"Ini, untuk pegangan kamu selama nanti aku bekerja di luar kota, ya!" ucapnya dengan santai sambil menunggu aku menerima pemberiannya itu.
Perlahan, dengan tangan yang gemetar aku mengulurkan tangan dan menerima uang tersebut. Ini untuk pertama kalinya aku melihat uang sebanyak ini selama enam tahun menjadi istri lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu. Ia hanya seorang tukang ojek online, penghasilannya tak pernah menentu. Paling besar lima puluh ribu ia berikan tiap harinya. Tapi sayangnya hal itu jarang terjadi, seringnya ia hanya bisa memberikan di bawah nominal tersebut.
"Apa ini gak terlalu besar, Mas?" tanyaku masih takjub atas apa yang diberikannya.
Mas Dio menyunggingkan senyum, lalu menjatuhkan tubuhnya dan merangkul pundakku. "Nanti sebagian uangnya kamu belikan baju-baju yang cantik, ya! Biar kamu gak pakai baju yang itu-itu terus. Jangan lupa juga belikan baju dan mainan untuk Dita. Kalau perlu beli juga perhiasan seperti ibu-ibu lainnya supaya kamu tambah cantik. Gak usah takut kalau uangnya habis, nanti bulan depan akan kuberi lagi," ucapnya dengan santai seakan semuanya adalah hal yang biasa saja.
"Sebenarnya kamu kerja apa sih, Mas? Kok gajinya besar gini?"
Sungguh aku penasaran, rasanya aneh mendapatinya memiliki uang sebesar ini padahal beberapa bulan terakhir hidup kami serasa begitu sulit. Tak sepeser pun uang yang bisa diberikan oleh Mas Dio karena sepinya penumpang. Untuk hidup kami sehari-hari aku berinisiatif berjualan jajanan anak-anak di depan rumah. Walau hasilnya tak seberapa, setidaknya cukup untuk membeli beras dan sedikit sayuran.
"Kan sudah kubilang aku kerja jadi sekuriti. Alhamdulillah dapat gaji lumayan. Mudah-mudahan bisa merubah hidup kita ya, Sayang," ucap Mas Dio sambil mengusap lembut rambutku.
Memang semenjak dua bulan lalu, Dewa--adik Mas Dio--sering mengajaknya untuk merantau ke salah satu kota industri. Awalnya suamiku menolak, tak tega meninggalkan aku dan Dita sendirian. Sampai suatu hari Dita anak perempuan kami yang berusia empat tahun sakit dan tak ada uang sepeser pun yang kami pegang, tanpa pikir panjang Mas Dio pun ikut bersama Dewa untuk bekerja bersamanya.
"Gaji sekuriti sebesar ini, Mas?" tanyaku takjub saat mendengar jawabannya. Yang kutahu gaji sekuriti tak akan sebesar ini. Wida, sahabatku pun suaminya berprofesi sebagai seorang satpam dan sama sepertiku ia sering mengeluh akan kondisi ekonominya.
"Ya, di perusahaanku memang gajinya besar. Sudah ah, kamu gak usah banyak mikir. Sekarang tolong masakin aku gule ya, aku ingin makan gule nih," ujarnya mengalihkan pembicaraan begitu saja sambil berlalu meninggalkanku sendirian dan memilih bermain bersama Dita.
****
Bulan berikutnya, sesuai jadwal kembali Mas Dio datang dengan Dewa. Kulihat lelaki yang kucintai itu perlahan turun dari sebuah mobil h*nda j*zz berwarna putih yang masih sangat mengkilat, dikendarai oleh Dewa. Sepertinya itu mobil baru milik adik lelaki satu-satunya suamiku itu.
Setelah mengantar Mas Dio ke rumah, tanpa menyapaku terlebih dahulu Dewa pun berlalu dengan mobilnya, mungkin langsung menuju rumah orang tuanya yang berjarak satu jam dari sini.
Tak mau ambil pusing dengan Dewa, segera kuajak Mas Dio masuk dan menyuruhnya untuk segera makan malam. Sesuai permintaan Mas Dio sebelumnya, aku menyiapkan menu kesukaannya oseng kangkung, ikan asin, sambal, tahu, tempe, jengkol goreng dan ayam goreng. Kulihat Mas Dio makan dengan lahap, seperti orang yang tak pernah makan sebelumnya.
"Dewa punya mobil baru, Mas?" Aku tak bisa menahan diri untuk menayakan perihal mobil yang dibawa Dewa. Tentu amat penasaran karena terakhir mereka masih pulang pergi mengenakan bus kota.
Mendengar pertabyaanku, tiba-tiba saja Mas Dio berhenti mengunyah kulihat ia seperti salah tingkah.
"Emmh.. iya, itu mobil baru Dewa," jawabnya singkat."Keren ya, Dewa, makin makmur aja dia sekarang. Eh, kamu sama Dewa satu perusahaan gak, Mas?" tanyaku antusias.
"Mmmh ... enggak. Kami kerja di tempat berbeda." Lagi-lagi ia hanya menjawab singkat sambil terus fokus dengan makanannya.
"Berarti gaji Dewa lebih besar dari kamu ya, Mas dia sampai bisa beli mobil seperti itu!" cecarku lagi, sambil mengira-ngira berapa gaji yang dimiliki Dewa jika suamiku saja berpenghasilan lebih dari sepuluh juta sebulan.
"Nanti ya ngobrolnya, Silvi, aku capek banget, nih." Mas Dio tiba-tiba menghentikanku. Entah kenapa ia tampak seperti tidak nyaman kini. Tanpa menatapku sedikit pun ia kembali melanjutkan menyantap makanannya dengan hening. Sementara aku harus menahan diri dengan rasa penasaran terkait pekerjaan barunya itu.
Hanya dua hari saja Mas Dio berada di rumah, dan selama itu aku tak bisa banyak bicara dengannya. Ia lebih sering sibuk dengan ponselnya atau memilih menghabiskan waktu dengan Dita. Ia juga selalu mengalihkan pembicaraan jika aku kembali menyinggung pekerjaannya.
Sebelum keberangkatannya lagi ke kota, Mas Dio kembali memberikan segepok uang berwarna merah padaku.
"Ini, jatah bulan untuk bulan ini," ucapnya sambil menyimpan segepok uang itu di atas kasur.
Entah kenapa perasaanku biasa saja kini melihat uang tersebut, rasanya sama sekali tak ingin memilikinya.
"Uang bulan kemarin sudah kamu habiskan?" tanya Mas Dio sambil berkemas menyiapkan tas ranselnya karena sebentar lagi akan kembali pergi ke kota. Tinggal menunggu Dewa menjemputnya saja.
"Masih ada, Mas. Masih banyak malah!"
Ya, memang aku sengaja tak menghabiskan uang darinya. Hanya menggunakannya untuk membeli beberapa potong baju, dan mainan Dita, juga untuk membeli beberapa jajanan untuk warung kecil-kecilanku yang masih aku lakoni. Sisanya aku simpan uang tersebut di koperasi desa sebagai simpanan.
"Loh kenapa masih ada? Nanti kamu habiskan ya, sekarang kan aku sudah dapat penghasilan tetap, pokoknya kamu harus habiskan dan beli apapun yang kamu dan Dita mau, ya!" Mas Dio mengatakannya sambil mengacak-acak rambutku, seperti kebiasaannya dari dulu.
"Oh ya, aku lihat kamu masih jualan jajanan anak-anak, ya? Nanti kamu gak usah jualan lagi! Mendingan kamu istirahat di rumah, dan bersantai. Aku gak ingin istriku kecapekan karena masih harus jualan!" ucapnya sungguh-sungguh.
"Aku gak capek kok, Mas, dari pada gak ada kegiatan di rumah!" elakku, entah kenapa aku tak suka dengan permintaannya ini. Padahal secara logika wajar jika Mas Dio memintanya. Toh, sekarang kami tak kesulitan lagi secara finansial.
"Ya ... terserah kamu saja lah! Yang pasti aku minta kamu jangan terlalu berhemat lagi, aku sekarang bisa memberikan uang yang seharusnya lebih dari cukup untuk hidup keluarga kita! Aku ingin kamu bisa bahagia menjadi istriku," ucapnya sambil menatapku sungguh-sungguh.
Ingin rasanya aku mengatakan bahwa sejak dari dulu aku bahagia bersamanya, tapi tiba-tiba terdengar suara klakson mobil. Sepertinya Dewa sudah datang. Segera aku dan Mas Dio mengakhiri pembicaraan kami dan menghampirinya.
"Mbak, aku ikut ke kamar mandi, ya!" belum juga mengucapkan salam Dewa segera berlalu. Sepertinya ia sudah sangat kebelet. Gegas ia membuka sepatunya dan menyimpan kunci yang sepertinya kunci mobilnya di meja.
Tak lama, setelah Dewa kembali kulihat ia tampak seperti kebingungan mencari sesuatu.
"Kenapa, W*?" tanya Mas Dio memastikan.
"Kunci mobilnya hilang, tadi perasaan kusimpan di meja," jawabnya sambil tetap mencari.
Refleks aku dan Mas Dio ikut mencari. Tapi, tiba-tiba aku curiga pada Dita, ia memang suka iseng menyembunyikan barang-barang yang kelihatannya menarik.
"Dita ... tadi mainin kunci mobil Om Dewa, ga?" selidikku pada Dita yang malah menutup mulutnya menahan tawa. Dari geriknya aku tahu memang dia pelakunya.
"Dita simpen mana? Kasian Om dan Ayah mau berangkat," tanyaku berusaha membujuknya. Tanpa mengatakan apa pun Dita menunjuk ke kamarnya sambil terkekeh geli.
Gegas aku pun menuju kamarnya, benar saja kulihat kunci tersebut tergeletak di atas kasur. Segera kuabil kunci tersebut, tapi entah kenapa tiba-tiba rasa penasaranku menyeruak, aku merasa penasaran dengan isi dompet yang menjadi gantungan kunci tersebut. Ingin memastikan apa benar mobil ini milik Dewa atau bukan.
Dengan perlahan, kubuka isinya mencari informasi siapa pemilik STNK tersebut. Namun, tiba-tiba aku tersentak kaget saat melihat nama yang tertera di sana. Berulang kali aku membacanya memastikan bahwa aku tidak salah membancanya.
Jantungku tiba-tiba saja berdebar kencang, karena pemilik kendaraan itu bukanlah Dewa, melainkan nama suamiku sendiri, Anandio Dwi Prasetyo, dengan tanggal lahir dan alamat yang sama dengannya.
Bagaimana mungkin suamiku bisa memiliki mobil berharga ratusan juta seperti ini? Padahal dia juga baru saja bekerja selama dua bulan.
Tiba-tiba saja aku teringat tentang jumlah gajinya yang menurutku sangat fantastis untuk seorang sekuriti, rasanya itu pun sangat tak masuk akal.Tampaknya Mas Dio dan Dewa sedang membohongiku. Mereka sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku.
Lalu, apa yang sebenarnya mereka lakukan untuk mendapatkan semua ini?
"Silvi ..., kunci mobilnya ada gak?"Suara panggilan dari Mas Dio di luar membuatku tersadar bahwa mereka sedang menungguku di luar sana. Gegas saja aku menutup kembali dompet kunci itu, tak ingin sampai ketahuan jika aku telah mengetahui bahwa Mas Dio-lah pemilik mobil itu.Sebenarnya ingin sekali aku langsung menanyakan padanya soal semua ini, tapi pasti ia akan mengelak dan mencari alasan untuk menutupinya. Memang seperti itu kan cara kerja seorang pembohong, mereka akan terus melakukan kebohongan untuk menutupi kebohongan lainnya yang sudah mereka buat Jika memang Mas Dio tak berniat menyembunyikan apa pun, seharusnya dia jujur sejak awal, bukan malah berbohong seperti ini. Sepertinya untuk saat ini aku harus mencoba mengikuti permainan mereka dan berusaha mencari tahu sendiri tentang apa yang mereka sembunyikan dariku."Ini Mas, kunci mobilmu!" Sengaja aku memberikan kunci itu pada Mas Dio, ingin tahu apa reaksinya ketika aku mengatakan bahwa itu mobilnya. Tapi sepertinya Mas Di
[Mas, tadi aku ke rumah Ibu, ternyata sedang di renovasi, ya? Kata Pak Slamet kamu yang biayai, apa benar, Mas?] Setelah mempertimbangkan banyak hal, aku memutuskan untuk menanyakan langsung terkait renovasi rumah yang katanya suamiku-lah yang membiayainya. Ingin tahu juga apa dia akan mengatakan yang sebenarnya padaku, atau memilih kembali tidak jujur.Semenjak Mas Dio bekerja di luar kota, komunikasi kami tidak lancar. Aku harus menunggu lebih dari satu jam untuk menunggu balasan darinya. Bahkan sering juga ia baru membalas di tengah malam.Jika aku mau menelepon pun, aku harus membuat janji terlebih dahulu. Sudah seperti menghubungi orang penting saja. Pernah aku tanyakan kenapa ia jarang membalas pesanku, katanya ia tidak diperbolehkan membawa ponsel saat bekerja. Ia harus bersembunyi dulu di kamar kecil jika mau melihat ponselnya.Sambil menunggu jawaban dari Mas Dio, aku membuka warung kecil-kecilanku. Kebetulan banyak anak-anak yang sedang bermain. Pasti akan ramai pembeli. D
"Ada apa, Silvi? Kenapa wajahmu tiba-tiba lesu?" tanya Kak Gema seraya mengernyitkan keningnya.Apa sebegitu terlihatnya di wajahku tentang kegelisahan yang tengah kuhadapi ini?"Kenapa? Cerita padaku, kamu sedang bertengkar dengan Dio? Apa Dio bersikap tidak baik padamu? Atau ... dia selingkuh? Jangan bilang kalian sedang pisah ranjang, Silvi!" Kak Gema memberondongku dengan pertanyaan. Raut khawatir terlihat jelas di wajahnya."Silvi, jangan pikir kamu bisa menyembunyikannya dariku, aku tidak akan tinggal diam jika Dio menyakitimu!" tegas Kak Gema kali ini sambil menatapku sungguh-sungguh.Sepertinya aku memang harus memberitahukan padanya, walau sebenarnya aku sangat menghindari membahas masalah rumah tangga dengan Kak Gema. Sebisa mungkin ingin membuktikan bahwa aku bahagia menjadi istri Mas Dio walau dalam keterbatasan.Masih teringat jelas di benak saat Kak Gema pernah mengatakan ingin menjadikan aku istrinya walau dengan nada bercanda. Hal itulah yang membuatku segera mendesak
"Ka-kamu Silvi? Ke-kenapa bisa tahu kami ada di sini?" tanyanya tak percaya. Aku hanya tersenyum puas, berhasil membuat kejutan pada Ibu dan Kak Desi."Harusnya kamu bilang kalau mau kesini! Jadi kami bisa siap-siap lebih dulu!" Ujar Ibu setelah Dita kuminta untuk kembali duduk tenang di ruang tamu. Raut wajah Ibu dan Kak Desi tampak tak suka akan kedatanganku. Pastinya, karena mereka memang tak mengharapkanku."Bagaimana aku bisa bilang, Bu? Ibu dan Bapak kan gak ada ponsel, nomor Kak Desi pun gak aktif lagi," jawabku sambil menata kue-kue yang kubawa di piring agar bisa dinikmati bersama."Ada apa perlu apa kemari?" tanya Ibu sambil melipat kedua tangannya di dada, tak sedikit pun menatapku."Dita kangen pada Ibu dan Bapak, sudah lama juga kita gak ketemu!" "Ya sudah kalau begitu, Bapak ada di kamarnya, aku mau keluar dulu sebentar. Kalau mau apa-apa ambil sendiri saja, ya!" ujar Ibu sambil berlalu pergi meninggalkanku begitu saja. Sementara Kak Desi entah berada di mana.Sepertin
Karena merasa makin diabaikan di sini, aku pun memilih untuk pulang saja. Dari pada terus berada di rumah mertuaku dan hanya menjadi obat nyamuk saja. Segera kuajak Dita untuk segera pulang. Untuk apa berlama-lama di sini jika hanya terus memakan hati? Toh ku pun tak bisa mengorek informasi apa pun.Demi sopan santun, aku menghampiri Ibu mertua untuk berpamitan, tapi ia hanya memandangku sekilas, mengangguk mengiyakan, lalu kembali fokus melanjutkan perbincangannya dengan Arni dan Kak Desi.Kembali sebuah rasa sedih menyeruak di dada. Kemana ibu mertuaku yang dulu? Yang walaupun kami tak pernah terlalu dekat, tapi ia masih menganggapku ada. Menghargai aku sebagai seorang istri dari anaknya, walau perhatiaannya hanya sebatas memberikan sedikit bingkisan oleh-oleh untuk kubawa pulang ke rumah.Kuabaikan rasa sakitku. Berjalan keluar rumah berdua saja dengan Dita. Memang aku yang salah, tetap memilih datang padahal jelas mereka tak inginkan kehadiranku."Mba Silvi ...." Tiba-tiba sebuah
Sebenarnya ada hal lain yang aku nantikan hari ini. Yaitu kabar dari kak Gema tentang tempat tinggal Mas Dio yang katanya akan dia cari melalui GPS. Tapi sampai nalam tiba, tak sekali pun Kak Gema menggububgiku.Berulang kali aku mengecek ponsel, menunggu kabar dari Kak Gema. Tapi ponselku tetap saja sepi, tak ada yang menghububgiku sama sekali baik Kak Gema ataupun Mas Dio.[Kak Gema, maafkan aku ganggu malam-mala. Sudah ada hasil pencarian keberadaan Mas Dio belum?] Akhirnya aku memutuskan untuk bertanya pada Kak Gema langsung melalui pesan singkat. Berharap Kak Gema akan segera memberikan jawaban.Cukup lama sampai akhirnya ponselku berdering menandakan ada pesan yang masuk. Gegas aku membukanya, ternyata benar dari Kak Gema. Tapi isi pesan tersebut tak sesuai dengan harapanku.[Maaf Silvi, hari ini aku masih belum berhasil mendapatkan alamat Dio, besok jika sudah ada aku akan menghubungimu!] Kecewa? Tentu saja aku merasa kecewa karena usahaku masih juga belum membuahkan hasil sam
Keesokan harinya, dengan diantar Kak Gema aku berangkat ke Jakarta. Pagi-pagi sekali Kak Gema sudah berada di rumah dengan membawa mobil. Segera aku dan Dita menaiki mobil tersebut. "Mobil siapa ini, kak?" tanyaku penasaran setelah mobil melaju memecah dinginnya pagi.Kak Gema menatapku sambil sedikit tertawa geli. "Gak pantes ya aku punya mobil?" "Eh, punya kak Gema? Waaah ... makin sukses aja nih, kakak kesayanganku!" pekikku. Sungguh aku tak menyangka bahwa ia kini sudah jauh lebih sukses. Masih teringat jelas saat-saat hidup susah kami ketika kecil, bahkan untuk membayangkan bisa menjadi orang kaya pun aku tak berani kala itu.Ayahku dan dan Kakaknya--orang tua angkat Kak Gema-- hanyalah seorang tukang jahit di pabrik tas dan sepatu. Gajinya tentu tak seberapa, itu pun dihitung dari jumlah tas yang berhasil selsai setiap harinya. Jika tidak ada pesanan atau proyek, otomatis orang tua kami tak ada pemasukan. Maka untuk bertahan hidup sehari-hari kami hanya mengandalkan hasil keb
Sepintas aku ragu apa itu Mas Dio atau bukan, karena meski mirip, penampilannya sangat jauh berbeda dengan Mas Dio yang kukenal. Lelaki itu berpenampilan necis dengan kemeja berwana biru muda yang menempel di badannya.Gegas aku memberi kode pada Kak Gema yang ternyata juga sama sedang memerhatikannya."Silvi, kamu ikuti Dio, jangan sampai kehilangan jejaknya, aku harus membayar makanan ini dulu!" titahnya sambil bergegas berdiri.Tak ingin membuang waktu, aku pun segera membawa Dita sambil sedikit berlari kearah pintu keluar. Berharap tak sampai kehilangan sosoknya.Aku sempat keheranan ketika kulihat para pramusaji yang berpas-pasan membungkuk hormat pada Mas Dio. Apa ia sebegitu dihormatinya di sini? Namun, ternyata saat aku melintasi pramusaji di pintu, ia pun sama membungkuk padaku. Emmh ... mungkin memang begitu cara pramusaji itu menghormati para tamunya.Aku kembali fokus mengikuti Mas Dio sambil tetap berusaha menjaga jarak dengannya. Aku tak tahu apa akan langsung menghampir