LOGIN
Pov Andini
"Mas, tambahkanlah sedikit. Harga kebutuhan pokok saat ini sangatlah mahal. Aku bingung bagaimana harus mengaturnya."
Seperti biasa, Mas Iqbal memberikan nafkahnya yang sejuta untukku. Jujur saja, di perekonomian saat ini, uang sejuta tidak cukup untuk memenuhi segala kebutuhan rumah tanggaku. Hingga akhirnya aku terpaksa diam - diam bekerja tanpa sepengetahuan Mas Iqbal.
"Kau kan tahu, gaji mas berapa. Apalagi aku harus memberi uang kepada ibuku dan adikku. Siapa lagi yang akan menafkahi mereka kalau bukan aku. Bukannya aku sudah minta persetujuanmu."
"Ya mas aku tahu kamu memang bertanggung jawab kepada mereka. Tapi setidaknya kamu penuhi dulu tanggung jawabmu kepada istrimu. Aku tidak mempermasalahkan jika Mas Iqbal ingin memberikan uang kepada ibu. Tetapi kebutuhan kita bagaimana?" Aku beranikan diriku untuk menyatakan unek - unekku selama ini.
"Sudahlah, aku capek kalau harus berdebat denganmu. Aku ingin mandi dulu. Kamu jangan pernah lagi mempermasalahkan nafkah yang kuberikan. Bersyukurlah karena di luar sana masih banyak yang istrinya hanya diberi uang sedikit oleh suaminya. "
Begitulah Mas Iqbal, setiap aku meminta uang lebih, dia terus saja menghindar dan memberikan alasan yang tidak logis. Padahal kutahu, sudah setahun ini dia diangkat menjadi SPV. Tentu gajinya pun sudah naik.
Aku tak pernah mempermasalahkan Mas Iqbal untuk memberikan uangnya kepada ibu. Tetapi adik laki - lakinya yang baru saja lulus kuliah, hanya bermalas-malasan dirumah, menunggu kiriman uang dari Mas Iqbal.
Dengan langkah lesu, aku bergegas menyiapkan makan malam untuk Mas Iqbal. Di kulkas hanya ada tempe dan sayur sop. Aku pun mengolah bahan makanan yang seadanya itu.
Aku dan Mas Iqbal saat ini mengontrak rumah yang cukup sederhana. Kami berencana untuk KPR jika ada uang lebih. Tapi melihat sikapnya begitu, entah kapan keinginan itu akan terwujud.
"Masak apa hari ini dek?" Mas Iqbal duduk di kursi dan melihat makanan yang baru saja aku hidangkan. Wajahnya terlihat malas saat melihat menu makan malam ini.
"Hanya ada ini? Kapan kamu akan menghidangkan ayam atau daging untukku." Terlihat raut wajah penuh kekecewaan darinya karena aku menghidangkan lauk yang sederhana saja.
"Kalau Mas Iqbal ingin makan ayam atau daging, tambahkan uang nafkahku. Kamu pikir harganya murah?"
"Persoalan itu lagi yang kamu bahas dek. Sudah berulangkali aku katakan, aku juga harus memberi uang kepada ibu dan Rony."
"Mas, Rony itu sudah besar. Dia bisa mencari uang sendiri. Apalagi dia baru saja lulus kuliah. Setidaknya kamu biarkan adikmu untuk belajar menjadi laki - laki yang bertanggung jawab. Sampai kapan kamu akan terus memanjakannya."
Aku begitu kesal melihat tingkah Mas Iqbal yang begitu sangat memanjakan adiknya. Aku pun langsung meninggalkan suamiku yang sedang menyantap makan malamnya sendirian. Mas Iqbal pun menyadari kemarahanku dan langsung menghampiriku dikamar.
"Dek, kamu marah padaku?" Mas Iqbal mendekatiku yang sedang duduk di pinggir ranjang.
"Mas, apa kamu tak ingin kita mempunyai rumah sendiri? Apakah selamanya kita akan mengontrak disini? Kalau sikap Mas Iqbal seperti ini terus, kapan kita bisa memiliki rumah sendiri. Bukankah Rony sudah lulus dari kuliahnya. Dan setidaknya kita bisa menabung mulai sekarang mas."
Selama ini Mas Iqbal fokus dengan pendidikan adiknya. Setidaknya saat ini Rony sudah lulus dari kuliahnya. Dan aku ingin Mas Iqbal fokus dengan tujuan awal kami. Yaitu memiliki tempat tinggal sendiri.
Bisa kulihat Mas Iqbal terdiam setelah mendengarkan ucapanku. Aku berharap Mas Iqbal akan memikirkan apa yang baru saja aku katakan.
"Mas tahu dek, maafkan mas. Biar besok mas bicara kepada ibu dan Roni." Mas Iqbal seketika langsung memelukku erat. Sepertinya suamiku sudah mulai terbuka hatinya. Namun aku belum yakin jika tak memastikannya sendiri besok. Aku pun diam saja dan akan melihat bagaimana sikapnya setelah ini. Apakah benar - benar berubah atau masih tetap sama saja.
Aku dan Mas Iqbal menikah satu tahun yang lalu. Dan sampai saat ini kami masih belum dikaruniai seorang anak. Pernikahan kami pun hanya dilakukan sederhana saja tanpa ada pesta yang mewah. Karena yang ada dalam pikiran kami, kebutuhan setelah menikah tentu sangat banyak.
Entah mengapa, mas Iqbal sangat perhitungan jika mengenai uang. Aku sangat dibuat heran kepadanya. Tetapi dengan ibu ataupun Rony, apapun yang mereka minta, Mas Iqbal selalu saja menurutinya. Kalau aku tanya alasannya karena dirinya sudah berjanji kepada almarhum bapaknya agar menjaga ibu dan Rony.
Keesokan harinya, aku melihat Mas Iqbal sudah bersiap berangkat kerja. Seperti biasanya aku menyajikan sarapan seadanya. Aku tak pernah membawakannya bekal siang untuknya. Karena dia selalu protes saat aku membekalkannya makan siang dengan lauk tahu dan tempe. Inginnya Mas Iqbal sarapan ayam atau ikan. Namun uangku tak cukup jika membeli bahan makanan itu.
"Dek, mas ke kamar mandi dulu ya, tiba - tiba perut mas mules."
Ponsel Mas Iqbal ditinggalkan di meja. Tak berapa lama kemudian tampak ada pesan masuk dari ibu.
Nak, makasih ya uangnya. Tenang saja, ibu tak akan bilang kepada Andini, tentang uang yang kamu kirim. Jangan lupa bonus tahunanmu yang cair besok. Ibu sudah lama tak pakai perhiasan.
Tak lama kemudian Mas Iqbal keluar dari kamar mandi dan terkejut melihatku memegang ponselnya.
Hari ini adalah sidang perceraian Iqbal dengan Rima. Rima tak menyangka jika Iqbal benar - benar menceraikannya. Rima pikir setelah kepergian ibunya, Rima berhasil membujuk Iqbal untuk mau tetap hidup bersamanya. Namun nyatanya keputusan Iqbal tak berubah.Mediasi mereka pun gagal. Rima berusaha untuk menolak perceraian itu. Namun bukti hasil tes DNA dan kesuburan membuat dirinya tak bisa membatalkan perceraian ini. Apalagi Iqbal benar - benar ingin berpisah darinya.Setelah melewati dua kali sidang perceraian, akhirnya hari ini hakim mengabulkan perceraian mereka. Iqbal dan Rima kini sudah resmi bercerai. Saat keluar dari ruangan pengadilan, Rima pun memanggil dirinya."Mas Iqbal..."Iqbal menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Rima. Wajah Rima tampak kusut akibat proses perceraiannya ini."Rima, maaf jika selama menjadi suamimu, aku belum bisa membahagiakan kamu. Semoga kamu mendapatkan laki - laki yang jauh lebih baik dariku. Yang terpenting tidak mandul sepertiku.""Mas, aku
"Untuk apa ibu ingin bertemu denganku mas? Apa ibu ingin menghinaku lagi?""Ndin maafkan sikap ibu yang dulu. Ini semua memang permintaan ibu. Saat ini ibu sakit Ndin. Ibu memintaku untuk membawamu kesana.""Ibu sakit mas?""Ya ndin. Tolong penuhi permintaanku kali ini saja. Setelah ini aku tak akan menganggumu lagi."Sejenak Andini terdiam memikirkan ucapan Iqbal. Tentu dirinya harus meminta izin kepada suaminya dulu untuk menemui mantan mertuanya itu."Aku gak bisa janji mas. Aku harus izin kepada suamiku dulu.""Ya ndin aku tahu. Tapi aku mohon kali ini saja temui ibuku. Aku merasa ibu akan meninggalkanmu selamanya." Iqbal pun menundukkan kepalanya sembari menahan tangisannya itu. Andini tak tega melihat ekpresi Iqbal saat ini."Mas, jangan bicara seperti itu. Jodoh dan maut hanya Allah yang tahu.""Ya Ndin aku tahu. Tapi untuk kali ini saja penuhi permintaan ibu Ndin. Aku mohon..." Iqbal berbicara sembari menangkupkan kedua tangannya kepada Andini."Tunggu sebentar ya mas. Aku aka
Satu bulan sudah berlalu sejak Iqbal diusir oleh ibunya sendiri. Saat ini Iqbal tinggal di sebuah kos - kosan. Iqbal juga sudah bekerja kembali atas bantuan Adi. Walaupun gajinya tak sebesar dulu, namun Iqbal bersyukur masih bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.Tentang ibunya, Iqbal tak pernah tahu bagaimana kabarnya. Sari memang mengirim pesan kepadanya berulang kali. Namun Iqbal tak pernah membalasnya. Iqbal merasa sakit hati karena sikap ibunya selama ini.Iqbal sudah mengurus perceraiannya. Iqbal terpaksa meminjam uang kepada Adi agar bisa secepatnya resmi bercerai dari Rima. Surat panggilan sidang itu sudah keluar dan mungkin satu minggu lagi sidang perceraiannya akan dilaksanakan.Banyak perubahan yang terjadi pada diri Iqbal. Termasuk kini dirinya jauh lebih fokus beribadah. Meminta ampun kepada sang pencipta karena selama ini dia sering meninggalkan perintah - Nya. Sejak saat itu hati Iqbal jauh lebih tenang dibanding sebelumnya.Mas Iqbal, ibu sakit. Bisakah kamu pulang dan me
"Di aku butuh pekerjaan."Malam itu Iqbal mendatangi kediaman Adi untuk meminta pekerjaan kepadanya. Mengingat saat ini Adi sudah diangkat menjadi karyawan bagian HRD di tempat bekerjanya yang lama."Wah seorang menantu perusahaan kenapa meminta pekerjaan kepadaku?""Aku sudah menceraikan Rima. Aku sudah tak tinggal di rumahnya. Dan sekarang aku butuh uang untuk memenuhi kebutuhanku sehari - hari.""APA! Bercerai? Kalian baru saja menikah beberapa bulan ini. Bahkan Rima sudah melahirkan anakmu. Kenapa kamu tiba - tiba menceraikannya?""Aku mandul Di. Anak yang dilahirkannya bukan darah dagingku."Adi terkejut mendengar ucapan Iqbal. Iqbal pun mulai menceritakan semuanya. Adi hanya terdiam mendengarkan semua kejadian yang dialami oleh Iqbal."Sepertinya aku terkena karma Di. Dulu ibuku menuduh Andini yang mandul. Tapi ternyata di sini aku lah yang mandul. Seharusnya dari dulu aku mengikuti saran Andini untuk memeriksakan kondisiku ke rumah sakit. Jika tahu aku mandul, tentu aku tak aka
"Begitu rendahnya harga diri ibu di mata wanita licik dan pembohong ini bu.""Iqbal bukan begitu maksud ibu. Ibu hanya ingin menjaga nama baikmu nak. Apa kata orang jika ternyata kamu mandul. Setidaknya jika dengan menjaga rahasia ini, kamu tak akan dihina oleh orang lain. Lagi pula ibu sudah menyayangi Mutiara nak.""Bu, selama ini aku sudah berkorban banyak untuk ibu. Bahkan rumah tanggaku bersama Andini hancur hanya untuk kebahagiaan ibu. Lalu sekarang apakah aku harus berkorban lagi untukmu bu. Apakah selama ini ibu tak memikirkan kebahagiaanku?"Iqbal meneteskan air matanya sembari menatap ibunya itu. Yang ada di pikiran Sari hanya uang dan uang saja. Tentu saja tanpa memikirkan perasaannya. Iqbal tahu ibunya sampai berkata seperti itu karena tak ingin kehilangan menantu kaya seperti Rima. Yang bisa memberikannya banyak uang kepada dirinya. Walaupun sampai harus merendahkan harga dirinya."Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu nak.""Sayangnya semua ini bukan terbaik untukku bu. K
Brak!!!Rima terkejut saat melihat Iqbal membuka pintu kamarnya dengan keras. Iqbal berjalan masuk ke dalam dan langsung menjambak rambut istrinya itu."Mas apa yang kamu lakukan. Kenapa kamu menjambak rambutku.""Berani sekali kamu membohongiku Rima.""Maksud kamu apa mas. Aku gak ngerti.""Aku rela bercerai dari Andini hanya untuk bertanggung jawab atas bayi yang kamu kandung. Tapi rupanya semua ini hanya permainanmu saja."Rima seketika terdiam membisu saat mendengar ucapan Iqbal. Perasaan Rima tiba - tiba tak enak. Apakah mungkin Iqbal sudah tahu jika Mutiara bukan darah dagingnya."Mas kamu bicara apa? Aku gak ngerti." Rima pun berpura - pura bodoh. Tak mungkin Iqbal mengetahui rahasianya."Jangan pura - pura tak tahu kamu. Kamu pikir aku masih bisa kamu bodohi. Anak itu bukan darah dagingku kan? Kamu membohongiku Rima. KAMU MEMBOHONGIKU!'Teriakan Iqbal membuat Mutiara bangun dan menangis kencang. Rima membelalakkan matanya saat Iqbal mengatakan hal itu. Rima tak menyangka jika







