Pertemuan kami hanya sekadar kebetulan saja.
***
"Jangan ngelamun, Rhena!" tegur Nea membuat lamunanku buyar seketika.
"Astaghfirullah kaget." Aku mengusap dadaku. Semoga jantung di dalam sana tidak copot akibat Nea mengagetkan. "Menikah saja aku belum siap apalagi memikirkan persoalan anak," lanjutku.
"Terus kenapa menerima pernikahan ini?"
"Itu karena orang tuaku yang menjodohkan." Aku menunduk tak ingin menatap Nea. Ada perasaan malu di dalam jiwaku mengumbar. Andai bisa menghentikan dengan semudah membalikkan telapak tangan atau dengan membeli pakaian yang masih bisa dikembalikan ke penjual jika tidak cocok seperti pasar dikampung.
"Tolak aja sebelum terlambat, Rhena."
"Nggak perlu, Nea, mungkin ini yang terbaik. Kata ortuku saja seperti itu." Padahal sudah aku tolak tapi kedua orang tua tetap keukeuh akan hal itu.
Tiba-tiba saja mobil putih berhenti tepat depan rumah. Aku hanya mengangkat bahu tidak mengenali mobil tersebut. Bisa saja itu tamu ibu atau bapak. Aku akan menjawab jika orang tuaku sedang keluar kalau nanti ada yang bertanya.
Dua orang kemudian ke belakang mobil. Lalu membuka pintu belakang, menurunkan kardus lumayan banyak entah apa isinya. Satu pemuda berkecamata masuk dan berdiri tepat di hadapanku.
"Ini disimpan di mana? Langsung saja aku minta masukkan ke dalam rumah. Ada yang bergambar minyak dan sirup jadi aku pikir isinya itu. Mungkin ini persiapan hari pernikahan.
Setelah turun semua. Satu pemuda kembali turun dari mobil. Tekstur tubuh tinggi membuatku mengenalnya. "Dari saya buat lo, eh maaf, maksudnya Anda, eh, kamu." Aku mengulum bibir menahan tawa begitupun Nea disampingku.
Dia terlihat sedikit malu, mungkin belum terbiasa menggunakan aku-kamu. Tak apa, aku maklumi orang dari kota. Mengingat aku juga pernah seperti itu saat sekolah. "Ambil." Aku kikuk menerima kotak tadi. Berarti semua ini dari dia.
"Terima kasih banyak." Kutundukkan sedikit kepala sekilas buat menghargai pemberian ini.
"Gue, eh, saya harus pergi. Salamin sama paman dan bibi saja," ujarnya lalu meninggalkanku berdua dengan Nea.
Setelah naik ke dalam mobil. Menjalankan mesin dan mulai meninggalkan depan pagar. Tak lupa memberi klakson sekali sebelum akhirnya mobil putih tadi menghilang.
"Apa itu Rhena?" tanya Nea langsung merebut kotak tadi. Dia lebih penasaran dari aku.
"Buka aja biar nggak penasaran."
Tangan mungil Nea cepat membuka kotak tadi. Betapa terkejut dirinya saat melihat isi kotak dengan coklat yang sangat banyak. "Wow coklattt!" seru Nea dia langsung mengambil satu silverqueen.
"Aku ambil satu." Plastiknya segera dibuka dan langsung mencomot ke mulutnya. Aku kaget ketika melihat isi kota tadi. Betapa banyak uang yang dia keluarkan untuk membeli ini, bahan-bahan di dalam sana juga pasti memakan uang yang banyak.
"Baik ya dia," ucapku ke Nea langsung diangguki. Berharap kebaikannya hari ini selalu seperti itu kedepannya. Aku harap semoga hubungan kami akan selalu membaik meski nanti ada pertengkaran atau perselisihan akibat salah paham. Tapi, aku harap semua akan terselesaikan baik-baik saja.
"Ciee dibawain banyak sama calon suaminya nih."
Tersenyum datar saat kalimat tadi diucapkan Nea. Dia yang memintaku tadi menolak pernikahan ini malah dia sendiri memuji calonku. Yah, calon suamiku. Betapa kaku lidah ini saat mengatakan kalimat itu.
"Itu tadi calonnya kamu, Rhena." Bukan Nea melainkan salah satu ibu-ibu tengah lewat. Mungkin tadi mereka melihat semuanya. "Iya, Tante," sahutku.
"Beruntung kamu ya dapat calon suami dari keluarga kaya sama baik juga," ucap salah satu diantara mereka. Lagi-lagi hanya senyum untuk membalas mereka.
"Nanti habis nikah jangan lupa balek liatin orang tua, tengokin mereka, jangan lupa diri." Entah siapa ibu tadi. Aku hanya tahu warna daster yang dia pakai itu merah.
"Nggak bakal Tante."
Mereka bertiga akhirnya berlalu. Entah cerita apa lagi setelah melihat pemberian Deni.
Dari tadi Nea menikmati coklat, betapa terkejutnya aku ketika melihat dia makan coklat ke dua. Bukan tidak mau bagi, takut saja jika nanti malam mengalami sakit gigi berujung aku yang disalahkan.
Pernah satu ketika di mana aku membeli permen satu bungkus. Nea memakan hampir setengah. Alhasil malam hari sakit gigi dan paginya mengeluh juga mengomel tidak jelas ke aku. Meski begitu Nea mengadu kesakitan dan memelukku.
"Tahu ga, Rhe, aku kemarin liat cowok ganteng banget. MasyaAllah aku terhipnotis cuma kegantengannya," ucap Nea mengingat-ingat pemuda yang dia maksud.
"Emang dia siapa?"
"Nggak tahu, mungkin dari kota. Pakaiannya nggak kea anak desa." Nea kemudian terkekeh diakhir kalimatnya.
"Udahlah, gausah mimpi banyak. Lagian buat apa coba? Toh 'kan kamu lihat doang." Aku berdiri dari duduk. Nea hanya mengangkat alisnya bingung.
"Mau ngapain?"
"Mau nyapu teras dulu." Sapu kuambil dari belakang pintu. Mulai menyapu teras, sebenarnya tidak sopan tapi tidak apa ini hanya Nea. Aku tidak suka jika teras kotor karena yang tadi bawa bahan memakai sepatu naik ke lantai.
"Rhena, kamu yakin akan mau menikah?"
"Nggak juga." Kepala berbalik menatap Nea masih tengah makan.
"Aku udah bilang tolak aja kalau nggak mau dan selesaikan sekolahmu."
Nea memang sedikit aneh, awalnya bilang tolak. Terus dia juga yang ngerespon seakan setuju ketika melihat barang tadi. "Kamu mau apa, sih? Tadi ngecie-cieein sekarang malah nyuruh nolak."
"Lah, kapan aku bilang setuju coba?"
Aku mendekat ke Nea. "Eh, eh, ngapain mau jewer?" Segera perempuan itu berdiri ketika tanganku ingin menjewer telinganya. Dia segera berlari ke luar pagar lalu ku kejar. Dan ....
Brukkk
Tanpa sengaja saat Nea berhasil lewat keluar pagar aku tiba-tiba menubruk seseorang tiba-tiba muncul. Aku melihat Nea sedang terdiam seakan terpukau melihat orang yang aku tabrak.
Dasar teman seperti apa dia? Saat aku gemetaran takut malah diam di sana tanpa ingin membantuku. Pelan-pelan memberanikan diri menatapnya. "Ma-maaf," ucapku sangat gugup.
Tidak bisa aku mengelak betapa tampannya pemuda ini. Pantas saja Nea terdiam di sana, ternyata membuatnya begitu karena paras pemuda ini. Jika aku tidak salah ingat, bukannya dia yang pernah aku lihat saat memetik cabai waktu itu?
"Tidak apa-apa, Dek. Lain kali hati-hati ya," ucap dia sangat ramah sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk. "Lo nggak apakan?" Gelengan dari aku cukup menjawab pertanyaannya. Saat itu juga dia kembali tersenyum lalu berlalu. Perempuan yang berdiri dibelakangnya ikut sambil memegang kameja dari belakang. Siapa dia? tanyaku dalam hati.
Mungkin pertemuan kita ini hanya sekadar pertemuan yang tak akan berarti apa-apa.***Hari demi hari berlalu begitu cepat. Tak terasa acara pernikahan akan terselenggarakan. Ibu, bapak, aku dan Nea ke kota mengecek gedung tempat berlangsungnya pernikahan. Bukan itu saja melainkan orang tua Deni memesang beberapa kamar di hotel di mana jarak antara gedung dan hotel cukup dekat hanya bersampingan saja.Ketika orang tuaku masuk gedung. Aku lebih memilih menarik Nea tidak masuk ke sana. Mengajak Nea berkeliling. Lebih tepatnya sedang mencari makan siang untuk kita berdua.Jujur saja aku tidak ingin ambil pusing persoalan pernikahan meski yang akan menikah itu aku. Aku hanya mengikut apa kata orang tuaku saja. Dan lebih memilih mencari makan disekitaran dari pada menghabiskan waktu di dalam gedung.
Kebahagiaan itu nyata, namun, bukan diperuntukkan kepadanya.•••Semua orang membaca doa ketika kata sah itu terlontar saat pemuda berumur 29 tahun mengucapkan ijab kabul yang kedua kalinya. Ucapan pertama kurang tepat karena terlalu gugup. Mungkin dia sedang memikirkan sesuatu dan tidak konsentrasi.Gedung putih terhiasi banyak bunga dan properti lain menambah kesan kememewahannya. Jujur saja aku sangat tercengang menatap semua ini saat pertama kali masuk di mana ibu berada disamping menuntunku duduk ditempat ijab kabul.Bukan lagi calon suami, lebih tepatnya suami. Yah beberapa detik yang lalu aku sudah menjadi istri sahnya baik secara agama dan hukum.Menghela napas begitu berat ketika kata amin terucap. Bola mataku berkeliling melihat betapa bahagianya mereka melihat seora
Telah terjadi, kini menguatkan mental untuk menghadapi.•••Aku menghela napas begitu berat dan masalah kasur setelah mengganti pakaian dari tas yang ibu bawakan 1 jam lalu. Ibu juga memintaku mengganti dan istirahat di kamar hotel sebelum besok pulang. Otot-otot badanku rasanya kaku juga tulang punggungku terasa remuk."Hari yang sangat melelahka
Masih bisa terhindar, entah untuk hari esok.•••Aku mengatur napas pelan-pelan dan mulai berusaha menetralkan diri. Sangat bingung dalam keadaan sekarang. Bersyukur dia tidak memaksaku untuk melakukan hubungan intim. Meskipun melakukannya dalam hubungan suami istri adalah hal yang wajar.Beberapa menit kemudian aku sedikit mendengar dengkuran pelan darinya. Mungkin dia juga sangat kelelahan hari ini. Pelan-pelan aku turunkan tangan dari perut kecilku. Setelah itu bangun diam-diam agar dia tidak menyadari.Mengusap dada saat berhasil lolos dari kasur tadi. Aku segera berjalan ke toilet untuk mencuci muka. Tak lupa menggosok gigi meski tadinya sudah. Setelah gosok gigi, aku menatap cermin besar di sana lalu kembali mencuci muka.
Menyusuaikan diri pada lingkungan baru tidaklah mudah.•••Setelah kejadian semalam tanpa sengaja mama dan papa mertua mendatangi kamar kami dengan raut wajah begitu panik. Dari ketukan pintu saja bisa menjelaskan mereka khawatir. Aku tidak sadar akan membangunkannya malam-malam akibat suaraku begitu keras.Saat terdengar ketukan pintu Deni langsung saja meninggalkan aku sedang berada dibawahnya. Segera kuperbaiki posisi pakaian dan rambut berantakan akibat meronta begitu keras saat dipelukannya. Namun, kekuatan perempuan seperti diriku kalah dengan Deni.Kami begitu terkejut mendapati pria dan wanita di mana kulit-kulitnya mulai termakan usia. Mereka langsung bertanya ada apa antara kami? Samar-samar aku melihat Deni hanya tersenyum jail sampai dereran giginya terlihat. Jujur saja aku
Semua akan baik-baik saja.•••Mama dan papa mertua pamit ketika barang kami sudah masuk ke rumah baru. Setelah mobil mereka menghilang dari penglihatan. Aku kemudian masuk rumah mengekor dibelakang punggung Deni penuh kecemasan bukan kebahagiaan.Betapa terkejutnya aku saat pertama kali menginjakkan kaki. Rumah sangat bersih dan sudah terisi barang layaknya rumah pada umumnya. Rumah minimalis berdesain mewah. Entah berapa banyak lagi uang yang dikeluarkan Deni membeli ini dan seisinya."Sini aku tunjukin seisi rumah." Aku hanya mengangguk lanjut mengekor dibelakangnya.Pandangan pertama ketika masuk dihadapkan ruang tamu. Setelah itu ada rak buku, televisi dan satu sofa panjang untuk bersantai sekaligus menjadi ruang kelurga.Dekat sofa ada pintu kamar. "Kamar kit
Perlakuan atas ketidak biasaan membuatku risih akan itu. ••• Suara alarm membangunkan aku setelah begadang karena terjaga. Melihat jam tertera sudah menunjukkan pukul 05.07 menit, berarti tidurku hanya satu jam lebih empat puluh menit. Menghela napas lega ketika melihat Deni masih terlelap dalam tidur dengan membelakangiku. Perlahan aku turun dari ranjang, sangat pelan agar dia tidak terbangun. Masuk ke dalam toilet berniat menggosok gigi dan mengambil air wudhu melangsungkan salat sendiri. Yah, seharusnya Deni menjadi imamku tapi dia lebih memilih tertidur. Setelah itu aku memakai kerudung. Melihat Deni masih terlelap. Entah apa yang harus kupanggilkan biar dia terjaga dari tidurnya. "
Menyesuaikan diri dari awal tidaklah mudah.•••Ketukan pintu dari rumah terdengar. Aku menghentikan tangan mendesain pada kertas putih yang aku minta dari ibu membawakannya. Alhasil ibu memasukkan beberapa alat tulis digunakan mendesain dalam koper.Merapikan secepat mungkin lalu memasukkan ke dalam kotak dan menyelupkan di bawah kasur. Setelah itu aku terburu-buru membuka pintu di mana Deni sudah menunggu."Mari masuk," kataku tanpa senyuman dan hanya menatapnya sekilas. Aku berlalu saat dia masuk, di mana dia duduk di kursi ruang tamu membuka sepatunya."Rhena," panggilnya membuat langkahku terhenti."Iya, apa?" tanya ku begitu polos."Ambil tasku ini dan bawa ke kamar, letakkan di meja," suruh dia langsung saja kuangguki dan mengambil tas hitam b