“Papa?”
Nada berdiri terpaku di sisi meja restoran. Menatap datar pada pria yang selama ini dipanggilnya Papa dan tengah duduk bersama seorang wanita asing.
“Nada!” Rizal tersentak. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan putrinya di jam makan siang seperti sekarang. Wajahnya tegang sesaat, sebelum akhirnya memaksakan senyum dan berusaha bersikap tenang. “Kamu ngapain di sini?”
“Justru aku yang harusnya tanya, Papa ngapain di sini?” Matanya menyipit tajam. Ia melirik sekilas ke arah wanita asing di sebelah papanya, sebelum bertanya dengan nada dingin. “Lo siapa?”
“Dina,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Berusaha terlihat biasa, kendati ada sedikit perasaan was-was di hatinya.
“Lo ngapain sama Papa gue?” Nada bersedekap. Intonasinya naik satu oktaf, membuat beberapa orang di sekitar mulai menoleh.
Nada hanya menatap Dina sekilas tanpa ekspresi dan membiarkan tangan wanita itu menggantung di udara. Kemudian, pandangannya jatuh pada beberapa paper bag bermerek yang tergeletak di kursi yang berbeda.
“Nada.” Rizal menarik napas dalam. “Mbak Dina ini rekan kerja Papa, jadi sopan sedikit karena dia lebih tua dari kamu.”
Nada menyeringai sinis. “Rekan kerja yang gandengan mesra sambil keluar masuk toko, begitu?” Ia menoleh ke Dina dengan tatapan sinis. “Eh, lo tahu nggak kalau Papa gue masih punya istri?”
Nada menunggu jawaban, tetapi wanita itu hanya diam dan menarik tangannya kembali.
“Nada, pulang sekarang,” Rizal mencoba meraih tangan putrinya saat berdiri. “Kita bicarakan ini semua di rumah.”
Nada segera menarik tangannya dengan kasar. Rahangnya mengeras saat ia kembali menatap Dina.
“Nggak! Jawab dulu!” Nada menunjuk tajam pada Dina. “Lo tahu nggak kalau Papa gue masih punya istri? Lo budeg dari tadi cuam diem aja.”
“NADA!” Rizal menghardik keras dan menatap tajam.
Nada membalas tatapan ayahnya tanpa gentar. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, sedikit bergetar karena menahan emosi yang semakin meluap.
“Apa!” jawab Nada dengan suara yang bergetar dan dadanya mulai naik turun. “Mama lagi sakit di rumah, tapi Papa malah enak-enakan selingkuh sama perempuan murah ini.”
Dina tersentak. Ekspresinya berubah dingin. “Nada! Jaga mulutmu!”
Nada terkekeh pendek. “Kalau lo nyuruh gue jaga mulut, harusnya lo juga bisa jaga harga diri dong!” Ia menutup mulutnya dengan satu tangan, berpura-pura kaget. “Ups, sorry, lo kan nggak punya harga diri.”
Rizal menggeram. “Nada, pulang!” Matanya melirik ke sekeliling restoran. Orang-orang menatap mereka, beberapa bahkan sudah mengangkat ponsel, merekam setiap detik pertengkaran ini.
Nada mencibir. Ia menatap sekilas paper bag di kursi. Tanpa berpikir panjang, ia meraih semua sekaligus, lalu membalikkan isinya ke lantai. Gaun, sepatu, dan tas bermerek berhamburan.
Tanpa puas, ia menginjak barang-barang itu. Sol sepatunya menggesek kain mahal, merusaknya tanpa ampun. Lalu, ia meraih botol saus dari meja dan menuangkan isinya ke atas benda-benda itu.
“Nada! Berhenti!” Dina berteriak panik, segera berdiri dan mendorong tubuh gadis itu. Namun terlambat. Semua barang belanjaannya sudah hancur.
Nada menatap puas, meskipun dadanya masih sesak karena kemarahan. “Gimana rasanya, Din? Sakit? Nyesek, kan, lo?” Nada berdecih dan tersenyum miring. “Tapi ini semua nggak sebanding dengan apa mama gue rasain!”
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat telak di pipi Nada.
Nada terhuyung ke belakang. Tangannya refleks menyentuh pipinya yang kini panas berdenyut. Matanya membulat, menatap Dina dengan keterkejutan yang tidak bisa disembunyikan.
“LO!”
Nada baru mencoba mendekat, tetapi tubuh Rizal dengan segera menghalangi.
“Papa bilang pulang!” desis Rizal sambil mencengkram erat lengan putrinya. “Kamu di sini cuma bikin malu!”
“Papa nggak lihat? Dia baru aja nampar aku!” Nada menunjuk Dina yang sibuk dengan barang belanjaannya dan dengan sengaja mengeraskan suaranya.
Restoran mendadak sunyi. Tidak ada yang bergerak, bahkan suara bisik-bisik pun lenyap melihat keributan yang baru terjadi.
“Itu karena kamu nggak bisa jaga sikap!” hardik Rizal melihat ke sekitar lalu menunduk untuk menyembunyikan wajahnya. “Papa sudah bilang kita bicara dan selesaikan semuanya di rumah, tapi kamu justru bikin onar!”
Nada menatap ayahnya dengan mata berkilat, seolah pria itu baru saja berubah menjadi orang asing. Rahangnya mengeras. Dadanya terasa sesak.
“Papa yang selingkuh tapi aku yang dibilang bikin onar!” Suara Nada semakin keras. Ia pun lantas bertepuk tangan setelah menghempas tangan papanya. “Hebat!”
Selagi Nada sibuk dengan dramanya, Rizal buru-buru menghampiri Dina yang memasukkan barang belanjaan ke dalam paper bag-nya dengan menggerutu.
“Ayo kita pergi,” ajak Rizal meraih lengan Dina. “Kita makan di tempat lain.”
“Tapi, Sayang, ini semua rusak,” ucap Dina tidak lagi mau peduli dengan orang di sekelilingnya. “Gara-gara anakmu.”
“Nanti kita beli lagi,” ucap Rizal lalu dengan segera membawa Dina keluar dari restoran.
“HEI!” Nada berteriak, tetapi kedua orang itu terus berjalan tanpa mau menoleh lagi padanya.
Geram karena tidak dipedulikan, Nada meraih botol saus sambal dan kecap dari meja berbeda dengan gerakan cepat. Napasnya memburu, dadanya naik-turun dipenuhi luapan emosi. Tanpa pikir panjang, ia berlari menyusul keduanya.
Saat jaraknya cukup dekat, tanpa ragu ia mengangkat kedua botol itu tinggi-tinggi, lalu menumpahkan isinya tepat di atas kepala Dina dan melemparnya ke tubuh wanita itu. Cairan merah dan hitam kental itu bercampur, menetes perlahan di rambut dan bahu wanita itu. Mengotori pakaian yang sebelumnya tampak sempurna.
Dina menjerit histeris, tangannya reflek meraih kepala, tetapi terlambat. Noda lengket sudah menyebar, meresap ke kain dan turun ke wajahnya. Ia berbalik dan membeliak, wajahnya memerah menahan malu dan amarah.
Sementara itu, Nada berdiri tegak, menatap Dina dengan sorot mata yang tajam dan penuh kemenangan.
PLAK!
“NADA!” Rizal reflek menampar dan membentak putrinya sekaligus.
Nada tersentak, langkahnya goyah saat rasa panas kembali menjalar di pipinya. Tamparan itu mendarat di tempat yang sama seperti sebelumnya. Namun, bukan hanya kulitnya yang terasa perih, tetapi lebih dari itu. Ada sesuatu yang jauh lebih menyakitkan, yakni sikap papanya yang lebih memilih membela wanita itu.
“Aku nggak nyangka anakmu bisa seliar ini!” hardik Dina sedikit menjauh untuk mengambil tisu yang ada di meja di dekat pintu.
“Liar katamu!” Nada mendesis, rahangnya mengeras menahan gejolak amarah yang membuncah di dada. Matanya yang mengembun semakin terasa panas, karena mengingat sang mama yang terbaring sakit di rumah.
Tanpa pikir panjang, Nada melesat ke arah Dina. Dalam sekejap, tangannya mencengkeram rambut wanita itu dengan keras, menariknya hingga Dina menjerit dan …
“Ompaaa!” Cairo berlari cepat setelah merampas ponsel Milan yang berdering. Ia masuk ke dalam rumah dan mendapati Sastra sedang berada di ruang keluarga bersama Anggi dan Aksa.Mereka memang berencana untuk makan malam di luar, untuk merayakan hari ulang tahun Melody yang kelima. Jadi, semua sudah siap dengan pakaian rapi, tinggal menunggu Nada dan Melody yang masih bersiap di kamar.Sementara itu, Adrian dan Arini sedang menunggu di rumah mereka. Hanya tinggal menanti kabar dari Sastra, lalu mereka akan berangkat bersama menuju restoran.“Pacarnya Kak Milan telpon!” lapor Cairo segera menyerahkan ponsel Milan pada Sastra.“CAIRO!” Wajah Milan sudah memerah. Tidak bisa mengejar sang adik yang sejak kecil memang memiliki hobi berlari secepat kilat. “KAMU AW—”“Rama?” Sastra menatap datar pada Milan, saat ponsel di tangannya berhenti berdering. “Sudah berapa kali Om bilang, sekolah dulu yang benar. Nggak usah pacar-pacaran.”“Aku nggak pacaran,” bantah Milan sembari bersungut. Menatap ta
“Selamat datang kembali.” Nada melangkah tanpa keraguan. Mengulurkan kedua tangan lalu memeluk Rizal yang baru melewati gerbang Lembaga Pemasyarakatan.Bertahun-tahun mendekam di hotel prodeo, membuat waktu seakan berhenti bagi Rizal. Namun, di pelukan Nada, ia merasakan kehangatan yang begitu nyata. Kehangatan yang pernah ia kira telah hilang selamanya karena kesalahannya.“Terima kasih.” Rizal membalas pelukan Nada dengan erat. Ia sampai harus mengedipkan matanya berkali-kali, berusaha menahan air mata yang nyaris tumpah. “Harusnya, kalian berdua nggak perlu datang ke sini,” ujarnya setelah pelukan tersebut terurai.“Nggak mungkin aku biarin Papa sendirian,” ujar Nada memberi kesempatan Sastra untuk menyalami Rizal. Tidak ada pelukan, karena hubungan keduanya memang sangat kaku dan berjarak.Rizal memang sudah memberi restunya pada Sastra. Namun, setiap kali melihat pria itu, ingatannya langsung tertuju pada perceraiannya dengan Anggi.“Selamat, Pak,” ucap Sastra formal dan tidak bis
Kehamilan kedua Nada nyaris tanpa drama. Hanya sensitivitas penciumannya kerap membuat Sastra kewalahan. Setiap kali Nada mengeluh bahwa aroma tubuhnya mengganggu, Sastra hanya bisa menghela napas dan segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Jika tidak, maka Nada tidak memberi izin untuk dekat-dekat. Istrinya beralasan, perutnya mual dan akan muntah jika Sastra tidak segera mandi.Masalah ngidam pun tidak terlalu merepotkan. Semua bisa didapat di tempat yang terjangkau, sama seperti Sastra dahulu kala.Dengan kata lain, semua aman. Sastra tenang dan Nada pun merasa aman-aman saja dengan kehamilannya.Kuliah Nada juga berjalan lancar, meskipun kemungkinan besar ia tidak akan lulus tepat waktu seperti yang sudah direncanakan. Namun, itu bukanlah masalah besar. Yang terpenting, bayi di dalam kandungannya sehat dan tumbuh seperti yang diharapkan.“Huufff ...” Nada menghela panjang saat melihat ruang keluarga penuh dengan mainan Aksa yang berserakan. Tidak hanya milik Aksa, teta
“Aksa jangan lari-lari, Ak ...”Sastra menahan napas ketika putranya tiba-tiba jatuh, terjerembab dengan dagu yang terbentur lantai. Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan sebelum akhirnya suara tangis Aksa pecah, membuat jantung Sastra mencelos. Tingkah putranya benar-benar mengingatkan Sastra akan Cairo.“Sudah Papa bilang jang—”“Jatuh lagi?” Nada menarik napas panjang. Buru-buru menghampiri putranya yang baru digendong oleh Sastra, di teras rumah. “Pasti lari-lari lagi, kan?”“Mamaaa ...”Kendati Nada mengomel, tetapi Aksa tetap mencondongkan tubuh pada sang mama. Meminta ada di gendongan Nada daripada Sastra.“Sakit, kan?” tanya Nada saat Aksa sudah berada di gendongannya.Aksa mengangguk. Merebahkan tubuh di bahu Nada dan masih meneruskan tangisnya.“Dagunya sakit itu,” ucap Sastra sambil mengusap sisi wajah putranya. “Habis ini lari-lari lagi, oke? Terusin aja.”Bukannya mereda, tangis Aksa malah semakin menjadi. Bocah itu memeluk Nada lebih erat, menyembunyikan wajah di ceruk
“Ingat apa pesan Om tadi?” tanya Sastra menoleh ke belakang. Melihat bergantian pada Milan dan Cairo, yang mengapit carseat yang diduduki oleh Aksa. “Kalau sampai ada yang lari-lari, Om nggak akan lagi ajak kalian ke kampus kak Nada.”Dua bocah itu mengangguk secara bersamaan. Tidak berani membantah, karena peringatan yang dilontarkan Sastra.“Ayo keluar,” ajak Sastra. “Tapi pelan-pelan dan JA-NGAN LA-RI.”“Iyaaa,” jawab Milan dengan malas. Bosan mendengar Sastra berpesan hal yang sama.Sastra hanya bisa menggeleng pelan sambil membuka pintu mobil. Setelah mengambil stroller dari bagasi, ia beralih ke car seat, mengangkat Aksa dengan hati-hati, lalu meletakkannya di stroller. Tangannya sigap memastikan sabuk pengaman terpasang dengan benar sebelum akhirnya berdiri tegak."Kak Nadanya mana?" tanya Milan yang berdiri di sampingnya dengan mata berbinar penuh antusias."10 menitan lagi baru pulang, jadi kita tunggu di kantin," jawab Sastra. Ia merasa seperti seorang ayah beranak tiga di t
“Yang penting, jangan sampai berhenti kuliah,” pesan Rizal tegas. Ia masih berharap putrinya bisa meraih gelar sarjana. Bahkan jika memungkinkan, Nada bisa meniti karir. Menjalani masa-masa yang belum sempat dinikmati dan menggapai cita-cita.Untuk sementara, tidak masalah jika Nada harus mengambil cuti karena masih ada bayi yang membutuhkan perhatiannya sepenuhnya. Namun, setelah itu, Rizal berharap putrinya bisa kembali melanjutkan kuliah dan meraih impiannya. Ia ingin Nada tetap memiliki masa depan yang cerah, tanpa harus mengesampingkan perannya sebagai ibu.Perihal Aksa, Rizal yakin Anggi tidak akan keberatan membantu menjaga cucunya. Lagipula, keluarga Wiguna sangat berkecukupan, jadi, menyediakan seorang baby sitter untuk Aksa tentu bukan hal yang sulit.“Iya, Pa,” jawab Nada yang kembali datang menjenguk Rizal. Namun, ia tidak membawa Aksa, karena papanya yang melarang untuk membawa bayi tersebut ke penjara.Untuk sementara, Rizal cukup melihat cucunya melewati lembaran foto-f