Share

Boneka bukan pacar?

Ardzan mengumpulkan seluruh karyawannya di lobby kantor, karena ada hal yang ingin dia sampaikan kepada seluruh karyawannya.

Setelah seluruh karyawannya berkumpul, termasuk Dinda, Ardzan langsung memulai pembicaraan.

"Oke, saya mengumpulkan kalian disini karena ada hal yang ingin saya sampaikan," kata Ardzan dengan wajah yang terlihat serius.

Memang kalau Ardzan berbucara dengan orang lain Ardzan bisa cool seperti ini, bahkan pasti tidak ada yang mengira kalau Ardzan itu pemarah kalau lagi sama Dinda.

Seluruh karyawan mengangguk.

Ardzan kembali melanjutkan pembicaraannya, "Untuk bulan depan, karena papa saya masih tugas di luar negeri  dan saya serta Dinda akan liburan ke bali. Jadi, seluruh wewenang perusahaan saya alihkan kepada sekretaris saya, Vionita."

Alisya menatap Dinda dengan sinis, padahal baru saja kemaren Dinda bilang kalau mereka ke Bali buat kerjaan, tetapi kenapa Ardzan bilang untuk liburan.

Setelah Ardzan selesai berbicara, ia menyuruh karyawannya untuk kembali melanjutkan kerjaanya masing-masing, sedangkan Ardzan malah keluar kantor.

"Kamu mau kemana?" Tanya Dinda, saat Ardzan akan keluar ruangannya.

"Gue ada meeting diluar, kayaknya gue bakalan lama, lo nanti pulang sendiri bisa kan?" Tanya balik Ardzan.

Dinda mengangguk, "Yaudah, hati-hati ya." Dinda tersenyum.

Namun, Ardzan tidak membalas senyuman Dinda ia malah langsung pergi dari hadapan Dinda. Alisya yang melihat kejadian itu langsung menggelengkan kepalanya, lalu menghampiri Dinda yang masih diam mematung menatap kepergian Ardzan.

"Lo liburan atau ada kerja sebenernya di bali?" Cetus Alisya yang saat ini sudah ada disamping Dinda.

"Maafin gue Lis, bukannya maksud gue bohongin lo. Tapi-" ucapan Dinda terpotong.

"Gue gapapa orang lain gak hadir diacara pertunangan gue, tapi engga dengan lo Din! Lo sahabat gue! Kenapa lo lebih mentingin liburan, ketimbang hadir dipertunangan gue?" Tanya Alisya, air matanya menetes setelah berkata seperti itu.

Dinda memegang pergelangan tangan Alisya, "Maafin gue, ini bukan mau gue."

"Kenapa sih lo selalu nurut sama pacar lo yang brengsek itu? Dia kasar sama lo, dia gak pernah ngerhargain lo!" Kata Alisya kesal dengan sikap Dinda selama ini.

"Tapi, gue sayang sama Ardzan Lis, gue gak bisa kalau harus mengakhiri hubungan gue gitu aja sama dia." 

Alisya terkekeh pelan, ia menghapus air matanya, "Lo sadar gak sih? Lo kayak bonekanya Ardzan!"

Dinda diam.

"Lo kayak yang diperbudak sama Ardzan!" Ujar Alisya.

Dinda Diam.

"Status lo emang pacarnya Ardzan, tapi lo kayak yang gak dianggap pacar sama Ardzan!

Dinda masih diam.

"Lo sadar gak sih? Lo harus buka mata lo Din, Ardzan gak pernah sayang sama lo! Ardzan bisanya cuma ngelukai lo! Dia bisanya nyakitin perasaan lo!"

Air mata Dinda perlahan keluar dari kelopak matanya, menetes pelan dan mengalir di kedua pipinya dengan sangat deras.

Dinda berlari meninggalkan Alisya, tak peduli seluruh karyawan Ardzan melihatnya dengan aneh, bahkan ia tak mendengar Alisya beberapa kali menyebut namanya.

Dinda masuk kedalam ruangannya, menjatuhkan badannya dibelakang pintu, melipat kedua kakinya dan menundukan kepalanya.

Tidak ada yang salah dengan perkataan Alisya, mungkin Alisya benar akan sikap dan perlakuan Ardzan kepadanya, tetapi apakah salah kalau Dinda bertahan? Dinda percaya Ardzan punya alasan kenapa Ardzan memperlakukannya dengan tidak baik. Lagi pula Ardzan seperti itu kepadanya karena Dinda yang salah, Ardzab tidak akan melukainya kalau Dinda tidak membuat masalah.

Bagi Dinda, mencintai itu harus punya rasa sabar. Bukannya dulu ketika Ardzan mengejar-ngejar Dinda selama hampir sepuluh tahun Ardzan bisa sabar, tapi kenapa Dinda tidak bisa mencoba untuk sabar? Kalau Ardzan bisa sabar, Dinda juga yakin kalau ia bisa sesabar Ardzan yang dulu.

Dinda menghapus air matanya, ia harus yakin kalau Ardzan mencintainya, mungkin caranya saja yang beda atau yang berubah tidak sama seperti waktu pertama kali mereka menjalin hubungan.

****

Setelah jam kantor telah usai, seluruh karyawan keluar dari kantor untuk pulang ke rumahnya masing-masing, begitupun dengan Dinda.

Dinda pulang sendiri, ia berjalan kaki untuk menuju halte bus, karena sedari tadi tidak ada taxi yang lewat, akhirnya Dinda memutuskan untuk pulang memakai angkutan umum.

Sebuah mobil tua berhenti didepan Dinda, betapa terkejutnya Dinda siapa yang keluar dari mobil tua itu, Dalvin.

Dalvin menghampiri Dinda, ia tersenyum menatap Dinda, "Aku anterin pulang ya?"

"Gak usah Vin," tolak Dinda.

Dalvin menarik pergelangan tangan Dinda, "Please, aku gamau liat kamu desak-desakan naik angkutan umum."

Dinda berfikir sejenak, betul juga kata Dalvin, apalagi Dinda punya riwayat penyakit jantung.

Dinda tersenyum, lalu mengikuti langkah kaki Dalvin.

Dalvin membukakan pintu mobilnya, kemudian menutup kembali pintu mobilnya ketika Dinda sudah masuk kedalam mobil tua miliknya itu.

Dalvin masih sama seperti dulu, selalu baik kepadanya, Dinda ingat dulu ia sempat menyukai sosok Dalvin, namun ia harus bersabar karena saat itu Dalvin menjalin hubungan dengan Meilin, tetapi saat Dinda mau memberanikan diri menyatakan perasaanya kepada Dalvin, malah ia terhalang oleh Alisya yang katanya menyukai Dalvin. 

Akhirnya Dinda mengalah, ia membiarkan Alisya menyatakan perasaanya kepada Dalvin saat Dalvin putus dengan Meilin, hingga mereka menjalin hubungan sampai saat ini.

Alisya beruntung mendapatkan sosok Dalvin, baik hati, penyayang, sabar, ramah dan pintar. Begitupun dengan Dalvin yang beruntung mendapatkan Alisya, bahkan selama hampir tiga tahun mereka menjalin hubungan Dinda belum pernah mendengar mereka bertengkar.

Dalvin tersenyum menatap Dinda, "Kenapa melamun?" Tanya Dalvin.

"Engga hehe, kapan balik ke indo?" Tanya Dinda balik.

"Kemaren sore," jawab Dalvin, "Tapi, besok pagi harus balik ke bali."

"Cepet banget, Alisya sendirian dong ngurusin persiapan acara pertunangan kalian?"

Dalvin terkekeh, "Semuanya udah beres kok, semalam aku langsung beresin semua yang belum ke pegang Alisya."

Dinda tersenyum, Dalvin memang bertanggung jawab, ia tidak membiarkan Alisya susah sendirian.

"Oh iya, gimana hubunga kamu sama Ardzan?"

Dinda diam, ia bingung harus jujur atau tidak kepada Dalvin, tentang perlakuan Ardzan yang tidak baik selama ini kepadanya, tetapi mau bagaimanapun Dinda harus bisa menutupi kekurangan Ardzan.

"Baik kok, Ardzan baik banget," Jawab Dinda.

"Syukur deh kalau gitu, aku ikut seneng," Ujar Dalvin.

"Terus gimana sama bokap? Masih dirawat?" Tanya Dalvin.

Dinda mengangguk, "Iya Dal, belum boleh pulang sama dokter."

"Terus kamu sendirian dong di rumah?" Tanya Dalvin lagi.

Dinda mengangguk.

Memang Dinda hanya tinggal dengan papanya, karena ibu dan adiknya meninggal akibat kecelakaan pesawat saat Dinda masih duduk di bangku SMA. Tetapi sekaramg terpaksa Dinda harus tinggal sendirian di rumah, karena papanya sedang menjalani perawatan di rumah sakit.

Dalvin memegan tangan Dinda, "Sabar ya, Om Saga pasti sembuh," Dalvin tersenyum.

"Aamiin, makasih ya Vin."

"Sama-sama, terus papa disana sama siapa? Ada yang jagain?" Tanya Dalvin lagi.

"Sama perawat, terus perawatnya suka ngabarin kon kalau ada apa-apa sama papa, kalau libur atau ada waktu senggang baru aku nemenin papa," jelas Dinda.

"Masih nyimpan nomor handphone aku kan?" Dalvin bertanya lagi.

Dinda mengagguk, "Iya Vin."

"Kabarin kalau ada apa-apa, atau kamu membutuhkan bantuan aku."

Dinda tersenyum, Dalvin memang orang baik, walaupun Dalvin berstatus sudah punya pacar, tetapi Dalvin tidak pernah berubah, ia masih peduli terhadap sekitarnya.

"Oh iya, rumah kamu masih yang dulu kan?" Tanya Dalvin, ketika sudah sampai di komplek perumahan Dinda.

"Iya, Dalvin."

Setelah sudah sampai tepat di depan rumah  Dinda, keduanya turun dari mobil.

"Mau mampir dulu?" Tanya Dinda.

"Engga, tapi nanti pasti aku mampir."

"Oh yaudah, hati-hati yaa Vin," Kata Dinda.

Dalvin tersenyum, "Iya, kamu juga hati-hati dirumah sendirian."

"Iya, Vin."

"Yaudah aku pulang ya,"

Dinda tersenyum, menatap Dalvin yang perlahan menghilang dari pandangannya.

Setelah Dalvin sudah tidak ada dihadapannya, Dinda langsung memasuki rumahnya.

"KETEMU DALVIN DIMANA LO!" Bentak Ardzan.

Entah kenapa Ardzan bisa tiba-tiba berada di rumah Dinda, padahal di depan tidak terparkir mobil mewah milik Ardzan.

"Aku-aku," kata Dinda dengan terbata-bata.

Tanpa menunggu alasan Dinda, Ardzan menampar Dinda begitu saja.

"Awss, sakit Zan..." rintih Dinda kesakitan, karena kali ini tamparan Ardzan sangatlah keras.

"Sakitan mana sama gue?! Ngelihat pacar gue pulang sama cowo lain? KAYAK PELACUR LO TAU GAK?!"

Deg.

Baru kali ini Perkataan Ardzan menusuk lubuk hatinya, kenapa Ardzan bisa beranggapan seperti itu, padahal ia sama sekali tidak seperti itu.

"Aku gak sengaka ketemu dijalan Sama Dalvin," ujar Dinda sambil meringis kesakitan.

"KENAPA LO GAK BISA NOLAK?! TAXI BANYAK, ANGKOT NUMPUK, OJEK BERJEJERAN DI JALAN, KENAPA LO HARUS PULANG SAMA DALVIN!" Teriak Ardzan tepat di telinga Dinda.

Plak!

Ardzan kembali menampar Dinda.

Dengan tersedu-sedu menahan sakit, Dinda menangis. Sungguh ia tidak menyangka kalau Ardzan akan semarah ini kepadanya.

Plak!

Ardzan menampar lagi, kali ini ia memegang rambut Dinda, menjambaknya dengan kasar, menariknya hingga Dinda meringis kesakitan.

"Sakit zan, sakit.." lirih Dinda.

"GUE LEBIH SAKIT!" Bentak Ardzan.

Plak!

Ardzan manampar Dinda lagi, nafasnya terengah-engah, saat ini yang ada difikirannya adalah melampiaskan kekeselannya terhadap Dinda.

Ardzan mengambil sabuk yang terlilit dicelananya, lalu mencambuk Dinda beberapa kali dengan sabuknya, tak perduli Dinda yang meringis kesakitan, tak perduli Dinda yang menangis, tak perduli akan Dinda apapun itu.

Setelah puas melampiaskan kekesalannya, Ardzan meninggalkan Dinda yang terbaring lemah di lantai, Ardzan menggebrak pintu rumah Dinda dengan sangat keras.

Pandangan Dinda kabur, semuanya terlihat hampir gelap, tubuhnya kesakitan, semuanya terasa sakit, tetapi tidak hatinya entah mengapa ia masih saja beranggapan kalau apa yang dilakukan oleh Ardzan itu wajar, karena menurutnya ini semua ulah Dinda, padahal Ardzan sudah berlebihan!

Ardzan seperti tidak punya akal sehat, dengan bodohnya Ardzan memukul Dinda tanpa ada rasa kasihan sedikitpun, menyiksanya dengan sangat sadis seperti tidak punya logika serta memukulnya dengan membabi buta dan buas seperti hewan yang sedang menerkam mangsanya. Jadi, apa ini masih bisa disebut hal yang wajar? Dinda hanya bisa meringis kesakitan, sambil menangis membiarka hujan turun dengan deras dari kelopak matanya.

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status