Hujan turun sangat deras. Petir menyambar silih berganti, tetapi sebuah motor nekad menerobos lebatnya hujan.“Mama ... Al takut!” teriak seorang anak perempuan dengan tangan memeluk pinggang sang mama.“Mama, kita berhenti saja” keluhnya mulai terisak.“Sebentar lagi sampai rumah, Alina,” balas sang mama setengah berteriak. Suara hujan mengalahkan suaranya yang sudah berusaha melengking tinggi anak di balik punggungnya Mendengar dengan jelas.“Mama ... Al takut” bocah tujuh tahun itu terus merengek, masih terisak.“Kita tadi perginya gak ngomong. Takut papa bingung nyariin.”“Mama, Al takut!” Alina tidak perduli ucapan mamanya, seakan tau bahwa akan terjadi sesuatu pada mereka berdua.“Mama ... kita berhenti saja.”“Alina! Jangan cerewet! Mama nggak bisa fokus kalau kamu merengek.”Sebuah bentakan ke luar dari bibir yang bisanya bertutur sangat lembut. Mendengar itu, Alina tidak lagi merengek. Ia menutup mata dan menyembunyikan wajah di punggung sang mama. Hingga sebuah sengatan pana
Alina berbalas pesan dengan Rey sambil berjalan melewati lobi, kemudian ke parkiran. “Al,” panggil Fatih dari arah samping. Alina terkejut, sebelum akhirnya menyadari bahwa sedari tadi dirinya terlalu asik sendiri dengan benda pipih di tangan sehingga tidak menyadari kehadiran orang lain. “Mau ke mana?” tanya Fatih. Di tangannya menggenggam sebuah bungkusan. “Mau makan siang sama Rey, kebetulan sudah ditunggu. Itu dia.” Alina melambai pada seorang pria yang sudah siap di depan mobil yang terparkir. Rey. “Oh,” balas Fatih terasa berat. “Itu apa, Mas?” tanya Alina dengan mengamati plastik yang ditenteng Fatih. “Oh, ini makan siang untuk Anita.” “Oh.” Alina menanggapi. Alina tersenyum pias dan meninggalkan Fatih seorang diri. Fatih menatap berlalunya punggung itu diambil meremas bungkusan ayam panggang kesukaan Alina. Fatih menatap tajam keduanya, ingin marah, terapi merasa tidak berhak. Senyum Alina mengembang bebas di samping pria lain. Sedangkan di hadapannya, Alina sepert
"Gue suka. Buat apa mikirin orang lain. Lagipula, nilai estetika gelang ini, bukan karena seberapa mahal harganya, tapi seberapa besar Lo berjuang demi mendapatkan gelang ini.”Alina tersenyum, terharu dan hampir menitikkan air mata.“Gue tau, Lo lagi belajar menghemat dan membeli sesuatu yang gak ada di daftar kebutuhan Lo, itu sudah bernilai lebih buat Gue. Jangan sedih, ada Gue di sini. Meskipun Gue haram untuk bisa menghapus air mata Lo, tapi setidaknya Gue punya gudang ember yang bakal menampung air mata Lo.”“Rey—““Jangan sedih. Usap air mata Lo. Saatnya Lo bangkit dan menjadi kuat.” Rey mencabut beberapa lembar tisu dari kotaknya dan menyerahkan Alina.“Setelah ini, Lo harus rutin ke psikiater buat sembuhim pobia Lo.”“Gue belum gajian. Pastinya duit gue gak bakal cukup membayar biaya konsultasinya.”“Ini gratis.”“Gak, ah! Palingan Lo yang bayar dari belakang.”“Gue sudah bisa nebak pikiran Lo kalau Lo pasti gak bakalan mau menerima bantuan materi. Makanya Gue carikan konsult
Pagi-pagi sekali Fatih sudah terbangun. Semenjak pindah rumah bersama Alina, ia menjadi rajin bangun pagi. Padahal bukan atas permintaan Alina jika ia sering berkutat di belakang. Membantu Alina memasak atau sekadar membentang jemuran.Ia sedang memanasi motor dan mobilnya.“Rajin, Pak.” Ucap seorang wanita paruh baya di depan pagar.“Eh, Bu Mala.”“Mbak Al ada?” tanyanya begitu masuk ke garasi.“Ada di dalam, masuk saja.”Tanpa menunggu lama, Mala memasuki rumah dan tak berapa lama pula, wanita itu keluar lagi.“Cuma sebentar, Bu?”“Iya, Pak. Cuma mau mengundang pak Fatih sama mbak Al, nanti malam datang ke rumah. Ada syukuran tujuh bulan anak saya.” Mala mengulang ucapan yang semula disampaikan kepada Alina.“Oh iya, insyaallah.”“Mari.”Fatih memandang punggung wanita itu dan berpikir akan merencanakan sesuatu kepada Alina..“Kamu nekat mau berangkat sendiri, Al?” tanya fatih ketika melihat Alina mengenakan helm. Alina menatap sesaat sebelum menaiki motornya.“Iya.”“Lenganmu suda
“Lo nggak membela diri saat mereka mencibir, lo, Al?”“Nggak. Buat apa?”Meli mendesah kesal. Ia menyodorkan bekal yang ia bawa, Alina mengambil salah satu nugget menggunakan sendok garpunya.“Sebenarnya, Lo itu punya rasa sakit nggak, sih Al?”Alina menghela nafas, menghentikan kunyahan dan meneguk air minumnya.“Sudah nggak mempan kalau Cuma dicibir karena masalah gosip murahan seperti ini. Sebelumnya, Gue pernah merasakan sakit hati lebih dari ini.”Nafasnya tersengal, ingin menangis tetapi ia tahan sekuat-kuatnya.Rasa sakit yang dihadiahkan Fatih dan Anita telah mendudukkan dirinya menjadi sang pesakit. Hingga saat ini, tidak ada rasa sakit yang mampu menandinginya.“Maaf, Al. Gue nggak bermaksud menyinggung.” Meli menyesalkan ucapannya yang akhirnya membawa Alina terlihat sangat terluka.“Gue bingung, Mel. Gue mau ngapain aja kok, kesannya salah melulu. Padahal di foto ini, laki-laki itu Cuma menolong Gue.”“Gue percaya sama Lo, kok.”“Gue nggak nyangka kalau kecelakaan kecil ke
Alina berpaling dan memasuki kamar. Fatih menyusul di belakangnya.“Kamu nggak akan ngerti, apa yang aku lakukan di belakangmu.”“Aku nggak mau tau, aku capek.”“Biarkan aku menebus kesalahanku, Al. Kasih aku kesempatan. Aku ingin memulainya dari awal.”Alina terhenyak. Tak mengerti jalan pikiran lelaki yang tiba-tiba serba ingin dimengerti itu.“Memulai seperti apa? Bahkan aku sudah remuk begini, apa Mas Fatih pikir mudah berada di posisiku? Dibuang, tanpa memberi kesempatan memperbaiki diri. Disiksa, seperti aku ini gak punya rasa sakit, lalu—““Alina cukup, jangan diteruskan.”“Lalu diminta kembali lagi seakan tak pernah terjadi apa-apa, begitu? Kalau aku mau memulainya dari awal, apa jaminan untuk aku dan anakku, hah? Apa Mas yakin siap meninggalkan mbak Nita hanya demi parasit seperti aku ini? Apakah-““Alina cukup!”Fatih menyentak tangan Alina hingga masuk dalam pelukannya.Alina tergugu.“Sudah-sudah. Jangan diteruskan. Maafkan aku, maafkan aku.”Fatih membelai sayang kepala A
Sampai siang, Alina hanya rebahan tanpa melakukan aktivitas apa-apa. Mendadak tubuhnya sangat letih dan kepala tidak mau ditegakkan lama-lama.“Mas sudah pesan pakaian untukmu.” Fatih meletakkan handphone setelah mengutak-atik beberapa saat lalu.“Online shop biasanya gak sesuai keinginan.” Alina menimpali.“Bisa dikembalikan. Kebetulan online shopnya punya teman. Langsung dari butiknya.”“Oh.”“Itu kayakny, deh. “Fatih beranjak menuju pintu luar. Memastikan jika perkiraannya benar.Benar saja. Seorang ojek online membawa pesanan milik Fatih.“Sampai juga akhirnya.”Alina menoleh ketika Fatih menenteng dua paper bag ukuran besar. Satu diulurkan pada Alina.“Itu milikmu.”Alina membukanya, “daster?”“Iya, daster, tapi bukan daster rumahan. Itu bisa kamu kenakan saat kerja. Coba dulu.”“Kayaknya sudah pas kok.”“Mau komplain warnanya? Nanti ditukar kalau gak cocok.”“Gak usah. Suka warnanya.”“Oke.”“Jadi ... berapa harganya?”Fatih tercekat, geram juga tersinggung dengan pertanyaan Al
Alina tidak perduli dengan ucapan Fatih. Akhirnya Fatih melepas pelukannya, bukan karena kalah kuat dari tenaga Alina, tetapi karena kasihan pada Alina yang terus meronta.Alina mencari apa saja yang bisa digunakan untuk menutupi tubuh. Terutama bagian dada yang melebar ke mana-mana. Akhirnya ia mendapati daster yang baru dibelikan Fatih. Ia menyambar dan menggunakannya untuk menutupi dada.Fatih tertawa dan terus tertawa melihat tingkah Alina yang konyol.Alina melotot sebagai bentuk kecaman.“Untuk apa ditutup-tutupi. Toh aku sudah melihatnya berkali-kali.”Alina tertunduk, malu juga merasa risih karena tidak nyaman mengenakan lingerie yang super tipis.“Kalau suka, nanti aku belikan lebih banyak lagi, dengan berbeda model.”“Nggak. Nggak usah!” Alina langsung menjawab, “ini saja nanti juga gak kepakai, kok.” Alina berdiri, mencari pakaian yang ia kenakan sebelumnya.“Kenapa nggak dikenakan? Gak suka? Malu atau—““Mas ...!”Fatih tersentak dengan suara lantang Alina.“Aku merujukmu