Share

NIGHTMARE
NIGHTMARE
Penulis: DLeea

Prologue : A Start

December 20, 2015

Jemari lentik milik gadis bernama Irene Broune melingkar disekeliling cangkir berwarna tosca berisi segelas coklat panas dari sang ibu, Hanna Broune. Sudah lebih dari satu jam salju pertama turun di Kota Hollo, gadis itu masih dengan setia duduk di kursi dekat jendela kamarnya. Mata birunya menatap pohon maple yang terletak tidak jauh dari trotoar depan rumahnya, daunnya kini mulai tertutup salju. Ah, sepertinya truk pengeruk salju harus bekerja ekstra mulai besok pagi.

Sudah lebih dari tiga hari Irene dan ibunya pindah ke Kota Hollo. Tetapi anehnya ia bahkan belum pernah sekalipun menjumpai tetangga depan rumahnya. Padahal Irene hanya ingin berkenalan atau jika bisa sekalian menjadi teman, karena dia merasa bosan ketika belum mendapat teman di tempat baru ini.

Pandangannya tertegun ketika mendapati seorang pemuda jangkung memakai hoodie berwarna hitam berjalan di trotoar depan rumah milik tetangganya. Wajahnya tidak bisa Irene lihat dengan jelas karena terhalang tudung hoodie yang pria itu kenakan. Sekarang minus -2° lalu apa yang dilakukan pemuda itu dimalam musim salju, apalagi jika dilihat dari gerak-geriknya tidak mencurigakan sama sekali. Bahkan perapian didekatnya masih tidak terlalu bekerja dengan baik untuk menghangatkan tubuhnya. Lihat saja! Ia yakin besok pagi pemuda itu akan terserang demam karena hanya keluar menggunakan pakaian seperti itu.

Langkah kaki pemuda yang sejak tadi dia amati membawanya ke halaman depan rumah diseberangnya.  Tetapi belum sempat Irene selesai, salju mulai turun dengan lebat hingga membuat penglihatannya terhalang dari luar sana. Helaan napas kasar terdengar dari sang gadis Broune. Ya, setidaknya dia tau bahwa seorang pemuda yang menjadi tetangganya.

Reviline Smith yang waktu itu masih berumur empat belas tahun menahan tangis disudut ruang kelurganya. Mendapati sang ibu yang sudah terbujur  kaku didepan kaki sang ayah, lantai yang semula berwarna putih kini terdapat banyak sekali bercak darah keluar dari bagian belakang kepala ibunya.  Di tangan kanan ayahnya, Andrew Smith terdapat sebuah pisau dapur yang digunakan untuk membunuh sang istri.

Reviline tidak pernah berpikir akan berada diposisi sekarang ini, keadaan yang harus membuatnya membenci seseorang yang dulunya ia bangga-banggakan. Pemuda itu bisa melihat tidak ada penyesalan dari raut wajah sang ayah. Kemudia kakinya tidak bisa menopang tubuhnya lagi hingga dirinya ambruk ke lantai.

"Wanita jalang.." Umpat ayahnya sembari memperlihatkan senyum yang menyeramkan.

Tubuh Reviline bergetar dengan sendirinya menyadari bahwa ia tidak bisa menahan tangisnya terlalu lama. Kilas baliknya begitu cepat hingga jerit keputusan begitu terdengar dari telinganya. Berulang kali hingga frekuensinya mengecil dan kemudian menghilang. Potongan puzzle dimana setiap sudutnya begitu asbtrak, memori masa lalu yang kelam begitu kental didalamnya. Hingga dia melihat siluet orangtunya mulai mengabur dari pandangannya.

Hingga Reviline bangkit dari posisi tidurnya dengan napas yang terengah-engah. Kepalanya teramat sakit membuat peluh ditubuhnya berjatuhan membasahi tempat tidur. Dengan cepat tangan kekarnya meraih kotak aspirin yang terletak didalam laci dekat tempat tidurnya. Memilih meneguknya beberapa butir berharap bisa menetralisir sakit dikepalanya.

Sudah banyak obat tidur yang dia minum agar mimpi buruk itu tidak kembali lagi. Jam menunjukan angka dua malam, waktu yang masih cukup panjang jika dia memilih melanjutkan tidurnya. Psikisnya merasa lelah tetapi matanya engga terpejam, pemuda itu begitu takut jika mimpi buruk tentang masa lalu kembali menghantuinya.

Kembali menemukan dirinya seorang diri dalam titik terendah dihidupnya. Tidak ada siapapun, suara alat pemanas terdengar begitu pelan hingga menjadi temannya dalam semu.

Reviline Smith yakin, matanya akan tetap terjaga sampai pagi tiba.

"Satu ducff coffe dengan cheese cake."

Irene terlihat mengenakan longcoat bermotif kotak-kotak itu sedang berada di  cafe yang terletak tidak jauh dari jalanan ruangnya.

Setelah menunggu beberapa saat di meja resepsionis sembari memperbaiki letak sarung tangan rajut yang ia kenakan. Pandangnya seketika teralihkan kepada seorang pemuda yang berjalan sempoyongan dari luar jendela besar didepan cafe. Pemuda itu sepertinya mabuk. Jalannya bahkan tidak terarah, tubuhnya beberapa kali menabrak orang-orang yang sedang berjalan di trotoar.

Irene Broune sontak menutup mulutnya dengan telapak tangan ketika pemuda itu beberapa kali dihajar oleh dua orang pria bertubuh besar didepan sana. Atensi orang-orang teralihkan ketika pemuda mabuk itu melayangkan beberapa pukulan tapi kembali tubuhnya terhempas oleh pria yang berkulit hitam mendaratkan pukulan diperutnya.

Sontak Irene Broune berlari keluar dari cafe menghampiri pemuda mabuk yang sudah terkapar di trotoar jalan.

Tidak bisa dibiarkan!

"Excuse me Sir, dia temanku." Suaranya menciut ketika mendapati dirinya berhadapan dengan kedua pria bermuka sangar didepannya.

"Apa benar dia temanmu?" Tanya pria dengan tatto ditangan kirinya.

"Tentu, Sir. Bisa dilihat dia mabuk."

Gadis itu menatap nanar. "Aku akan mengganti semua kerugian yang disebabkan oleh temanku ini."

Pria bertubuh besar dengan kulit hitam berjalan mendekati Irene "Tidak perlu, Sis. Cukup katakan untuk tidak mengulanginya lagi."

Ternyata mereka berdua orang yang baik tidak sama dengan asumsinya ketika melihat penampilan mereka dengan beberapa kalung rantai besar di lehernya, terlihat sangatmenyeramkan. Cocok sekali untuk menjadi seorang algojo atau mata-mata agen rahasia. Oke, salahkan dia yang terlalu banyak menonton film action dimalam hari.

"Thank you, Sir.."

Setelah beberapa saat mengambil pesanannya. Irene memutuskan memapah tubuh jangkung pemuda yang tingginya sekitar 190 itu kedalam mobil Audi miliknya.

"Ah, Shit! Dia berat sekali." Umpatnya ketika berhasil membawa pemuda itu masuk dikursi penumpang.

Tangannya meraih kotak P3K yangt terletak didalam tas kantong jok mobil. Namun belum sempat berhasil seketika Irene tersentak ketika merasakan pergelangan tangannya ditarik dengan cepat hingga membuat tubuhnya limbung diatas pemuda itu.

Cahaya lampu jalanan kota Hollo menyorot sedikit kedalam mobil. Dari jarak dekat Irene bisa melihat bulu lentik milik sang pemuda, hidungnya begitu simetris dengan bentuk wajah oval. Bibir bawahnya sedikit tebal dengan bibir atas yang tipis berwarna peach, disudut bibirnya terlihat darah segar. Ah, sepertinya bekas pukulan pria hitam tadi.

Suara desisan terdengar ketika Irene menyentuh perlahan bekas lukanya. Ada raut kesedihan yang terpancar dari wajah sang pemuda hingga Irene bisa merasakan rasa sakit yang pemuda itu alami. Irene tidak mengetahui sama sekali identitasnya yang ia tahu pemuda didepannya menyimpan banyak sekali luka.

Sadly, he needed someone to help him.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status