Kalau kita kerja semua, nanti siapa yang jagain Mama?? Kamu tinggal belajar aja yang rajin. Masalah kerjaan, biar kakak yang urus. Kakak masih punya pegangan uang lumayan banyak kok. Kamu nggak us
"Jadinya mau pesan apa??" tanya Nayanika, tanpa peduli dengan ocehan Meisya tadi."Berikan yang paling mahal dan yang paling enak!" cetus Meisya sambil meletakkan daftar menu ke atas meja dengan agak kasar."Baik. Kalau begitu, ditunggu. Akan segera kami siapkan," ucap Nayanika, yang kini pergi dari hadapan sahabatnya sendiri."Pesan apa, Nay??" tanya Andre yang sudah siap-siap di dapur, untuk membuat pesanan."Mau yang paling mahal dan paling enak katanya," ucap Nayanika."Ah? Ya apa dong??" tanya Andre, karena takut salah."Macha latte sama beef bowl kan??" ucap Nayanika."Jadi, buat itu aja??" tanya Andre lagi."Ya iya," jawab Nayanika yang pergi untuk mengerjakan pekerjaan yang lain, saat customer yang benar-benar customer sudah datang."Ini, silahkan," ucap Annisa seraya menaruh pesanan milik Meisya."Kok kamu yang antar?? Waiterss yang tadi mana??" tanya Meisya dan Nayanika yang sedang mencatat menu bagi pelanggan yang lainnya, pun langsung menajamkan indra pendengarannya, saat
Nayanika mendorong ibunya yang duduk di kursi roda dan mensejajarkan dengan posisi kursi, yang baru saja ia duduki. Nayanika telan salivanya dan melirik pria, yang sedang membaca rekam medis milik ibunya. Garis wajah yang tegas. Model rambut side part, yang memberikan kesan dewasa dan juga berkelas. Kulit putih dan bibir yang terlihat merah muda, karena pria yang ditatapnya juga bukanlah seorang perokok. Wajar sekali, untuk ukuran seorang dokter, yang pastinya mengutamakan kesehatan. Belum lagi tangannya yang terlihat kekar, dengan urat-urat tangannya yang nampak menonjol itu.Nayanika memejamkan mata dan menggelengkan kepalanya sekali. Saat bayang sentuhan tangan itu, malah terbesit di dalam kepalanya juga. Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Jangan membayangkan yang bukan-bukan. Karena kenyataannya, laki-laki yang duduk di hadapannya sekarang, adalah suami orang."Nama pasien, Ibu Renata ya?" ucap pria tersebut sembari menatap Nayanika, yang malah berpaling muka ke bawah."Iya, dok,
Kini, Nayanika pun baru berani memutar kepalanya dan menatap sahabatnya, Meisya."Ha? Gimana?" tanya Nayanika."Gugurin anak itu, Nay! Jangan kamu biarin dia lahir! Gugurin dari sekarang juga!!" pekik Meisya, sampai tatapan ngeri itu, Nayanika tujukan untuk sahabatnya ini."Kenapa?? Kenapa aku harus lakukan itu??" tanya Nayanika."Kenapa?? Kamu tanya kenapa??? Jangan tinggalkan jejak apapun! Jangan sampai Mas Abiyaksa tahu, kalau kamu itu pernah tidur dengan dia dan lagi mengandung anaknya!!" seru Meisya, dengan amat sangat menggebu-gebu. Dia yang memulai permainan ini dan sekarang, dia juga yang panik sendiri.Meisya kira, Nayanika akan mengambil uang yang ia berikan. Namun, hal yang selanjutnya terjadi, malah membuat Meisya semakin tidak habis pikir jadinya.Amplop cokelat yang berisi uang tadi, kini malah ditaruh pada dashboard mobil, lalu diikuti dengan kata-kata yang dilontarkan oleh Nayanika juga."Aku nggak bisa terima itu," ucap Nayanika dan Meisya pun sontak tersenyum masam.
"Mas salah liat mungkin!" cetus Meisya."Ah masa? Aku ingat jelas kok mukanya. Dia teman kamu, yang waktu itu jadi bridesmaid kan?? Masa salah orang.""Ya bisa aja kan? Orangnya cuma mirip-mirip," ucap Meisya sembari mengoleskan krim wajah dengan terburu-buru.Abiyaksa bergeming dan mengingat-ingat kembali kejadian tadi. Terutama, di bagian wajah wanita, yang ia temui saat di rumah sakit.Tapi setelah itu, ia menoleh kepada Meisya yang sibuk mengusap wajah dengan krim dan berucap kepadanya lagi."Kamu sudah terlambat datang bulan belum?" tanya Abiyaksa dan Meisya hanya melirik kaku dan nampak tak terlalu peduli, dengan pertanyaan yang Abiyaksa ajukan."Belum! Aku kan baru selesai datang bulan Minggu kemarin!" jawab Meisya dengan sedikit ketus. Abiyaksa menghela nafas. Ia ingin segera punya bayi juga. Tanpa tahu, bila diam-diam istrinya selalu rutin meminum pil kontrasepsi, sedari masih berpacaran. Dia belum terpikirkan ingin memiliki anak. Masih ingin have fun. Masih menikmati masa k