Share

2~NDS

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2025-03-17 11:49:50

“Ini baru yang namanya liar!”

Nada mencengkeram rambut Dina, menariknya ke belakang dengan gerakan kasar hingga wanita itu terhuyung, nyaris kehilangan keseimbangan.

"LEPASIN!" Dina meronta panik, merintih kesakitan. Tangannya menggapai udara, mencoba mencakar lengan Nada, tetapi gadis itu terlalu gesit. Nada terus menarik dan memutar kepala Dina ke berbagai arah, membuat wanita itu terhuyung tidak menentu dan hampir terjatuh.

Dina tidak bisa menggapai tubuh Nada, karena gadis itu berada di belakangnya. Ketika ia hendak berputar, Nada dengan gesit tetap memposisikan tubuh di belakangnya.

"Lo pikir lo siapa!" Nada berteriak. Ia tidak mau peduli dengan banyak mata yang melihat dan merekam tindakan brutalnya. Baginya, semakin banyak yang merekam justru semakin bagus.

Jika mau rusak, maka Nada akan merusak semuanya sekalian. Berikut dengan image papanya yang berprofesi sebagai karyawan penting di salah satu perusahaan negara.  

“Mas,” rintih Dina putus asa.

“Nada! Cukup!” Rizal akhirnya membuka mulut, suaranya menggelegar. Namun, putrinya seolah tuli, tangannya semakin mengerat pada rambut Dina, menariknya ke belakang hingga wanita itu menjerit kepedihan.

Sejak tadi, Rizal mencari celah untuk memisahkan keduanya, tetapi Nada bergerak terlalu cepat, terlalu beringas. Amarahnya seolah sudah melampaui batas. Jika Rizal memisahkan mereka dengan cara yang salah, Dinalah yang akan terluka.

Sudah bisa dipastikan, rambut Dina akan rontok dan kulit kepalanya akan terluka jika Rizal tidak memisahkan di waktu yang tepat.

“Mbak, Mbak, sudah, Mbak,” ucap salah satu karyawan restoran yang mencoba menenangkan dan juga mencari cara untuk melerai dua perempuan itu. “Kasihan, Mbak.”

Alih-alih berhenti, cengkraman Nada di rambut Dina justru semakin erat. Ia mendorong kepala Dina ke depan, lalu menariknya lagi ke belakang dengan kasar.

“NADA! BERHENTI!” Rizal akhirnya menarik Nada dengan paksa, melepaskan cengkeramannya dari rambut Dina sebelum sesuatu yang lebih parah terjadi.

Benar saja, Rizal melihat segumpal helaian rambut sudah berada di tangan putrinya dan Nada membuangnya dengan tatapan jijik.

Sementara itu, Dina gemetar sambil merapikan rambutnya yang acak-acakan. Ia bisa merasakan ada bagian kulit kepalanya yang perih  dan terasa kosong.

“Rambutku ...” rintihnya histeris lalu menunjuk Nada. Namun, gadis itu bertolak pinggang dengan tatapan sangar, membuat nyali Dina ciut seketika dan menurunkan tangannya. “Aku pasti laporkan semua ini! Tunggu aja!”

“Silakan!” tantang Nada pongah. “Gue nggak takut sama perempuan murah kayak lo! Dengar itu! MU-RAH!”

“NADA!” Tangan Rizal sudah kembali melayang di udara. Namun, Nada yang menyadari hal tersebut segera menjauh dan menjaga jarak.

“Sekali lagi gue lihat lo sama Papa—”

“Diam!” bentak Rizal pada Nada yang menunjuk Dina. “Sekali lagi kamu bicara, uang bulanan dan biaya kuliahmu Papa stop!”

Tanpa ingin bicara lagi dan memperpanjang masalah, Rizal menarik tangan Dina, menggiringnya keluar dari restoran.

Dina menoleh sekilas, sorot matanya penuh ketakutan dan kemenangan sekaligus. Ia tahu bahwa dirinya adalah pemenang dalam pertengkaran ini karena Rizal memilihnya, bukan putrinya sendiri.

Sementara itu, Nada berdiri terpaku, dadanya terasa sesak. Tangannya bergetar hebat, dan akhirnya, air mata yang sejak tadi ia tahan jatuh satu per satu.

Nada kalah. Bukan karena dia yang salah. Tetapi karena orang yang seharusnya berada di pihaknya justru memilih ...  meninggalkannya.

~~~~~~~~~~~~~

“Biiik!” Suara Rizal menggelegar saat memanggil asisten rumah tangganya dari ruang tengah.

Tidak butuh waktu lama, seorang wanita paruh baya muncul tergesa dari dapur. Wajahnya dipenuhi kecemasan saat ia melihat ekspresi tuannya yang tampak lebih suram dari biasanya.

“Nada sudah pulang?” Rizal bertanya tanpa basa-basi, matanya menatap ke arah tangga, lalu menyipit ke lantai dua.

“Su-sudah, Pak,” jawab wanita itu dengan sedikit tergagap.

Rizal menarik napas dalam, mencoba menekan amarah yang masih membara di dadanya. “Panggil Nada dan bawa ibu ke sini. Sekarang.”

Wanita itu mengangguk lalu berbalik, berjalan cepat menuju lantai dua.

Sementara itu, Rizal menghempaskan tubuhnya ke sofa tunggal dengan kasar. Kedua telapak tangannya mengusap wajahnya yang penat, sementara pikirannya terus berputar tentang kejadian tadi.

Nada sudah kelewatan.

Dan sebagai seorang ayah, ia harus memastikan putrinya memahami konsekuensi dari setiap perbuatannya.

Tidak peduli seberapa kuat putrinya itu akan melawan dan seberapa dalam luka yang mungkin tercipta di antara mereka.

Sebab, malam ini ... segalanya akan berubah.

“Mbak Nada sebentar lagi turun, Pak,” ucap Nining, asisten rumah tangga yang baru saja turun tangga. “Saya ke kamar ibu dulu, permisi.”

Rizal tidak menjawab atau mengangguk. Ia hanya melihat Nining menghilang, lalu beralih pada ujung tangga lantai dua. Karena belum ada tanda-tanda kemunculan Nada, ia pun menyandarkan kepala lalu memejam. Mengistirahatkan pikirannya barang sejenak.

“Ada apa, Pa?” tanya Anggi lalu mengangguk pada Nining. Memberi isyarat, wanita itu sudah bisa meninggalkannya di ruang tengah.

Rizal membuka mata, mengembuskan napas perlahan saat pandangannya jatuh pada sosok Anggi yang duduk di kursi roda. Sejak kecelakaan dua tahun lalu, banyak hal yang berubah dalam hidup mereka, terutama bagi istrinya. Tulang belakangnya mengalami cedera serius, merenggut kemampuan Anggi untuk berjalan.

“Kita tunggu Nada sebentar.” Saat pandangan Rizal mengarah ke lantai dua, sosok putrinya tampak di sana. Tanpa ekspresi, Nada menuruni tangga dan menatap datar ke arahnya. “Itu dia.”

“Papa serius mau bicarain ini di depan Mama?” Nada tertawa hambar sambil melangkah tergesa menuruni tangga. “Jadi, begini akhirnya?”

“Ada apa ini, Nad?” tanya Anggi melihat ke arah Nada dan Rizal bergantian.

“Papa yang cerita atau aku?” tanya Nada dengan berani.

Di saat Nada tahu papanya lebih membela wanita asing di restoran, di saat itu juga rasa hormatnya hilang pada Rizal. Ia terus berjalan melewati Anggi dari belakang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berseberangan dengan Rizal.

“Apa yang mau diceritakan?” tanya Anggi semakin penasaran karena belum mendapatkan jawaban.

“Nada ...” Rizal menghela panjang, sebelum berujar, “ribut sama Dina di restoran siang tadi.”

Nada sontak menegakkan tubuh. Menatap tanya dengan dahi berkerut. Jelas ia terkejut karena mamanya ternyata tahu perihal Dina.

“Mama tahu Dina?” tanya Nada tegas.

Anggi menahan napas saat melihat tatapan intimidasi Nada. Namun, matanya menyipit ketika melihat pipi kiri putrinya yang memerah.

“Kenapa pipimu, Nad?” tanya Anggi mengarahkan kursi rodanya mendekat. Saat tangannya ingin menyentuh wajah Nada, putrinya menjauhkan wajah.

“Mama kenal Dina?” tanya Nada lebih tegas lagi dengan suara yang semakin lantang.

Napas Anggi terbuang besar. Ia menatap Rizal sesaat lalu kembali pada Nada dan mengangguk pelan.

“Dina itu ...

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
App Putri Chinar
sina itu istrinya papamu....jedeeerrrr
goodnovel comment avatar
Bunda Ernii
jangan bilang klo Dina temennya Anggi.. atau emang Anggi udah tahu perselingkuhan Rizal & Dina..
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Nada di Hati Sastra   60~NDS [FIN]

    “Ompaaa!” Cairo berlari cepat setelah merampas ponsel Milan yang berdering. Ia masuk ke dalam rumah dan mendapati Sastra sedang berada di ruang keluarga bersama Anggi dan Aksa.Mereka memang berencana untuk makan malam di luar, untuk merayakan hari ulang tahun Melody yang kelima. Jadi, semua sudah siap dengan pakaian rapi, tinggal menunggu Nada dan Melody yang masih bersiap di kamar.Sementara itu, Adrian dan Arini sedang menunggu di rumah mereka. Hanya tinggal menanti kabar dari Sastra, lalu mereka akan berangkat bersama menuju restoran.“Pacarnya Kak Milan telpon!” lapor Cairo segera menyerahkan ponsel Milan pada Sastra.“CAIRO!” Wajah Milan sudah memerah. Tidak bisa mengejar sang adik yang sejak kecil memang memiliki hobi berlari secepat kilat. “KAMU AW—”“Rama?” Sastra menatap datar pada Milan, saat ponsel di tangannya berhenti berdering. “Sudah berapa kali Om bilang, sekolah dulu yang benar. Nggak usah pacar-pacaran.”“Aku nggak pacaran,” bantah Milan sembari bersungut. Menatap ta

  • Nada di Hati Sastra   59~NDS

    “Selamat datang kembali.” Nada melangkah tanpa keraguan. Mengulurkan kedua tangan lalu memeluk Rizal yang baru melewati gerbang Lembaga Pemasyarakatan.Bertahun-tahun mendekam di hotel prodeo, membuat waktu seakan berhenti bagi Rizal. Namun, di pelukan Nada, ia merasakan kehangatan yang begitu nyata. Kehangatan yang pernah ia kira telah hilang selamanya karena kesalahannya.“Terima kasih.” Rizal membalas pelukan Nada dengan erat. Ia sampai harus mengedipkan matanya berkali-kali, berusaha menahan air mata yang nyaris tumpah. “Harusnya, kalian berdua nggak perlu datang ke sini,” ujarnya setelah pelukan tersebut terurai.“Nggak mungkin aku biarin Papa sendirian,” ujar Nada memberi kesempatan Sastra untuk menyalami Rizal. Tidak ada pelukan, karena hubungan keduanya memang sangat kaku dan berjarak.Rizal memang sudah memberi restunya pada Sastra. Namun, setiap kali melihat pria itu, ingatannya langsung tertuju pada perceraiannya dengan Anggi.“Selamat, Pak,” ucap Sastra formal dan tidak bis

  • Nada di Hati Sastra   58~NDS

    Kehamilan kedua Nada nyaris tanpa drama. Hanya sensitivitas penciumannya kerap membuat Sastra kewalahan. Setiap kali Nada mengeluh bahwa aroma tubuhnya mengganggu, Sastra hanya bisa menghela napas dan segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Jika tidak, maka Nada tidak memberi izin untuk dekat-dekat. Istrinya beralasan, perutnya mual dan akan muntah jika Sastra tidak segera mandi.Masalah ngidam pun tidak terlalu merepotkan. Semua bisa didapat di tempat yang terjangkau, sama seperti Sastra dahulu kala.Dengan kata lain, semua aman. Sastra tenang dan Nada pun merasa aman-aman saja dengan kehamilannya.Kuliah Nada juga berjalan lancar, meskipun kemungkinan besar ia tidak akan lulus tepat waktu seperti yang sudah direncanakan. Namun, itu bukanlah masalah besar. Yang terpenting, bayi di dalam kandungannya sehat dan tumbuh seperti yang diharapkan.“Huufff ...” Nada menghela panjang saat melihat ruang keluarga penuh dengan mainan Aksa yang berserakan. Tidak hanya milik Aksa, teta

  • Nada di Hati Sastra   57~NDS

    “Aksa jangan lari-lari, Ak ...”Sastra menahan napas ketika putranya tiba-tiba jatuh, terjerembab dengan dagu yang terbentur lantai. Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan sebelum akhirnya suara tangis Aksa pecah, membuat jantung Sastra mencelos. Tingkah putranya benar-benar mengingatkan Sastra akan Cairo.“Sudah Papa bilang jang—”“Jatuh lagi?” Nada menarik napas panjang. Buru-buru menghampiri putranya yang baru digendong oleh Sastra, di teras rumah. “Pasti lari-lari lagi, kan?”“Mamaaa ...”Kendati Nada mengomel, tetapi Aksa tetap mencondongkan tubuh pada sang mama. Meminta ada di gendongan Nada daripada Sastra.“Sakit, kan?” tanya Nada saat Aksa sudah berada di gendongannya.Aksa mengangguk. Merebahkan tubuh di bahu Nada dan masih meneruskan tangisnya.“Dagunya sakit itu,” ucap Sastra sambil mengusap sisi wajah putranya. “Habis ini lari-lari lagi, oke? Terusin aja.”Bukannya mereda, tangis Aksa malah semakin menjadi. Bocah itu memeluk Nada lebih erat, menyembunyikan wajah di ceruk

  • Nada di Hati Sastra   56~NDS

    “Ingat apa pesan Om tadi?” tanya Sastra menoleh ke belakang. Melihat bergantian pada Milan dan Cairo, yang mengapit carseat yang diduduki oleh Aksa. “Kalau sampai ada yang lari-lari, Om nggak akan lagi ajak kalian ke kampus kak Nada.”Dua bocah itu mengangguk secara bersamaan. Tidak berani membantah, karena peringatan yang dilontarkan Sastra.“Ayo keluar,” ajak Sastra. “Tapi pelan-pelan dan JA-NGAN LA-RI.”“Iyaaa,” jawab Milan dengan malas. Bosan mendengar Sastra berpesan hal yang sama.Sastra hanya bisa menggeleng pelan sambil membuka pintu mobil. Setelah mengambil stroller dari bagasi, ia beralih ke car seat, mengangkat Aksa dengan hati-hati, lalu meletakkannya di stroller. Tangannya sigap memastikan sabuk pengaman terpasang dengan benar sebelum akhirnya berdiri tegak."Kak Nadanya mana?" tanya Milan yang berdiri di sampingnya dengan mata berbinar penuh antusias."10 menitan lagi baru pulang, jadi kita tunggu di kantin," jawab Sastra. Ia merasa seperti seorang ayah beranak tiga di t

  • Nada di Hati Sastra   55~NDS

    “Yang penting, jangan sampai berhenti kuliah,” pesan Rizal tegas. Ia masih berharap putrinya bisa meraih gelar sarjana. Bahkan jika memungkinkan, Nada bisa meniti karir. Menjalani masa-masa yang belum sempat dinikmati dan menggapai cita-cita.Untuk sementara, tidak masalah jika Nada harus mengambil cuti karena masih ada bayi yang membutuhkan perhatiannya sepenuhnya. Namun, setelah itu, Rizal berharap putrinya bisa kembali melanjutkan kuliah dan meraih impiannya. Ia ingin Nada tetap memiliki masa depan yang cerah, tanpa harus mengesampingkan perannya sebagai ibu.Perihal Aksa, Rizal yakin Anggi tidak akan keberatan membantu menjaga cucunya. Lagipula, keluarga Wiguna sangat berkecukupan, jadi, menyediakan seorang baby sitter untuk Aksa tentu bukan hal yang sulit.“Iya, Pa,” jawab Nada yang kembali datang menjenguk Rizal. Namun, ia tidak membawa Aksa, karena papanya yang melarang untuk membawa bayi tersebut ke penjara.Untuk sementara, Rizal cukup melihat cucunya melewati lembaran foto-f

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status