Tubuh Nay perlahan terangkat. Wirabadra kembali ke dalam tangan Nay. Dia tahu bila energi itu dilontarkan dia pun akan terluka. Sinar dari tubuh Nay menghentikan serangan ketiganya. Sinar tersebut sangat mengganggu dan menyilaukan.Nay mengentak tangannya. Dorongan energi merambat cepat ke segala penjuru. Ketiga orang tersebut tidak punya kesempatan untuk menghindar. Tubuh mereka tercerai berai. Terbakar dalam sekedipan mata. Beberapa pohon di sekitar jalan pun nyaris tumbang karenanya. Nay mengatupkan tangan. Menyeimbangkan lagi energinya. Perlahan cahaya di tubuh Nay menghilang. Nay terduduk di tanah. Tubuhnya sangat kelelahan. Napasnya pun tersengal-sengal. Dengan sigap Gantari memberikan energi tambahan ke tubuh Nay. Kalau tidak, bisa dipastikan berdiri pun Nay akan sulit. "Kau terlalu memaksakan diri, Nay," kata Gantari keluar dari tangan Nay. "Kau belum bisa menggunakannya dengan baik. Energi yang masuk ke tubuhmu terlalu besar. Salah-salah tubuhmu yang hancur tadi, Nay. Kau
"Kami perpaduan dari semuanya. Rumit menjelaskannya. Kami hidup abadi sampai dunia ini berakhir. Di dunia bawah kami hidup berdampingan dengan makhluk-makhluk astral. Banyak dari mereka dipaksa untuk menjadi budak Anggaraksa yang pemimpinnya telah dibunuh Manendra. Kini dialah yang memimpin. Dari kabar yang beredar ayahmu sedang berada di dunia atas mencarimu." Giliran Mahesa memberikan keterangan. "Ya, aku sudah tahu. Biarkan saja dia mencariku. Aku tidak ke mana-mana. Pekerjaan dan keluargaku semua di kota ini," kata Nayara tenang. "Satu hal yang tidak bisa Manendra lakukan. Mengubah diri seperti kami. Dia bukan keturunan dari dunia bawah. Ajian kawastrawam hanya bisa dikuasi oleh keturunan langsung. Seperti kami ini," kata Mahesa lalu berdiri. Ia meletakkan sebuah belati di atas meja. Nay merasakan ada energi yang tak biasa. Satu persatu wajah para tetua dunia bawah berubah. Wajah-wajah itu tidak asing bagi Nay. Pimpinan perusahaan, pemilik usaha kuliner, pengusaha biro perjalan
Dengan percaya diri Rey menggandeng tangan Nay. Sebuah hall di hotel mewah dengan nuansa putih dipilih pasangan pengantin sebagai tempat resepsi pernikahan mereka. Bunga mawar putih segar menghiasi hampir setiap sudut ruangan. What a beautiful wedding. Rey mengenalkan Nay kepada beberapa kolega yang ditemuinya. Nay tampak sedikit canggung. Lebih banyak tetsenyum tipis atau sekadar bersalaman dan bicara seperlunya. Tentu topik pembicaraan mereka berbeda dengan keseharian Nay. Untunglah Rey cukup mengerti. Bukan hanya teman-teman Rey saja yang datang. Banyak wajah-wajah yang Nay kenal berada di sana. Termasuk Pak Bram. Mereka saling menyapa sebentar, bertanya kabar. Beberapa klien dari tempatnya bekerja juga ada. Dengan ramah Nay tersenyum dan menyapa mereka. "Kau kenal mereka, Nay?" selidik Rey melihat Nay tersenyum pada beberapa orang."Mereka klien, Rey. Nayara ini juga tidak kalah terkenal dengan pak polisi," ledek Nay."Awas jangan banyak-banyak senyumnya. Pak polisi tidak suka.
Tubuh Nay terasa lebih segar setelah mandi dan menghabiskan satu cangkir teh jahe hangat. Dia menggeser gorden jendela, membiarkan sinar matahari mengenai wajahnya. Menghirup aroma pagi yang masih segar. Samar terdengar suara Ki Brojo memanggil namanya. Nay menutup kembali gorden jendela. Ia tahu Ki Brojo tidak nyaman dengan sinar matahari. "Salam, Ki." Nay menundukkan kepalanya. "Pasti Ki Brojo sudah tahu kejadian semalam bukan? Alasan itulah Anda datang bahkan sebelum aku memberi tahu.""Ya, ini soal kekasihmu itu. Jiwanya berada di kawah dasar dunia bawah. Kami menyebutnya Astramaya. Api di kawah itu bernyawa. Tidak sembarang orang dunia bawah bisa ke sana.""Kakek buyutku anggota persekutuan. Beliau berasal dari dunia bawah. Itu artinya ada darah kakek mengalir di tubuhku ini, walaupun aku tidak tinggal di sana.""Kau betul Nay, kakek buyutmu salah satu dari kami. Namun, tetap kau memerlukan seseorang berunsur api untuk mengantarmu.""Agnimaya mungkin bisa," sahut Nay cepat. "Ka
Hamparan tanah tandus berpasir yang panas terlihat sepi seperti tak berpenghuni. Batu-batu besar berserak di antara ceruk yang sesekali menyemburkan api. Hewan-hewan berbentuk aneh muncul dari bawah bebatuan. Mereka seperti menyambut kedatangan Nay. Agnimaya terus bergerak maju. Hawa semakin panas. Jauh lebih panas dari tempat yang mereka lewati sebelumnya. Di tempat itu tidak terlihat dataran. Sejauh mata memandang hanya api terbentang. Agnimaya menghentikan laju tubuhnya. "Kita sudah sampai Nay. Lihat di depan sana, empat poros api yang menjulang. Mereka penjaga kawah Astramaya. Manendra pernah mengalahkan mereka. Itulah kenapa mereka mematuhi ayahmu. Kalau kau tidak bisa mengalahkan mereka, selamanya kau akan terkurung di sini. Aku tidak bisa membawamu kembali."Ada keraguan di hati Nay. Ternyata kawah Astramaya lebih seram dari bayangannya. Dia tidak pernah menghadapi makhluk murni berunsur api. Yang dihadapinya sekarang bukan satu tapi empat sekaligus. "Bagaimana, Nayara? Masi
Sebuah tendangan lurus Nay mengenai tepat di dada makhluk itu. Dia terjengkang. Pedang di tangannya terlontar ke udara. Dengan sigap Nay menangkapnya. Tidak menyiakan kesempatan Nay mengayunkan pedang itu ke arah kepala penjaga Astramaya. Sekali tebas makhluk itu tewas. Bahkan erangan pun tak sempat terdengar. Gemuruh angin seketika berputar di sekeliling mereka. Sebuah pusaran udara menarik tubuh dan kepala makhluk itu. Kobaran api semakin menyala besar. Nay tidak gentar. Tidak ada ketakutan sedikitpun di hatinya. Masih dengan api yang menyala-nyala di tubuh, Nay mengangkat dirinya yang sudah kembali ke ukuran semula ke udara. Jiwa Rey diletakkan mengambang dengan bantalan api di bawahnya. Dia harus cepat membawa jiwa tersebut. Pusaran angin di Astramaya semakin menjadi-jadi. "Bagaimana aku membawa jiwa ini?" Nay bertanya pada Gantari. "Tarik jiwanya ke dalam tanganmu. Cepat!" Nay menarik jiwa Rey dengan cepat. Dia harus membawa Wira bersamanya juga. Tubuhnya belum terlihat. Pus
“Lupa?” tanyanya melihat Nay seperti bingung. “Aku teman, Rey. Kita pernah bertemu dua kali. Di apartemen Rey dan di pesta dua malam lalu. Memang kita tidak berkenalan secara langsung. Tetapi Rey pernah beberapa kali menceritakan dirimu."“Oh, pantas aku tidak mengenali.” Nay menjawab tak acuh. Dia tidak suka laki-laki yang sok akrab seperti itu.“Oh iya, aku Dion, kami di kesatuan yang sama.”“Oh.” Nay menjawab pendek. Lalu mengeluarkan ponselnya. “Maaf ya, aku mau menelpon seseorang, kami sudah berjanji bertemu di sini. Permisi.” Nay berpindah tempat duduk. Tak lama Palguna mendekati Nay. Setengah berbisik dia meminta Nay mengikutinya. Mata Dion mengawasi mereka. Nay bisa merasakan itu. Tatapan menyelidik yang tidak bisa disembunyikan. Palguna dan Nay memasuki kamar tidur yang cukup besar. Nuansa abad sembilan belas sangat kental terasa. Ukiran klasik menghiasi tempat tidur berukuran besar dengan bed cover berwarna marun. “Di sini Mahesa dibunuh. Lihatlah siapa yang melakukan ini
“Ambil saja, Nay. Sudah lama kertas itu ada di sana. Catatan-catatan kecil Mahesa. Aku rasa bukan catatan penting. Dia menyimpannya begitu saja tanpa pelindung.” Palguna lalu mengambil tiga gulungan kertas tersebut dan memberikannya pada Nay. “Baiklah. Aku akan memeriksanya nanti. Aku harus pergi sekarang. Bila sudah tidak ada lagi yang ingin disampaikan, aku mohon diri.”“Iya, Nay, semua sudah kusampaikan. Mari aku antar.”Nay keluar dari ruang bawah tanah disusul Palguna di belakangnya. Sesampainya di ruang tempat jenazah disemayamkan, Palguna mengambil posisi berjalan di samping Nay. “Semoga kita bertemu lagi, Nay. Maafkan kami telah melibatkanmu dalam urusan ini.”Nay merasa tidak enak hati karena tadi dia berbicara ketus. “Maafkan aku juga karena mungkin berbicara tidak sepatutnya.”“Kami sangat mengerti posisimu, Nay. Jaga dirimu baik-baik. Mungkin setelah ini kita tidak akan bertemu lagi.” Palguna menepuk-nepuk pundak Nay. Mata Nay terasa panas. Dia hanya menundukkan kepal