Share

5. Kangen Kakek

***

Sore itu, jalan anggrek dipenuhi puluhan anak SMA, di kubu kanan ada SMA Jaya sedangkan di kubu kiri ada SMA Bina Bakti.

Nadira berdiri di samping Lukas, di belakang mereka lebih dari 15 murid SMA Bina Bakti berjejer. Hal sama juga terjadi di kubu kanan, lebih dari 20 murid SMA Jaya berdiri bersama senjata masing-masing.

Nadira berdiri dengan mata berbinar, seakan baru saja melihat idolanya berdiri di depannya. Ditangannya ada sehelai kain basah, teman-temannya bahkan sampai bingung untuk apa kain tersebut saat seharusnya gadis itu membawa senjata seperti balok, besi, atau sejenis senjata mematikan lainnya?

Tapi dengan enteng dia menjawab: "Kata nda enggak boleh kasar, enggak boleh bikin anak orang masuk kuburan karena nda si penguasa dunia itu lagi enggak nerima tamu."

Tentu saja semua teman-temannya kembali dibuat melongo tak habis pikir, dan akhirnya membiarkan gadis itu berlaku seenaknya, sedangkan Lukas membawa dua pemukul bisbol (bat) satu untuknya dan satu untuk Nadira, jaga-jaga jika gadis itu menginginkannya.

Di belakang Lukas ada ketujuh anggota inti dan lebihnya adalah anak bermasalah yang lagi gabut, mereka mengaku pasukan yang kata Erlan mempertahankan harga diri sekolah mereka. 

Di depan mereka berdiri sang pemimpin pasukan SMA Jaya. Namanya, Rian, cowok yang kata Nadira; lebih ganteng kuku kaki ayah Arga ke mana-mana.

"Jadi ... kapan nih mau bilang serang?" Nadira angkat suara sebagai pembuka, saat dirasanya dari sepuluh menit yang lalu tidak ada yang mau berbicara.

Teman-teman gadis itu mengangguk mengiyakan.

Rian berdecih, meremehkan pasukan musuh yang menurutnya akan kalah ditangan mereka, selama ini dia hanya mendengar kekalahan musuh lainnya dan kemenangan musuhnya yang ini, dari kabar angin. Karena penasaraan makanya dia mengajak teman-temannya untuk tauran. Dan ketika melihat lima belas orang di depannya, senyum meremehkannya terukir, bukan mereka --musuhnya yang ini-- yang kuat, tapi musuh lainnya lah yang lemah, tapi, tidak dengan pasukannya. Rian yakin pasukannya akan menang.

"Yakin lu semua bakal menang dari kita semua?" tanya Rian disambut tawa teman-temannya.

Nadira mengeryit, bingung, apa yang lucu? 

Menoleh ke arah Lukas, dia akhirnya bertanya, "Bang, lu yakin lawan kita ini bukan pasien kabur rumah sakit jiwa?"

Tanya itu mengundang tawa dari pasukan Nadira dan pelototan tidak terima oleh kubu lawan.

"Mungkin, Dir," jawab Lukas disela kekehannya.

Jelas si kubu lawan tidak terima. "Wah kurang aja, lu yang gila, setan!" teriak salah satu cewek dianggota lawan.

Nadira yang mendengar itu langsung bertepuk tangan, mengundang kebingungan semua orang.

"Keren, lu bisa ngomong?" tanyanya penuh binar bahagia. "Gue kira dari tadi selain si Rinto ini yang lain gagu atau bisu, "sambungnya menujuk Rian.

Dipanggil Rinto, jelas Rian tidak terima. "Anjeng, nama gue Rian oyy, enak aja manggil-manggil Rinto. Rinto kakek lu?"

Membawa-bawa nama kakek, Nadira jadi kangen, tiba-tiba saja matanya berkaca-kaca. menatap Rian cukup lama lalu kemudian beralih pada Lukas di sampingnya.

Hal tak terdugapun terjadi.

"Huaaaaaaa bang Uka, Dira kangen sama kakek," rengeknya mengoncang pelan lengan Lukas.

Lukas di buat kaget, cowok itu jadi gelagapan, bingung ketika melihat Nadira berkaca-kaca, seumur dia mengenal Nadira, baru kali ini dia melihat gadis itu mau mewek.

Semua orang juga ikut bingung melihat kejadian itu. Antara bingung dan kesal, Rian di tampatnya berdiri, berteriak. "Woy, jadi tauran, enggak?"

"Alah Serang aja sih, bos, malah nanya dulu," komplen salah satu teman cowoknya.

Rian berdecak lalu menggeleng. "Enggak boleh gitu, Cup. Itu namanya curang, gimana kalau lawan belum siap? Kan sama aja kita menang tanpa ngeluarin tenaga," jawabnya bijak pada Ucup, temannya.

Iya, menurut Rian, dia sudah bijak dengan ngomong seperti itu. Padahal tidak tahu saja cowok itu kalau teman-temannya tengah memaki dirinya dalam hati. Mana ada tauran yang menunggu persetujuan lawannya dulu untuk bertarung, Rian ini terlalu berahlak untuk ukuran preman SMA Jaya.

"Kok gitu, Bos?"

"Enggak bisa gitulah."

"Enggak usah nanya dululah."

"Langsung serang aja."

"Diem lu semua!" bentak Lukas yang tiba-tiba sakit kepala karena bacotan lawan dan Nadira yang merengek kangen pada kakeknya.

Lukas menatap tajam kubu lawannya. Rian yang ditatap seperti itu malah gagap, "I-iya," katanya. Lalu, sedetik kemudian sadar, kenapa dia harus nurut. Wah kampret. "Eh jadi gimana woyy jadi atau gimana ini, taurannya?" teriaknya kesal.

Lukas yang mendengar itu juga terlihat bingung, Nadira sudah merengak dan hampir menjatuhkan air mata. Dalam benaknya dan semua orang di sana sama-sama bertanya bingung; mereka jadi tauran atau gimana?

"Dir, jadi tauran, enggak?" tanya Lukas pelan. Nadira yang mendengar itu, menatap wajah Lukas lalu beralih menatap pasukan lawan, matanya sudah siap menumpahkan air mata, bibirnya manyun. Lalu dengan kesal dan sedih dia berucap, membuat semua orang melongo.

"Enggak jadi, Dira mau pulang aja." dan setelahnya dia berlalu, menarik tangan Nindia dan mengeluarkan kunci motornya, kemudian diberikan kepada Nindia yang masih bingung dan tidak percaya.

"Bawa motor gue, ayok pulang, Nindi," ajaknya menarik tangan Nindia menjauh.

Rian yang tersadar lantas berteriak tidak terima. "Woy tauran dulu baru pulang!"

Lukas yang juga masih bingung tapi, kesal menunjuk Rian tidak suka. "Gara-gara lu nih kambing, ngapain bawa-bawa kakek segala?"

"Lah kok gua? Mana tau gua kalau dia lagi kangen sama kakeknya," jawab Rian tak mau disalahkan.

"Tapi tetap aja, coba lu enggak bawa-bawa kakek enggak gini jadinya."

"Ya maap, gua kan enggak tau, jadi gimana?"

"Ya pulanglah, lain kali aja taurannya."

"Kok gitu sih, bangsat?"

"Terus mau lu gimana?"

"Kalian aja lah."

"Kagak, kita solit, war satu, war semua."

"Jadi, ini beneran kagak bakal jadi tauran?"

"Ya, iyalah setan. Dahlan, sana lu pada pulang."

"Kambing emang."

"Bodo."

Dan begitu saja, tauran sore itu bubar. Pasukan Rian pulang dengan kekesalan luar biasa, sedangkan, Lukas dan teman-temannya mengikuti motor Nadira yang dibawa Nindia, mereka ikut mengantar Nadira yang duduk murung di belakang tubuh Nindia.

***

Ayah Arga baru saja pulang dari kantornya, memarkirkan mobil hitamnya ke garasi rumah, pria itu keluar dari kursi kemudi. 

Berniat mengganggu kegiatan sang istri ketika tiba-tiba suara bising motor memasuki gerbang rumah yang di buka pak satpam rumahnya.

Arga melongo, tidak percaya siapa yang membawa sekumpulan anak SMA ke rumahnya.

Hampir saja rahang bawahnya jatuh ketika tiba-tiba Nadira turun dari boncengan murid cewek yang Arga tidak tau anak siapa dan namanya siapa? Dan memeluk dirinya kemudian menangis.

Teman-teman Nadira yang tadinya mengagumi indahnya rumah bertingkat di depan mereka kembali dibuat kaget, entah sudah berapa kali mereka dibuat melongo, kali ini bukan karena ucapan gadis itu. Namun, karena suara isak tangis yang baru pertama kali ini mereka dengar.

Nadira, sigadis bermasalah, pemberani hari ini tengah terisak dipelukan sang ayah.

Wah, luar biasa.

Arga yang tersadar dari acara terkejutnya jadi bingung, tanganya reflek mengusap pelan punggung putri sulungnya. Lalu sedetik kemudian menatap tajam sekumpulan anak-anak di depannya.

Ditatap seperti itu, Lukas dan jejeran para cowok itu panas dingin, tatapan ayah Nadira ternyata berbahaya.

Baru saja Lukas hendak menjelaskan, suara Nadira terdengar dengan terbata-bata.

"Hiks Yah, Di--dira kangen ka--ke--k."

Mencerna baik-baik maksud sang putri, akhirnya Arga mengerti. Dia mengangguk.

De, turunanan kamu, nih-- batinnya. Arga tidak heran dari mana asal muasal cengeng anak-anaknya, jelas saja dari wanitanya.

"Hiks huaaa ayah," isak Nadira. 

Arga menggeleng pelan, mencium rambut Nadira lalu berucap lembut."Cup-cup-cup nanti kita ke rumah kakek ya, udah nangisnya, kakak enggak malu sama temen-temen kakak?" 

Nadira hanya mengangguk pelan lalu kembali menggeleng. "Dikit," lirihnya.

"Ada apa ini ribut-ribut, enggak tau apa kalau bunda lagi maskeran."

Suara itu menarik semua perhatian orang-orang di sana, kembali dibuat melongo saat melihat seorang wanita berwajah hitam dan rambut dicepol asal, daster bunga-bunga dan jangan lupakan sendal bulu-bulu yang melekat imut dikedua kakinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status