Share

Kejujuran Wisesa

Pak Nana sekali lagi meminta putranya, untuk mengatakan apa yang menjadi beban di hati. Kini Wisesa duduk di tengah, di antara kedua orang tuanya. Bu Yeni memberikan minum air mineral hangat untuk Wisesa, agar lebih lega dan ringan untuk berbagi cerita.

"Ibu, Bapak, Wisesa telah melakukan dosa besar. Maafkan Wisesa, sekali lagi maaf ...," lirih Wisesa masih dengan suara paraunya. Beban di hati membuat suaranya sedikit tertahan.

"Iya, Nak. Ceritakanlah, kami siap mendengarkan cerita apa pun," ucap Bu Yeni yang berada di sebelah kanan Wisesa. Tangan Bu Yeni tak henti mengusap punggung putranya.

"Esa ... sudah ...." Seketika Wisesa memeluk ibunya. Tangisnya kembali pecah, "Esa berdosa Bu. Esa ... sudah menodai anak gadis orang ...," ucap Wisesa terbata-bata, dengan suara yang kurang jelas, sebab mukanya tersembunyi pada pundak Bu Yeni. Ditambah lagi suara berat dan parau dari tangisan yang belum sepenuhnya reda.

"Apa, Nak?" Bu Yeni terkejut, tapi masih ragu. Dia melihat pada suaminya, mencari keyakinan dengan apa yang didengar barusan. Mungkin saja Bu Yeni kurang peka menyimak.

Kini Pak Nana menyentuh perlahan punggung putranya yang masih memeluk sang ibu. "Apa Bapak tak salah dengar, Nak? Kamu menodai anak gadis orang?" ulang Pak Nana, sebab tak yakin dengan pendengarnya tadi.

Wisesa tak punya keberanian untuk mengatakan yang kedua kalinya. Dia merespons pertanyaan bapaknya dengan anggukkan kepala.

"Astaghfirullah ... Nak! Hiks ...." Kini Bu Yeni yang menangis, berita ini seakan cemeti yang memecut tubuhnya. Tak mengeluarkan darah, tapi membekas luka, rasanya teramat pedih, sakit sampai ke ulu hati.

Begitu pun ekspresi terkejut terlihat jelas pada warna muka Pak Nana. Dia mengusap kasar wajahnya, kemudian menunduk dengan kedua tangan menggenggam rambutnya, kedua sikutnya ditaruh di kedua sisi paha. Saking syoknya, Pak Nana tak mampu berkata-kata.

Haruskah Bu Yeni dan Pak Nana marah? Semua sudah terjadi, emosi pun percuma. Walau mereka ingin rasanya berteriak memarahi anak sulungnya, yang mereka anggap bisa diandalkan menjadi penerus keluarga, contoh teladan untuk adik-adiknya. Namun, seakan kini wajah orang tua Wisesa dilempar kotoran, yang aromanya akan membuat orang-orang merasa jijik jika mencium kabar ini. Bahkan dalam pandangan orang-orang pun, akan menganggap tak ada harga untuk keluarga mereka.

Pak Nana menarik nafas dengan berat, dia mencoba menyikapi dengan bijak. Walau rasa dongkol, amarah dan tak habis pikir pada anaknya, dia harus tetap tenang. Masalah ini harus ada solusinya, tapi bukan kemarahan yang akan menuntaskan.

“Kami harus bagaimana, Nak? Jujur, Bapak kecewa dengan tindakanmu. Mengapa bisa terjadi? Setan apa yang merasukimu, sehingga kau melakukan tindakan yang ... ah ...!” Pak Nana tak kuasa melanjutkan ucapannya.

“Esa minta maaf  ...,” lirih Wisesa sekali lagi. Dia pasrah dengan reaksi orang tuanya, jika pun mereka harus marah dan menyiksanya.

 “Jujur, Esa. Bapak ingin marah, ini berat buat Bapak. Akan tetapi, tak ada untungnya juga. Sekarang bapak ingin tahu, siapa saja yang mengetahui kejadian ini?” tanya Pak Nana dengan posisi duduk yang sama seperti tadi.

“Sepertinya tak ada?” jawab Wisesa singkat.

Pak Nana yang masih menundukkan kepala dalam duduknya, kini menoleh heran pada putranya. Hal yang sama dilakukan oleh Bu Yeni. Dia melepas pelukan putranya, ditatap wajah Wisesa dengan kening mengkerut.

Suasana hening sesaat. Bu Yeni dan Pak Nana saling menatap, mereka sama-sama heran dengan kejadian yang putranya alami.

“Kamu melakukannya di mana? Apakah kalian saling mencintai? Kamu merasa bersalah telah menodai anak gadis orang? Mengapa kamu terlihat seperti orang takut? Jika kalian saling mencintai, lanjutkan saja ke jenjang lebih serius.” Berondongan pertanyaan dari Pak Nana, yang sebenarnya dia menutupi rasa marah dan bingung.

Ya, Pak Nana sendiri masih mencoba menenangkan hatinya. Satu sisi dia merasa sakit mendengar kabar buruk dari putranya, satu sisi dia harus bersikap bijak. Sehingga isi kepalanya masih belum stabil untuk berpikir. Takutnya malah membuat masalah semakin kacau, sebab tidak kontrol ucapan. Bagaimana pun, Pak Nana sebagai orang tua, harus tetap memberikan dukungan pada putranya, demi menjaga mental dan ketenangan batin.

“Aku tak ada hubungan apa-apa dengannya,” ucap Wisesa.

“Apa?” ucap Pak Nana dan Bu Yeni, hampir bersamaan. Diakhiri dengan aksi saling memandang lagi.

Hal yang aneh kembali membuat Pak Nana dan Bu Yeni tak mengerti. Namun, mereka tidak sampai memikirkan hal yang lebih jauh lagi. Mereka masih menganggap bahwa yang dilakukan putranya itu, sebatas salah pergaulan saja.

 Esa mengangguk pelan, kemudian melanjutkan ucapannya. “Esa ... melakukan itu, de-dengan pak-sa-an ...,” suara Esa gagap, berat sekali mengatakan hal yang sejujurnya, apalagi ini mengenai aib.

Bu Yeni dan Pak Nana refleks, menebak tindakan putranya adalah asusila. Namun, mereka hanya baru menebak dalam benak masing-masing. Rasa terkejut yang tak bisa digambarkan, saking kerasnya tamparan ujian dari apa yang dilakukan putranya.

Namun, kedua orang tua Wisesa masih berharap tebakan itu salah. Mungkin putranya berkata masih dalam keadaan bingung, sehingga tidak dapat memilih kata-kata yang tepat.

“Nak ... maksud kamu, em ... kamu memperkosa anak gadis orang?” lirih Bu Yeni, ternyata lebih tegar dari suaminya. Sedangkan Pak Nana masih terlihat syok.

Emosional seorang wanita dan pria memang berbeda, terlebih seorang ibu. Terlihat memang karakter wanita seperti lemah, tetapi dalam perkara sabar menghadapi anak-anaknya, sang ibu biasanya akan lebih tenang dari seorang ayah.

Wisesa mengangguk pelan, terlihat sangat berat membenarkan tebakan sang ibu. Kembali kata maaf ia lontarkan. Wisesa mengakui salah, dia khilaf, dia terpancing nafsunya.

Pak Nana menghela nafas dalam, dia sandarkan punggungnya pada punggung kursi. Seluruh urat nadinya terasa melemas, kemarahannya terganti dengan pasrah dan menyerah. Mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur.

“Setelah ini, apa rencana kamu? Bapak harap, kamu sudah merasa baik setelah menceritakan yang menjadi beban pikiran kamu,” ucap Pak Nana datar dan pelan.

“Esa ... bingung, Pak,” jawab Esa, lirih.

Seketika Pak Nana kembali duduk tegak, kemudian meraih lengan Esa dengan kasar. Dihadapkannya badan Wisesa pada dirinya, Pak Nana menatap tajam pada putranya itu. Bu Yeni menjerit, terkejut melihat suaminya lepas kontrol.

Wisesa pasrah, jika bapaknya mau mengamuk atau menyiksa dirinya sekalipun. Wisesa sadar, dia telah memberikan aib pada keluarga. Setidaknya, jika dia mendapatkan hukuman, mungkin itu akan meringankan beban hatinya, rasa bersalah akan sedikit terobati. Walau Wisesa mengerti, kesalahannya tidak dapat dibenarkan dengan alasan apa pun.

Pak Nana mencengkeram baju bagian leher Wisesa, tangannya gemetar menahan emosi. Didekatkannya wajah Wisesa pada wajahnya, dengan gigi saling menyatu, Pak Nana berkata, “Kamu bilang apa? Bingung? Di mana sisi gentelmu sebagai laki-laki?!” dengan kasar Pak Nana melepaskan cengkeramannya. Dia buang muka, seakan jijik melihat putranya. Wisesa sedikit terjengkang, untung ada Bu Yeni yang menahan. 

Tangan kanan Pak Nana yang menumpang di atas paha, gemetar mengepal. Sedangkan tangan kirinya berpegang erat pada sofa, napasnya tersengal naik turun. Kini posisi Pak Nana membelakangi Wisesa, masih dalam keadaan duduk.

Bu Yeni menangis tersedu, mengusap wajah putra sulungnya yang basah dengan air mata, bercampur keringat ketakutan. Kemudian dirapikan bagian baju Wisesa, yang berbekas tarikan kemarahan suaminya. Wisesa sesekali melirik pada sang bapak, dia tak berani berkata-kata lagi.

“Bapak ingin, kamu menyerahkan diri ke kantor polisi. Pertanggungjawabkan perbuatanmu,” ucap Pak Nana dengan suara berat, penuh tekanan.

Seketika Bu Yeni dan Wisesa melihat ke arah Pak Nana hampir bersamaan. “Kantor polisi?”Itulah yang ada dalam benak mereka.

Bersambung....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status