2
“Kenapa datang sepagi ini, Paman?”
Puspita pura-pura tidak tahu, di saat dia sepenuhnya memahami apa maksud kedatangan pamannya ke sini. Gadis itu bahkan sempat ragu untuk membuka pintu tadi.
Namun, ia tidak punya pilihan lain. Sekalipun ia perlu Soraya dan janjinya, nyatanya Puspita harus menghadapi ini sendirian karena Pram tidak mengizinkan ia menemui kakak madunya itu.
“Pita ….” Pria yang tengah menghisap rokok itu langsung membuangnya saat melihat Puspita datang. Senyum menjijikan langsung terukir di bibir hitamnya sementara ia duduk di kursi yang tersedia di teras. Satu kakinya ditumpangkan di atas kaki lainnya.. “Sudahlah, jangan pura-pura, kamu pasti tahu kenapa Paman datang.”
Puspita menelan ludah.
Sementara itu, sepeninggal Puspita, Pramuda lanjut bersiap-siap. Pria itu mengenakan pakaiannya, lalu setelah rapi, Pram melangkahkan kaki ke kamar Soraya, satu-satunya wanita yang ia akui sebagai istrinya, untuk melihat wajah Soraya sebelum Pram berangkat kerja.
Namun, tanpa diduga, Soraya justru turut menghampirinya.
“Soraya–Sayang, apa yang kamu lakukan di sini?” Wajah Pram sontak tampak khawatir. Pria itu berjongkok agar sejajar dengan Soraya yang duduk di kursi roda. “Ayo kuantar kembali–”
“Mas tahu kalau Puspita sedang menemui pamannya?”
Pram mengernyit. “Mbok tadi bilang,” jelasnya singkat. “Dia tidak ada urusannya denganmu. Ayo, kuantar kembali ke kamar.”
“Mas,” bisik Soraya dengan bibir bergetar. Kedua tangannya tiba-tiba tertangkup di depann dada. “Mas, tolong Puspita. Dia akan dibawa pulang oleh pamannya. Aku tidak mau …. Dia harus tetap di sini, Mas.”
Pram menghela napas. Dengan lembut ia menyentuh tangan Soraya yang tertangkup dan menurunkannya ke pangkuan wanita itu.
“Itu keputusannya. Jika memang ia ingin pergi, biarkan saja.” Pramudya berucap.
“Mas, dia juga istrimu–”
“Soraya, aku mau kamu memikirkan dirimu dulu, jangan orang lain,” ujar Pram dengan lembut, tapi tegas. Pria itu menghela napas. “Aku sudah menikahinya seperti maumu, tapi jika dia memang ingin pergi, aku tidak akan menahannya.”
Sepasang mata Soraya sudah berkaca-kaca. “Jika Mas Pram melepaskan Puspita untuk dibawa pamannya, Mas akan menyesal.”
Pram mengerutkan kening. “Maksudmu?”
“Jika Puspita pergi, mungkin saja aku akan lebih cepat pergi dari sisimu.”
Pram terkejut, tidak percaya kata-kata itu keluar dari bibir istrinya.
“Jangan bicara seperti itu,” tegurnya dengan suara yang tegas. “Kamu akan sembuh, jika saja kamu mengizinkanku untuk membawamu berobat ke–”
Soraya mengangkat tangannya. “Sudahlah, Mas,” ucapnya lemah. Seperti sudah lelah berjuang. “Aku hanya ingin menghabiskan sisa hariku dengan tenang. Bersama kamu, Puspita, dan putri kita.”
Dengan penuh harap, Soraya menatap Pramudya. “Bisa kan, Mas?”
**
“Kalau Paman datang untuk memaksa Pita menikah dengan juragan itu, Pita tegaskan sekali lagi. Pita tidak mau!”
“Jangan bodoh, Pita. Hidupmu akan bahagia di sana,” tukas sang paman. “Kamu akan bergelimang harta! Bukankah cita-citamu menjadi orang kaya? Ya caranya adalah nikah dengan orang kaya!”
Puspita menggeleng. “Tidak, Paman. Aku–”
“Apa pun yang kamu inginkan, dia akan penuhi,” potong pamannya lagi, tidak peduli dengan penolakan Puspita. “Kamu akan menjadi ratu dan kesayangan karena kamu masih muda. Aku bisa jamin!”
Pria itu lalu berdiri. “Sekarang, kemasi barangmu dan ayo ikut denganku! Aku sudah berjanji akan membawamu pulang hari ini.”
Puspita melihat tatapan tamak pria yang masih merupakan keluarganya tersebut. Tangannya yang gemetar ia remas kuat-kuat. Sejak tadi, Puspita sudah menolak ajakan pamannya, mencoba mengurusi masalahnya sendiri tanpa melibatkan Soraya ataupun Pram.
Namun, sepertinya sia-sia saja. Meskipun Puspita sudah dinikahi, Pram pastilah lebih suka jika ia pergi dan tidak mengganggu rumah tangganya. Apalagi–
Gadis itu terkesiap saat tiba-tiba majikannya duduk di kursi di sebelah Puspita, sontak membuat gadis itu berdiri dan menunduk dalam-dalam.
“Masuklah,” ucap Pram kemudian tanpa menoleh pada Puspita. “Biar aku yang bicara pada pamanmu.”
Meski bingung, Puspita menurut. Ia tahu bahwa perintah dari majikan sekaligus suami barunya itu sama sekali tak terbantah. Segera, Puspita masuk ke dalam rumah.
“Selamat pagi. Anda pasti majikannya Puspita.” Sepeninggal Puspita, sang paman langsung mengajak bicara. “Ini pertama kalinya saya berkunjung.”
“Maaf, Pak, boleh saya tahu apa kepentingan Bapak?” tanya Pram sopan, meski tidak terkesan ramah.
Pamannya Puspita terlihat tidak suka dengan sikap Pram yang dinilainya sombong. Ia duduk di depan Pram usai mendengus pelan. “Saya ingin membawa Puspita pulang,” jawabnya dengan nada angkuh. “Toh di sini cuma jadi pembantu. Kasihan.”
Pram tidak tampak bereaksi. Namun, ucapan pria itu selanjutnya membuat sang paman naik pitam.
“Puspita akan tetap tinggal. Saya membutuhkannya di sini.”
“Anda tidak berhak menahan keponakan saya!” sergah paman Puspita. “Apa masalahnya, hah? Kalau soal pinalti kontrak, tenang! Calon suami Puspita pasti bisa bayar.”
Pram mengernyit. “Calon suami?” tanyanya.
“Ya! Puspita akan menikah dengan orang terkaya di kampung!” Sang paman sesumbar sombong. “Hidupnya akan bahagia karena cita-citanya sejak dulu memang punya suami kaya, haha. Jadi istri keempat pun tidak masalah!”
Pram terdiam mendengar perkataan paman Puspita. Sekarang, ia mengerti kenapa Puspita mau mengabulkan permintaan Soraya untuk menikah dengannya.
Bagi wanita seperti Puspita, tidak masalah menjadi istri kedua, ketiga, atau keempat, asalkan menikah dengan pria kaya.
Heh, lucu sekali. Sayangnya Soraya sudah terpedaya oleh Puspita. Namun, Pram tidak akan ditaklukkan semudah itu. Kini, ia tahu sifat asli Puspita yang selalu terlihat polos itu.
Dasar wanita materialistis.
“Meski begitu, saya tidak bisa mengizinkan Puspita untuk ikut bersama Bapak.” Pram kembali berkata kemudian.
Paman Puspita makin tampak marah. “Panggil Puspita lagi! Dengan atau tanpa izin, saya tetap akan membawanya pulang!”
“Sekalipun dia ikut dengan Bapak, Puspita tidak akan bisa menikah dengan calon suaminya,” ucap Pram dengan tenang. “Karena dia sudah saya nikahi.”
Di dalam, Puspita menutup mulutnya karena terkejut dengan ucapan majikannya tersebut. Sekalipun pria itu sudah menikahinya kemarin, Pram tidak terlihat ingin Puspita untuk tinggal. Kenapa–
“Pita. Kamu baik-baik saja?”
Puspita menoleh dan mendapati Soraya dengan wajah pucatnya tengah menghampirinya di atas kursi roda.
Ah, sekarang ia tahu kenapa. Soraya rupanya menepati janjinya.
“Ibu. Terima kasih.” Puspita langsung bersimpuh di hadapan Soraya. Majikan sekaligus kakak madunya itu langsung merengkuhnya.
“Tidak apa-apa,” bisik Soraya. “Kamu akan tetap di sini.”
Puspita mengangguk. Cukup lega, tanpa tahu bahwa hari-harinya akan makin berat karena kesalahpahaman yang tidak disampaikan.
Langit begitu cerah siang itu. Awan tipis berarak pelan seakan ikut merayakan pencapaian besar yang tengah dirasakan Puspita.Setelah acara inti wisuda selesai di aula yang megah, semua orang bergerak ke luar ruangan. Dan di sana, suasana jauh lebih riuh. Gelak tawa, sorak-sorai, dan bunga-bunga yang memenuhi tangan para wisudawan menjadi pemandangan sejauh mata memandang.Taman kampus yang luas, dihiasi dengan tenda-tenda putih dan hamparan bunga musim semi yang bermekaran, menjadi tempat sesi foto dan perayaan kecil-kecilan yang diatur oleh pihak kampus.Puspita mengenakan toga kebanggaannya, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Tangannya masih menggenggam buket bunga yang diberikan Pramudya begitu ia turun dari podium. Pram, lelaki yang menjadi suaminya, ayah dari anaknya, dan juga satu-satunya pelabuhan hidupnya—berdiri di sampingnya, mengenakan batik biru senada dengan putra kecil mereka.Tiba-tiba kerumunan kecil masuk ke area taman. Prabu datang bersama keluarganya. Ia terliha
Lima tahun kemudian …Pelukan itu hangat. Nyaman. Namun juga sedikit menyebalkan.“Mas …,” desis Puspita sambil berusaha melonggarkan lengan kekar suaminya yang melingkar erat di pinggangnya. “Lepas dulu, aku belum selesai pasang jarum pentul hijab ini, tahu nggak?”Puspita berdiri di depan cermin, tangannya cekatan merapikan kerudung satin warna krem yang selaras dengan kebaya brokat yang membalut tubuhnya yang kini sedikit berisi. Ia menghela napas, menyelipkan anak rambut yang bandel ke balik ciput. Hari ini adalah hari besar—hari di mana ia akhirnya menyandang gelar Sarjana Hukum setelah lima tahun perjalanan yang berliku. Tak mudah, tapi akhirnya sampai juga.Sejak tadi Pram terus saja mengganggunya. Tak membiarkan istrinya berdandan dengan tenang. Hanya karena menurutnya Puspita terlalu cantik. Seharusnya tidak bermake-up saja agar tidak menarik perhatian kaum Adam.Pram menatap pantulan cermin. Matanya teduh, bibirnya tersenyum. Wajah Puspita yang bermake-up flawless membuat na
“Kamu iri sama Puspita?” tanya Prabu hati-hati. Ia menatap luruh wajah Andini yang malam ini lebih banyak diam daripada biasanya.“Kalau kamu mau, kita juga bisa segera punya anak. Kita bisa lepas IUD kamu kapan saja,” lanjut Prabu seraya menggenggam tangan sang istri.“Besok kita ke dokter, ya? Aku yakin Oma juga akan melakukan hal yang sama ke kamu kalau kamu hamil.”Andini tersenyum, lalu menggeleng—cepat dan pasti.“Aku belum siap, Mas. Raja masih kecil. Aku belum ingin menjalani kehamilan. Belum sekarang. Rasanya… berat. Aku belum sanggup.”“Tapi aku bisa menambah babysitter kalau kamu mau. Aku tidak akan membiarkan kamu kerepotan mengurus anak-anak.”“Bukan itu, Mas. Lebih ke mental aku saja. Aku benar-benar belum siap menambah anak. Aku takut lebih cenderung ke anak yang lahir dari rahimku. Sedangkan anak-anak Mbak Irena juga butuh ibu. Aku takut tidak bisa adil, Mas. Kasihan mereka—sudah ditinggal ibu kandungnya, masa ibu barunya hanya sibuk dengan anak kandungnya? Tolong, ber
“Apa? Puspita hamil?” seru Oma dengan suara nyaring, nyaris membuat telinga Pram berdengung dari seberang telepon.Tak lama, terdengar denting gelas jatuh menghantam lantai marmer. Hening sejenak. Tapi bukan kemarahan yang terdengar setelahnya, melainkan... tawa. Tawa haru, yang menggetarkan dada.“Anak itu hamil! Hamil!” serunya lagi, kali ini kepada siapa pun yang ada di dekatnya. “Opa! Pa! Puspita hamil!” Ia berseru lagi, kini sambil berjalan tergopoh-gopoh mencari suaminya. “Kita rayakan malam ini juga! Di restoran paling mewah! Semua harus datang!”Pram belum sempat menjawab saat Oma sudah sibuk mencari Opa dan memerintah asistennya untuk segera memesan ruang VIP restoran bintang lima. Tak tanggung-tanggung, ia ingin semuanya hadir malam itu juga untuk merayakan kehamilan Puspita. Satu lagi calon cicit akan hadir hingga menambah ramai anak keturunan Bimantara.Pram tersenyum lebar setelah menutup sambungan telepon. Ia menjadi orang yang sangat bahagia mendapat kabar ini, meskipun
Matahari siang sudah lebih condong ke barat. Mahasiswa mulai keluar dari gedung-gedung fakultas, sebagian berjalan sambil tertawa, yang lainnya mengeluh soal tugas. Puspita menyampirkan tas ranselnya dan melangkah pelan keluar kelas. Badannya terasa pegal, kepalanya sedikit pening. Mungkin karena ini hari pertama kuliah. Duduk berjam-jam dalam satu posisi membuat tubuhnya sangat lelah.Apa ini karena ia terlalu tua untuk menjadi mahasiswi baru? Atau karena tulang-tulang dan tubuhnya pernah rusak parah hingga sempat lumpuh?Rasanya ia tak bisa menyamai mereka yang masih berusia belasan, yang semangat belajarnya masih sangat tinggi. Atau mungkin, ini hanya soal belum terbiasa?Terkadang, terbersit keinginan untuk berhenti saja. Toh, ia punya suami yang bertanggung jawab. Lebih dari cukup untuk menanggung hidupnya. Ia juga salah satu keturunan Bimantara. Rasanya, tidak akan kekurangan secara materi. Namun, kembali lagi, ia punya cita-cita yang ingin dicapai. Bukankah ia ingin menjadi sese
agi itu, matahari memancarkan sinarnya dengan lembut, menelusup melalui jendela kamar Puspita. Aroma embun dan rumput basah menyusup dari celah ventilasi, membawa suasana segar yang jarang dirasakan Puspita akhir-akhir ini.Dia berdiri di depan cermin, merapikan kerudungnya dengan hati berbunga-bunga. Hari ini adalah hari pertamanya kembali ke bangku kuliah. Setelah semua yang dilaluinya—perjalanan hidup yang berat, pernikahan, hingga lumpuh lama dan sembuh perlahan—kini ia mulai menapaki kembali jalan mimpinya. Menjadi mahasiswi. Kuliah untuk mencapai cita-citanya. Lebih tepatnya meng-upgrade diri meski mungkin ujung-ujungnya tetap di rumah menjadi ibu rumah tangga.Ya, menyadari kodratnya sebagai wanita dan ibu rumah tangga, tentunya kelak ia tetap harus mengutamakan keluarga. Berkaca pada Andini yang meski seorang insinyur perminyakan—pekerjaan yang pasti sulit didapatkan—tapi saat suami menghendaki ia di rumah saja mengurus rumah tangga, ia harus tetap siap.Karena di rumah pun pe