Sudah hampir seminggu Dinda tidak masuk kerja, karena tubuhnya masih memar akibat ulah Ardzan yang memukulinya tanpa jeda. Dinta tidak berobat, ia takut nantinya akan menjadi masalah karena luka nya tidak biasa. Dinda hanya tidak ingin memperpanjang masalah, apalagi nantinya pasti ia lagi yang akan kena imbasnya oleh Ardzan.
Dinda sendirian di rumah, karena papa nya masih dirawat dirumah sakit. Dinda juga tidak menengok papa nya karena keadaan Dinda yang tidak baik.
Saat Dinda mau memejamkan matanya, suara ketukan pintu terdengar, dengan langkah pelan karena menahan sakit disekujur tubuhnya, Dinda membuka pintu rumahnya.
Ternyata Ardzan yang datang, Ardzan tidak sendiri tetapi bersama dengan Vionita, sekretarisnya di kantor.
Dinda tersenyum, walaupun baru kali ini Ardzan menengoknya, mungkin Ardzan sedang banyak kerjaan, sehingga baru menyempatkan menengok dirinya.
Ardzan dan Vionita duduk bersebelahan, sedangkan Dinda duduk berhadapan dengan mereka berdua.
"Kenapa gak masuk?" Tanya Ardzan.
Ardzan masih menanyakan kenapa? Apakah Ardzan tidak merasa akan apa yang pernah dilakukannya kepada Dinda? Dinda hanya bisa tersenyum, mencoba masuk kedalam fikiran Ardzan.
"Aku gak enak badan," jawab Dinda.
"Gak enak badan dijadiin alasan gak masuk?" Tanya Ardzan lagi dengan wajahnya yang sinis.
"Kali ini aku emang gak bisa maksaiin kerja Zan," kata Dinda.
"Yaudah gak usah kerja lagi, diem aja di rumah, perusahaan gak butuh orang yang bisanya males-malesan!" Jelas Ardzan dengan sangat ketus.
"Besok aku mulai kerja," kata Dinda.
Sebetulnya ia terpaksa mengatakan hal itu, karena sebenarnya kondisi badan Dinda masih terasa sakit dan belum membaik sama sekali.
"Gue gak butuh karyawan yang penyakitan! Mendingan lo diem di rumah aja, sampai keadaan lo bener-bener baik." Balas Ardzan.
Dinda tersenyum, ternyata pikirannya benar Ardzan itu baik, buktinya Ardzan menyuruh Dinda untuk istirahat di rumah dulu.
"Gue gamau nantinua gue yang disalahin, padahal udah jelas-jelas itu salah lo!" Lanjit Ardzan.
Senyum Dinda memudar, Ternyata Dinda salah, Ardzan hanya tidak ingin nama baiknya tercemar karena Dinda.
"Iya Zan," ucap Dinda.
Vionita yang sedari tadi ada diantara mereka hanya bisa menyimak pembicaraan mereka berdua, Vionita tahu akan Ardzan yang selalu kasar kepada Dinda, tetapi kalau sama lagi sama Vionita, Ardzan tidak pernah seperti iti, justru sangat menghormati Vionita.
Ardzan memegang tangan Vionita, menarinya pelan hingga mereka berdua berdiri dari duduknya.
"Gue pulang!" Kata Ardzan.
"Hati-hati ya Zan," Dinda mencoba tersenyum, walau Ardzan tidak meliriknya.
Setelah kepergian Ardzan Dan Vionita, Dinda langsung menutup pintu rumahnya, lalu beranjak pergi menuju kamarnya, namun ketika hendak memasuki kamar, ada orang lagi yang mengetuk pintu rumahnya.
Dinda kembali membukakan pintu rumahnya, terlihat dihadapannya pria tampan berkulit sawo matang yang sedang tersenyum manis menatap Dinda, Pria itu adalah Dalvin.
"Aku denger kamu sakit, sakit apa?" Tanya Dalvin.
"Lagi gak enak bada aja Vin," balas Dinda.
Dinda melihat ke arah kanan dan kirinya, ia takut kalau Ardzan belum pulang, ia takut Ardzan marah lagi, ia takut kalau nantinya Dalvin yang ke amuk oleh Ardzan.
Dalvin memberikan sebuah plastik berisi bubur serta jus dan buah, "Makan ya, jangan sampai telat makan."
Dinda menerimannya dengan tersenyum, "Makasih Vin, maaf banget jadi ngerepotin kamu."
"Engga kok, kamu kan sahabat aku."
"Mau masuk dulu Vin?" Tawar Dinda.
Dalvin menggelengkan kepalanya, "Engga, aku baru mau otw ke bali, dua jam lagi pesawat aku take off, takut gak ke buru."
"Bukannya kamu ke bali harusnya satu minggu yang lalu?" Tanya Dinda merasa heran.
Dalvin terkekeh, "Aku udah pulang kemaren, ngedenger kamu sakit dari Alisya, aku langsung kesini semalem."
Dinda terkejut mendengarnya, segitunya Dalvin terhadapnya, padahal Dalvin dan Dinda hanya bersahabat, tetapi Dalvin sangat peduli seperti ini terhadapnya.
"Maaf Vin..." lirih Dinda, ia merasa tidak enak hati.
"Minta maaf mulu," Dalvin mengacak-ngacak rambut Dinda sekilas.
"Dalvin, jadi berantakan..." Dinda merengek, sambil membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan karena ulah tangan jail Dalvin.
Dalvin tertawa, "Biar nambah jelek."
"Dasar nyebelin," Umpat Dinda terkekeh pelan.
"Yaudah, aku berangkat dulu ya. Kamu hati-hati di rumah," kata Dalvin.
"Iya, kamu juga hati-hati Vin," balas Dinda.
Dalvin tersenyum menatap Dinda sekilas, lalu ia beranjak memasuki mobil tua miliknya.
Dalvin memang ada tugas di kota bali, itu sebabnya ia tinggal di bali untuk saat ini. Karena sebelumnya ketika ia lulus dari Universitas di Australia, Dalvin langsung bekerja di hotel bintang lima milik om nya, disitu Dalvin berstatus sebagai manager.
Sebenarnya selain bekerja di perusahaan Om nya, Dalvin juga seorang entrepreneurship, ia punya usaha yang bergerak dibidang food and beverage, Dalvin punya tiga restoran dan dua caffe di jakarta.
Dinda kagum sama Dalvin yang mau bekerja keras, gak pernah malu, gak pernah ngerasa cape, rendah hati dan tetap bekerja di perusahaan orang, walaupun Dalvin sendiri juga punya usaha sendiri.
Dinda dan Dalvin mengelilingi beberapa tempat yang menjual koleksi barang-barang untuk oleh-oleh dari bali, Dalvin paham Dinda pasti mengajaknya hanya ingin meminta saran barang apa saja yang cocok untuk Ardzan.“Vin, kayaknya Ardan suka kemeja pantai deh. Katanya kemaren dia gak bawa sama sekali, mau beli juga belum sempat. Ada sih satu di kasih pihak hotel, tap ikan sudah pernah dia pakai. Kamu tahu sendiri kan Ardzan orangnya bagaimana? Barang sekali pakai buang,” ujar Dinda sambil memegang kemeja pantai berwarna biru muda.“Kayaknya Ardzan lebih suka warna formal deh, hitam atau putih,” usul Dalvin.“Kamu tahu dari mana?” tanya Dinda bingung.“Ngapain kamu ajak aku kesini?” tanya balik Dalvin.“Buat minta saran.”“Nah, itu kamu tahu.” Dalvin terkekeh, “Aku emang gak terlalu dekat sama Ardzan bahkan gak deket, tapi pertama kali aku lihat dia, aku udah nebak kala
Dinda terlelap dalam tidurnya, tetapi tiba-tiba sebuah tangan melingkar di pinggangnya, Dinda membuka matanya. Ia tersenyum mendapati Ardzan yang tertidur pulas disampingnya. Mungkin, Ardzan seharian cape, jadi membuatnya belum bangun tidur pagi ini.Dinda menatap lekat kedua mata Ardzan, dengan pelan Dinda mengelus wajah Ardzan.“Zan, bahkan perasaan aku masih sama… aku tidak bisa membincimu, sekalipun perlakuan kamu terhadapku menyakiti aku…” ucap Dinda dengan pelan.Dinda melingkarkan tangannya kepada Ardzan, lalu Kembali menutup matanya. Membiarkan perasaanya tenggelam, terlelap dalam tidurnya.Namun, baru saja Dinda menjelajahi alam mimpinya, Ardzan membangunkannya dengan kasar. Ardzan melempar tubuh Dinda ke lantai, hingga membuat Dinda terbangun.“BANGUN JUGA LO YA?!” Bentak Ardzan.“Sakit zan,” Dinda bangun dan menyamakan tingginya dengan Ardzan.Ardzan menatap Dinda dengan tat
Ardzan tak pernah melepas rangkulanya terhadap Dinda, bahkan sampai masuk ke dalam restoran. Sedangkan Dalvin yang menatap mereka berdua hanya menelan salivanya. Shit! Ini bukan rencana Dalvin, kenapa Ardzan harus ikut?“Itu Lovely sama Angkasa,” ujar Dinda Ketika melihat Lovely dan Angkasa.Lovely, Ardzan dan Dalvin langsung menghampiri mereka berdua.“Apa kabar bro?” tanya Angkasa kepada Ardzan.“Saya baik,” ucap Ardzan dengan wajah datarnya.“Cuma lo ya yang dari dulu nyaingi wajah datar gue,” ujar Angkasa sambil terkekeh.Pasalnya Angkasa dan Ardzan waktu jaman sekolah disebutnya batu es, bedanya Angkasa lebih liar, ia punya geng yang terkenal seantero penjuru sekolah. Sedangkan Ardzan, diem yang emang benar-benar diam, atau kata anak jaman sekarang itu kurang gaul.Ardzan tersenyum tipis, “Anda lebih menang dari saya Kas.”“Lo juga masih kaku dan baku,&rdquo
Ardzan masuk ke dalam kamar hotelnya, ia tidak sendiri. Tetapi Bersama dengan Vionita, sekretarisnya di kantor. Dengan masih menggunakan piyamanya Dinda menghampiri Ardzan, Dinda terkejut melihat Ardzan merangkul Vionita dalam keadaan mabuk. Tidak, Vionita sama sekali tidak mabuk, tetapi Ardzanlah yang sepertinya dalam keadaan mabuk berat.“Ardzan kenapa, Vi?” tanya Dinda yang panik melihat kondisi Ardzan.“Dia terlalu banyak minum tadi di Bar,” ujar Vionita.Dinda mengambil tangan Ardzan, tetapi Ardzan malah menepisnya. Bahkan Ardzan mendorong tubuh Dinda hingga Dinda terpental ke lantai. Kekuatan Ardzan sepertinya tidak akan hilang walaupun ia dalam kondisi setengah sadar seperti ini, buktinya ya seperti ini.“Bia aku aja,” kata Vionita.Vionita membawa Ardzan ke kamarnya, sedangkan Dinda mengikutinya dibelakang. Dinda mulai membuka satu persatu pakaian Ardzan, mengganti pakaiannya Ardzan, Dinda mencoba untuk t
Dinda membuka laptopnya, melihat beberapa koleksi foto kebersamaannya dengan Ardzan waktu awal-awal mereka menjalin hubungan, dulu Ardzan tak pernah sekalipun menyentuhnya, tetapi Dinda juga bingung sampai saat ini, kenapa Ardzan bisa semudah itu berubah? Tapi, baik Ardzan yng dulu ataupun Ardzan yang sekarang, Ardzan tetap kekasihnya. Suara bel terdengar dari arah luar pintu, Dinda langsung membukakan pintu, siapa tau Ardzan Kembali dan meminta maaf atas perlakuannya, ternyata yang datang bukan Ardzan, melainkan Dalvin. “Wajah kamu kenapa memar? kamu abis di tampar sama siapa?” tanya Dalvin bertubi-tibi, membuat Dinda bingung harus menjawab apa. Dinda berfikir sejenak, “Aku tadi jatoh, muka aku kena deh biru.” “Yakin jatoh?” tanya Dalvin, ia seperti kurang percaya akan jawaban Dinda. Dinda mengangguk, “Iya, Dalvin.” “Mangkanya hati-hati, ambilin Kompresan air anget, kalau gak dikompres lebam di wajah kamu gak akan ilang.” Dalvin langs
Dinda duduk di pinggir pantai yang berada tidak jauh dari hotelnya, Dinda menikmati dinginnya pantai, bersamaan dengan hembusan angin pagi yang membuat sekujur tubuhnya merasa kedinginan sedikit. Dalvin yang sedari tadi memperhatikan Dinda dari jauh, ia mendekati Dinda, melepas jaketnya dan menaruhnya di Pundak Dinda, lalu Dalvin duduk disebelah Dinda. “Katanya mau meeting?” tanya Dinda, dengan wajah yang melihat lurus ke depan. “Gak sepagi ini juga Dinda,” jawab Dalvin. Dinda terkekeh, “Siapa tahu gitu, kamu kan orangnya kerajinan.” “Tergantung, kalau kamu ikut aku pasti dateng paling awal.” “Loh, kok aku?” tanya Dinda bingung. Dalvin tertawa, “Kalau aku sama kamu kan kenal udah lama jadi gak boring aja gitu, kalau sama Ardzan kan lihat aja kaku banget dia.” “Ardzan gak kaku, mungkin belum akrab kali,” Dinda tersenyum. “Tapi, bukannya dari SMA dia gak banyak omong ya?” tanya Dalvin memastikan. Dinda men