Share

Nadira
Nadira
Penulis: Alleira Cahaya Starla

1. Asal Muasal Nama

Nadira Anjani Armaleo.

Nama yang bagus, terlalu bagus untuk disematkan padanya. Nama Nadira seharusnya identik gadis anggun, pemalu dan ceria. Namun, tidak dirinya. Aih,  kecuali ceria tentunya. Bahkan semua orang akan mengira dirinya kelebihan dosis kecerian.

Dia tidak anggun. Dia itu; bar-bar, suka ceplos-ceplos, cerewet dan masih banyak sikapnya yang bisa membuat sang bunda menggeleng tak habis pikir.

Kata bunda, namanya diambil dari nama gadis kecil yang datang di mimpi bunda-- Alleira Cahaya Starla-- sesosok gadis cantik dan menggemaskan, mengaku sebagai Nadira dan anak bunda, hanya itu cerita singkat asal muasal namanya.

Sedangkan Anjani, nama ibu dari Hanoman di film Sinta dan Rama. Bunda adalah menggemar garis depan film-film india. Itulah sebabnya nama tengahnya nama itu.

Nadira punya kembaran; namanya, Nadila Sinta Armaleo dan adik laki-laki bernama Gibran Arnov Armaleo. 

Dari mana nama-nama itu? Tentu saja dari mimpi bunda

Kata bunda, di dalam mimpinya, seorang gadis kecil berumur lima tahun sedang menjaga sosok bayi mungil, bayi laki-laki.

Lantas, ketika bunda Alle mendekat, gadis kecil itu mendongak lalu berdiri dan berlari kecil ke arahnya. Dengan suara khas anak kecil, dia mengaku dirinya bernama Nadira, memanggilnya, bunda. Dan bercerita dengan semangat tentang bayi laki-laki yang tengah berbaring di atas kasur di kamar tersebut. 

Lalu, paginya, ketika bunda bangun, dengan ceria dia menceritakan mimpi tersebut pada sang kekasih--Armaleo Nauvally Arga-- yang kini sudah resmi menjadi suami dan ayah anak-anaknya. Ketika itu bunda Alle meminta Arga memberi nama untuk bayi laki-laki di mimpinya, dan yang pertama kali melintas dipikiran si pacar adalah nama Gibran. Jadilah, nama bayi tersebut adalah Gibran.

Lanjut cerita, beberapa hari kemudian, bunda kembali bermimpi, mimpi tentang gadis kecil bernama Nadira. Namun, kali ini Nadira tidak membawa Gibran tapi justru membawa gadis kecil seumuran dirinya dan memperkenalkan kalau gadis itu bernama Nadila, kembarannya. 

Begitulah cerita singkat asal muasal nama-nama ketiga anak bunda Alle.

Dan ajaibnya, setelah menikah dengan si pacar, tuhan justru mengabulkan semua mimpi itu. Wanita ceria bernama Alle itu dikaruniai anak kembar, dan satu tahun kemudian kembali melahirkan anak laki-laki.

Hanya saja sikap mereka bertiga tidak sama dengan apa yang ada di mimpinya.

Nadira, dia memang cerewet seperti dimimpi bunda Alle, tapi ketika semakin berumur sifatnya selalu bisa membuat bunda sakit kepala.

Nadila, dia pendiam, tapi jika dihadapan sang ayah sifat turunan bunda yang cerewet--kata ayah-- akan keluar.

Dan, Gibran? Jangan tanya, anak laki-laki itu adalah copy-an sang ayah, keras kepala, dingin, datar, cuek pada orang lain. Kecuali pada keluarganya, akan bersikap menyebalkan.

Seperti pagi ini, suara halus bunda menggema, memanggil nama putri sulungnya yang masih terlelap di dalam kamarnya.

"Nadira! Dira, bangun!" decaknya mengetuk-ngetuk pintu berwarna maron di depannya.

Lima belas menit dia berdiri di sana, tapi belum ada tanda-tanda si sulung sudah bangun. Karena kesal, dia kembali berteriak.

"Bang Ilan ... dobrakin pintu kamar kakak buat bunda, buru!" 

Yang dipanggil dengan cepat muncul, takut namanya dipanggil dua kali dan disusul pot bunga.

Gibran atau biasa dipanggil abang di rumah tersebut menyengir, menatap polos bunda yang memberi intruksi untuk mendobrak kamar Nadira.

Tapi bukannya melaksanakan, Gibran malah mengeryit. 

"Mata nda kenapa, kemasukan cintanya ayah, ya?" tanyanya polos.

Bunda tentu saja kembali kesal, lalu, tanpa ba-bi-bu mencubit gemas pipi si bungsu. 

"Aw-aw ampun, Nda," ringis Gibran. Tangannya berusaha melepas tangan bunda dari pipinya, bunda tidak main-main kalau sudah mencubit.

"Dobrak!" titah bunda, melepas tangannya dari pipi Gibran.

Tak ingin dicubit lagi, Gibran mengangguk. "Itung nda, satu sampai tiga," katanya meminta intrupsi.

Bunda mengangguk, "satu ... Du--"

"Berisik ih, Dira masih ngantuk."

Bunda mengerjap dengan mulut masih terbuka, Gibran masih dalam posisi hendak mendobrak.

Di depan mereka, di depan pintu yang baru saja terbuka. Nadira berdiri, masih dengan muka bantal, mata setengah tertutup, rambut bak singa, dan iler di sudut bibirnya.

Tersadar dari acara melongonya, bunda berkacak pinggang, menatap sekilas jam di pergelangan tangan.

06.15

Dan Nadira masih ngantuk? Anak ini-- decak bunda dalam hati, kesal.

Tanpa pikir dua kali, tangan bunda terulur, menarik gemas telinga Nadira. "Masih ngantuk? Jam berapa ini, Kak? Mau sekolah atau enggak, hum?" tanya bunda bertubi-tubi.

Nadira yang merasakan panas ditelinga kirinya mengaduh, matanya memelas menatap bunda, lalu sedetik kemudian melotot ke arah Gibran yang menertawakan dirinya. 

"Aww nda, sakit, aww iya-iya Dira mau sekolah, lepasin dong nda Dira mau mandi, mau pakaian," rengeknya memelas ke arah bunda.

Gibran yang sadari tadi tertawa diam-diam, mulai mengompori. "Tarik yang kenceng nda, kakak kebiasaaan ngebo, jangan kasih ampun nda, " katanya penuh semangat.

Melepas tangan dari telinga Nadira, bunda menoleh ke arah Gibran, melotot kesal. "Dan abang, ngapain di sini? Sana ke meja makan, gabung sama ayah dan Dila," usirnya mendorong pelan punggung si bungsu.

Gibran memajukan bibirnya, menatap cemberut ke arah bunda yang baru saja mengomelinya. Mengangguk pelan, dia akhirnya berlalu dengan mata sinis menatap sang kakak, Nadira, yang balik menertawakan dirinya.

Selepas kepergian Gibran, bunda menoleh ke arah Nadira kembali. Berkacak pinggang dengan wajah galak, Nadira meringis dengan senyum lebar, merasa ciut kalau bunda sudah mode galak on.

"Ngapain kakak diem aja di situ? Sana pakaian, nda tunggu di bawah, sepuluh menit, harus udah di meja makan. Terserah mau mandi atau enggak." setelah membuat Nadira menganga tak anggun, wanita berumur 36 tersebut berlalu.

"Kok cuma sepuluh menit? Nda? curang, enggak boleh gitu." percuma, karena bunda sudah berlalu menuruni tangga.

Dengan ogah-ogahan Nadira masuk ke kamarnya, sepuluh menit hanya cukup untuk mencuci muka dan sikat gigi. Ah, bodo amat, toh orang cantik bebas, katanya dalam hati.

***

Di meja makan, Nadila dan Gibran sudah duduk manis. Bunda datang dengan bibir komat-kamit, mengomel selama perjalanan menuju ruang makan.

Gibran menyikut tangan Nadila, meminta perhatian sikakak untuk melihat tingkah bunda mereka. Nadila yang disikut melirik adiknya sekilas, lalu menatap berbinar tingkah bundanya. Sikap aneh yang entah diturunkan dari siapa, selalu bahagia saat melihat semua tingkah bunda.

"Ayah, mana?" tanya bunda pada kedua anaknya. Yang ditanya menampilkan jawaban isyarat yang berbeda; Gibran yang mengangkat bahu pertanda tak tahu, dan Nadila yang menggeleng dengan tangan yang dipangku di bawah dagu.

Bunda berdecak, "Jangan bilang ayah belum bangun juga?"

"Hadir, Nda." suara itu menarik atensi mereka. Arga, sang ayah berjalan santai dengan pakaian formalnya, ditangannya ada tas kerja dan satu dasi.

Bunda menggeleng, melangkah ke arah ayah dan meminta dasi yang langsung di berikan. 

"Kirain belum bangun, ayah kan sebelas-dua belas sama Nadira, susah di banguninnya, "sindirnya. Tanganya dengan cekatan memasang dasi kekerah kemeja ayah.

Ayah hanya tertawa menanggapi omelan bunda, mencium gemas kening wanita yang menemaninya 16 tahun itu. Dan bunda hanya memanyunkan bibirnya, pertanda tengah ngerajuk.

"Nda, ayah itu seserver sama abang, bangun cepet kalau bukan hari libur, iya 'kan, Yah?" Gibran di tempat duduknya ikut menyahut, reflek bunda meliriknya.

"Nyenyenye," kesalnya dan disambut tawa suami dan anak-anak.

"Anak sama ayah sama aja, bisanya bikin nda darah tinggi, harusnya ya, di umur nda yang baru aja masuk 37 ini masih keliatan lebih muda, bukan udah tua gini," omelnya berjalan menyiapkan sarapan untuk anak-anak dan suaminya.

Ayah menggeleng tak habis pikir, dengan senyum yang selalu lebar kala dihadapkan pada wanita yang berhasil mancuri hatinya itu, debaran di dalam sana masih sama setiap berdekatan dengan wanitanya, rasa hangat setiap mendenger wanita itu mengomel masih sama seperti awal mereka pacaran dulu.

"Nda masih cantik kok, masih kek umur 25 tahun." Nadila yang sadari tadi menyimak penuh binar bersuara, dia tidak berbohong saat bilang begitu, bundanya memang masih sangat cantik, baginya bunda adalah wanita tercantik yang pernah dia temui.

"Duh, jadi malu," ucap bunda mendengar pujian putrinya itu.

"Kakak bener, Nda." Gibran menggeleng dengan senyum lebar, dia sependapat dengan ucapan kakaknya itu.

Sedangkan ayah? Tentu saja akan tetap membuat wanitanya kesal.

"Emang udah tua juga, mau ditutupin kaya gimana juga emang udah tua. Adek dan abang cuma pengen ngehibur nda aja tuh," katanya memanas-manasi.

Gibran dan Nadira sontak melotot ke arah ayah, lalu menggeleng serentak ketika bunda menatap mereka tajam.

"Jahat, ayah mah gitu, enggak bisa liat bunda seneng." bunda memanyunkan bibirnya tanpa malu dihadapan anak-anak. Wanita tiga anak tersebut akan bersikap layaknya remaja baru puber jika dihadapan sang suami, sikap manjanya akan keluar tanpa repot-repot ditutupi.

Gibran memutar bola mata malas, tapi tetap tersenyum melihat bagaimana bundanya merajuk, sedangkan Nadila, dengan mata berbinar menatap penuh kagum ke arah bunda.

Ayah? Lelaki itu tertawa lalu berlalu, duduk di kursinya dan mengabaikan sang istri, masih ingin melihat wajah ngambek wanitanya.

"Yuhuuuuu anak camtek datang." suara gema Nadira di ujung pintu ruang makan terdengar, bunda mendelik ke arah anak itu, kebiasaan yang entah turun dari siapa?

"Enggak usah teriak-teriak juga, ini bukan hutan, ya?" sarkas bunda, dijawab tawa Gibran dan Nadila, serta ayah yang geleng-geleng kepala.

Nadira yang mendengar itu langsung menekuk wajahnya. Lalu menyengir lebar, "Kok ngamuk?" tanyanya sengaja.

Bunda memegang sisi kepalanya dramatis, mengabaikan tanya anak sulungnya itu.

"Heran nda nih, dulu waktu ngehamilin Dira makan apa ya? Kok bisa sikapnya kek gini," katanya menggeleng, lalu beralih menatap suaminya. "Tuh yah, turunan ayah," sambungnya menuding ayah penuh kesal.

Ayah menggeleng. "Mana ada, turunan nda tuh," balasnya tidak terima.

Nadira yang melihat perdebatan ayah dan bundanya hanya menggeleng, merotasikan matanya lalu berjalan ke arah meja makan, duduk di depan Nadila dan menyapa kembaran dan adiknya itu.

"Pokoknya turu--"

"Nda, mau makan atau enggak nih? Kita bakal terlambat kalau nda dan ayah masih debat."

Bunda tak jadi melanjutkan kalimatnya ketika Nadila dengan kalem memotong.berdecak sekali, wanita itu mulai dengan cekatan mengambil sarapan buat anak-anak dan suaminya.

Selalu seperti itu, pagi mereka selalu akan terlihat menyenangkan. Bunda yang sering ngomel-ngomel, Ayah yang selalu mengganggu bunda, Nadira yang susah dibangunin, Nadila yang kalem dan Gibran yang sebelas-dua belas dengan sang ayah.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status