Share

Part 4. Bertemu Nea

Dia adalah seorang gadis yang ceria meski psikisnya tetap saja sedang terluka.

***

Tinggal beberapa hari aku akan menjadi seorang istri dari direktur tampan. Hal yang tak pernah aku bayangkan sama sekali. Bahkan tak pernah kumimpikan sekalipun. Mungkin itulah dikatakan jodoh. Kata orang sejauh manapun dia jika berjodoh akhirnya akan tetap bertemu.

Ada juga yang pacaran bertahun-tahun hanya menjaga jodoh orang di mana harus rela melepaskan dengan menerima yang sudah pasti. Tak heran juga, rata-rata seperti itu saling meninggalkan karena satu pilihan orang tua. Itu lebih baik, umurnya sudah mencukupi. Sedangkan aku? 18 tahun? Apa tidak terlalu muda? Meski ku akui di luar sana banyak yang sudah menikah diumur itu.

Aku sendiri bingung bagaimana mengurus suami nantinya. Dari apa yang dia sukai atau tidak sukai. Dan nantinya mulai menyusuaikan diri akan kehadirannya. Semoga saja dia bisa menerima aku apa adanya diriku ini, bisa menyayangi aku seperti orang tua sendiri.

"RHENA!!!" panggil seorang dengan lantangnya. Wortel tadi hampir tercabut aku urung dan memilih berdiri melihat siapa pemilik suara tadi.

Bibir membentuk senyuman bagaikan perahu saat aku melihat siapa perempuan tadi. Nea. Teman semasa kecil sekaligus sahabatku. Namun, semenjak aku tinggal di kota aku jarang bertemu dengannya kecuali berkomunikasi lewat W******p.

Nea tergopo-gopoh berlari ke arah rumah. Ada kantongan hitam dia pegang di tangan kiri. Poni tipisnya beratakan karena harus berlari. Perempuan itu tidak pernah berubah sama sekali, riang dan pecicilan seperti ini. Aku bersyukur bisa mengenal Nea dan menjadi teman dari kecil. Dia sering membuatku tertawa hanya melihat tingkah dan mendengar sejuta cerita yang dia punya.

"Kangennn bangetttt." Pelukan hangat Nea mendarat di mana dia sudah berdiri tepat hadapanku. Aku juga membalas pelukan hangat darinya. "Pasti bicaranya udah anak kota pake gue-lo, bener nggak?" tebak perempuan manis ini. Yah ... aku akui Nea itu manis dengan kulit kuning langsat dia punya.

Aku hanya tersenyum sebagai jawaban. Kenyataan kalau ada perbedaan bicara saat di kampung dan kota. Bukannya aku tidak ingin pakai aku-kamu melainkan teman ku di sana pada jijik mendengar. Katanya seperti orang pacaran saja. Meskipun awal-awal sangat kaku memakai gue-lo ke orang. Namun, setelah beberapa hari dibiasain sama mereka aku juga ikut terbiasa.

Kecuali jika berbicara dengan orang lebih tua, cara bercakap akan lebih sopan seperti berbicara dengan ibu bapak dikampung. "Gimana kabarnya kamu?" tanyaku saat pelukan kami terlepas.

"Alhamdulillah baik, kamu sendiri?"

"Alhamdulillah sehat, tapi aku kurang baik," ucapku. Aku tidak bisa membohongi perasaan lagi. Kenyataan sekarang aku kurang baik semenjak berita perjodohan itu sampai ke telingaku.

"Kenapa?"

"Kamu udah tahu kalau aku berhenti sekolah dan dijodohkan orang tuaku, Nea?"

"Hah? Seriusan? Aku nggak tahu sama sekali!" Terlihat jelas kebingungan Nea di raut wajahnya. Entah kenapa dia tidak tahu informasi ini ketika hampir satu desa tahu jika aku akan segera menikah.

"Aku nggak bohong. Aku lupa ngabarin kamu."

Nea mencubit lengan begitu keras sampai aku mengadu kesakitan. "Kok dicubit, sih?"

"Kamu nyebelin banget nggak ngabarin sama sekali!" kesal Nea lalu bersedekap dada.

"Aku lupa, abisnya di rumah aku selalu sibuk Nea. Setidaknya sekarang kamu sudah tahu."

Kuletakkan ember berisi beberapa wortel dalamnya. Mengajak Nea duduk di teras agar kami bisa mengobrol lebih nyaman. "Duduk sini dulu," pinta aku menyuruh Nea duduk.

"Ini buat kamu!" ujar dia memberiku kantong plastik hitam tadi.

"Ini apa?" Kedua alis terangkat seraya bertanya.

"Kue bolu aku bikin baru ke sini."

Aku membuka kantongan tadi, ternyata benar isinya kue bolu manis yang dibuatin Nea. Sudah lama sekali tidak memakannya. Sahabatku Nea tahu sekali jika aku menyukai bolu manis ini. Aku kemudian masuk dapur membawa piring dan juga dua gelas air putih ke luar. Sudah tidak sempat membuatkan Nea teh hangat gara-gara bolu yang ingin aku santap sekarang juga.

Nea yang tadi kesal wajahnya berubah kembali tersenyum ketika melihat ekpresiku menyantap bolu buatannya. Dua kata yang bisa aku sampaikan sekarang, 'sangat enak'. Tekstur bolu sangat manis dan tidak terlalu manis. Sangat pas untuk lidahku ini yang tidak suka dengan makanan terlalu manis.

"Kapan kamu akan menikah?"

"Satu minggu lagi." Nea terbatuk mendengar ucapanku barusan. Apa ada yang salah?

"Bentar lagi jadi istri dong. Bilang-bilang ya kalau aku punya ponakan."

Huk ... huk ... huk

Sekarang giliran aku terbatuk. Apa yang tadi Nea katakan? Ponakan? Jangankan memikirkan soal anak, menikah saja diumur segini tak pernah terlintas. "Apaan, sih. Aku nggak mau punya anak dulu. Orang aku masih sangat muda."

"Eh, kita 'kan nggak tahu nantinya gimana. Bagaimana kalo calon suami kamu minta buat anak? Hayoloh, katanya orang perintah suami minta jatah nggak boleh ditolak, entar dosa."

Seketika mataku terbelalak. Jujur aku belum siap memiliki anak diusia ini. Dan bagaimana jika suamiku nanti memintanya? Apa yang akan aku lakukan? "Itu benar, Nea?"

"Iyasih, kata orang gitu. Kan aku belum nikah mana tahu juga," ucap Nea. Alis kanan terangkat begitu saja.

Aku terdiam sambil menatap Nea. Perkiraan umur dia sekarang sudah 20 tahun. Kami memang beda 2 tahun, meski begitu kami selalu dianggap seumuran. Entah itu sikap Nea yang kekanakan atau aku yang dewasa menanggapinya.

Umur Nea sudah sangat cukup untuk menikah secara hukum tapi dia tidak menikah. Tantenya yang ngerawat dia tak pernah memaksa Nea meski tahun lalu ada yang ingin melamar Nea. Meskipun begitu tante Nea sangat mendukung apapun keputusan keponakannya.

Karena orang tua Nea sudah tidak ada ketika dia masih kecil jadilah Nea tinggal dengan tante yang sangat menyayanginya. Karena faktor ekonomi juga Nea tidak melanjutkan sekolahnya setelah lulus SMP dan lebih memilih membantu tante membuat kue pesanan orang.

Nea pernah bercerita bahwa tantenya tidak menyetujui pernikahan ataupun perjodohan dini. Oleh karena itu saat orang datang melamar Nea dia tahu apa jawaban keponakannya itu. Agar bisa lebih menghargai mereka, tante Nea tidak mengusirnya. Jujur saja aku salut pada tante Nea. Meski tinggal didesa pikiran dia sedikit terbuka perihal menikah.

"Jangan ngelamun, Rhena!" tegur Nea membuat lamunanku buyar seketika.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status