(POV Risa)Aku sangat geram mendapati Davina yang telah lancang memasuki kamarku. Terlebih aku juga sangat marah melihat Davina mengacak-acak isi lemariku. Berkas-berkas pentingku telah diacak-acaknya. Apa yang sebenarnya yang dia cari di kamarku?“Mbak, a-aku ….” Davina terkejut dengan kepulanganku yang tiba-tiba.Wajahnya yang terlihat gugup membuatku yakin, ada yang tidak beres dalam dirinya.“Sedang apa kamu di kamarku? Keluar kamu dari kamarku!” bentakku amat berang.“Ada apa sih, Ris, kok teriak-teriak!” Dela menghampiriku.“Dia … dia manusia tak tahu diri ini, telah lancang masuk ke dalam kamarku, Del. Lihat apa yang dia lakukan terhadap berkas-berkas penting milikku!” tunjukku ke arah Davina.Dela menatap Davina tajam. Terpancar jelas dari raut wajahnya, bahwa dia pun sangat marah terhadap Davina.“Perempuan tak tahu diri, sudah ditampung gratis, malah mencari gara-gara.” Dela berjalan masuk ke dalam kamarku. Dia menghampiri Davina, tanpa diduga dia menarik rambut Davina.“Aw
(POV Risa)“Sudah jam 22.00 malam nih, Ris. Aku pulang dulu ya, Ris! Kalau ada apa-apa, segera hubungi aku. Ok!” pamit Dela.“Ya sudah, kasihan kamu juga pasti sangat capek. Terima kasih ya, Del. Karena berkat bantuan kamu, aku jadi tahu tentang kebusukan Davina dan juga mas Rendi,” ucapku.“Sama-sama, Ris. Ya sudah aku pulang, ya! Sayang, Tante pulang dulu, ya! Jangan rewel, jadi anak yang baik, ya!” sahut Dela sambil mengelus pipi Kania.“Siap, Tante!” sahutku mewakili Kania.Dela pun keluar dan pergi dari rumahku, sedangkan aku segera menutup semua pintu rumahku, dan menguncinya. Aku mesti hati-hati, tak boleh ceroboh lagi. Cukup sekali saja aku kecolongan seperti tadi. Tapi syukurnya, tak ada yang hilang sama sekali.Aku menimang-nimang Kania dalam gendonganku, supaya dia cepat tidur. Setelah Kania tertidur, aku segera membawa Kania masuk ke dalam kamar.Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu membangunkanku, yang sempat tertidur namun sebentar.Gegas aku mendekati pintu, namun terlebi
(POV Rendi)“Cepetan cari, pokoknya aku tidak akan mau kembali sama kamu, sebelum kamu mendapatkan sertifikat rumah itu. Bukan karena apa, aku hanya ingin memberi pelajaran kepada si Risa. Berani-beraninya dia sama si Dela itu mengusirku kasar,” tegas Davina dari ujung telepon.Davina terus saja mengoceh, aku mendengarkannya namun tak menimpali. Aku takut jika Risa terbangun jika aku terus-menerus menjawab ucapan Davina di telepon, walaupun dengan suara pelan.Aku terus mengobrak-abrik semua pakaian Risa di dalam lemari. Namun tak kunjung aku temukan. Dimana sebenarnya Risa menyimpan sertifikat rumah ini. Selama aku berumah tangga dengannya, aku tidak pernah tahu dia menyimpannya dimana.Aku terus berusaha mencarinya, sebelum Risa terbangun.Uhuk!Pluk!Jantungku serasa mau copot saat mendengar suara batuk dari belakangku. Bahkan ponselku yang menempel di telingaku pun terlepas dari genggamanku.Aku menoleh ke belakang, aku panik bukan kepalang. Ternyata Risa sedang duduk di tepi ranj
(POV Risa)Aku berdiri di gedung perkantoran. Berkat aku membuntuti mas Rendi, kini aku jadi tahu bahwa dia ternyata datang kesini, dan bukan ke tempat penjual mie ayam yang disebutkan tadi.Jelas ini membuat aku semakin ragu dan tidak mempercayainya. Terlalu banyak kebohongan dan rahasia yang mas Rendi sembunyikan dariku.Aku sengaja menunggu jam istirahat, supaya aku bisa leluasa bertemu dengan mas Rendi, dan meminta penjelasan tentang semua ini.Walaupun aku sempat diusir oleh satpam saat hendak masuk ke dalam. Tapi aku tetap nekat dan memaksa untuk bisa masuk. Sampai akhirnya aku berbohong, bahwa aku ada janji bertemu dengan salah satu karyawan yang ada kantor ini. Syukurlah aku diizinkan, walaupun satpam itu masih terus mengawasiku.Satu persatu karyawan kantor ini keluar, saat jam istirahat telah tiba. Inilah saatnya, aku ingin bertemu dengan mas Rendi. Aku ingin mendengar semuanya langsung dari mulutnya. Kenapa dan apa alasannya dia sampai berbohong padaku.“Mbak … Mbak, saya b
(POV Risa)Ya Tuhan, apa yang terjadi? Kenapa koperku itu ada di depan rumahku.Perasaanku menjadi tak enak, aku berlari menghampiri pintu.“Gawat, pintunya dikunci. Perbuatan siapa ini?” batinku.Aku kembali berlari menghampiri pintu belakang. Masih sama, pintu belakang dalam keadaan dikunci.Dor! Dor! Dor!Aku menggedor pintu sekeras mungkin.“Siapa di dalam? Kenapa koperku ada di luar? Cepat keluar kamu! Siapa saja yang ada di dalam, buka pintunya!” teriakku.Tak ada jawaban sama sekali dari dalam. Keadaan sangat hening, seperti tak ada siapapun.“Buka pintunya!” Aku kembali berteriak.Sekeras apapun aku berteriak, nyatanya sama sekali tak ada yang membukakan pintu. Lalu, siapa yang membuat koperku berada di luar?Teringat akan kunci yang aku titipkan pada bu Lela. Gegas aku berlari menuju rumah bu Lela. Berharap dia tahu, kenapa ada koperku di luar rumah.Tok! Tok! Tok!“Bu … Bu Lela,” panggilku.Seperti keadaan di rumahku, rumah bu Lela sama dalam keadaan sepi.“Bu Lela, bukain p
(POV Rendi)“Si4l, kenapa Risa bisa tahu kalau aku masih kerja di kantor ini? Ceroboh sekali aku, harusnya aku tahu dan berhati-hati, kalau Risa membuntutiku dari rumah,” gerutuku dalam hati.Seketika aku sudah tak bernafsu untuk makan siang. Entah mesti bersandiwara seperti apa lagi kalau sudah begini? Semua rencanaku kacau balau. Hari ini adalah hari sial bagiku. Tak menyangka semuanya akan seperti ini.Jujur aku sangat malu terhadap teman satu kantorku. Bisa-bisanya Risa bicara terang-terangan bahwa dia adalah istriku. Mau ditaruh dimana mukaku?Rencanaku bisa gagal kalau begini. Seharusnya aku bisa bersabar dan bermanis-manis di depan Risa. Tapi Risa telah mengacaukan segalanya. Kini aku mesti menyusun skenario baru, untuk bisa membuatnya menyesal. Sungguh merepotkan sekali wanita itu.“Hei, Ren! Yang tadi beneran istri kamu?” tanya Bams, teman satu kantorku. Dia menepuk bahuku, sehingga aku yang sedang melamun di kantin, sedikit terkejut.“Bu-bukan, dia hanya orang yang meminta-m
(POV Davina)Aku bosan berada di rumah Hendri seharian ini. Hanya makan tidur, makan tidur, tidak ada kerjaan lain. Ingin sekali rasanya aku jalan-jalan, shopping, nyalon, tapi mas Rendi tidak ada. Tapi aku akan terus bersabar, semoga saja mas Rendi berhasil mendapatkan apa yang aku inginkan.Andai aku masih berada di rumah Risa, mungkin sekarang ini aku masih bisa berduaan dengan mas Rendi.“Heh, Vin, bisa nggak sih kalau bekas makan tuh beresin,” ujar Hendri.Aku menoleh ke arah Hendri, yang berdiri tai jauh dari tempat dudukku.Aku tidak menggubris ucapannya, aku anggap dia hanya angin lalu saja.Aku memainkan ponselku tanpa menghiraukan Hendri.“Woy! Jawab dong, malah asyik main ponsel. Kalau habis makan tuh beresin ke dapur, bukan malah di taruh di ubin kayak gini.” Hendri menggerutu, namun aku berusaha tak mendengarkannya.“Ck … dasar nggak guna, sudah numpang nggak tahu diri, lagi,” lirihnya.“Apa kamu bilang?” Aku melotot tajam ke arah Hendri. Aku tak terima disebut menumpang
(POV Davina)Suara nyanyian sekumpulan pengamen itu masih saja belum selesai. Aku sempat merasa kesal, sehingga memutuskan untuk mematikan panggilan telepon secara sepihak dari mas Rendi.“Berisik ih,” gumamku kesal.Aku memberikan uang receh kepada mereka, supaya mereka berhenti bernyanyi dan pergi dari hadapanku.Tapi hari ini aku cukup puas, ada dua hal yang membuatku bahagia hari ini. Pertama, bisa berkenalan dengan Jona, lelaki yang sangat tampan, dan yang kedua mendengar kabar bahwa mas Rendi berhasil mengusir si Risa.Aku sudah tak sabar ingin melihat kesengsaraan si Risa setelah diusir dari rumahnya sendiri.Gegas aku masuk ke dalam toko, memilih-milih baju yang akan aku pakai sekarang. Walaupun banyak yang menatapku heran, aku tak peduli. Aku tahu, pasti mereka heran kenapa bajuku sampai belepotan kotor seperti ini.Setelah baju yang aku sukai didapat, lanjut aku membayarnya di kasir. Aku mengganti baju di dalam toilet.“Sudah selesai, aku harus segera pergi ke rumah si Risa.